Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
13. 13

Purnama tak seindah seperti biasanya malam ini. Bintang pun tak begitu banyak untuk menampilkan sinarnya. Yang ada hanya langit hitam, sehitam hati Ifan. Ada apa dengan malam ini? Kenapa semua alam seperti hati Ifan? Tidak ada pencerahan dari siapapun.

Ifan duduk di depan teras rumahnya. Intropeksi diri sendiri yang selalu dimenangkan oleh ego. Apakah ia sudah keterlaluan terhadap Atarik, Riri, Ayunda, apalagi Tania, sampai-sampai gadis itu menangis? Ifan akui jika dirinya memang egois. Tapi jangan salahkan dirinya.

Dulu Ifan orang kaya. Papanya seorang pengusaha dan mamanya seorang wanita berkelas. Tapi sekarang berbeda. Papanya telah meninggal, tidak lama dari perusahaanya yang bangkrut karena ditpu rekan kerjanya. Dan sekarang, mamanya sakit-sakitan. Mereka sudah tidak tinggal lagi di ruamh yang mewah, melainkan tinggal di sebuah kontrakkan yang berada di kampung terpencil, yang ada di Yogyakarta. Tinggal bertiga terkadang membuat Ifan bingung untuk mencari uang agar bisa makan. Terutama Weni, adik Ifan yang masih sekolah di bangku SMP.

Terkadang itulah yang membuat Ifan bingung. Dulu orangtuanya baik, membantu mereka yang kesusahan, tapi sekarang, tidak ada seorangpun yang mau menolongnya. Dunia benar-benar tidak adil.

"Kamu ngelamunin apa Fan?" Mama tiba-tiba datang dan mengusap bahu Ifan.

"Nggak apa-apa ma. Memikir masa dulu terkadang membuat aku sadar. Nggak semua orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan,' Lirih Ifan, namun masih terdengar mama.

"Kamu bicara apa Fan?"

"Ma, andaikata, waktu itu aku bisa ngerti kondisi aku yang sekarang seperti ini, mungkin aku akan menghalangi mama dan almarhum papa yang berbuat baik sama orang-orang."

"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu?" Tanya mama, dan Ifan hanya bisa diam. Tidak bisa menjelaskannya. Kenapa ia bisa bicara seperti itu jika ia tidak bisa menemukan alasannya? Ifan tau alasannya namun Ifan tidak bisa menjelaskannya.

"Terkadang dunia memang seperti ini Fan. Apa yang kita anggap mudah tidak selamanya akan mudah. Apa yang kita anggap sulit tidak selamanya akan sulit. Kita hanya butuh waktu untuk mencari persoalan dan jawabannya. Mama tau apa yang kamu bicarakan." Ifan menatap wajah mamanya. Wajah itu dulu penuh dengan make up yang cantik, tapi kini polos. Kantong matanya terlihat, bibirnya pucat dan keriput mulai menghiasi wajah beliau. Orang beruang dengan tak beruang memang sangat jauh berbeda.

"Kamu hanya lelah dengan ujian semua ini, sama seperti mama dan adikmu," Lanjut mamanya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan untuk membahagiakan mama dan Weni?"

"Di dunia ini, kita akan dihadapi tiga keadaan hidup. Kebahagiaan kesempurnaan, kesedihan, Kamu cukup berfiikir mudah untuk mendapat persoalan seperti itu Fan."

Ya, tidak butuh waktu lama untuk Ifan mencerna kata-kata mamanya, "Aku lebih baik jadi orang bahagia ma meskipun kondisi kita kekurangan. Kesempurnaan belum tentu bahagia. Kesedihan tidak harus untuk yang merasa kurang sempurna."

Mama tersenyum tipis. Akhirnya Ifan bisa berfikir dewasa, "Jika kamu memilih kebahagian, mama memberi saran untukmu. Raih impianmu, sebesar apapun itu resikonya, dan ambil kesempatan itu yang ada. Jangan jadikan kamu menyesal pada akhirnya, karena kamu telah menyia-nyiakannya. Jangan turuti ego, berfikirlah masa depan. Mama akan selalu mendukungmu."

Malam itu Ifan tersenyum dan memeluk mamanya. Ia tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Demi semuanya. Ia, mama dan Weni.

_

Hari ini seperti hari kematian bagi Ayunda, Tania, Riri dan Atarik. Tidak ada lagi senyum bahagia yang tercipta di bibir Tania. Tidak ada suara piano yang mengalun indah di sanggar. Tidak ada lagi wajah ceria yang terpancar dari wajah Riri. Dan tidak ada lagi bacaan puisi atau cerita bermakna dari Ayunda.

Di sanggar ini mereka saling diam. Apa yang harus mereka lakukan jika tanpa Ifan? Apakah mereka harus bahagia melanjutkan impiannya, sedangkan Ifan masih berada di garis akhir? Semuanya tidak adil bagi mereka. Dari awal telah berjuang bersama, berarti saat sampai diakhir mereka harus berjuang bersama juga.

Suara langkah seseorang membuat mereka menatap ke arah pintu. Siapa yang datang? Ifan atau Herdi? Dari dua jawaban hanya satu yang mereka inginkan, Ifan.

Senyum mereka langsung keluar dari bibirnya. Jawaban yang mereka harpakan ternyata terwujud. Ifan yang datang. "Gue datang. Bukan mengucapkan perpisahan, tapi mengucapkan kembali untuk bergabung di sini," Kata Ifan dengan senyuman juga.

Mereka langsung menghampiri Ifan dan berpelukkan bersama. "Ya ampun Fan, kita nggak tau apa yang akan kita lakuan jika tanpa lo," Keluh Riri setelah selesai berpelukan.

"Benar banget Fan. Bahkan rencana kita tadi itu, mau nyanyi lagu single tau nggak. Lagu apa tadi? Hanya, Melly Goeslaw," Sahut Ayunda seraya duduk di kursi. Ifan masih tersenyum, "Lalu, kenapa nggak kalian lanjutin aja?"

Sambil mengambil air minum yang ada di dalam kulkas, Tania menjawab, "Dari awal kita udah berjuang sama-sama, berarti sekarang ini kita harus berjuang sama-sama lagi."

"Teman tidak akan meninggalkan temannya yang masih berada di belakang, sedangakan kita sudah di depan," Sambung Atarik yang mulai memainkan pianonya.

Seberapa besar rasa sayang mereka berikan dapat Ifan rasakan sejak dulu, bahkan sampai sekarangpun tak berubah meskipun ia sering berbuat egois dan kasar. Mereka kembali seperti dulu. Canda tawa bersama, berbagi kisah dan pengalaman hidup dan diakhiri dengan latihan untuk audisi besok.

_

"Kenapa papa banting piano aku?" Baru saja Atarik sampai di rumah. Awalnya ingin langsung tidur, namun niat itu ia urungkan, saat mendengar suara dentuman yang keras. Ternyata semua itu dari papanya yang sedang membating pianonya.

Dengan penuh amarah papa menjawab, "Bukankah papa sudah pernah bilang sama kamu, kalau kamu masih bermain piano, papa nggak akan segan-segan untuk menghancurkan pinomu ini." Kaki papa terus menginjak-injak piano Atarik yang sudah tak berbentuk lagi dan tergeletak di bawah. "Piano ini nggak ada gunanya untuk kamu Atarik. Gara-gara piano ini, kamu lupa segalanya, terutama belajarmu. Papa menyesal telah membelikan kamu piano," Lanjut papa dengan nafas yang tersengal-sengal. Mama yang melihat kejadian itu sejak tadi hanya diam. Tidak berani melawan suaminya yang tempramental.

"Menyesal pa?" Papa tak menjawab, tapi Atarik dapat menyimpulkan jawaban papanya. "Bukankah penyesalan hanya untuk orang-orang yang telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada? Lalu untuk apa papa menyesal?"

"Diam kamu, Atarik!"

"Aku nggak akan diam sebelum papa menjelaskan semuanya."

"Papa nggak suka kamu main piano."

"Dari mana papa tau kalau aku main piano?"

Papa menghentikan aksinya. Kemudian ia tertawa sumbang, "Kamu lupa kalau papamu ini seorang pengusaha terkenal. Rekan bisnisnya dimana-mana. Banyak yang papa jadikan buat mata-matai kamu Rik."

"Segitu perhatiannya ya, papa sama aku, sampai-sampai papa menyewa mata-mata untuk aku. Atau papa takut, kalau aku menikmati duniaku ini, sampai-sampai aku lupa jika suatu saat nanti, masa depanku telah papa tentukan, dan aku nggak bisa mengelak semua itu."

Papa semakin menjadi-jadi membanting piano Atarik, hingga piano itu sudah tak berbentuk lagi. Air mata yang sejak tadi Atarik tahan airnya keluar juga. Mungkin akan terdengar aneh. Tapi apalah daya jika hati tidak siap untuk menerima semua yang ada.

"Kamu harus perlu penegasan sekali lagi Atarik. Kamu nggak boleh jadi musisi. Karena suatu saat nanti, papa akan menyerahkan semua aset perusahaan untuk kamu." Papa memberi peringatan sekali lagi pada Atarik saat piano itu benar-benar telah hancur dan ia menghentikan aksinya. Kemudian ia pergi dengan amarah yang belum reda.

Sekarang yang bisa Atarik lakukan adalah menatap pianonya dengan tatapan sedih dan kecewa. Pianonya telah hancur. Apakah impiannya juga akan hancur? Tidak. Atarik tidak akan menyerah begitu saja. Ia meyeka air matanya. Ia harus bisa melupakan pianonya karena ada hal yang lebih penting dari ini. Besok dia ikut audisi. Dan malam ini ia harus menyiapkan dirinya, terutama fisik supaya besok tidak grogi saat audisi.

Mama menghampiri Atarik. Memeluknya dan memberi motivasi, "Kamu jangan nangis ya Rik. Ada mama yang selalu mendukung kamu. Papamu memang tempramental dan keras kepala orangnya. Satu saat nanati kamu jangan seperti papamu ya?" kini senyum Atarik muncul kembali. Tentu ma.

_

Akhirnya, hari yang ditunggu telah tiba. Betapa bahagianya mereka saat menginjakkan kaki di tempat yang penuh sejarah bagi mereka. meskipun perasaan gemetar terkadang masih muncul di tubuh mereka. mungkin itu efek karena baru pertama kali mereka ikut audisi seperti ini.

Mereka di temani Herdi yang lebih dulu datang dari pada mereka. sejak tadi mereka menunggu undian penampilan, dan kini telah tiba juga setelah beberapa grup atau seseorang yang mendapat undian duluan.

Tanpa menuggu lama mereka segera masuk ke auditorium dengan Herdi dan Riri meskipun keduanya tidak ikut tampil. Tapi nama mereka berdua telah terdaftar sebagai anggota kelompok Tania, Riri, Ifan dan Atarik. Namun sebelum masuk mereka berdoa terlebih dahulu agar mendapat kelancaran dan kemudahan dari sang pencipta.

"Kalian mau menampilkana apa?" Tanya salah satu anggota dewan juri dari empat juri lainnya.

"Band."

"Oh. lagunya judulnya apa yang akan dinyanyikan?" tanya juri lainnya.

"Ada Apa dengan Cinta?"

"Lagunya Melly Goeslaw sama Eric, ya?"

"Iya, kak."

"Silahkan dinyanyikan!"

Atarik mulai memainkan pianonya. Alat musik lainnya mulai berbunyi begitupun dengan Ayunda yang mulai memainkan biola. Lagu dimulai.

Satu masa telah terlewati

Benci dan rindu merasuk di kalbu

Ada apa dengan cintaku

Sulit untuk aku ungkap semua

- Tania-

Jangan pernah bibir tertutup

Bicarakan semua

yang kau rasakan

Cinta itu kita yang rasa

Biar sengsara hati kan merana

- Ifan-       

Wahai pujangga cinta

biar membelai indah

Teladani kalbuku                   

Jujurlahpada hatimu

-Ifan-

Ada apa dengan cinta

Perbedaan aku dan engkau           

Biar menjadi bait

Dalam puisi cinta terindah

-Tania-

Andai bumi terbelah dua

Biar kita bisa saling berpeluk         

-Tania-            

Wahai pujangga cinta

biar membelai indah

Teladani kalbuku                     

Jujurlah pada hatimu

-Ifan-

Ada apa dengan cinta

Perbedaan aku dan engkau          

 Biar menjadi bait

Dalam puisi cinta terindah

-Tania-

Andai bumi terbelah dua

Biar kita bisa saling berpeluk        

-Ifan-            

Wahai pujangga cinta

biar membelai indah

Teladani kalbuk                      

Jujurlah pada hatimu

-Ifan- 

Ada apa dengan cinta (ada apa dengan cinta)

Perbedaan aku dan engkau

Biar menjadi bait                

   Dalam puisi cinta terindah

-Tania-

Ada apa dengan cinta

Perbedaan aku dan engkau

Biar menjadi bait                   

 Dalam puisi cinta terindah

-Tania dan Ifan-



Para dewan juri bertepuk tangan setelah mereka menyelesaikan lagunya. Wajah semuanya tampak semringah, apalagi para juri yang sejak tadi sangat menikmati lagunya. Sedangakan Herdi dan Riri hanya bisa tersenyum dan menggengam kamera yang Riri gunakan untuk merekam tadi.

Ayunda,Atarik, Ifan dan Tania bernafas lega. Setelah itu keluar dari auditorium.

Harta memang tak menjamin kita bahagia, tetapi harta yang akan menjamin layaknya kita hidup di dunia

(Ronny Soedarjo/Papa Riri)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar