Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
15. 15

"Ada kabar bahagia buat kalian," Kata Herdi langsung, tanpa basa-basi.

Kali ini ia berada di sanggar bersama Atarik, Ayunda, Tania dan Riri. Sebelum jam sekolah selesai, Herdi memberi tau mereka untuk berkumpul di sanggar setelah pulang sekolah, melalui pesan. "kalian masuk di sepuluh besar Indonesia Mencari Bintang," Lanjut Herdi. Jika kabar ini bagi Herdi adalah kabar yang bahagia, tapi bagi Tania, Atarik, Riri dan Ayunda tidak tau. Antara edih, bahagia, mereka tidak bisa menjelaskannya. Andaikata Ifan tidak berkata seperti itu saat di sekolah, mungkin mereka sangat bahagia kali ini. Perjuangan mereka tidak sia-sia.

Herdi yang awalnya semringah kini datar saat tidak reaksi apapun dari Tania, Riri, Atarik dan Ayunda. "Kami nggak tau kak, ini kabar bahagia atau bukan. Karena Ifan sudah tidak mau lagi bergabung dengan kita," Ucap Tania sambil menundukkan kepala, kedua tangannya saling mengepal. Bibir bawahnya ia gigit.

"Ifan putus harapan?"

"Masalah itu kami nggak tau kak. Tapi yang kami tau, Ifan terpukul atas kematian mamanya, dan dia menyalahkan kita karena ikut audisi kemarin," Timpal Riri yang memberi keterangan untuk Herdi.

"Apa yang harus kita lakukan kak? Apa kita berhenti saja untuk tidak memasuki sepuluh besar itu? Atau kita cari pengganti Ifan saja kak?"

"Lo apa-apaan sih Rik? Masak kita cari orang lain buat gantiin Ifan? Kita ini sahabat. Berjuang berasama-sama, apalagi dia yang baru saja kehilangan mamanya." 

"lalu harus gimana lagi Tan? Ifan udah ngambil jalannya sendiri. Kita harus menghargai keputusannya dong, kalau kita nunggu dia sampai kembali lagi ke kita, impian kita yang jadi korban."

"Tapi nggak gitu juga Rik. Gue—"

"Apa yang dikatakan Tania itu benar Rik. Kalian ini sahabat, kemana-mana selalu bersama, apalagi kondisi Ifan sekarang ini. Kalian tidak seharusnya meninggalkan dia, tetapi beri semangat untuk dia yang akan menjalani hari selanjutnya tanpa seorang Ibuk lagi. Kalian beri saja dia waktu untuk memikirkan semua ini, mungkin dua hari atau tigalah. Karena minggu depan kita harus ke Jakarta." Herdi memotong ucapan Tania. Dan mereka pun setuju dengan saran Herdi ini. Terutama Atari

_

Kata orang, senja adalah obat untuk menghilangkan rasa kesendirian, Tania akui itu. baginya, senja tidak hanya sebagai obat, tetapi bisa juga sebagai teman untuk curhat.

Tania duduk di atas pasir putih. Menikmati senja yang begitu indah sore ini. Gelombang laut yang besar membuat rambut Tania yang tergerai beterbangan. Cantik, itulah gambaran sosok Tania. Tidak untuk hari ini, tapi yang lainnyapun sama. Maka tak heran jika banyak remaja perempuan yang iri padanya, dan banyak kaum lelaki yang suka padanya. Begitupun dengan Atarik. Ya, sejak dulu Atarik memang pada Tania. Bukan saat pertama kali mereka bertemu di rumah Herdi, tetapi saat pertama kali ia menginjakkan kaki di SMA Negri 6 Yogyakarta. Tetapi ia tidak mengutarakan isi hatinya pada siapapun, termasuk Tania. Karena baginya mencintai seseorang tidak harus untuk diungkapkan dan diumbar-umbarkan. Percaya pada waktu yang akan mengutarakan dengan sendirinya. Entah melalui angin, embun, gelombang laut atau daun-daun yang pada berjatuhan.

Ia melihat Tania dari jauh, setelah itu menghampirinya, "Ternyata, waktu mampu mempertemukan kita lagi. Ini takdir tuhan atau hanya ketidaksengajaan?"

Saking indahnya sore ini sampai-sampai kalimat Atarik tidak Tania hiraukan. Menatapnya pun tidak sama sekali. "Suka senja ya?" Tanya Atarik.

Tania menghembuskan nafasnya dengan memejamkan mata, "Tuhan menciptakan senja dengan satu alasan, supaya manusia selalu mengingat dan sadar, bahwa suatu saat nanti manusia juga akan tenggelam seperti senja. Di Langit dan tanah. Jadi tidak masalah kan kalau gue suka sama senja?"

"Tapi, kata orang-orang Tan, kalau senja itu lambang kesedihan yang telah hadir pada diri seseorang. Lo lagi sedih ya?"

"Sedih hanya mampu membuang-buang waktu yang berharga. Untuk apa gue sedih?"

"Ya, siapa tau lo belum bisa melupakan Leo?" Tania menatap Ataraik yang sejak tadi duduk di sampingya. Kemudian ia kembali menatapa ke depan. Tempat senja terbenam dan kapal berlayar.

"Melupakan masa lalu memang butuh perjuangan yang sangat berat. Tapi bukan berarti gue sedih karena Leo." Tania kembali menatap Atarik. "Tapi Ifan." 

"Jika lo kali ini bersedih karena Ifan, berarti lo udah nggak ngurusin masalah hati lo?"

"Bagi gue sekarang, urusan masalah hati itu belakang. Yang utama impian."

"Iya, benar. Masalah hati emang enak kalau di taruh di belakang, gue setuju itu. Tapi sayang, masalah hati itu berat rasanya jika sudah masuk ke hati," Kata Ataraik. Tania mengerutkan dahinya. Ucapan Atarik itu mampu mengudang pertanyaan besar untuknya.

"Apa, lo udah jatuh cinta Rik?"

"Jatuh cinta, itu udah sejak dulu kali Tan."

"Sama siapa Rik?"

"Sama lo." Jawab Atarik langsung dan penuh jujur. Sebenarnya Ataraik juga tidak tau, kenapa ia langsung menjawab sepeti itu. kenapa tidak ia rahasiakan saja semua ini. Iya percaya waktu, dan mungkin kali ini waktu telah memabntunya untuk mengutarakan melalui gelombang laut yang mulai kecil.

Berbeda dengan Ataraik yang mulai bungkam, Tania justru tertawa. Menganggap bahwa apa yang dikatakan Atarik adalah bahan hiburan saja, "Kok lo ketawa sih?"

"Habisnya, lucu."

"Lucu? Gue suka beneran lho sama lo!" Seketika itu tawa Tania berhenti. Raut wajahnya datar. Mata hitamnya menatap lekat mata Atarik. Berusaha mencari kebohongan di sana. Tapi sayang, kebohongan itu tidak ia dapatkan, itu berari apa yang dibilang Atarik benar.

"Lo suka sama gue?"

"Iya Tan. Sejak dulu." 

Tania gamang. Ia tidak tau harus berbuat apa, "Rik, lo tau kan, kalau sekarang gue nggak mau lagi mempermasalhkan soal perasaan. Karena bagi gue sekarang itu soal Ifan yang lebih penting. Bagaimana caranya supaya dia bersedia ikut ke Jakarta?"

"Gue tau Tan. Tapi, apa lo nggak pernah ngerti perasaan gue?"

"Gimana gue ngerti persaan lo, sedangkan lo aja tertutup sama gue!" Kini pembicaraan mereka tidak santai seperti tadi. Tapi dengan menggunakan perasaan, sehingga ada sedikit emosi pada mereka saat bicara.

"Rik, gue itu baru putus sama Leo. Nggak mungkin gue membangun sebuah hubungan baru. Apalagi sama sahabat gue sendiri," Sambung Tania seraya bangkit berdiri dan berjalan. Menjauh dari Atarik. Ifan juga turut berdiri, "Apa nggak ada kesempatan untuk gue, miliki lo setelah Leo?" Kata Ifan santai karena jarak Tania darinya masih tidak terlalu jauh. 

Tania menoleh ke Atarik, "Kita sahabat, dan gue butuh waktu memikirkan semua itu." Setelah itu ia melanjutkan langkahnya, sambil mengingat-ngingat apa yang diungkapkan Atarik. Baginya itu adalah sebuah masalah yang besar setelah Ifan yang kecewa padanya. Tak pernah Tania menyangka, jika selama ini Atarik diam-diam mencintainya. Mungkin semua akan terasa mudah jika ia mencintai Atarik, karena ia telah melupakan Leo. Bukan sahabat membuat ia galau. Banyak orang-orang di luar yang bahkan nikah dengan sahabatnya sendiri. Namun di sini yang menjadi persoalannya adalah Tania tidak mencintai Atarik. Sedikitpun. Hanya rasa sayang, sebagai sahabat.

_

Masalah perasaan antara Tania dan Atarik sudah berakhir. Malam setelah kejadian itu Atarik langsung menemui Tania di rumahnya. Ia meminta maaf karena membuat masalah semakin rumit antara mereka berdua, dan ia menyuruh Tania untuk melupakan kejadian tadi sore. Atarik tidak butuh cinta Tania. Namun, yang ia butuhkan adalah Tania selalu di sampingnya. Dan Tania setuju dengan semua itu.

Jika masalah Tania dan Ataraik sudah selesai, kini mereka berempat menyelesaikan masalah dengan Ifan. Di sekolah tadi mereka tidak menemukan Ifan. Hal itu membuat mereka harus pergi ke tempat Ifan nongkrong setelah pulang sekolah. Di trotoar jembatan.

Perjuang mereka mencari Ifan tidak sia-sia. Mereka melihat Ifan di sana yang sedang duduk di trotoar jembatan dengan menundukkan kepala. Kedua Tangnnya ia gunakan untuk menyangga kepala di bagian dahi. Secara pelan-pelan mereka mengahampiri Ifan yang sendirian.

"Kita udah kasih lo waktu dua hari untuk menyendiri. Kini saatnya lo kembali ke kita!" Kata Tania, tanpa kata pembuka. Ifan mendongakkan kepala. Ia kaget kenapa mereka bisa tau akana keberadaanya. Tapi ia mencoba untuk bersikap rileks. 

"Kalian ngapain ke sini? Pergilah! Di sini bukan tempat kalian!"

"Di sini tempat lo, kan? Berarti tempat kita juga!" Jawab Riri.

"Jakarta juga akan menjadi tempat kita, jika ada lo," Timpal Ataraik. Ifan tidak memberikan reaksi apapun pada mereka.

"Lo tau nggak Fan, kalau audisi kita kemarin, masuk kesepuluh besar." Ifan tetap tidak memberikan reaksi apa-apa. Sebenarnya ia ingin mengatakan, "Masak sih?" atau "Yang benar?". Tapi, lagi-lagi keinginan dikalahakan oleh ego. Semua itu membuat Ifan hanya mampu menyimpannya di dalam hati, dan akan sangat terasa bahagia jika itu benar.

"Dan besok, kita akan pergi ke Jakarta Fan. Beberapa hari kita akan di sana. Kita juga udah di belikan kak Herdi tiket, jadi lo nggak perlu bingung," Sahut Ayunda.

"Senang ya, besok mau ke Jakarta," Kini Ifan mulai angkat bicara.

"Lo ikut kan Fan?" Tanya Atarik hati-hati. Takut dengan jawaban yang ia terima dari ifan.

"Ya enggaklah!"

"Kenapa Fan?"

"Bukannya gue udah bilang ya sama kalian. Sampai kapanpun, gue udah nggak mau lagi berurusan dan berhubungan sama kalian lagi!"

"Yakin lo ngomong kayak gitu? Gue nggak salah dengar, kan?"

"Gue rasa telinga lo nggak ada kotorannya, dan otak lo juga cukup sehat, jadi lo nggak salah dengar dan bisa nangkap apa yang gue omongin tadi, kan? Meskipun audisi kemarin masuk kesepuluh besar, bukan berarti gue akan ikut. Enggak. Yang ada, menyesal. Gara-gara kalian, nyokap gue meninggal."

"Gara-gara kalian nyokap gue meninggal." Riri mengikuti gaya bicara Ifan yang sedikit tegas, "Eh, Fan, gue ingetin ya, meskipun lo ikut atau nggak ikut audisi kemarin, nyokap lo juga tetap bakal meninggal. Udah takdirnya."

"Dan gue ingin tanya sama lo. Emang kalau lo nggak ikut audisi kemarin, lo mau jagain nyokap lo? Belum tentu kan? Lo aja sering keluyuran nggak jelas. Kenapa lo selalu nyalahin kita? Kenapa nggak nyalahin diri lo aja sendiri, yang egois, dan nggak bisa intropeksi diri."

"kematian orang itu memang sudah kehendak Tuhan. Terutama kematian Mama lo. Penyesalan memang selalu datang di akhir Fan. Tapi bukan berarti lo selalu menyalahkan diri lo sendiri dan menyesali terhadap sesuatu yang sudah pernah terjadi atau belum terjadi, tapi lo menyia-nyiakannya. Ingat takdir Fan! Umur, rezeki dan jodoh ada di tangan Tuhan." Berbeda dengan Atarik dan Riri, yang ngotot saat bicara. Ayunda memberi pengertian yang halus pada Ifan.

"Nggak usah jadi orang munafik lo Fan. Gue tau kok, kalau lo itu sebenarnya senang dengan kabar ini, kan? Tapi lo egois, mentingin harga diri lo sendiri, tanpa memikirkan perasaan kita. Kita rela melakukan apapun demi lo, tapi, lo justru kayak gini. Menganggap kita sebagai pembawa sial."

"Gue nggak pernah ngomong gitu ke kalian, kalian aja yang ke bawa perasaan."

"Kita ini kebawa perasaan, karena kita punya hati," Celetuk Riri dengan menegaskan di setiap kata.

"Lo jadi cowok cemen banget sih, Fan. Nggak boleh pacaran sama Sara aja, putus asa. Mama meninggal aja, putus asa," Lanjut Riri. "Lo enak bisa ngomong kayak gitu, karena lo nggak ngerti, bagaimana perasaan gue saat nyokap meninggal. Kalian enak masih memiliki orangtua? Sedangkan gue? Hidup sebatang kara dengan seorang adik." Entah kenapa, pembicaraan yang tadinya diiringi canda tawa, kini berubah mencekam. Ifan yang tadinya sedikit terhibur pada gaya bicara mereka, kembali sedih. Hal itu membuat Riri merasa bersalah. "Sebelum lo ngerasain semua itu, gue dulu yang merasakannya. Waktu gue kecil, Mama ninggalin gue bersama Papa. Tapi tinggal bersama Papa nggak bisa buat gue bahagia. Karena apa? Di rumah gue kesepian. Anak tunggal yang ditelantarkan di rumah besar bersama seorang pembantu. Papa sibuk dengan bisnisnya yang di mana-mana. Nasib kita sama kan? Gue justru iri sama lo, yang masih bisa merasakan, hangatnya tangan orangtua sampai beliau meninggal. Lo seharusnya bersyukur Fan. Lo seharusnya membanggakan mereka. jangan kira, karena mereka meninggal berarti mereka nggak bisa merasakan bahagia? Masih Fan. Mama sama Papa lo pasti bahagia melihat anak-anaknya sukses dan bisa meraih impiannya."

"Kali ini penting! Kematian Mama lo, jangan dijadikan alasan keputusasaan terhadap impian lo. Justru itu penting Fan! Mama lo pasti sedih, karena lo putus asa dengan impian lo sendiri. Padahal, mereka inginnya lo bahagia."

Riri benar. Seharusnya ia bersyukur karena masih bisa merasakan hangatnya kasih sayang orangtua. Padahal masih banyak orang-orang yang di luaran sana tidak memiliki orangtua, atau orangtua yang sibuk dan cerai. Seperti Riri. 

"Gimana Fan? Semua keputusan ada di tangan lo! Jika lo masih mau ngelanjutin impian loitu, kita sangat senang dan selalu ada buat lo. Kita akan berjuangbersama-sama. Seperti dulu lagi. Tapi, kalau lo nggak mau, juga nggak apa-apa.Kan semua itu terserah lo? Demi masa depan lo sendiri. Meskipun sebenarnya kitasedih sih, kalau lo nggak ikut." Tania mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. "Ini, dari kak Herdi." Tania memberikan sebuah tiket pada Ifan. "Katanya, kalau lo masih mau berjuang, besok datang aja ke stasiun Tugu Yogyakarta. Kita akan berada di Jakarta selama beberapa hari. Dan kita sangat berharap, besok lo bisa datang ke stasiun. Bukan untuk mengantarkan, tetapi juga ikut ke Jakarta, " Jelas Tania.Setelah itu mereka berempat pergi. Ifan masih setia berdiri di sana. Dengan memandangi tiket yang ia pegang

Sudah Sepantasnya kita memiliki rasa sakit hati, karena kita hanyalah manusia biasa, yang diciptakan Tuhan dari tanah.

(Atalarik Alamsyah)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar