Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
18. 18

Burung berkicau di pagi hari. Orang-orang mulai bangun dari tidurnya. Memulai hari baru, dari hari yang telah terlewati. Memulai aktivitas kembali, sesuai profesinya.

Ayunda, Tania, Riri, dan Atarik berpelukan bersama saat mereka bertemu kembali di stasiun. Betapa bahagianya mereka pagi ini, sampai-sampai tadi malam tidak bisa tidur.

"Udah siap nggak? Nggak ada yang ketinggalan kan?" Tanya Atarik, selepas mereka berpelukan.

"Nggak ada." Jawab Tania tegas. Atarik mengacungkan jempol kanannya.

"Yaudah, kita langsung masuk ke keretanya aja, gimana?" Ujar Riri.

"Sebentar dulu, siapa tau Ifan datang, kan?"

"Benar Ri," Sahut Ayunda.

Riri melirik jam tangannya sekilas. "Tapi, dua menit lagi kita berangkat lho," Tepat saat Riri mengatakan 'dua menit lagi' Masinis memberi pengumuman melalui speaker kereta, jika kereta menuju Jakarta akan segera berangkat.

Tania menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal. Ifan benar-benar tidak ikut pergi.

Mereka berempat berjalan sejajar menuju kereta.

"Hai, tungguin gue!" Suara itu, sangat familier bagi mereka berempat. Mereka menghentikan langkahnya, dan menoleh ke belakang.

Bibir mereka melengkung ke atas. Rasa bahagia semakin begitu mendalam. Orang yang mereka kira tidak akan ikut, ternyata kini datang dengan wajah yang berseri-seri.

Ifan mempercepat langkah kakinya, dan langsung berpelukan bersama. Seperti teletubis.

"Ya ampun Fan, gue pikir, lo nggak akan datang," Kata Tania. Ifan tersenyum.

"Iya Fan, baru aja kita mau naik kereta," Sahut Atarik. Dan lagi-lagi, Ifan hanya bisa tersenyum.

"Maafin gue ya, soal kemarin!"

"Udah, nggak pa-pa, lupain aja. Kita tau kok, lo pasti terpukul akan kematian mama lo."

"Benar Fan, karena yang kita rasakan sekarang itu, rasa bahagia yang begitu besar. Gue akan ke Jakarta, kota impian gue sejak kecil." Ayunda berjingkrak-jingkrak senang.

"Yaudah, ngobrolnya kita lanjutin di kereta aja. Udah mau berangkat nih!" Ujar Atarik.

Mereka berjalan ke kereta.

_

Di dalam kereta, mereka bercerita tentang banyak hal, dengan duduk yang saling berhadap-hadapan, dan di tengahi sebuah meja yang memang tersedia untuk empat kursi, mempermudah komunikasi mereka.

_

Udara siang ini begitu sangat panas, ditambah dengan asap kendaraan yang beterbangan di udara, suasana macet memperlengkap semuanya. Jakarta, pukul 13:25, mereka telah tiba di kota tersebut. Kota yang selalu ramai, dan kota yang sangat terkenal sebagai tempat singgahnya para artis-artis.

Panas matahari, tak menghalangi mereka untuk menuju tempat yang paling terkenal bagi masyarakat, Monas. Mereka berdiri sejajar di depan tugu tersebut, dengan tangan yang saling bergandengan satu sama lain.

"Gila, akhirnya. Gue nggak nyangka sebelumnya, kalau gue bisa pergi ke sini," kata Ifan sambil tertawa. Atarik menyahut, "Iya, kota impian gue sejak kecil."

Ayunda memjamkan mata, menarik nafasnya dalam-dalam, "Bertemu dengan para artis, yang bisa membuat kegembiraan tersendiri untuk kita."

"Lihat syuting film, menjadi kesan yang tak terlupakan untuk kita," Sahut Tania.

"Ikut gala premier, merupakan malam yang sangat indah untuk kita." Atarik menghembuskan nafasnya.

"Nonton konser besar-besaran, mampu memberi hiburan yang menyenangkan untuk kita," Timpal Ifan.

"Dan datang di acara ajang penghargaan, hal yang tak pernah kita sangka, dan penuh kejutan untuk kita." Riri tersenyum bahagia.

"Yaudah, kalau gitu kita naik ke Monas!" Ujar Ifan yang bersiap pergi, mendekat ke arah Monas. Atarik mencegahnya langsung, "Eh, tunggu dulu. Kalian ingat nggak, apa tujuan utama kita kemari?"

"Ya raih impian lah." Jawab Tania enteng.

"Ingat kan? Berarti, kita tuntaskan tujuan utama kita dulu, baru kita balik lagi ke sini, naik ke Monas," Kata Atarik. "Setuju nggak?" Sambungnya.

Tania, Ifan, Riri dan Ayunda berpikir sesaat, kemudian mereka serentak menjawab "setuju!".

_

Akhirnya, mereka telah sampai di rumah yang di sewakan Herdi untuk mereka berlima. saat di halaman Monas tadi, mereka menunggu Herdi sejenak, sesuai kesepakatan mereka bersama saat masih di Yogyakarta. Setelah bertemu, Herdi langsung mengajak mereka ke sebuah rumah yang ternyata sudah disiapkannya dua hari yang lalu.

Rumah itu berukuran sedang, cukup untuk mereka berlima yang tidak menetap di Jakarta. kamar tidurnya hanya ada dua dengan di lengkapi kamar mandi di dalamnya. Kamar satu untuk Ayunda, Tania dan Riri, sedangkan kamar satunya lagi, untuk Ifan dan Atarik. Terasa pas semuanya.

"Gue boleh tanya nggak? Sebenarnya, tujuan kalian apa sih, untuk semua ini? Kalau kalian semua pada suka sama dunia seni atau perfilman, kenapa kalian nggak masuk aja ke SMK, atau sekolah yang udah khususkan, kayak, perfilman, informatika, bahasa atau yang lain?" Tanya Tania. Malam ini, mereka semuanya berkumpul di ruang tengah. Ada yang bermain dengan dunianya masing-masing, cerita, atau bermain.

Pertanyaan Tania tersebut membuat Ayunda sadar dari lamunannya, Atarik menghentikan main pianonya, Ifan dan Riri langsung bungkam setelah curhat soal pasangan.

"Tujuan gue, ingin membangkitkan nama gue, supaya mereka sadar, dunia nggak cuma di isi sama orang pintar, cantik, dan kaya. Gue nggak punya dan nggak bisa apa-apa, tapi bukan berarti gue nggak punya perasaan."

"Gue setuju sama Ayunda," Sahut Ifan. "Cantik, ganteng, keren, nggak ada apa-apanya dari pada orang yang punya hati. Orang kaya itu, justru sampah dunia karena selalu membanggakan dan mengumpulkan hartanya. Yang mengaku pintar, hanya omong kosong, mereka memandang kita dengan sebelah mata, dan menganggap kalau kita ini nggak bisa apa-apa, tapi buktinya? Itu berarti otak mereka yang hanya mampu berfikir kecil, nggak bisa mikir secara logika, dan malas mencoba untuk berfikir masa depan," Ucap Ifan menggebu-gebu.

"Kalau gue, mungkin berawal dari sebuah hobi dan idola. Gue terinspirasi sama Anto Hoed, ya, meskipun bukan aktor, tapi namannya juga tetap terkenal. Karyanya, patut diacungi jempol," Terang Atarik setelah Ifan.

"Kalau lo, Ri?"

"Kalau gue, mungkin nggak ada kerjaan kali ya, buat jadi seorang youtuber, gue Cuma capek aja, di rumah dan sekolah selalu sendirian, makanya gue mencari kesibukan yang bisa bikin gue bahagia. Kalau lo sendiri?"

"Gue, awalnya juga nggak menyangka sih, dulu gue ingin jadi dosen, tapi, nggak tau kenapa gue sekarang ingin banget, berada di dunia entertaiment. Mungkin gue sadar, gue undah menemukan jati diri gue sendiri, dan kemampuan gue. Tapi sayang, Mama sama Papa nggak pernah menyangka sama gue, seolah-olah gue ini sedang mimipi. Mereka selalu meremehkan gue," Balas Tania. Awalnya ia bersikap santai, namun saat di akhir kata, ia berubah sendu, mengingat perjuangannya yang tak pernah di hargai orangtuanya.

Melihat Tania yang seperti itu, Ayunda langsung berdiri dan mendekat ke Tania, mengelus bahu temannya, "Tan, apa yang lo rasain tadi, nggak Cuma lo kok yang kayak gitu, kita semua juga. Kita semua coba bersikap santai, meskipun bersikap santai itu nggak ada apa-apanya, justru bikin hati tertekan, tapi hanya ini aja Tan, yang bisa kita lakukan. Orang yang dibuat sakit hati, jangan dibalas dengan kejahatan juga, tapi kebaikan, itu baru yang dinamakan orang pintar dan cerdas."

"Iya Tan, seharusnya lo itu nggak usah sedih, buktikan ke orangtua lo, kalau lo ini bukan lagi mimpi atau berhalusinasi, tapi nyata," Sahut Riri. Tania kembali bahagia lagi. "Bukan Cuma gue dong, tapi kalian juga."

"Iya, pasti itu."

kemudian, mereka memutuskan untuk makan malam bersama yang sudah dibelikan Herdi tadi, dan latihan seusai makan. Tidak perduli selarut apa malam ini, asalkan, besok pagi mereka bisa tampil bagus, secara profesional.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar