Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Tongkonan Terakhir
Suka
Favorit
Bagikan
7. Bagian 7 - “Retak”
FADE IN:EXT. DUSUN SILAU – MALAM

Kabut menggumpal tebal. Rumah-rumah panggung lapuk berdiri seperti kerangka raksasa.

Di tengah dusun, WANITA MUDA—kulit pucat, mata berkilau merah samar—memegang belati antik yang meneteskan darah.

Raka, Yohana, dan Lantang menatap tegang.

WANITA MUDA

(suara lirih namun bergema)

Darahku… atau desamu lenyap.

RAKA

Siapa kau?

Wanita itu menatap langsung ke mata Raka.

WANITA MUDA

Aku Laras… keturunan terakhir Arung Lumu.

Angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat obor hampir padam.

EXT. DUSUN SILAU – KONTINU

Yohana melangkah maju.

YOHANA

Kalau benar kau keturunan Arung Lumu, bantu kami menutup gerbang.

Kau tak harus mengorbankan diri.

Laras tersenyum samar.

LARAS

Sumpah leluhur tidak bisa ditawar.

Hanya darah tiga garis yang menutup pintu.

Kau pikir arwah Poya menunggu lama tanpa alasan?

Raka menatap Lantang, berharap jawaban.

LANTANG

(berat)

Dia benar. Tanpa darah ketiga, gerbang tetap terbuka.

EXT. HALAMAN DUSUN – BEBERAPA SAAT KEMUDIAN

Mereka duduk di depan rumah lapuk Laras. Obor kecil menyala, asap menari di udara dingin.

LARAS

Kakekku menolak perjanjian ini. Kami diasingkan.

Sejak itu, roh-roh liar menjaga dusun ini.

Aku yang tersisa.

Raka menunduk, beban di pundaknya terasa berat.

INT. RUMAH LARAS – MALAM

Ruang dalam beraroma tanah lembap dan dupa. Patung-patung kecil berjejer, wajahnya menunduk.

Laras menyiapkan teh dari ramuan pahit.

Yohana mengamati dinding penuh ukiran, salah satunya bergambar Tongkonan Terakhir dengan simbol tiga garis darah.

YOHANA

(kepada Raka, pelan)

Kita tidak bisa membiarkan dia mengorbankan diri.

Raka menatap Yohana, mata penuh dilema.

EXT. HALAMAN RUMAH – TENGAH MALAM

Kabut semakin pekat. Suara gong samar terdengar dari desa Toroloko, jauh di bawah.

Lantang berdiri sendiri, menatap langit merah.

LANTANG

(bisikan doa)

Leluhur, beri kami jalan.

Tiba-tiba, bayangan Poya muncul di balik kabut, tubuhnya setengah transparan.

POYA

(senyum dingin)

Darahmu akan sia-sia jika janji tak ditepati.

Lantang terkejut, tapi tidak bergerak.

INT. RUMAH LARAS – MENJELANG SUBUH

Raka terbangun karena bisikan.

SUARA AYAH (V.O.)

Nak… jangan korbankan yang tak bersalah.

Raka duduk tegak. Laras berdiri di pintu, menatap ke luar.

RAKA

Kau mendengarnya?

Laras menoleh, matanya merah.

LARAS

Aku mendengar mereka setiap malam.

EXT. DUSUN SILAU – PAGI

Matahari berusaha menembus kabut, hanya menghasilkan cahaya abu-abu.

Lantang menyalakan obor lagi.

LANTANG

Kita harus memutuskan.

Malam nanti bulan merah penuh.

Jika darah ketiga tidak tertumpah… desa akan lenyap.

Yohana menatap Raka.

YOHANA

Ini gila. Kita bisa mencari cara lain.

Poya menakut-nakuti kita.

Raka diam, pandangannya terpaku pada Laras.

EXT. HUTAN SEKITAR DUSUN – SIANG

Raka berjalan sendirian.

Hutan ini sunyi, hanya suara dedaunan berbisik.

Ia berhenti di depan pohon beringin raksasa. Di batangnya, ukiran wajah ayahnya muncul samar.

DANU (bayangan)

Kau harus memilih, Raka.

Nyawa satu orang… atau ratusan jiwa desa.

Raka menutup mata, menahan air mata.

EXT. DUSUN SILAU – SORE

Ketegangan memuncak. Yohana memarahi Raka.

YOHANA

Kau sungguh mempertimbangkan ini?

Membiarkan seseorang mati hanya demi tradisi?

Raka menatap Yohana tajam.

RAKA

Kalau kita tidak melakukannya, seluruh desa—termasuk anak-anak—akan mati.

Yohana mundur, matanya berkaca-kaca.

INT. RUMAH LARAS – SENJA

Laras menyiapkan kain merah dan belati.

Ia menatap Raka dengan tenang.

LARAS

Ini jalanku.

Aku sudah siap sejak lahir.

Raka memalingkan wajah, hati bergejolak.

EXT. DUSUN – MALAM

Bulan merah penuh menggantung besar di langit.

Obor dinyalakan mengelilingi altar batu di tengah dusun.

Kabut berubah merah, udara berbau besi.

Lantang memimpin ritual.

Raka, Yohana, dan Laras berdiri dalam lingkaran.

LANTANG

Tiga darah bersatu… gerbang tertutup.

Laras menatap Raka.

LARAS

(jujur)

Terima kasih telah datang.

Jika aku pergi, jaga nama kami.

Raka menggenggam belati, tangannya gemetar.

MOMEN KRITIS

Yohana tiba-tiba berdiri di depan Laras.

YOHANA

Tidak! Ini salah!

Kita temukan cara lain!

Angin mendadak kencang, obor berkobar liar.

Suara gong bergema keras, bumi bergetar.

Dari kabut, Poya muncul penuh wujud—mata putih menyala, jubah hitam berkibar.

POYA

Tiga darah!

Janji ditepati, atau semua jiwa kuambil!

KEKACAUAN

Patung-patung kayu bergetar dan retak, darah menetes dari mata ukiran.

Tanah berguncang, pohon-pohon merintih.

Raka menatap Laras, lalu Yohana.

RAKA

(teriak)

Aku tidak bisa!

Ia menjatuhkan belati.

Poya melengking marah, suara seperti ribuan jeritan.

POYA

Pengkhianat!

Kabut merah menyelimuti seluruh dusun.

Sosok-sosok arwah bermunculan: bayangan desa Toroloko, wajah-wajah ketakutan.

AKSI PENYELAMATAN

Yohana menarik Raka keluar dari lingkaran.

Lantang menancapkan tongkat kayu ke tanah, membaca mantra lebih keras.

LANTANG

Leluhur, lindungi kami!

Sinar putih keluar dari tongkat, menahan kabut sejenak.

Laras menatap Raka dengan mata sedih, lalu menatap belati di tanah.

LARAS

Kalau bukan kau… biar aku.

Ia meraih belati, mengangkatnya ke dada.

MOMEN HENING

Raka berlari, meraih tangan Laras.

RAKA

Jangan!

Kita temukan jalan lain. Aku janji!

Poya menjerit, tubuhnya mengguncang udara.

POYA

Tidak ada jalan lain!

LEDAKAN SUARA

Tiba-tiba suara gong desa dari kejauhan berdentum tiga kali—DONG! DONG! DONG!—membuat Poya berhenti sejenak.

Sinar putih dari tongkat Lantang semakin terang, membentuk lingkaran pelindung.

Poya menatap Raka tajam.

POYA

Kau telah memilih.

Maka darah akan menagih sendiri.

Ia menghilang dalam pusaran kabut yang mendesis seperti uap panas.

EXT. DUSUN – SETELAH KEKACAUAN

Kabut perlahan memudar.

Obor yang padam menyala kembali sendiri.

Laras terjatuh, lemas. Yohana memeluknya.

Raka menatap tangan kosongnya, belati tergeletak penuh darah yang bukan milik siapa pun.

Lantang menunduk, wajahnya muram.

LANTANG

Keputusanmu membawa konsekuensi.

Arwah Poya tidak akan berhenti.

EXT. DUSUN SILAU – MENJELANG SUBUH

Langit berwarna ungu kelam.

Raka, Yohana, Lantang, dan Laras berdiri di tepi dusun, bersiap kembali ke desa.

Yohana menatap Raka, suaranya bergetar.

YOHANA

Kita masih bisa melawannya, kan?

Raka menatap kabut yang perlahan menutup dusun lagi.

RAKA

(kaku)

Kita harus.

Angin berdesir, membawa bisikan Poya yang nyaris tak terdengar.

POYA (V.O.)

Darah… akan selalu menagih.

FADE OUT.

TEKS LAYAR:

Tongkonan Terakhir – Bagian 7 Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)