Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
6. 6

Tidak ada yang berubah dari semuanya, bertahun-tahun rumah seluas itu hanya menyisakan luka bagi Riri. Sepi, tidak ada siapa-siapa di dalamnya, hanya dia dan pembantunya. Riri lelah dengan semua ini, ia ingin merasakan hidup seperti teman-temannya yang memiliki keluarga lengkap dan harmonis, sarapan bersama, makan bersama dan liburan bersama. Riri rindu suasana seperti itu, suasana yang sudah tak mungkin lagi sama dan indah, bagaikan bumi dan satelitnya.

Semuanya telah berubah semenjak orangtuanya cerai dan Mama memutuskan pergi meninggalkan dirinya bersama Papa yang tidak pernah memiliki waktu untuknya. Bahkan sampai sekarang Papanya selalu sibuk, hal itu membuat Riri memiliki kesimpulan jika Papanya lebih mengutamakan harta dari pada keluarga.

"Mbak Riri, tadi bapak nelfon, katanya, bapak nanti pulang malam, terus mbak Riri disuruh makan malam dulu, gitu mbak katanya." Riri tersadar dari lamunannya saat pembantunya tiba-tiba datang dan berdiri di sampingnya.

"udah kebal bik, sama sikap Papa," Ucap Riri sambil melepas krudungnya, yang sejak sepulang sekolah tadi belum ia lepas sama sekali.

Bibik tersenyum, mencoba memberi pengertian Riri, bahwa Papanya bekerja karena untuknya, "Ri." bibik membelai rambut panjang Riri yang tergerai, "Bapak kerja kan, juga buat Riri!"

"Tapi aku capek bik, lihat sifat papa yang kayak gini terus! Aku juga ingin seperti teman-temanku, yang selalu mendapat perhatian dari orangtuanya, ditanyain 'udah makan atau belum', nilai belajarnya dilihat kemudian dikasih masukan. Aku juga pengen bik seperti itu," Jelas Riri dengan air mata yang entah sejak kapan keluar dari kedua sudut matanya. Melihat keadaan anak majikannya seperti itu, membuat bibik merasa kasihan, ia sangat tau perasaan Riri kali ini. Kecewa? Iya. Terluka? Tentu. Orangtua satu-satunya yang diharapkan untuk memberi kasih sayang dan kebahagiaan lebih ternyata sebaliknya, justru meninggalkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.

"Kan masih ada bibik." Bibik mencoba menghibur Riri, meskipun hasilnya tetap sama, tangis Riri tak kunjung selesai.

"Tapi kesannya beda bik, orangtua sama pembantu."

"Tapi yang penting kan, bisa menghibur. Kalau kamu butuh teman curhat, atau yang lainnya, bibik siap kok, jadi teman dan orangtua kamu, asalkan kamu bahagia Ri."

Riri menatap bibik dengan tatapan yang datar. Ia tidak tau lagi apa yang ingin ia sampaikan pada bibiknya yang baik untuk kelurganya, bertahun-tahun ia bekerja di sini tapi tidak pernah ada rasa bosan yang menghinggap di hatinya yang membuat dirinya meninggalkan rumah ini. Tapi Riri sangat bersyukur, jika semua itu benar-benar terjadi sejak dulu mungkin sekarang dirinya justru semakin kacau.

"Kapanpun?"

"Kapanpun."

_

Senja tidak akan pernah selesai jika belum datang waktunya, begitu juga dengan hidup yang akan terus berjalan jika kematian belum menghampiri. Sore ini Ifan menikmati waktunya di tepi laut, entah apa yang sedang ia lakukan di sana? Meratapi nasib? Bisa jadi. Tapi yang lebih utama, ia ingin mengambil gambar senja yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba.

Ifan mengeluarkan kamera Samsung NX3000 yang diberikan Herdi untuknya, kemudian ia mengambil beberapa gambar senja dari jarak jauh. Ifan melihat hasilnya sambil tersenyum karena baginya hasilnya sangat memuaskan.

Ia ingin mengambil gambar sekali lagi, namun tidak lagi terhadap senja, melainkan yang lain, orang misalnya. Kepala Ifan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mendapatkan pemandangan yang bagus untuk di foto, sampai tidak sengaja ia bertemu dengan seorang perempuan yang cantik. Ifan kembali tersenyum karena objeknya telah ia dapatkan terhadap perempuan yang tengah berdiri mengahadap senja, tanpa menunggu lama Ifan mengambil gambar perempuan itu secara diam-diam.

_

Malam akan terasa lama jika kita menikmatinya hanya seorang diri, tapi malam akan terasa cepat jika kita menikmatinya bersama orang-orang tersayang. Atarik menikmati malam ini dengan makan malam bersama orangtuanya. Ketiganya hanya diam dan Atarik sangat menikmati suasana seperti itu, karena baginya bersama orangtua suasana hening lebih baik dari pada penuh tawa.

"Atarik, kamu nggak lupa kan, kalau besok sepulang sekolah kamu ada bimbel?" Tanya papanya saat beliau baru saja menghabiskan makanannya. Atarik sangat tidak suka jika papanya selalu membahas pelajaran, bukan karena apa-apa, tetapi Atarik lelah dengan semua ini, yang selalu dituntut papanya untuk belajar dan mendapatkan nilai yang bagus. Papanya memang selalu mengutamakan belajar dan nilai, karena bagi beliau, nilai juga penting untuk masa depan.

"Iya pa, Atarik nggak lupa."

"Bagus. Pokoknya, kalau sekali lagi papa tau kamu masih main piano, papa nggak akan segan-segan untuk menghancurkan pianomu itu." Tantang papanya dengan raut wajah yang serius. Atarik diam karena tidak ada yang harus ia lakukan. Sebab inilah ia tidak suka dengan papanya, yang selalu menuntut nilai, dan melarang apa yang diinginkannya, bermain piano misalnya.

Sejak dulu papanya memang seperti itu, tidak suka jika Atarik bermain piano, entah apa alasannya Atarik tidak tau. Tapi yang ia tau jika papanya melarangnya bermain piano, sebab papa tidak mau Atarik mengabaikan belajarnya, dan akan menjadi musisi suatu saat nanti. Papa tidak suka dengan impian Atarik yang satu itu, karena baginya ,Atarik bisa mendapatkan masa depan yang lebih indah, dan ia juga akan mengalihkan pimpinan perusahanya pada Atarik jika Atarik sudah lulus kuliah.

Berbeda dengan mama, beliau selalu mendukung apa yang diingkan putra semata wayangnya tersebut asalkan semua itu mampu membuat anaknya bahagia.

_

"Ma, pa, kak Nita, ada kabar bagus," Kata Tania dengan penuh kegirangan. Mama, papa dan Nita kompak menoleh kearah Tania yang baru datang.

Sambil mengerutkan dahi mama bertanya, "Kabar bagus apa?"

"Aku terpilih sebagai Kartini, dalam drama teater yang diadakan satu minggu lagi di balai kota." Jawab Tania tersenyum bahagia.

Mama memandang Tania dengan tatapan yang tidak dapat diartikan oleh siapapun. "kamu nggak bercanda kan Tania?" tanya mama sekali lagi, untuk memastikan bahwa apa yang dikatakan Tania tadi hanyalah sebuah senda gurau saja.

"Nggak. Semuanya benar kok ma," Ucap Tania dengan penuh keyakinan.

Sekali lagi mama memandangi wajah Tania, berusaha mencari kebohongan di sana. Namun sayang, apa yang ia cari tidak juga ia temukan, itu berarti Tania benar-benar ikut sebuah teater tersebut.

"Nia, kamu jangan malu-maluin mama deh! Gimana kalau nanti ada teman mama yang lihat? Malu mama Ni!"

"Apanya ma yang harus dimaluin? Aku nggak nyurikan? Nggak ngebunuh juga? Lalu buat apa mama harus malu?"

"Ni, semua anak-anak teman mama mereka itu pada suatu saat nanti ada yang ingin jadi dokter, arsitek, pramugari, masak kamu jadi pemain drama sendiri sih? Kamu kan tau kalau kamu itu nggak pernah berani tampil di depan umum, terus nanti penampilan kamu jelekkan bisa menghancurkan repotasi mama sama papa sebagai orangtua," Terang mamanya.

"Udah ya Nia, kalau kamu ingin punya mimpi, nggak usah tinggi-tinggi, nanti kalau jatuh, pasti sakit. Pokoknya, kalau mimpi itu sekiranya yang bisa kamu gapai dan menjadi kenyataan." Papa yang sejak tadi diam kini mulai angkat suara, "Kamu lihat kakak kamu ini!" Papa menepuk bahu Nita. "mimpinya sejak kecil ingin menjadi reporter, dan pada akhirnya mimpi itu bisa terwujud, karena pada saat mencari jati diri, kak Nita ini melakukannya dengan benar-benar serius, sesuai keinginan dan kemampuannya. Jadi, kamu harus seperti kak Nita juga Tan," Lanjut papa.

Nita yang dipuji papa hanya bisa menunduk, ia merasa tidak enak kepada Tania yang kali ini memandanganya dengan raut wajah yang tidak dapat ia artikan.

Tania tersenyum getir, "Papa nggak bisa dong, banding-bandingin aku sama kak Nita. Semua orang juga pasti memiliki impian yang berbeda, begitu juga dengan aku yang ingin menjadi seorang aktris, beda sama kak Nita yang ingin jadi reporter," Bantah Tania yang merasa tak trima saat papa mulai membanding-bandingkan dirinya dengan kakaknya, Anita.

"Tapi Tan—"

"Udah pa, nggak usah diterusin. Biarlah Tania mengambil keputusannya sendiri, yang penting, kita sudah memberi saran, kalau nanti nggak sesuai ekspektasinya kan, dia nyesal sendiri," Tutur mama.

"Aku nggak nyesal kok ma, berarti itu tandanya aku harus belajar lagi."

"Udah Tan, terserah kamu mau ngomong apa? Mama lagi males debat sama kamu." Mama menghembuskan nafas sejenak. "ini akan menjadi peringatan pertama dan terakhir untuk kamu Nia. Jangan pernah bermain terhadap takdir, karena dimanapun kamu berada, takdir akan selalu mengikutimu." Sambung mama dengan penuh penekanan.

"Aku nggak pernah bermain terhadap takdir ma, tapi justru takdir yang selalu mempermainkan aku."

"Cukup Tania!" Mama mengangkat tangan kanannya, "Kamu lupa kalau mamamu ini tidak suka dengan yang namannnya bantahan?" Mama mengingatkan Tania, bahwa dirinya tidak suka jika anak-anaknya membantah dirinya yang sedang naik pitam. "Camkan itu!"

Jangan pernah bermain terhadap takdir, karena dimanapun kamu berada, takdir akan selalu mengikutimu.

( Rianty Aryasatya Widjaja / mama Tania )

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar