Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
1. 1

 "Hai, kenalkan, namaku Tania Widjaja Elmahira, biasanya dipanggil Tania atau Nia. Umurku tujuh belas tahun, dan sekarang aku duduk di bangku SMA kelas tiga. Aku anak kedua dari dua bersaudara, hidupku terasa sepi jika di rumah ini tidak ada siapa - siapa. Papaku seorang arsitek, mamaku seorang editor, dan kakakku seorang reporter di salah satu stasiun televisi. Aku –"

"Mbak, dipanggil ibuk sama bapak, kata beliau, waktunya makan malam bersama."

Tania menghela nafas berat, baru saja ia ingin belajar tampil percaya diri di depan kamera, namun Khadijah, asisten rumah tangganya, telah menghancurkan semuanya, saat ia datang ke kamarnya begitu saja.

"Bik Ijah turun aja dulu, nanti aku nyusul!" Titah Tania seraya mematikan kamera DSLR-nya dan menyimpannya ke dalam lemari kamarnya.

_

Awalnya hanya dentingan suara sendok dan garpu yang membisingkan ruangan berdominasi putih itu. Tidak ada yang ingin memulai percakapan sama sekali, kecuali Tania-lah yang mulai mengeluarkan sebuah pertanyaan disela-sela makannya. Menghapus keheningan yang hanya akan membuatanya semakin canggung.

"Kak Nita mana ma?"

"Kayak nggak ngerti kakak kamu aja, dia kan lagi sibuk. Biasa, namanya juga reporter, setiap hari dituntut untuk mencari berita baru."

Tania mengangguk pelan sambil memasukkan nasi kedalam mulutnya.

"Setelah ini kamu mau melanjutkan kemana Nia?" Kini mamanya yang bertanya. Tania menghentikan makannya dan mulai berpikir. Bola matanya tak henti-hentinya berputar ke kanan dan ke kiri.

"Kamu mau nerusin profesi papa, atau mama? Atau, cari yang lain?" Belum sempat Tania menjawab, mamanya kembali memberikan pertanyaan lagi untuknya. Tania memegang sendok dan garpunya erat-erat, matanya menyipit, menatap lekat wajah mamanya yang duduk di sampingnya sejak tadi.

"Kayaknya, aku nggak mau ngelanjutin kamana-mana deh ma!"

Baik mama maupun papa keduanya sama-sama tersedak. Bagaimana tidak, jawaban Tania begitu terdengar konyol di telinga mereka berdua. Terutama mama. Sambil tertawa beliau menjawab, "Kalau kamu nggak kuliah, lalu kamu mau jadi apa?"

"Aku mau masuk ke sanggar teater, karena suatu saat nanti, aku ingin menjadi seorang pemain drama, aktris ataupun yang lainnya, asalkan berbau entertainment," kata Tania dengan penuh antusias. Dan lagi-lagi jawaban Tania selalu terdengar lucu bagi keduanya. Mama meletakkan sendok dan garpunya di atas piring, kemudian beralih menatap Tania dengan penuh seksama.

Beliau sangat tau sifat Tania, begitu juga dengan keinginan anaknya. Sejak SD Tania sudah memiliki cita-cita ingin menjadi dosen, karena menurutnya, dosen adalah pekerjaan mudah dan tidak membutuhkan waktu banyak dalam berkerja, dan mama sangat tau jika sesuatu yang sudah menjadi keinginan Tania sudah tidak dapat lagi diubah, seperti akar pohon besar yang sudah masuk ke dalam tanah.

"Mau jadi aktris?" Ulang mama. Tania mengangguk mantap.

"Kok kamu malah pengen jadi aktris? Bukannya dulu kamu ingin jadi dosen ya?"

"itu kan waktu kecil ma, belum tau apa-apa." Jawab Tania sekenanya.

"Dan sekarang di saat kamu sudah tau apa-apa kamu malah pengen jadi aktris?" Tania diam, dan mama sudah tau jawaban dari arti diamnya Tania kali ini.

Mama menghela nafas berat, seolah-olah beliau tidak menyukai impian Tania kali ini. "Tan, kenapa harus jadi aktris sih! Oke, terserah, suatu saat nanti kamu ingin jadi apapun, mama dan papa izinkan, asalkan jangan sampai kamu berada di dunia entertainment!"

"Lho, Kenapa ma? Di dunia entertainment juga bagus kan, bisa menghibur semua orang?"

"Ini bukan masalah menghibur Tania! Tapi ini masalah yang lain. Kamu tau kan, di dunia entertainment itu banyak sekali sisi negativenya. Semua yang kamu lakukan akan tersebar dan menjadi berita, apalagi yang kamu lakukan itu tidak disukai masyarakat, lama-lama bisa jadi bahan trending topik kamu."

"Maka dari itu aku harus berhati-hati dalam melakukan sesuatu, agar tidak menjadi bahan berita para reporter."

"Tapi dilainsisi pekerjaan aktris itu tidak pernah menetap Tania. Tidak selamanya aktris akan laku. Aktris itu hanyalah masa-masaan saja." Papa yang sejak tadi diam, kini mulai angkat bicara. Tania menatap papanya.

"Makanya aku mau masuk kesanggar teatar, supaya aku bisa bermain drama dengan baik, bagus dan sempurna, sehingga akan ada sutradara yang mau menjadikan aku pemain di salah satu film, sinetron atau FTV garapannya," Ucap Tania sambil tersenyum. Tak henti-hentinya ia mencari alasan untuk menyakinkan orangtuanya.

"Terlalu menghayal kamu. Lagipula, kamu itu harus sadar diri Tania, kamu itu orangnya nggak percaya diri, lalu mana ada sutradara yang mau ngajak kamu sebagai pemain, yang ada justru sutradaranya yang malu karena proyeknya jelek gara-gara kamu." Sindir mama sambil melenggang pergi dan disusul oleh papa, meninggalkan Tania sendirian yang kini sedang meratapi kata-kata orangtuanya. Semua kata-kata itu seakan-akan tidak menyetujui impiannya kali ini.

_

Mentari tak lagi menampakkan sinarnya, semua telah berubah menjadi gelap karena lampu jalan begitu redup, tapi untunglah masih terdapat purnama dan ribuan bintang yang mampu memberikan penerangan. Herdi berjalan santai sambil membawa tas di tangan kiri dan tangan kanannya memainkan ponsel. Sudah menjadi kebiasaan Herdi untuk mengunjungi tempat kumuh dan tak terawat seperti ini, karena itulah pekerjaannya.

Ifan yang duduk di trotoar jembatan, terus mengamati Herdi. Entah apa yang menarik darinya. Tapi, dari semua itu, ada yang lebih menarik lagi bagi Ifan. Ifan mengamati di lingkungan, semuanya sepi, tidak ada pengendara maupun orang-orang yang jalan kaki melintas di sana, aman. Ifan berdiri, berjalan santai mengikuti Herdi dari belakang, dan saat pertambahan menit Ifan mencepatkan langkahnya hingga berubah menjadi lari saat langkah dirinya dengan Herdi hampir berdekatan, kemudian ia lari secepatnya dan meraih tas Herdi begitu saja, kemudian berlari secepat mungkin.

Herdi yang menyadari bahwa ada seseorang yang menarik tasnya tak tinggal diam, ia berlari mengikuti jejak sang penjambret kemudian meneriakinya saat pemuda itu tak lagi dapat berlari karena telah terjebak oleh jalan yang tertutup.

"Mau kemana lagi kamu? Kembalikan tas saya!" Teriak Herdi sambil mendekat kearah pemuda itu.

"Kamu masih sekolah ya?" Tanyanya setelah mengambil tasnya dari tangan pemuda tersebut.

Dengan tatapan datar dan nafas memburu Ifan justru balik bertanya"Darimana kamu tau kalau saya masih sekolah?"

Herdi tersenyum masam, "kamu tidak sadar kalau kamu masih mengenakan sragam SMA mu."

Ifan mengikuti arah pandang Herdi, tubuhnya. Dan benar saja, ia masih memakai sragam sekolah, karena sepulang sekolah tadi ia belum pulang sama sekali.

"kamu itu masih sekolah dan remaja, seharusnya tidak belajar menjadi seorang penjambret!" Tutur Herdi, yang dibalas dengan gelak tawa Ifan.

"Saya nggak belajar. Saya bekerja."

"Bekerja?"

"Ya! Bodoh sekali kamu kalau menganggap saya ini sedang belajar"

Herdi terdiam sejenak

"Kalau gitu, kasihan lembaga sekolah yang telah menerima kamu sebagai muridnya, hanya mampu mencorengkan nama baik sekolah."

"Salah siapa untuk mengasih beasiswa ke saya? Saya nggak minta. Justru saya ingin keluar dari sekolahan itu secepatnya, dan saya kira, mungkin dengan cara ini semuanya akan tercapai."

"Saya semakin kasihan pada diri kamu yang—"

"Saya nggak minta untuk dikasihanin, karena menurut saya manusia itu sama saja, seperti hewan yang tak memiliki perasaan."

"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu?"

"Kenyataanya!."

Herdi terdiam, kenapa justru mengobrol dengan Ifan, padahal, ia ingin mengetahui alasan Ifan yang mencuri tasnya tadi.

"Saya tanya, kenapa kamu mencuri tas saya?" Tanya Herdi dengan pertanyaan yang berbeda.

"Karena saya butuh uang, dan saya yakin, di dalam tas itu pasti ada uangnya?" Jawab Ifan jujur, sambil menunjuk tas Herdi.

"Kalau kamu butuh uang, kamu bisa cari kerja yang lain."

"Udah saya coba, tapi nggak ada yang mau menerima saya." Herdi menatap Ifan dengan penuh seksama, seolah-olah ia pernah melihat Ifan saat satu minggu yang lalu, di sebuah audisi pameran.

Diingat lebih teliti, dan benar saja, ia pernah melihat Ifan disebuah audisi pameran, dan Ifan adalah salah satu orang yang mengikuti audisi tersebut, tetapi ditolak oleh panitia, karena masih sekolah, sedangkan peraturan yang ikut lomba adalah, orang yang menginjak usia dua puluhan ke atas. Suatu ide terbesit di kepala Herdi saat itu juga.

"Dari tadi kita belum berkenalan. Kenalkan, nama saya Herdiansyah, kamu bisa memanggil saya kak Herdi. Saya kasih ini untukmu Ifan." Herdi memberikan sebuah undangan pada Ifan. Ifan yang awalnya ragu mulai menerima undangan itu dari Herdi.

"Apa ini? Kenapa kak Herdi bisa mengenal saya, padahal, saya belum memperkenalkan diri?"

"Undangan acara seminar. Karena sebelumnya kita pernah bertemu, dan mungkin kamu tidak pernah menatap saya. Jika kamu masih penasaran, datanglah besok. Saya sangat mengharapkan kehadiranmu!"

Ifan membolak-balikan undangan itu, yang masih terbungkus rapi dengan plastik, "Saya tidak mau datang!"

"Kenapa?"

"Nggak penting. Buang-buang waktu," Kata Ifan sebelum berbalik dan berjalan. Herdi menatap punggung Ifan yang semakin jauh dari pandangannya. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya, Herdi berpikir keras agar bagaimana caranya Ifan mau datang untuk besok. Remaja seperti Ifan kali ini adalah bukanlah pertama kali remaja yang ia temukan, justru ada yang lebih parah dari Ifan, maka dari itu ia harus bisa menumbuhkan semangat hidup untuk Ifan dan impiannya.

"Mau jadi apa Indonesia, jika pemudanya aja seperti ini?" Teriak Herdi dengan menekankan setiap kata. Ifan menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menghadap Herdi.

"Kenapa jauh-jauh saya memikirkan Indonesia, jika saya sendiri aja tidak dapat membuat hidup saya sendiri aja bahagia, aman dan damai." Jawab Ifan dengan penuh teriakan juga. Setelah itu ia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

"Kamu tidak boleh seperti ini terus Ifan. Kamu harus berubah, agar masa depanmu tidak buruk dan kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan" Teriak Herdi sekali lagi, namun sayang usahanya sia-sia karena Ifan tetap melanjutkan langkah tanpa menoleh kearahnya.

Sedih... Sedih... Sedih, sebuah rasa yang hadir ketika sesuatu ada, tetapi tidak sesuai ekspektasi.

(Anita Widjaja Andara)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Mantap😍😍 lanjutkan berkarya
4 tahun 6 bulan lalu
Menarik ... Otw next chapters
4 tahun 6 bulan lalu
niceee^^
4 tahun 6 bulan lalu
Rapiii
4 tahun 6 bulan lalu
Hardy memang nasionalis yah, tp Ifan pendapat ifan pun bener. Jd pgn tau lanjutannya.
4 tahun 6 bulan lalu