Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tania memegang erat kedua tali tas ranselnya, sambil meneliti sebuah rumah yang ada di hadapannya kali ini. Ini bukan tempat yang seperti biasanya saat orang-orang mengadakan acara seminar, seperti di aula, halaman, gedung atau hotel. Tania melihat lagi isi undangannya, memastikan kalau dirinya tidak salah alamat, dan hasilnya memang benar kalau dirinya tidak salah alamat. Mungkin di dalam, batin Tania sambil berjalan masuk ke rumah.
"Kok sepi sih, gue nggak salah alamat kan?" Tanya Tania pada dirinya sendiri.
"Semoga aja, gue belum telat." Tania langsung menoleh ke belakang, dan mendapati Riri yang baru datang dengan tergesa-gesa.
"Ini rumah lo?" Tanya Tania. Riri menegakkan kepala dan menatap Tania.
"Ya bukanlah. Gue ke sini tuh karena gue dapat undangan seminar, makanya gue datang, lumayan lho, gratis. Lo juga?"
"Iya, gue juga dapat undangan seminar, tapi benar kan alamatnya di sini?"
"Kelihatannya sih memang di sini."
"Tapi kok sepi?"
"Nah, itu masalahnya." Tania memutar bola mataanya, karena mendengar jawaban Riri yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Keduanya saling diam, tidak ada yang ingin membahas sesuatu yang akan mengahapus rasa kecanggunagan, atau mungkin karena tidak saling mengenal, hal itu membuat mereka lebih memilih diam dan lebih suka bermain dengan dunianya masing-masing.
"Kalian ngapain di sini?" Lamunan keduanya buyar saat suara berat seorang laki-laki menggema di ruangan tersebut. Riri dan Tania kompak menoleh ke arah pintu.
"Lho, lo kan, orang yang tadi, main piano?" Atarik menyipitkan sebelah matanya, mengingat kembali wajah perempuan tadi yang diam-diam melihatnya saat bermain piano.
"Iya. Kalian ngapain sih, di sini?"
"Emang, lo mau ngapain di sini?" Tania berbalik tanya.
"Seminar."
"sama. Kita juga seminar." Jelas Tania dengan penekanan.
"Tapi mana yang lainnya?"
"Kayaknya kita di tipu deh," Ucapan Riri itu mampu membuat pupil mata Atarik dan Tania melebar dan kompak menjawab, "Ditipu?"
"Iya. Sekarang, kalian pikir deh secara logika, mana ada sih zaman sekarang ada acara seminar tanpa biaya, gratis, terus peserta akan mendapatkan sertifikat, konsumsi, DVD dan DoorPrize lainnya."
"Iya juga sih." lirih Atarik.
"Yaudah, kalau gitu kita pulang aja. Mau makan, udah lapar."
"Eh, tunggu dulu!" Cegah Tania pada Riri yang akan bergegas pulang. "Siapa tau, ini rumahnya dia," Lanjut Tania, dengan menunjuk ke arah perempuan yang berjalan menghampiri mereka.
"Ini rumah lo ya?" Tanya Tania langsung, tanpa basa-basi. Yang ditanya justru kebingungan.
"Hah! Rumah gue?"
"Iya. Rumah lo kan?" Tuduhan Tania itu terdengar lucu bagi Ayunda, mana mungkin bisa ia memiliki rumah sebesar dan sebagus ini, andaikata semua itu kenyataan, mungkin hidup dan karakter sifatnya tidak akan seperti ini.
"Ini bukan rumah gue."
"Lalu, ini rumah siapa?" Riri mulai frustasi, ia berjalan menuju ke ruangan lain dan berhenti pada ruangan yang menurutnya cukup unik.
"Wah! Bagus banget."
Atarik, Tania dan Ayunda ikut menyusul Riri, dan mengikuti arah tatapan Riri yang melihat foto-foto artis, sutradara, producer dan musisi papan atas yang terpajang di dinding dengan sebuah figora. Ada Raffi Ahmad, Prilly Latuconsina, Melly Goeslaw, Dian Sastrowardoyo, Oka antara, , Anto Hoed, Manoj Punjabi, Hanung Bramantyo, Chand Parwez Servia, Fajar Bustomi, Reza Rahardian, Rieta Amalia dan masih banyak lagi.
"Wah, ada fotonya Prilly, idola gue." Wajah Tania berbinar saat melihat foto idolanya terpajang di sana.
"Iya, gue juga ngefans sama Prilly," sahut Ayunda, dengan senyuman yang entah sejak kapan tercipta di bibirnya, mungkin sejak melihat foto idolanya.
"Kalau gue Anto Hoed sama istrinya, Melly Gouslaw, karena pintar membuat kata-kata indah kemudian dijadikan menjadi sebuah lirik yang indah."
"kalau gue pengen jadi kayak om Hanung, yang pandai dalam merancang dan membuat film," Ungkap Riri tanpa mengalihkan tatapannya.
Mereka membanggakan idolanya masing-masing, mulai dari prestasi, dan yang lainnya. Cukup aneh, mereka yang belum pernah mengenal satu sama lain, tetapi sudah mulai akrab. Terkadang, kenyamanan memang mampu membangun sebuah kepercayaan.
_
Setelah itu, mereka saling berkenalan satu sama lain, lalu mereka kembali diam dan menatap ke arah foto tadi. Cukup lama mereka memandanginya hingga tanpa mereka sadari, bahwa sejak tadi ada yang memandangi mereka dari lantai atas. Dia adalah Herdi, seorang laki-laki yang akan membawa mereka pada dunia berbeda, tetapi sesuai dengan keinginan mereka.
"Saya tau, suatu saat nanti, kalian pasti ingin menjadi seperti mereka kan?" Herdi berjalan melewati anak tangga untuk turun. Atarik, Tania, Riri dan Ayunda menoleh ke belakang.
"Saya Herdi, kalian bisa memanggilnya kak Herdi, dan saya adalah orang yang telah mengundang kalian ke sini." Atarik, Riri, Ayunda dan Tania memperhatikan Herdi dengan penuh seksama.
"Saya senang kalian mau datang ke sini, meskipun awalnya kalian merasa kecewa, karena tertipu dengan adanya undangan seminar yang saya adakan." Mata Herdi tak henti-hentinya menatap wajah mereka satu persatu, seperti ada seseorang yang tengah ia cari.
"Tapi saya sedikit sedih, karena yang datang hanya empat orang, padahal saya ingin mengajak lima orang."
"Saya datang." Baru saja Herdi meluapkan isi kekecewaanhatinya karena orang yang diharapkan tak datang, akhirnya kini datang.
Herdi tersenyum ke arah Ifan. "Saya sangat yakin Ifan, kalau kamu akan datang." Ifan hanya terdiam, kemudian memandangi wajah Atarik, Ayunda, Riri dan Tania secara bergantian, begitu juga dengan Atarik, Ayunda, Riri dan Tania yang beralih menatap Ifan sejak laki-laki itu datang ke sini.
Wajah Ifan memang tak asing lagi bagi mereka, karena Ifan juga satu sekolah sama mereka, tapi semua itu tak membuat mereka harus mengenal satu sama lain. Terbukti dari Atarik, Ayunda, Riri dan Tania yang baru saja mengenal satu sama lain.
"Saya ingin mengatakan sesuatu pada kalian, tapi sebelum itu, gimana kalau kita duduk aja dulu?" Tawar Herdi sambil berjalan ke ruang tengah, dan disusul yang lainnya.
"Katanya ada seminar?" kata Ifan.
Herdi tersenyum, "Maaf Fan, saya telah membohongimu."
"di sini tidak ada seminar, tapi di sini ada sebuah sanggar. Saya mengundang kalian ke sini karena saya ingin mengajak kalian berkerjasama."
"berkerjasama?" Ulang Ifan.
"Iya. Saya memiliki sebuah sanggar, tapi isi sanggar saya itu tidak hanya satu, seperti hanya teater saja, tapi juga ada musik, multimedia, jurnalis dan melukis. Makanya saya ingin mengajak kalian belajar di sini."
"Emang, kak Herdi kenal kita?" Tanya Riri.
"Saya sudah mengenal kalian sejak dulu, saat Ifan mengikuti audisi pameran, Atarik yang memainkan alat musik piano di kafe, Riri yang mulai menjadi seorang youtuber, Ayunda yang menulis sebuah cerpen di balai kota, dan Tania yang ikut menjadi pemeran drama teater yang diadakan di komplek sebelah rumahnya, semua itu saya tau karena pada saat kalian melakukannya maka di sana pasti ada saya," terang Herdi untuk memperjelas semuanya, agar mereka tidak merasa bingung dengan semua ini.
"Gimana? Kalian mau nggak?"
"Kenapa kak Herdi cuma ngajak kita? Kenapa nggak lainnya juga?" Atarik bertanya.
"Karena, orang yang bisa belajar di sini hanyalah oarng-orang tertentu, dan orang-orang itu adalah kalian. Kalian yang memiliki bakat, seni dan kreatifitas yang bagus"
"Saya tidak pintar," Sahut Riri.
"Di sini tidak membutuhkan orang pintar."
"Saya nggak punya uang," celetuk Ifan.
"Saya nggak butuh biaya. Di sini gratis"
"Kita semuanya nggak mau trima tawaran kak Herdi." Ayunda bangkit berdiri.
"Kenapa?"
"Karena kita nggak seperti yang kak Herdi kira. Kita nggak memiliki bakat, seni dan kreatifitas sama sekali."
"Itu karena kalian tidak pernah belajar mencoba untuk mengenal diri kalian masing-masing. Saya tanya sekarang, apa impian kalian suatu saat nanti?"
"Menjadi orang kaya, agar tak tertindas."
"menjadi orang yang nggak dianggap sampah lagi. Memiliki kedudukan yang sama dari yang lainnya."
"Menjadi orang yang tidak lagi dianggap bodoh, dan dibutuhkan orang banyak."
"Memiliki kepercayaandiri, agar orang-orang mampu melihat kalau di dunia ini juga ada gue."
"Mempunyai teman, supaya tidak dianggap orang aneh, karena selalu menyendiri."
Herdi mendengarkan impian-impian mereka dengan penuh seksama. Ia tau semua tentang mereka, saat di sekolah, rumah, dan lingkungan sekitar.
Yang cantik itu namanya Tania, gadis yang hidupnya pintar dalam bermain sandiwara. Dia sering mengatakan baik-baik saja, padahal, ia dalam keadaan sebaliknya. Orang-orang seperti menganggapnya tidak ada, sekalipun ada, mungkin hanya bertahan sesaat, itupun jika ada maunya.
Kemudian yang cerdas itu namanya Atarik, laki-laki yang sangat suka bermain alat musik, apalagi yang namanya piano, tidak ada yang bisa menandinginya. Tapi sayangnya, ia tidak berani untuk menunjukkan dunia bahwa dirinya pandai bermain piano. karena ia tidak memiliki sebuah kepercayaan pada dirinya sendiri. Ia terlalu takut untuk mengambil langkah, takut untuk salah, lalu ditertawakan banyak orang.
Setelah itu ada si pintar, dia namanya Ayunda, perempuan yang memiliki ribuan kata-kata dalam hati dan imajinasi yang bagus dalam otak. Sebenarnya, semua kata-kata itu untuk orang-orang yang hanya mampu memandangnya dengan sebelah mata, dan andaisaja dia gadis yang pintar bicara atau tidak pendiam mungkin kata-kata itu telah ia lontarkan untuk mereka yang tidak memiliki hati.
Dan yang keren itu namanya Ifan, lelaki yang mampu membuat dunia ini semakin lebih bewarna dengan lukisan-lukisannya yang tersebar di mana-mana. Semua lukisan itu memilki makna tersendiri, sesuai dengan kata hatinya yang hancur karena orang-orang yang tak pernah berbuat adil untuk keluarganya.
Dan yang terakhir ini ada si lucu, namanya Riri, kalau kemana-mana selalu mengenakan hijab. Dia gadis yang pandai membuat scenario dunia lain, sampai-sampai scenario itu hampir sama dengan scenario di dunia nyata. Tapi sayang, ia sering menyendiri, tidak ada orang yang mau berdekatan dengannya, mungkin karena ia gadis berhijab dan memiliki sifat urakan, maka tidak ada seorangpun yang bearani berdekatan dengannya.
"Kalau suatu saat nanti, kalian ingin menjadi seperti itu, maka kalian harus berusaha mulai dari sekarang, harus belajar, asah bakat yang ada pada diri kalian, jangan dipendam yang justru akan membuat diri kalian tersiksa sendiri."
"Tapi semua itu nggak mudah seperti yang kak Herdi katakan," Tegas Ifan begitu saja.
"Semuanya akan mudah jika kita melakukannya penuh dengan keyakinan. Saya tau, kalian adalah termasuk remaja yanga memilik masalah besar, pada diri sendiri, lingkungan, orangtua dan teman. tapi kalian jangan menyerah, kalian harus percaya diri, buktikan pada dunia bahwa kalian itu bisa, terutama pada orang-orang yang hanya mampu memandang kalian dengan sebelah mata. Justru dari semua itu, kita harus semangat agar tak tertindas oleh mereka, dan kita akan dianggap ada pada mereka, bukankah itu adalah keinginan kalian?"
"Ya," Atarik menjawab pelan. Herdi mempersempit jarak pada mereka yang sejak tadi duduk melingkar. Setelah itu menatap mata mereka satu persatu yang kini arti tatapannya tak mampu Herdi artikan.
"Saya yakin kalian adalah remaja yang bisa, hebat dan kuat untuk menerima cobaan dari tuhan. Yakinlah pada dirimu dan yakinkanlah orangtuamu, bahwa suatu saat nanti, kalian pasti bisa, bahkan mampu melebihi dugaan mereka. Ingat, jangan pernah takut melangkah maju karena pada dasarnya manusia di ciptakan untuk memenangkan diri dan meraih impian. Saya kasih waktu kalian untuk berfikir" Herdi bangkit berdiri dan berjalan ke lantai atas.
Sedangakan Atarik, Tania, Ifan, Ayunda tidak bergerak sama sekali, seolah-olah rumah itu telah melekat pada raganya, bagaikan rumahnya yang kedua. Belajar berubah memang berat bagi mereka, tapi jika mereka tidak berubah dari sekarang bahkan sampai besok, maka nikmatilah hidup seperti ini sepanjang masa. Disingkirkan, dikucilkan, dihina dan digunjingkan, secara diam-diam dari orang-orang yang merasa sempurna.
Jangan pernah takut melangkah maju, karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk memenangkan diri dan meraih impian.
( Ahmad Herdiansyah)