Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Waktu telah sore, tapi Ayunda baru pulang ke rumahnya. Sebenarnya, ia malas untuk pulang, bukan karena orangtuanya atupun kakak-kakaknya, melainkan karena tetangga-tetangganya yang sering menyindirnya. Ayunda tau, mereka memang tak menyukainya dan keluarganya karena ia tak begitu cantik seperti Dyah kakak perempuannya dan tak sepintar Yudhis kakak laki-lakinya, tetapi mereka harus tau bahwa semua orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Dyah memang cantik tetapi dia tidak bisa apa-apa, baginya hidup Dyah itu hanyalah menyusahkan orangtuanya saja, begitupun dengan Yudhis yang pintar tapi tak beruntung, ia lulus S1 jurusan arsitek tapi ia justru menganggur di rumah karena tak ada satu pekerjaanpun yang mau menerimannya, terkadang ia juga ikut ayah ke bengkel untuk kerja.
"baru pulang Yu?" sapa buk Ima, tetangganya yang baru saja selesai menyapu halaman.
"iya buk." jawab Ayunda dengan senyuman yang terpaksa.
"jalan kaki aja Yu? Nggak naik motor atau mobil gitu? Kan udah punya mobil "
"ibuk sama ayah nggak ngebolehin buk."
"oh"
"yaudah buk saya permisi dulu ya!"
Ayunda melanjutkan langkahnya tadi yang sempat terputus. Kenapa ia harus terlahir menjadi gadis seperti ini. Ia kasihan melihat pengorbanan orangtuanya untuk membahagiakannya, apalagi dulu saat mereka belum memiliki apa-apa, hinaan terus-menerus selalu Ayunda dan keluarganya trima karena tidak memiliki apa-apa, tapi sekarang sudah berbeda, keluarganya sudah lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tapi Ayunda masih tidak suka terhadap perilaku orang-orang yang semena-mena kepadanya, seakan-akan dirinya adalah pembantu untuk semuanya. Ia lelah dengan kehidupan semua ini, ia ingin orang-orang melihatnya bahwa ia juga bisa, tidak hanya sebagai gadis pendiam yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan salah satu cara yang dapat merubahnya kali ini adalah ia harus menyetujui saran Herdi tadi. Ya, ia harus mengajak Atarik, Tania, Ifan dan Riri untuk menyetujui saran Herdi. Berkerja sama dengannya.
_
Semuanya terasa aneh bagi Ayunda, Tania, Atarik, Ifan dan Riri. Pasalnya baru kali ini mereka menikmati waktu jam istirahat bersama di taman sekolah. Bukan karena kebetulan ataupun rencana mereka berlima melainkan ini adalah rencana dari Tania seorang.
"Kalian tau nggak kenapa gue nyuruh kalian ke sini?" Tania memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan untuk mereka. Ayunda, Riri, Atarik dan Riri diam karena mereka tidak mengerti apa keinginan Tania kali ini yang mengumpulkan mereka berempat.
"Karena gue ingin membahas apa yang di tawarkan kak Herdi kemarin."
"Maksudnya?" Tanya Ifan. Tania menatap Ifan dengan mata berbinar.
"Gue punya usul, gimana kalau kita trima aja tawarannya kak Herdi, siapa tau apa yang di bilang kak Herdi kemarin bisa menjadi kenyataan kan?"
Gelak tawa Ifan membuat senyum Tania mengendur, ia merasa bingung dengan reaksi yang diberikan Ifan untuknya, "Emang lo yakin, bisa menjadi apa yang dikatakan kak Herdi kemarin?"
"Maksudnya?"
"Tan, ayolah, kita sadar pada diri kita masing-masing. Kita ini siapa? Orang yang nggak pernah di anggap ada dan kita hanyalah manusia lemah yang nggak bisa berbuat apa-apa."
"Kata siapa kita nggak bisa berbuat apa-apa? Kita bisa kok," Sahut Riri, membuat Ifan beralih menatapnya.
"Lo yang bisa, gue nggak bisa."
"Setiap manusia pasti bisa melakukan apa yang mereka inginkan. Termasuk lo."
"Tapi sayangnya, gue udah nggak percaya lagi kata-kata seperti itu, kata-kata yang memberikan gue mimpi dan harapan indah yang kemudian akan mampu menciptakan sebuah kekecawaan tanpa gue minta."
"Lalu, apa masalahnya yang membuat kalian nggak setuju dengan rencana semua ini? Ini adalah sebuah kesempatan untuk kita?"
"Bukan kesempatan untuk kita Tan, tapi untuk lo!" Bantah Ifan dengan suara yang sedikit meninggi, "Lo enak bisa ngomong seperti itu, karena di hidup lo nggak pernah ada masalah sedikitpun," Lanjutnya.
"Kata siapa gue nggak punya masalah? Gue punya kok, dan semua orang yang ada di dunia ini pasti punya masalah."
"Tapi masalah lo cuma sedikit Tan."
"Biarpun sedikit ataupun banyak, yang namanya masalah tetap masalah. Sekarang gue tanya, kalian udah sadar nggak kalau kita berada di dunia yang sama?"
"Dunia yang penuh dengan khayalan, yang membuat kita nggak bisa membedakan mana yang nyata dan delusi." Jawab Riri antusias. "Benar."
"Lalu, orang-orang akan menggap kita gila, atau orang yang sedang terkena penyakit skizofrenia, yang dimana, penyakit itu tidak bisa membedakan mana yang nayata dan ilusi," Sahut Ayunda yang diangguki Tania.
"gimana? Kalian mau dianggap seperti itu?" Ayunda, Ifan, Atarik dan Riri, kompak menggeleng.
"Yaudah, kalau gitu, kita trima aja saran kak Herdi, karena gue rasa, mungkin cuma cara ini yang mampu meluapkan isi hati dan keinginan kita." Jelas Tania kesekian kalinya. Ia tidak akan pernah menyerah untuk menyakinkan teman-temannya sampai mereka mau menuruti saran Herdi.
"Tapi semuanya nggak mudah seperti apa yang lo bayangin Tan!"
"Apanya Rik, yang nggak mudah?"
"Papa nggak suka gue main piano, lalu untuk apa gue nerusin bakat gue jika orangtua gue nggak pernah mendukung apa yang selama ini gue impikan?" Terang Atarik, merasa putus asa dengan semua yang ada. Baginya, semesta menciptakan dirinya di dunia ini hanya untuk mengadu nasib, dan berserah diri pada sang khalik.
"Tapi, apa lo nggak kasihan sama diri lo yang hanya mampu berandai-andai? Yang hanya membuat lo sakit, sedangkan kita bahagia karena sudah meraih impian kita masing-masing.."
"Seharusnya, kalian itu semangat dengan adanya semua ini, kita harus belajar, buktikan pada orang tua kita, tetangga dan teman-teman bahwa kita bisa menjadi orang hebat." Sampai kapanpun yang namanya Tania tidak akan pernah berhenti untuk memberi penyemangat bagi mereka. Meskipun ia belum mengenal mereka sangat jauh, tapi bersama mereka Tania merasa nyaman seperti seorang sahabat yang tidak bisa dipisahkan.
"Sekarang kalian bayangin deh! Kalian punya bakat yang sudah sama dengan impian kalian suatu saat nanti, tapi orangtua kalian nggak setuju, kemudian kalian menuruti apa yang orangtua kalian inginkan. Misalnya kayak Atarik, yang satu saat nanti ingin jadi musisi, tapi Papanya nggak setuju karena Papanya ingin satu saat nanti Atarik meneruskan usaha Papanya, dari hal yang kayak gini membuat Atarik menyerah untuk meraih impian yang dia inginkan. Emang sih, anak itu harus menuruti apa yang disuruh orangtua, tapi kita sebagai seorang anakkan juga punya kehendak dan usaha, apalagi kalau sudah menyangkut masa depan."
"Kita harus semangat, usaha untuk gimana caranya orangtua kita bisa percaya bahwa impian kita sendiri itu lebih baik dari pada impian itu dari desakkan atau tuntutan orangtua karena tidak sesuai dengan keinginan hati dan kemampuan kita. Kalian nggak mau kan dianggap orang-orang seperti sampah, nggak punya otak,nggak bisa apa-apa. Kalau kalian nggak mau atau lelah terhadap ucapan, perilaku dan sindiran tersebut menimpa kalian, maka kalian harus berani untuk menunjukkan kelebihan kalian yang selama ini kalian simpan."
" Tunjukkan ke dunia, kalau kalian bisa dan biar mereka itu sadar, kalau semua orang, baik yang pendiam, miskin, nggak jelas, dingin, nggak percaya diri, maupun nggak pintar, pasti punya kelebihan. Mereka nggak bisa memandang kita karena mereka terlanjur memandang kita sebelah mata."
Ayunda diam sejenak, mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibr Tania. Apa yang dikatakan Tania benar, jika dirinya ingin berubah kenapa ia tidak mengikuti saran Herdi kemarin yang akan membantunya menjadi seorang penulis terkenal, lagipula bukankah ini juga menjadi rencananya kemarin sore yang ingin mengajak mereka untuk mengikuti saran Herdi. Dengan penuh keyakinan dan sesuai isi kata hati yang sesungguhnya, Ayunda menjawab, "Iya, gue setuju, apa yang disarankan Tania." Tania tersenyum lebar, akhirnya salah satu dari mereka sudah ada yang ingin mengikuti sarannya.
"Gue juga," Sahut Riri yang memang sejak tadi sudah menyetujui saran Tania, karena baginya saran Tania akan mempermudahkannya untuk membuat skenario dengan apik, ada Herdi yang siap mengajarinya.
Tinggal Atarik dan Ifan yang belum mengambil keputusan antara 'iya' dan 'tidak'. Ifan dan Atarik berpikir, semuanya sulit bagi kedunya, bagaimana tidak? Atarik takut jika nanti dirinya ikut masuk ke sanggar Herdi, akan ada salah satu seseorang yang mengetahuinya kemudian ia akan di laporkan ke Papanya. Itu sama saja artinya ia sedang mencari kematian, namun di balik semua itu ada sisi baiknya, ia bisa belajar untuk bermain piano lebih baik dan satu saat nanti siapa tau ia bisa menjadi seorang musisi seperti idolanya ; Melly Goeslaw dan Anto Hoed.
Atarik menarik nafasnya dalam-dalam, setelah itu ia hembuskan secara perlahan, memberi kesiapan pada keputusan yang ia ambil, dan berharap pada akhirnya ia tak menyesal dengan semuanya, "Oke, gue juga setuju."
Ifan melirik Atarik. Kenapa Atarik mudah mengambil keputusan sedangkan ia masih berada diambang keraguan? Ifan senang karena Herdi mempercayainya, itu berarti Herdi dan Tania menganggapnya ada. Tapi dilainsisi ia masih takut untuk mengambil langkah yang pada akhirnya akan berujung penyesalan. Sudah cukup Ifan menerima itu semua ; kegagalan, kesedihan dan penyesalan. Namun ifan juga ingin berubah, ia akui jika dirinya telah lelah untuk mengikuti alur tuhan yang selalu mempermainkannya, ia ingin merasakan dunianya seperti dulu, bersama teman-teman dan keluarga. Tapi sekarang ia tidak memiliki siapa-siapa lagi sejak orangtuanya jatuh miskin, lalu pada siapa ia ingin bahagia?
Ifan menatap wajah Atarik, Tania, Ayunda dan Riri secara bergantian. Mungkin mereka adalah orang-orang yang dikirim tuhan untuk menjadi bagian dari kisah gue, kata Ifan dalam hati.
"Gue juga setuju."
Senyum Tania semakin merekah, ucapannya tidak sia-sia untuk memprovokasi mereka, meskipun pada awalnya Atarik dan Ifan bersikeras untuk menolak sarannya, dan Tania tak mempermasalahkan itu semua, asalkan sekarang mereka telah setuju dengan semuanya.
Kutanamkan literasi dalam hidupku, Agar kudapat menumpahkan amarahku Pada mereka yang hanya mampu memandangku sebelah mata.
( Ayunda Hepsari )