Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kabut masih tebal. Raka, Yohana, Lantang, dan Laras menuruni jalur sempit menuju desa Toroloko.
Burung hutan tak berkicau; hanya suara dedaunan kering yang patah di bawah langkah.
Yohana menatap Raka, suaranya nyaris berbisik.
YOHANA
Kau yakin keputusanmu benar?
Raka diam, matanya merah karena kurang tidur.
RAKA
Aku tak bisa… membunuh seseorang yang tak bersalah.
Laras berjalan paling belakang, menunduk. Lantang meliriknya, tapi tak berkata apa pun.
EXT. DESA TOROLOKO – PAGIKetika mereka tiba, suasana desa jauh berbeda:
– Jalan-jalan dipenuhi kabut merah tipis.
– Warga berkelompok, wajah pucat, beberapa anak menangis.
– Gong duka berdentum tak teratur, seperti dipukul oleh tangan tak terlihat.
Pastor Samuel menyambut mereka, wajah penuh kecemasan.
PASTOR SAMUEL
Kalian gagal?
Raka menunduk.
LANTANG
Ritual terhenti. Darah ketiga… tidak tertumpah.
Pastor menatap ke langit yang mulai kelam meski matahari tinggi.
PASTOR SAMUEL
Tanda-tanda kutukan sudah dimulai.
EXT. BALAI DESA – SIANGBalai dipenuhi warga yang panik.
Beberapa orang mengaku melihat bayangan perempuan berambut panjang melayang di atap rumah.
Seekor kerbau mati mendadak, darahnya menghitam.
Seorang WARGA TUA mendekati Raka.
WARGA TUA
Anak muda, apa yang kau lakukan di hutan?
Mengapa arwah leluhur marah?
Raka tak mampu menjawab.
INT. RUMAH PASTOR – SIANGRaka, Yohana, Lantang, Laras, dan Pastor Samuel berkumpul.
Pastor membuka kembali naskah lontar “Sumpah Patti’ Tallu”.
PASTOR SAMUEL
Jika gerbang sudah retak, arwah bisa menyeberang kapan saja.
Setiap malam tanpa darah ketiga… kekuatan mereka bertambah.
Laras menunduk, suaranya lirih.
LARAS
Ini salahku.
Aku seharusnya menyelesaikan ritual.
Yohana menatapnya tajam.
YOHANA
Bukan salahmu. Kita bisa cari cara lain.
Pastor menghela napas berat.
PASTOR SAMUEL
Ada satu kemungkinan:
Ritual pemurnian di Tongkonan Terakhir sendiri.
Tapi itu… sangat berbahaya.
EXT. DESA – SORELangit mendung. Petir menggelegar jauh.
Raka berjalan melewati pemakaman tua, pikiran kacau.
Di antara patung Tau-Tau, ia melihat bayangan Poya lagi.
POYA
(senyum mengejek)
Kau pikir bisa menantang sumpah leluhur?
Setiap jam, satu nyawa akan kuambil.
Raka mengepalkan tangan.
RAKA
Hentikan ini! Ambil darahku saja!
Poya tertawa, suara seperti besi beradu.
POYA
Darahmu sudah kuambil.
Tapi janji tetap janji.
Bayangan itu memudar, meninggalkan aroma besi.
EXT. DESA – MALAM MULAI TURUNWarga menyalakan obor, tapi api sering padam sendiri.
Gong berdentum tak beraturan, menambah suasana mencekam.
Seorang ANAK KECIL tiba-tiba menjerit di depan rumah, menunjuk ke langit:
bulan merah sudah muncul, sehari lebih cepat dari perkiraan.
INT. BALAI DESA – MALAMBalai desa dipenuhi ketakutan.
Seorang ibu membawa anaknya yang tak sadarkan diri, tubuh anak itu dingin seperti es.
Seekor anjing melolong panjang, lalu terdiam tiba-tiba.
Pastor Samuel menatap Raka.
PASTOR SAMUEL
Kita harus ke Tongkonan Terakhir sekarang.
Hanya di sana gerbang bisa ditutup.
Yohana memandang Raka, ragu.
YOHANA
Apa kita siap?
Kita bahkan tak tahu ritual pemurnian itu.
Lantang menatap laras.
LANTANG
Laras… kau harus ikut.
Darah Arung Lumu tetap kunci.
Laras mengangguk pelan, wajahnya pucat.
EXT. PERJALANAN MENUJU TONGKONAN – MALAMRombongan kecil—Raka, Yohana, Lantang, Laras, Pastor Samuel, dan tiga warga—menuju gunung.
Angin dingin membawa bisikan.
Pohon-pohon tampak bergerak sendiri.
Tiba-tiba, salah satu warga, PAULUS, berteriak dan terangkat ke udara oleh kekuatan tak terlihat.
Tubuhnya terlempar ke semak, lehernya patah.
Yohana menjerit.
LANTANG
Terus jalan! Jangan menoleh!
EXT. JALUR GUNUNG – BEBERAPA SAAT KEMUDIANKabut merah makin tebal, hampir menutup pandangan.
Suara tangisan bayi terdengar dari segala arah.
Pastor Samuel memegang salibnya erat-erat.
PASTOR SAMUEL
Tuhan, lindungi kami…
Dari kabut, muncul bayangan perempuan berambut panjang, matanya kosong.
Dia menjerit melengking, membuat obor mati seketika.
Raka mengayunkan belati pusaka, cahaya putih memancar, mengusir bayangan itu.
EXT. TONGKONAN TERAKHIR – MALAMAkhirnya mereka tiba di Tongkonan Terakhir.
Rumah adat itu tampak lebih besar, ukirannya seolah bergerak.
Atapnya meneteskan cairan merah seperti darah.
Angin berhenti. Keheningan mencekam.
Lantang menancapkan tongkat ritual di tanah.
LANTANG
Kita mulai sekarang.
Laras, berdirilah di tengah.
Laras melangkah, wajahnya tegar meski gemetar.
INT. TONGKONAN TERAKHIR – KONTINUMereka masuk ke dalam rumah adat.
Di tengah ruangan, altar batu dipenuhi simbol darah kuno.
Pastor Samuel menyalakan dupa.
Raka menggenggam belati pusaka, tangannya bergetar.
LANTANG
Raka, bacalah mantra pemurnian ini.
Hanya darah Danu yang bisa membuka jalan.
Raka membaca dengan suara berat, kata-kata kuno menggema di ruangan.
GEJALA ANEHLantai kayu bergetar.
Patung-patung nenek moyang di dinding memutar kepala perlahan, menatap mereka.
Kabut merah menyusup masuk melalui celah-celah dinding.
Suara Poya menggema keras, membuat telinga berdengung.
POYA
Terlambat…
Darah ketiga tak tertumpah.
Gerbang milikku kini.
KEKACAUAN BESARDinding Tongkonan pecah di beberapa titik, darah menyembur keluar.
Patung Tau-Tau bergerak, berjalan mendekat, mata memancarkan cahaya putih.
Warga berteriak. Dua dari mereka terseret kabut dan menghilang.
Pastor Samuel menancapkan salib di altar, cahaya putih memancar, tapi retak-retak muncul di salib itu.
PASTOR SAMUEL
(teriak)
Teruskan mantranya, Raka!
Raka berteriak membaca mantra, tapi angin kencang memadamkan dupa.
MOMEN KRITISLaras berdiri di tengah, wajahnya bersinar aneh.
LARAS
Jika aku tidak mati, kita semua mati.
Ia mengangkat belati.
YOHANA
Jangan!
Raka menubruk Laras, belati terlempar ke lantai.
Kabut merah mendesis marah.
Poya muncul sepenuhnya—wujud raksasa, mata menyala, taring darah.
POYA
Janji dilanggar!
Desa akan jadi kuburanku!
PERTARUNGAN TERAKHIR MALAM INILantang menancapkan tongkat ke tanah, membaca mantra pelindung.
Sinar putih membentuk lingkaran sementara.
Pastor Samuel memercikkan air suci, tapi tetesan itu menguap sebelum menyentuh lantai.
Patung Tau-Tau mendobrak lingkaran, satu per satu masuk.
Yohana menjerit ketika sebuah patung hampir menyentuhnya, namun Raka menebasnya dengan belati pusaka. Patung itu hancur, tapi darah hitam menyembur keluar.
LEDAKAN KEPUTUSANRaka menatap Laras yang gemetar.
RAKA
(kepada semua)
Kita harus temukan cara lain!
Darah bukan satu-satunya kunci!
Poya menertawakan mereka, suara seperti petir.
POYA
Tiada cara lain!
Sumpah leluhur… abadi.
TITIK NADIRLantai altar retak besar.
Dari celahnya, api merah menyembur, memunculkan bayangan puluhan arwah.
Kabut menelan semua cahaya.
Lingkaran pelindung runtuh.
Laras menatap Raka sekali lagi.
LARAS
Maafkan aku.
Ia berlari menuju celah retak, bersiap melompat.
Raka mengejarnya, menariknya tepat sebelum ia melompat.
Api merah menyambar, nyaris mengenai mereka.
HENING MENCEKAMTiba-tiba, semua suara berhenti.
Kabut menghilang mendadak.
Api padam, hanya meninggalkan bara samar.
Poya menghilang, tapi suara bisikannya terdengar jelas.
POYA (V.O.)
Ritual gagal…
Darah akan menagih… satu per satu.
EXT. TONGKONAN TERAKHIR – MENJELANG SUBUHMereka keluar dari rumah adat.
Langit masih merah gelap, tanda fajar tak kunjung datang.
Warga yang selamat menatap Raka dengan mata ketakutan.
Lantang menunduk, wajahnya muram.
LANTANG
Kita tidak menutup gerbang.
Sekarang… arwah bebas.
Yohana memegang tangan Raka, suaranya gemetar.
YOHANA
Apa yang kita lakukan sekarang?
Raka menatap langit merah yang tak berubah.
RAKA
(kaku)
Kita bertahan… sampai kita temukan jalan lain.
Dari kejauhan, suara gong kembali berdentum—DONG! DONG! DONG!—
kali ini diikuti jeritan yang memekakkan telinga dari seluruh desa.
FADE OUT.TEKS LAYAR:
Tongkonan Terakhir – Bagian 8 Tamat