Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kabut menggumpal tebal. Rumah-rumah panggung lapuk berdiri seperti kerangka raksasa.
Di tengah dusun, WANITA MUDA—kulit pucat, mata berkilau merah samar—memegang belati antik yang meneteskan darah.
Raka, Yohana, dan Lantang menatap tegang.
WANITA MUDA
(suara lirih namun bergema)
Darahku… atau desamu lenyap.
RAKA
Siapa kau?
Wanita itu menatap langsung ke mata Raka.
WANITA MUDA
Aku Laras… keturunan terakhir Arung Lumu.
Angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat obor hampir padam.
EXT. DUSUN SILAU – KONTINUYohana melangkah maju.
YOHANA
Kalau benar kau keturunan Arung Lumu, bantu kami menutup gerbang.
Kau tak harus mengorbankan diri.
Laras tersenyum samar.
LARAS
Sumpah leluhur tidak bisa ditawar.
Hanya darah tiga garis yang menutup pintu.
Kau pikir arwah Poya menunggu lama tanpa alasan?
Raka menatap Lantang, berharap jawaban.
LANTANG
(berat)
Dia benar. Tanpa darah ketiga, gerbang tetap terbuka.
EXT. HALAMAN DUSUN – BEBERAPA SAAT KEMUDIANMereka duduk di depan rumah lapuk Laras. Obor kecil menyala, asap menari di udara dingin.
LARAS
Kakekku menolak perjanjian ini. Kami diasingkan.
Sejak itu, roh-roh liar menjaga dusun ini.
Aku yang tersisa.
Raka menunduk, beban di pundaknya terasa berat.
INT. RUMAH LARAS – MALAMRuang dalam beraroma tanah lembap dan dupa. Patung-patung kecil berjejer, wajahnya menunduk.
Laras menyiapkan teh dari ramuan pahit.
Yohana mengamati dinding penuh ukiran, salah satunya bergambar Tongkonan Terakhir dengan simbol tiga garis darah.
YOHANA
(kepada Raka, pelan)
Kita tidak bisa membiarkan dia mengorbankan diri.
Raka menatap Yohana, mata penuh dilema.
EXT. HALAMAN RUMAH – TENGAH MALAMKabut semakin pekat. Suara gong samar terdengar dari desa Toroloko, jauh di bawah.
Lantang berdiri sendiri, menatap langit merah.
LANTANG
(bisikan doa)
Leluhur, beri kami jalan.
Tiba-tiba, bayangan Poya muncul di balik kabut, tubuhnya setengah transparan.
POYA
(senyum dingin)
Darahmu akan sia-sia jika janji tak ditepati.
Lantang terkejut, tapi tidak bergerak.
INT. RUMAH LARAS – MENJELANG SUBUHRaka terbangun karena bisikan.
SUARA AYAH (V.O.)
Nak… jangan korbankan yang tak bersalah.
Raka duduk tegak. Laras berdiri di pintu, menatap ke luar.
RAKA
Kau mendengarnya?
Laras menoleh, matanya merah.
LARAS
Aku mendengar mereka setiap malam.
EXT. DUSUN SILAU – PAGIMatahari berusaha menembus kabut, hanya menghasilkan cahaya abu-abu.
Lantang menyalakan obor lagi.
LANTANG
Kita harus memutuskan.
Malam nanti bulan merah penuh.
Jika darah ketiga tidak tertumpah… desa akan lenyap.
Yohana menatap Raka.
YOHANA
Ini gila. Kita bisa mencari cara lain.
Poya menakut-nakuti kita.
Raka diam, pandangannya terpaku pada Laras.
EXT. HUTAN SEKITAR DUSUN – SIANGRaka berjalan sendirian.
Hutan ini sunyi, hanya suara dedaunan berbisik.
Ia berhenti di depan pohon beringin raksasa. Di batangnya, ukiran wajah ayahnya muncul samar.
DANU (bayangan)
Kau harus memilih, Raka.
Nyawa satu orang… atau ratusan jiwa desa.
Raka menutup mata, menahan air mata.
EXT. DUSUN SILAU – SOREKetegangan memuncak. Yohana memarahi Raka.
YOHANA
Kau sungguh mempertimbangkan ini?
Membiarkan seseorang mati hanya demi tradisi?
Raka menatap Yohana tajam.
RAKA
Kalau kita tidak melakukannya, seluruh desa—termasuk anak-anak—akan mati.
Yohana mundur, matanya berkaca-kaca.
INT. RUMAH LARAS – SENJALaras menyiapkan kain merah dan belati.
Ia menatap Raka dengan tenang.
LARAS
Ini jalanku.
Aku sudah siap sejak lahir.
Raka memalingkan wajah, hati bergejolak.
EXT. DUSUN – MALAMBulan merah penuh menggantung besar di langit.
Obor dinyalakan mengelilingi altar batu di tengah dusun.
Kabut berubah merah, udara berbau besi.
Lantang memimpin ritual.
Raka, Yohana, dan Laras berdiri dalam lingkaran.
LANTANG
Tiga darah bersatu… gerbang tertutup.
Laras menatap Raka.
LARAS
(jujur)
Terima kasih telah datang.
Jika aku pergi, jaga nama kami.
Raka menggenggam belati, tangannya gemetar.
MOMEN KRITISYohana tiba-tiba berdiri di depan Laras.
YOHANA
Tidak! Ini salah!
Kita temukan cara lain!
Angin mendadak kencang, obor berkobar liar.
Suara gong bergema keras, bumi bergetar.
Dari kabut, Poya muncul penuh wujud—mata putih menyala, jubah hitam berkibar.
POYA
Tiga darah!
Janji ditepati, atau semua jiwa kuambil!
KEKACAUANPatung-patung kayu bergetar dan retak, darah menetes dari mata ukiran.
Tanah berguncang, pohon-pohon merintih.
Raka menatap Laras, lalu Yohana.
RAKA
(teriak)
Aku tidak bisa!
Ia menjatuhkan belati.
Poya melengking marah, suara seperti ribuan jeritan.
POYA
Pengkhianat!
Kabut merah menyelimuti seluruh dusun.
Sosok-sosok arwah bermunculan: bayangan desa Toroloko, wajah-wajah ketakutan.
AKSI PENYELAMATANYohana menarik Raka keluar dari lingkaran.
Lantang menancapkan tongkat kayu ke tanah, membaca mantra lebih keras.
LANTANG
Leluhur, lindungi kami!
Sinar putih keluar dari tongkat, menahan kabut sejenak.
Laras menatap Raka dengan mata sedih, lalu menatap belati di tanah.
LARAS
Kalau bukan kau… biar aku.
Ia meraih belati, mengangkatnya ke dada.
MOMEN HENINGRaka berlari, meraih tangan Laras.
RAKA
Jangan!
Kita temukan jalan lain. Aku janji!
Poya menjerit, tubuhnya mengguncang udara.
POYA
Tidak ada jalan lain!
LEDAKAN SUARATiba-tiba suara gong desa dari kejauhan berdentum tiga kali—DONG! DONG! DONG!—membuat Poya berhenti sejenak.
Sinar putih dari tongkat Lantang semakin terang, membentuk lingkaran pelindung.
Poya menatap Raka tajam.
POYA
Kau telah memilih.
Maka darah akan menagih sendiri.
Ia menghilang dalam pusaran kabut yang mendesis seperti uap panas.
EXT. DUSUN – SETELAH KEKACAUANKabut perlahan memudar.
Obor yang padam menyala kembali sendiri.
Laras terjatuh, lemas. Yohana memeluknya.
Raka menatap tangan kosongnya, belati tergeletak penuh darah yang bukan milik siapa pun.
Lantang menunduk, wajahnya muram.
LANTANG
Keputusanmu membawa konsekuensi.
Arwah Poya tidak akan berhenti.
EXT. DUSUN SILAU – MENJELANG SUBUHLangit berwarna ungu kelam.
Raka, Yohana, Lantang, dan Laras berdiri di tepi dusun, bersiap kembali ke desa.
Yohana menatap Raka, suaranya bergetar.
YOHANA
Kita masih bisa melawannya, kan?
Raka menatap kabut yang perlahan menutup dusun lagi.
RAKA
(kaku)
Kita harus.
Angin berdesir, membawa bisikan Poya yang nyaris tak terdengar.
POYA (V.O.)
Darah… akan selalu menagih.
FADE OUT.TEKS LAYAR:
Tongkonan Terakhir – Bagian 7 Tamat