Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
9. 9

"Mata kamu kok bengkak Tan? Kamu habis nangis ya?" Anita yang baru saja turun dari kamarnya, yang berada di lantai atas, langsung di kejutkan akan kepulangan Tania dengan mata yang membengkak. Tania menundukkan kepala agar kakaknya tidak curiga dan salah menuduh jika ia menangis. Bukan Anita namanya jika pintar untuk dibohongi, ia tau jika adiknya itu baru saja menangis namun mencoba untuk menyembunyikannya. Anita memegang dagu Tania, lalu mengakkan kepala Tania, "Jujur sama kakak. Kenapa kamu nangis?" Tanya Anita dengan penuh tegas.

"Aku baru saja putus sama Leo kak."

"Putus?" Ulang Anita. Tania mengangguk pelan.

"Kok bisa? Bukannya selama ini hubungan kalian baik-baik aja?"

"Leo mutusin aku gara-gara dia nggak suka aku jadi pemain drama." Air mata Tania kembali mengalir. Anita mengerutkan dahi. Benar-benar lucu, hanya karena masalah impian membuat mereka putus. Padahal yang ia tau selama ini, sebagai pasangan harus mendukung pasangannya dalam melakukan apapun terutama impian dan asalkan yang baik.

"Tuh, kan, pacar kamu aja nggak setuju, sampai-sampai mutusin kamu. Apa mama bilang? Nggak Cuma mama sama papa aja yang nggak setuju. Pacar kamu juga." Sahut mama yang tiba-tiba datang.

Sejak tadi, beliau memang sudah mendengar semuanya karena beliau berada di ruang tengah dan tak jauh dari Anita dan Tania. "Seharusnya kamu itu bersyukur Tan, punya mama, papa dan kakak yang baik, perhatian dan sayang sama kamu," Lanjut mama sambil melipat kedua tangan di depan dadanya, dengan senyuman masam yang menghiasi wajah cantiknya.

Tania dan Anita kompak menatap mamanya. Bedanya Anita diam dan tenang, sedangkan Tania seolah-olah tak bisa untuk bersikap biasa. "Setiap waktu aku selalu bersyukur dan trima kasih kepada tuhan, bahkan sampai detik ini, karena dia telah menciptakan mama, papa dan kak Nita yang selalu baik, perhatian, dan sayang sama aku. Tapi apakah mama sama papa sadar, jika ada satu kata yang nggak pernah ada pada diri mama sama papa?" Tania meendekat ke mamanya, menatap wajah beliau dengan penuh kekecewaan. "Yaitu, pengertian. Kalian nggak pernah mengerti aku, impian dan keinginan aku," Kata Tania dengan suara yang terdengar serak dan nafas tersenggal-senggal. Telunjuk tangan kanannya tak henti-henti menunjuk dada mamanya, seakan-akan ia lelah karena selalu diremehkan mamanya tentang impiannya.

Sebelum pertengkaran hebat Tania dan mamanya terjadi, lebih baik Anita memisahkan mereka saja. Ia tidak tega dan tidak suka jika orang-orang yang ia cintai harus mengalami pertengkaran seperti itu, meskipun itu juga baru permulaan.

"Udah Tan, kamu ke kamar aja ya? Kak Nita anterin." Anita memegang kedua pundak Tania. Tanpa meminta persetujuan Tania, Anita langsung membawa adiknya ke kamarnya.

Mama gamang. Baru kali ini Tania bisa berkata seperti itu dengan ekspresi yang tidak biasa.

_

"Kamu nggak usah sedih, kan ada kakak. Kakak akan selalu mendukung apa yang kamu mau, apalagi impian kamu itu," Ucap Anita seraya mengelus kedua bahu Tania yang kini duduk di atas ranjangnya, begitujuga dengan dirinya yang duduk di samping Tania. Mencoba menghibur dan menenangkan adiknya.

Tania menyeka air matanya, kemudian meraih tangan kakaknya dan ia genggam, "Sqedih itu apa sih kak?"

"Apa itu sedih? Sedih adalah, sebuah rasa yang tidak sesuai keinginan dan ekspektasi kita, dan hati tidak sanggup untuk menanggung semua itu. Maka itulah yang dinamakan sedih." Tania diam, dan tidak lama terjadi keheningan di ruangan tersebut.

"Kamu marah ya sama mama?"

"Enggak. Mungkin terbawa emosi gara-gara putus sama Leo."

Anita mengusap pipi Tania yang masih ada sisa air mata, "Emosi itu boleh, karena tuhan menciptakan manusia dengan adanya perasaan. Tapi yang nggak boleh itu emosi yang berlebihan, sampai-sampai kamu nggak sadar jika emosimu itu dapat melukai hati seseorang, apalagi orangtua. Sekarang mama pasti lagi sedih banget." Tutur Anita dengan penuh bijak.

"Hari ini aku lagi kesel-keselnya banget kak! Leo mutusin aku gara-gara aku lebih memilih teman-teman dan impian aku. Lucu nggak?"

"Hanya gara-gara putus kamu jadi kayak gini?"

Hening.

"Tania coba deh lihat kakak. Justru kakak sangat bersyukur jika kamu putus sama Leo."

"Lho, kenapa kak?"

"Karena, bersama tidak ada untungnya jika tanpa saling mengerti." Jawab Anita secepatnya. Bagaikan sebuah sihir, kalimat Anita tersebut mampu membuat Tania tercengang dan mencoba memahami. Kak Nita benar, untuk apa bersama jika tanpa saling mengerti. Yang ada hanya membuang-buang waktu dan menciptakan kenangan yang pada akhirnya ingin membuangnya.

Setelah itu Tania sadar. Untuk apa ia menangisi Leo yang belum tentu ia juga menangisinya. Untuk apa ia menyesali waktu yang pernah ia habiskan bersama Leo padahal masih ada waktu yang sangat lama untuk ia habiskan bersama teman-temannya kali ini. untuk apa ia mengingat waktu bersama Leo sedangakan ada waktu yang lebih penting untuk masa depannya. Dan sekarang yang hanya tersisa adalah pertanyaan. 'untuk apa?'.

_

Yogyakarta, kota yang identik dengan orang-orang yang penuh kharismatik. Tak memandang perempuan atau laki-laki, kaya atau miskin, mereka sama saja. Namun yang membedakannya hanyalah didikan dari oarngtuanya dan keturunan keluarganya.

Pagi ini Ayunda dan Riri berangkat sekolah bersama. Berjalan kaki dan bersuka ria bersama. Menikmati embun yang masih tersisa di rumput karena pagi tadi. Biasanya Riri selalu diantar supir pribadi Papanya jika prig kemana-mana. Namun saat ini ia ingin pergi sendirian agar tidak lagi dijuluki anak manja oleh teman-teman sekelasnya. Meskipun hanya dua puluh lima persen berhasil, dan Riri tau itu.

Saat mereka berjalan di tengah koridor sekolah, langkah mereka berhenti tiba-tiba saat ada seseorang yang memanggil nama Ayunda dari belakang. Sontak keduanya langsung menoleh kebelakang, dan orang yang memanggil nama ayunda tadi langsung menghampiri Ayunda yang bersama Riri.

"Lo manggil gue?" Tanya Ayunda, untuk memastikan bahwa ia benar-benar dipanggil orang tersebut, dan ia tidak merasa kegeeran.

"Selamat ya?" Reno mengulurkan tangannya dan memberikan ucapan selamat pada Ayunda. Awalnya Ayunda merasa bingung dengan tingkah Reno yang seperti ini. Tiba-tiba mengucapkan selamat, padahal ia tidak mendapatkan apa-apa, yang mampu membuatnya bahagia. Namun Ayunda tidak ambil pusing, ia membalas uluran tangan Reno. Sambil mendengir Ayunda bertanya, "Untuk apa, ya?"

"Karena, lo jago bikin puisi, sampai-sampai, di koran aja ada puisi lo." Puji Reno sesuai isi hatinya. Mendapat pujian Reno tersebut Ayunda hanya bisa tersenyum simpul, tapi justru Riri yang menyahuti Reno, "Lo pikir dari dulu Ayunda nggak bisa bikin puisi? Dari dulu Ayunda udah jago bikin puisi kali." Reno tak menyahuti apa yang dikatak Riri. Bahkan menatapnyapun tidak, mungkin hanya melirik, itupun juga sekilas. Hal itu membuat Riri merasa kesal.

Reno tetap menatap Ayunda, sedangkan gadis itu tetap diam, tak bereaksi. Sekali-kali ia hanya tersenyum. Keduanya seperti malu-malu kucing.

"Yu, lo masih ingat gue nggak?" kenapa tiba-tiba Reno bertanya sperti itu? Ayunda masih mengingat Reno, teman SD-nya yang selalu bersikap dingin dan acuh tak acuh terhadapnya. Tapi sejak SMA Ayunda berpura-pura sudah tidak mengenal Reno lagi dan mencoba untuk melupakan dia dari hatinya, sebagai tambatan hati yang tak terbalaskan. Reno justru berpacaran dengan perempuan lain, teman Ayunda semasa SMP. Dan mengingat semua itu membuat rasa sakit hati Ayunda yang baru saja lekas sembuh kini muncul kembali saat hadirnya Reno di sini.

Ayunda menggeleng pelan, "Lo siapa ya?" Tanya Ayunda yang berpura-pura tak mengenal Reno.

"Gue Reno. Teman SD lo."

"Oh, Reno. Gue pikir siapa? Lo ternyata udah berubah ya?"

"Makin ganteng ya?"

"Makin jelek." Celetuk Ayunda langung membuat Reno yang awalnya semringah berubah sendu, sedangkan Riri menahan tawanya, "Kualat lo. Siapa suruh ngacangin gue?"

"Lebih baik gue ngacangin lo, daripada gue naggapin lo yang nggak jelas," Kata Reno dengan memasang wajah yang cuek.

Ayunda tersenyum sejenak, "Enggak kok Ren. Lo tetap ganteng," Jujur Ayunda, "Gue ke kelas dulu ya?" Belum sempat Reno dan Riri menjawab ,ia terlebih dahulu melangkah, meninggalkan mereka berdua.

Riri hanya bisa menatap kepergian Ayunda yang semakin jauh jaraknya darinya. Setelah Ayunda benar-benar sudah tidak terlihat lagi, ia kembali menatap Reno yang masih berdiri di hadapannya.

"Gue bilangin ke lo, jangan pernah sekali-kali lo mendekati Ayunda, karena di nggak suka jika dirinya di dekatin sama cowok. Dan dia pernah cerita sendiri ke gue," Kata Riri sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Emang, lo siapanya dia? Cuma teman kan? Nggak penting." Reno langsung pergi meninggalkan Riri.

Bersama tidak akan ada untungnya, jika tanpa saling mengerti.

(Anita Widjaja Andara)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar