Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Suatu Saat Nanti
Suka
Favorit
Bagikan
16. 16

"Gimana? Kalian udah kasih tau Ifan, kan?" Baru saja Tania, Riri, Ayunda dan Atarik duduk, Herdi langsung memberikan pertanyaan. Awalnya mereka bingung ingin menjawab apa, karena takut Herdi akan sedih atau kecewa setelah mendengarkan jawaban mereka. Di sisi lain mereka juga tau, Herdi sangat butuh jawaban ini. Tania menjawab, "Udah kak. Tapi, dia nggak mau ikut ke Jakarta," Dengan suara yang pelan juga. 

Herdi menghembuskan nafas kasar, menggigit bibir bawahnya dan memegang kepalanya. Terlihat jika ia sangat sedih. "Kalian udah berusaha membujuk dia?" Tanya Herdi lagi.

Kini Atarik yang menjawab, "Udah kak. Tiketnya, udah kita berikan kok kak."

"Iya kak. Kalau Ifan nggak mau ikut, nggak apa-apa kak. Kita tampil bertiga aja," Timpal Ayunda. 

Herdi diam sejenak, "Yaudah, nggak apa-apa. Besok jangan lupa ya, kalian kumpul ke stasiun jam delapan pagi. Kita ketemu di Jakarta, karena saya berangkat nanti sore," Kata Herdi, yang disetujui oleh mereka.

_

"Mama ngapain ke sini?" Tak pernah Riri menyangka. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia tak pernah bertemu dengan mamanya. Tapi kini, mamanya datang dengan alasan yang tidak ia ketahui.

Mama menatap Riri dengan tatapan yang tak bisa Riri artikan, antara sedih dan bahagia. Riri semakin kaget, saat tangan mamanya memegang wajahnya. "Mama kangen sama kamu Ri. Kamu udah besar ya, ternyata." 

Omong kosong! Riri tak percaya dengan apa yang diucapkan mamanya itu. kenapa baru sekarang rasa kangennya? Lalu yang dulu? Atau, jika sejak dulu memang sudah kangen, lalu kenapa, baru sekarang menemui?

"Aku nggak percaya sama mama. Sekarang aku tanya, mama ngapain datang ke sini?"

"Mama mau jemput kamu?"

"Jemput aku?" Ulang Riri kembali. "Iya. Papa kamu belum bilang ya?"

"Maksud mama apa, sih?" Riri semakin tidak mengerti, maksud dari ucapan mamanya.

"Dulu waktu kamu kecil, hak asuh kamu jatuh ke tangan papa. Dan saat dewasa, kamu akan tinggal sama mama," Jelas mama. Pupil mata Riri melotot. Antara keget dan tidak menyangka memang beda tipis.

"Enak banget ya mama. Waktu aku kecil, mama ninggalin aku, lalu pas udah besar, mama ngambil aku. Emang aku boneka, yang ditarik dan dilempar ke sana-sini." Mata Riri mulai memanas. Bahkan tidak hanya matanya saja, tetapi, hatipun ikut bergejolak. 

"Ri, kamu kok ngomong gitu, sih?"

Riri menepis tangan mama yang ada di wajahnya. "Kenapa ma? Kenapa baru sekarang mama ngajak aku tinggal? Kenapa nggak dari dulu aja?" Cairan bening mulai keluar dari sudut mata Riri. "Mama tau nggak, dari dulu aku itu kangen sama mama. Aku ingin ketemu mama. Aku iri sama teman-teman aku yang diantarkan mamanya saat pergi sekolah."

"Ri, seharusnya sejak dulu mama ingin ngajak kamu tinggal bersama. Tapi mama nggak bisa Ri."

"oh, ya? Terus, kenapa baru sekarang mama jemput aku?"

Mama tak berkutik. "Nggak bisa jawab, kan?"

"Karena hak asuh kamu, jatuh ke tangan papamu. Mama nggak bisa berbuat apa-apa Riri. Mama kalah." Jeda tarikan nafas. "Dan sekarang, mama jemput kamu, karena papamu yang minta," Sambung mama. Riri mengerutkan dahinya. 

"Papa yang minta mama buat jemput aku?"

"Iya. Katanya, kamu nggak bahagia tinggal sama Papa. Kamu sering murung dan sendirian. Mungkin karena itu, Papa nggak tega lihat kamu kayak gini. Jadi, sekarang, hak asuh kamu jatuh ke tangan mama. Karena Papa nggak sanggup buat ngerawat kamu." 

"Kenapa kamu seperti itu pada Papamu? Kamu tau kan, kalau Papamu melakukan semua itu demi kamu. Papa bekerja demi kamu Ri. Agar kamu bahagia."

"Tapi terkadang bahagia itu tidak bisa dinilai dengan materi ma! Papa selalu sibuk."

"tapi, sesibuk apapun seorang papa, dia akan selalu mengingat anaknya." Jeda tiga detik. "Lamu pikirkan matang terlebih dahulu Ri. Kamu mau ikut tinggal sama Mama, atau kamu ingin tinggal sama Papa, meminta penjelasan darinya, sebelum penyesalan terlambat. Mama bilang gini, bukan berarti Mama nggak mau tinggal sama kamu. Mama hanya ingin, kamu bisa menghargai pemikiran orang lain, apalagi Papa kamu." 

_

Riri memasukkan bebarapa bajunya ke dalam koper. Besok ia pergi ke Jakarta, berarti ia harus meninggalkan Yogyakarta. Tempat kelahirannya. Tiba-tiba saja, Riri menangis. Bukan karena besok pergi, tetapi kalimat yang diucapkan Mamanya tadi. 

Ia tidak mengerti, bagaimana perasaan Riri kali ini. Ia seperti anak yang tidak memilik orangtua. Tiba-tiba Papa masuk ke kamarnya, dan duduk di sampingya, di atas ranjang.

"Kalau kamu ingin tinggal sama mama, boleh kok, yang penting kamu bahagia," Kata papa. Riri tetap diam, bahkan tidak menatap papa sejak tadi. "Papa tau, kamu selama ini nggak pernah bahagia. Maafin papa."

"Kemana aja papa selama ini? Papa tau nggak, aku selalu kesepian saat di rumah. Papa sibuk, nggak pernah ngurusin aku. Aku nggak butuh harta pa, tapi yang aku butuhkan itu, perhatian dari seorang papa. Aku udah trima, jika mama dan papa pisah. Tapi aku nggak bisa kayak gini, papa telantarkan aku bersama bibik." Kini Riri mulai mengeluarkan semua unek-uneknya kepada papa.

"Iya, papa tau. Maka dari itu, papa ingin memperbaiki semuanya."

"Udah terlambat."

Papa menghela nafas berat, suasah rasanya jika punya dengan seorang anak. 

"Kalau gitu, besok papa antarkan kamu ke rumah mama ya?" Riri diam.

"Asal kamu tau Ri, harta memang nggak menjamin kita bahagia, tapi harta yang akan menjamin layaknya kita hidup di dunia."

"Itu prinsip papa kan?"

"Papa punya prinsip seperti itu, karena papa nggak mau, hidup kamu susah seperti papa dulu. Kamu tau, kenapa mama dan papa cerai? Karena kakek dan nenek kamu dari Mama, nggak ingin anaknya punya suami seperti papa, yang dulunya nggak punya apa-apa."

Betapa terkejutnya Riri, mendengar alasan orangtuanya berpisah. Karena harta membuat keluarganya hancur. Ia baru sadar, kenapa, terkadang orang, selalu pilih dalam mencari teman. Mereka selalu mencari yang sempurna ; cantik, pintar, kaya. Padahal, semua itu, belum tentu membuat orang bahagia. Seperti Ayunda dan Ifan, yang selalu jadi bahan lelucon teman-temannya karena tidak punya apa-apa. 

"Besok kamu papa antarin ya?"

"Kenapa papa nggak pernah cerita ke aku?" Tanya Riri yang mengalihkan pembicaraan.

"Papa nggak mau, kamu membenci kakek sama nenek kamu."

"Tapi kalau gini, aku jadi benci sama papa. Aku pikir, papa hanya mentingin soal materi aja."

"Papa selalu memikirkan kamu Ri." Tangis Riri semakin pecah. Papa memeluk Riri. "Kamu udah beres-beres, buat pergi besok?"

"Pergi kemana pa?"

"Ke rumah Mama."

"Aku nggak mau tinggal di rumah mama, aku mau tinggal sama papa aja." Entah kenapa, Riri begitu cepat berubah pikiran. Padahal, ia sudah memutuskan untuk tinggal bersama Mama. Mungkin, ia sadar, tidak seharusnya ia bersikap dingin ke papa yang selama ini berusaha membahagiakannya agar mendapatkan kehidupan layaknya di dunia. Penyesalan selalau datang terlambat, memang.

"Lho, kenapa?"

"Aku sayang sama papa," Kata Riri, semakin mengeratkan pelukannya bersama papa. Riri tau, air mata papanya kini berkaca-kaca. Mungkin beliau terharu, pertama kali Riri mengucapkan kalimat itu.

"Papa juga sayang kamu Ri," Balas papa sambil mengecup kening Riri. 

Akhir dari salah sangka Riri, kini telah berakhir. Riri memperbaiki hubungannya bersama papa yang sempat renggang, malam ini. Ia juga bercerita, jika besok, ia akan ke Jakarta untuk memasuki sepuluh besar, dari audisi Indonesia Mencari Bakat, kemarin. Dan betapa senangnya papa, mendengar cerita anaknya itu.

_

Berbeda dengan Riri yang bisa menyelesaikan masalahnya bersama orangtua. Ayunda justru berada di puncak masalah. saat ia cerita ke ibuk dan ayahnya, kalau besok ia akan pergi ke Jakarta. ia pikir, ayahnya akan mendukung, tetapi sebaliknya.

"Kenapa yah?" Tanya Ayunda, membutuhkan penjelasan.

"Yu, kamu, itu masih kecil."

"Masih kecil yah? Sampai kapan ayah menganggap aku sebagai anak kecil? Aku ini, udah besar yah! Aku ingin seperti teman-temanku, yang nggak selalu di kekang sama orangtuanya." Nada suara Ayunda mulai terdengar tinggi.

"Tapi Jakarta itu jauh Yu." 

"Sejauh-jauh apapun temapatnya, kalau orangtuanya mendukung, pasti ngerelakin kok! Bilang aja, kalau ayah nggak ingin aku ke sana. Yah, aku juga pengen seperti kakak-kakakku, yang bisa hidup bebas. Merasakan indahnya kehidupan luar. Ayah nggak pernah ngerti perasaan aku. Aku capek yah, hidup di sini. Aku ingin berubah. Aku ingin dilihat semua orang, kalau ini bisa yah, nggak sekedar parasit di sini."

"Yu--"

"Udahlah yah, aku mau pergi. dan besok aku ke Jakarta." 

Ayunda berlari pergi, meninggalkan rumah, orangtuanya dan kakak-kakaknya, tanpa tujuan yang jelas. Dengan cairan bening yang keluar dari sudut matanya, secara perlahan.

_

Purnama mulai menampakkan sinarnya, beribu bintangpun terlihat gemerlap di angkasa, udara malam ini pun, tak terasa dingin dan panas. Tania suka yang seperti ini.

Ia berapi-rapi, memasukkan beberapa baju ke dalam koper. Terkadang, ia senyum-senyum sendiri. Tak sabar menunggu hari esok.

"Kamu kenapa, senyum-senyum sendiri?" Tanya Anita, yang datang ke kamar Tania untuk memberikan paket kiriman tadi.

"Nggak kenapa-napa kak." Jawab Tania. enyumnya sama sekali tak henti.

Anita semakin penasaran, terutama saat Tania memasukkan beberapa baju ke dalam koper. "Lalu, kenapa kamu masukkin baju-baju kamu ke koper?"

"Oh, ini, buat ke Jakarta kak. Besok pagi."

Mama yang lewat di depan kamar Tania, tak sengaja mendengarkan apa yang di katakan putrinya tersebut. Beliau langsung masuk ke kamar Tania. "Ke Jakarta?"

Kakak dan beradik itu, kompak menoleh ke belakang. Dan di sana ternyata sudah ada mama.

"Iya ma, besok aku mau ke Jakarta. doain ya, semoga, di sana nanti, acaranya lancar."

"amin."

"Tunggu-tunggu," Timpal mama. "Mama semakin nggak ngerti, maksud kamu apa ya? Acara itu, acara apa?"

"Gini lho ma, aku kemarin itu, ikut audisi Indonesia Mencari Bintang. Dan syukurnya, aku dan teman-temanku lolos, masuk ke sepuluh besar."

"Jadi, kamu ikut gitu-gituan Tania?" Tanya mama dengan mata melotot. Tania mengangguk.

"Astaga, Tania, kamu itu benar-benar ya? Mama kan udah kasih tau kamu, jangan ikut gitu-gituan, apalagi jadi artis."

"Aku nggak jadi artsi kok ma.

"Lalu, jadi apa?"

"Penyanyi."

"Penyanyi?" Mama semakin tak mengerti, apa yang diinginkan Tania itu. awalnya ia ingin menjadi dosen, lalu kemarin jadi pemeran, dan sekarang justru jadi penyanyi.

"Maksud kamu, itu apa sih Tan?"

"Gni lho ma, aku ceritain ya, awalnya?" 

"Mama nggak butuh cerita kamu. Yang mama butuhkan, kamu tinggalkan duniamu itu. Mama udah pernah bilangkan, jangan pernah ikut, hal semacam ini!"

"Kenapa sih, mama nggak suka banget, kalau aku jadi kayak gini?" 

"Bukannya mama nggak setuju, tapi mama cuma mau ngingetin kamu aja. Kamu itu siapa Tan, gadis pemalu yang nggak bisa apa-apa. Kalau kamu nanti ikutan kayak gitu, terus penampilan kamu jelek, siapa yang malu? Nggak Cuma kamu doang, tapi sekeluarga, terutama mama dan papa."

Tania tak menyangka, mamanya tega mengatakan hal itu padanya. Seharusnya, sebagai orangtua, mama mendukung keinginannya, bukan malah diinjak-injak. Tania tau, dirinya memang pemalu, tapi itu dulu, sekarang dirinya sudah berubah.

"Mama tega, ngatain aku kayak gitu."

"Mama nggak ngatain, tapi terbuktikan?" Apa yang dikatakan mamanya tersebut memang benar, tapi tidak seharusnya diucapkan secara gamblang, di depannya.

"Terserah mama mau ngomong apa. Mau ngehina aku, menceramahi aku, memarahi aku, nggak apa, asalkan mama ingat satu hal, aku besok tetap akan pergi ke Jakarta. meraih impian aku." 

Mama tersenyum kecut, "Kita lihat saja Tania, apakah kamu mampu bertahan dengan imajinasimu atau tidak. Anita, ayok keluar, biarkan di menghayal setinggi-tingginya." 

Mama dan Anita, yang sejak tadi diam, ke luar dari kemar Tania. Sedangkan Tania terduduk lemas di atas ranjang. Apakah semua ini hanyalah sebuah mimpi? Saat ia ikut audisi, hingga masuk kesepuluh besar, dan besok yang akan pergi ke Jakarta? tidak, bagi Tania, itu semua bukanlah mimpi, tapi nyata. 

Dari ibuk aku belajar arti sebuah pengorbanan, dari ayah aku belajar arti sebuah perjuangan, dan dari kalian aku belajar arti memaknai sebuah hidup.

(Sara Sefira)

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar