Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja tersenyum malu di balik mega merah. Burung-burung berterbangan di atas awan. Ombakpun bergelombang menyesuaikan irama dan arah angin.
Dua insan itu sedang terdiam. Bukan apa? Hanya menyiapkan hati untuk membenarkan sebuah rasa. Ifan tau ini terlalu cepat untuk dikatakan sebuah cinta. namun mau bagaimana lagi, rasa perasaan bukan ia yang meminta. Apakah ia akan menyalahkan takdir? Untuk apa? Belum tentu takdir akan mengangkat dan menghilangkan rasa itu.
Ifan menoleh, menatap Sara yang sejak tadi duduk di sampingnya. Menikmati senja yang perlahan-lahan menutup keindahannya. Mungkin ini saatnya ia mengungkapkan sebuah rasa yang ada. Biarpun Sara nanti marah atau menolaknya, Ifan tak ambil pusing, asalkan dia telah mengungkapkan segalanya dan tidak menjadi laki-laki pengecut.
"Sar?" Panggil Ifan dengan pelan, namun masih terdengar Sara.
Sara menoleh dan tersenyum, "Iya Fan."
"Apakah kamu pernah melihat senja tanpa aku?"
"Pernah. Memangnya kenapa Fan?"
"Apa yang kamu rasakan saat kamu melihat senja tanpa aku dan bersama aku?" Kenapa Ifan bertanya seperti itu? Apakah ia juga merasakan yang sama? Ingin sekali Sara bertanya dan menjawab semuanya. Namun, resiko seorang perempuan memang terlalu besar. Harus menjaga image, harga diri, dan berpura-pura menjaga kepalsuan dirinya.
"Seseorang pasti memiliki rasa yang berbeda-beda Fan. Aku melihat senja sesuai dengan perasaanku. Terkadang senang, sedih, kecewa, marah."
"Lalu sekarang? Senang?"
Sara mengangguk.
"Karena apa? Cinta?" Bibir Sara terasa kaku. Apakah lebih baik ia berkata yang sejujurnya? Di sisi lain ia merasa takut jika Ifan ternyata tidak mencintainya. Lalu mau ditaruh mana harga dirinya sebagai wanita? Sedangkan tugas seorang lelaki adalah mencinta dan menjaga perasaan. Dari pada semua itu terjadi lebih baik ia memancing Ifan terlebih dahulu saja.
"Apakah kamu mencintaiku Fan?" Tanya Sara dengan penuh ketekatan. Ifan diam, dan dari itu Sara dibuat rasa ketakutan. Bagaimana jika hanya dirinya saja yang mencintai Ifan, sedangkan laki-laki itu tidak?
"Aku mencintaimu Sar."
"Sejak kapan?"
"Sejak senja pertama kali mempertemukan kita secara diam-diam," Kata Ifan yang sesuai kenyataan. Dugaannya benar jika Ifan mencintainya. Lalu jika sudah begini ia harus apalagi? Apakah ia juga mengungkapkan perasaan yang ada pada Ifan? Mungkin iya. Sebelum semuanya terlambat, "aku juga cinta sama kamu Fan."
"Sejak pertama kali bibirmu terbuka untuk menyebut namaku. Sejak suaramu menggema secara pelan untuk memanggil namaku."
Ifan tersenyum dan tak terkecuali Sara.
Memang, terkadang tidak butuh waktu lama mereka untuk saling jatuh cinta. terkadang ada yang memiliki alasan dan terkadang juga tanpa alasan. Ifan mencintai Sara dengan penuh alasan. Sara cantik, pintar, baik, kalem dan sopan. Mungkin karena ia keturunan jawa asli. Begitupun dengan Sara yang mencintai Ifan dengan satu alasan. Ifan penuh teka-teki. Wajahnya seperti orang jahat padahal ia baik.
_
Atarik dan Tania. Dua sejoli yang kini kian semakin dekat. Di sekolah, sanggar maupun yang lainnya mereka selalu bersama. Sampai-sampai mereka sering dikatakan orang pacaran. Sebenarnya Atarik inginnya seperti itu. Namun situasi yang masih tidak memungkinkan membuat ia harus menahan perasaanya. Tania baru saja putus Leo lalu, apakah ia langsung datang ke Tania dengan sebuah cinta? lebih baik tidak. Tania belum siap untuk membangun perasaan yang baru.
Seperti kali ini, setelah sepulang sekolah mereka langsung pergi ke sanggar untuk latihan.
"Rik, gue kayaknya masih nggak nyangka dengan semua ini."
"Nggak nyangka gimananya, Tan?"
"Ya... masih nggak nyangka, gitu. Sekarang gue udah mulai pede, terus, kita mau ikutan audisi besar-besaran, dan yang lebih parahnya, gue yang jadi nyanyi," Kata Tania dengan suara yang yang cempreng. Atarik mendengus, "Itu mah, biasa Tan."
"Yang biasa itu, bagi orang-orang yang udah sering tampil maju. Sedangkan gue? Apalagi ini acara besar-besaran Rik. Masuk TV. Pada banyak yang nonton."
"Ya...ya...ya... terserah lo deh!" Atarik merasa putus asa. Memang, berdebat dengan Tania tidak akn ada hentinya jika masih dibantah. Gadis itu memang selalu ingin menang.
"Kita latihan dulu aja, yuk?" Ajak Atarik. Menghilangkan rasa bosan karena sampai saat ini Ayunda, Riri dan Ifan belum datang juga. "Lo chat, atau telfon mereka dulu deh! Baru kita latihan," Suruh Tania. Atarik mematuhinya.
_
"Kasihan banget ya, sendirian. Padahal, teman-temannyakan udah punya pasangan masing-masing."
Kali ini Riri harus menguatkan kesabarannya lagi. Baru saja ia ingin menunggu supirnya, tapi Daniel dan teman-temannya kembali mengusik hidup Riri. Riri melipat kedua tangannya di depan dadanya, bersikap tegas dengan wajah yang angkuh "Emang, kalau mereka udah punya pacar berarti gue sama mereka udah nggak bisa temenan lagi, gitu?" Riri balik tanya. Ia memang orang yang tak pernah takut pada siapapun, baik orang, hewan, maupun makhluk yang tak terlihat. Begitupun dengan Daniel dan teman-temannya, Riri tidak pernah takut pada mereka.
"Oh, tentu! Biar lo nggak ganggu mereka," Bantah Daniel dengan tak kalah memasang wajah angkuhnya. "Sok ngatur lo. Mereka aja nggak pernah nglarang."
"Itu karena mereka kasihan lihat lo yang nggak punya teman."
"Eh, biarpun gue nggak punya teman, gue masih bisa hidup kok!"
"Makanya Riri, jadi cewek itu yang anggun, jangan grosak-grusuk. Apalagi lo kan pakai jilbab nih, jagalah sikap lo. Jangan kayak anak cowok" Kata Dhito, salah satu teman Daniel.
"Makasih ya, atas komenannya. Tapi maaf banget ya, gue udah nyaman sama penampilan dan sifat gue kayak gini. Lebih baik jadi diri sendiri dari pada jadi orang lain."
"Pantesan Ri, sampai sekarang lo masih ngejomblo. Cowok-cowok pada takut sama lo," Teriak Beni yang di akhiri dengan sebuah tawaan dirinya dan teman-temannya.
"Kayak Sara dong, cantik, kalem." Daniel memuji Sara. Dan pada saat itu emosi Riri benar-benar memuncak. Ia tidak suka jika dirinya disamakan dengan orang lain. Dan ia tau, jika tidak hanya dirinya saja yang suka disamakan dengan orang lain. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Untuk mengambil pelajaran yang baik, mensyukuri nikmat tuhan dan belajar memahami. Bukan untuk menjadi orang lain.
"Nggak usah nyamain gue sama Sara! Gue nggak suka!" Ucap Riri dengan penuh penegasan. Daniel tersenyum simpul, "Sebenarnya gue tau kok, kalau lo itu nggak suka disama-samain sama orang. Tapi gue pengennya lo itu kayak Sara, supaya Ifan jatuh cinta ke elo, bukan Sara. Dan gara-gara teman lo itu, Sara nggak mau pacaran sama gue. Lebih memilih sampah kayak Ifan."
"Jaga mulut lo ya!" Kali ini emosi Riri benar-benar memuncak. Tidak masalah jika dirinya dijadikan sebagai bahan ejekkan atau ketawaan. Tapi ia tidak bisa menerima jika temannya yang dijadikan sebagai bahan olok-olokkan dan dihina seperti itu.
Riri mendorong tubuh Daniel, tapi syukurlah Daniel dapat menjaga keseimbangan yang membuat dirinya tidak jatuh. "Saat lo dan teman-teman lo itu nertawain gue, gue terima. Tapi, saat lo dan dan teman-teman lo nertawain atau menghina teman gue kayak gitu, gue nggak terima." Nafas Riri memburu, "Jadi, lo lampiasin semua ini ke gue karena lo nggak bisa dapatin cinta Sara. Jadi cowok pecundang banget sih lo! Beraninya ke cewek, ngadepin Ifan aja nggak berani."
"Eh, ngomong apa lo?"
"Apa? Emang benar kan? Gue itu justru bersyukur, karena Sara pacaran sama Ifan. Meskipun orang nggak punya, tapi punya keberanian. Dari pada lo? Kaya, tapi cupu." Setelah meluapkan kekesalannya pada Danieal, Riri langsung berlari pergi. Meninggalkan mereka yang meneriaki namanya. Ia sudah tidak berharap lagi untuk menunggu jemputan.
_
Awan hitam menyelimuti matahari siang ini. Pasti sebentar lagi akan turun hujan. Ayunda menikmatinya dengan berjalan kaki untuk pulang. Tapi bukan pulang ke rumah, melainkan ke sanggar. Ayunda menikmati dengan keadaan seperti ini. Sendirian lebih baik dari pada berasama orang yang justru akan membuatnya semakin canggung, apalagi dalam kondisi hening. Lengkap sudah. Keculi jika bersama, Tania, Atarik, Riri dan Ifan. Itu beda lagi.
"Hai, Ayunda?" Sapa Reno. Baru saja Ayunda menikmat kesendiriannya, namun tiba-tiba Reno datang begitu saja, berjalan di sampingnya.
Ayunda meringis, "Eh, Reno. Hai! Tumben lo nggak bawa motor?" Tanya Ayunda dengan langkah yang terus berjalan. Begitupun dengan Reno. "Di bengkel. Rusak."
"Kok bisa?"
"Emang sengaja gue rusakin, supaya bisa pulang bareng sama lo. Kayak gini," Jelas Reno yang membuat Ayunda mengehentikan langkahnya, tak mengerti jalan pikiran Reno. Kemudian ia lanjutkan lagi langkahnya.
"Emang, lo nggak jemput pacar lo?"
"Gue nggak punya pacar."
"oh, ya?"
"Iya. Gue udah putus. Dan sekarang gue lagi nikmatin masa kesendirian gue."
Ayunda hanya bisa ber-oh ria saja. Kemudian mereka pulang bersama. Terkadang suasana hening yang menemani mereka, namun terkadang juga Reno yang berbicara. Meskipun bagi Ayunda ucapan Reno itu tidak penting.
Tiba-tiba saat di tengah perjalanan hujan turun begitu saja dengan deras. Tapi syukurlah, langkah mereka tidak jauh dari halte, setidaknya mereka bisa berteduh terlebih dulu.
"Yu, di sana ada halte. Neduh dulu yuk?" Ajak Reno yang diangguki Ayunda.
Mereka berlari bersama meskipun hujan semakin deras, dan mereka menghela nafas lega saat telah sampai di halte.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Tanya Ayunda, yang tak sengaja memergoki Reno senyum-senyum sendiri, bahkan sampai saat ini pun setelah Ayunda memergokinya.
"Enggak kenapa-napa, gue cuma senang aja."
"Hah? Senang?"
"Iya. Senang. Akhirnya, semesta mengerti perasaan gue."
"Maksudnya apa sih Ren? Lo bisa to the point aja nggak?" Ayunda semakin tak mengerti dengan pikiran Reno.
"Gue minta sama semesta, supaya siang ini gue bisa pulang bareng sama lo, dan turun hujan yang sangat deras, agar gue bisa ngehabisin waktu banyak sama lo. Seperti kayak sekarang ini. Kita neduh sama-sama." Terang Reno. Ayunda hanya bisa diam dengant tatapan yang tak dapat diartikan.
Kedunya kembali diam. Bermain dengan pikirannya masing-masing tentang banyak hal. Namun tidak lama Ayunda tersadar dari lamunannya, saat ponselnya bergetar. Pertanda jika ada pemberitahuan yang masuk. Ayunda mengaktifkan ponselnya, dan benar saja ada kiriman chat dari Atarik.
Yu, lo dimana??
Nggak lupa kan, kalau hari ini ada latihan??
Cepat!! Anak-anak udah pada nunggu sejak tadi!!
Iya, gue segera ke sana.
Hampir saja Ayunda lupa kalau siang ini ia ada latihan bersama teman-temannya. Semua ini gara-gara Reno! Tanpa menunggu lama Ayunda langsung, menerobos hujan yang lumayan reda.
Pikiran Reno dipenuhi pertanyaan besar saat melihat kepergian Ayunda begitu saja. Meninggalkan dirinya di tengah keramaian yang justru terasa sepi baginya. "Yu, mau kemana lo?" Teriak Reno yang semakin jauh dari Ayunda. "Mau pergi. Ada urusan penting." Jawab Ayunda yang tak kalah keras teriakannya dari Reno.
Reno hanya bisa menghela nafas berat.
(Dunia ini nyata, bukan dunia yang penuh imajinasi, seakan-akan pemain dituntut pemimpin untuk berlakon dengan apik)
(Ifan Bagus Santoso)