Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Sampai Nanti, Sampai Kita Bertemu Kembali
Suka
Favorit
Bagikan
11. #11 Kunci Duplikat

1.     EXT. APOTEK – SORE

Gilang bersama Awal membeli obat di apotik.

APOTEKER

Ini, Bang, obatnya. Dosisnya sekali saja sebelum tidur, ya.

Oh ya, ini obatnya untuk siapa?

GILANG

Ayah saya.

APOTEKER

Ohh... semoga ayahnya segera membaik, ya.

Gilang tersenyum kecut.

GILANG

Iya, semoga. Terima kasih, ya, Kak.

APOTEKER

Sama-sama.

Gilang berjalan meninggalkan apotek bersama Awal. Suasana kota Dumai yang cukup ramai dengan kendaraaan menimbulkan suara bising.

AWAL

(bahasa isyarat)

Semuanya akan baik-baik saja.

Gilang kesusahan memahaminya. Awal mengulangnya lagi. Saat itu, ia baru paham dengan apa yang disampaikan Awal.

GILANG

Entahlah, Wal. Saya tidak mau berharap banyak lagi.

Kita yang sehat-sehat aja bisa aja meninggal besok atau nanti,

tapi kalau penyakit yang yang udah ada vonis sisa waktunya,

mau berharap bagaimana lagi.

AWAL

(bahasa isyarat)

Kita tidak pernah tahu jalan Tuhan bagaimana.

Yang itu, Gilang langsung paham. Gilang tersenyum tanpa menaruh harapan sedikit pun. Akan tetapi, ucapan Awal cukup membuat hatinya sedikit lebih lega.

AWAL (CONT’D)

Ayah kamu orang baik.

Sebelum bertemu, hampir setiap hari Pak Bujang bercerita tentang beliau.

Kalaupun Tuhan menjemputnya, ayah kamu

pasti akan ditempatkan di sisinya. Di surga.

Penjelasan Awal yang sangat pelan membuat Gilang lebih mudah memahami maksud Awal. Sekali lagi Gilang tersenyum. Sekali lagi hatinya merasa lebih lega.

Mereka sampai di pintu masuk utama rumah sakit.

INTERCUT:

2.     INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP

Di dalam ruangan, terlihat Rano dan Suster Dina yang ternyata masih berada di sana.

RANO

Eh, panjang umur dia, Sus.

Suster Dina masih tersipu malu. Gilang menyerahkan obat kepada perawat. Suster Dina menyambutnya sambil mencuri lirik. Gilang terseenyum kaku.

RANO (CONT’D)

Kata suster Dina ini, dia udah nonton film-film kamu.

Katanya keren-keren. Beda dari film-film Indonesia lain yang ceritanya gampang ketebak dan banyak nggak masuk akal.

Gilang menyengir.

GILANG

Wah, terima kasih, ya, Sus.

Tapi, film-film Indonesia yang lain masih banyak juga kok yang bagus-bagus.

SUSTER DINA

 (nyengir) Iya... ajak lah, Bang Gilang, main film sekali-kali.

Bosan juga jadi perawat. Kerjanya gitu-gitu mulu.

Kalau main film pasti jalan-jalan terus ya, kerjaannya?

GILANG

Wah, saya kan nulis, Sus, kerjanya di belakang layar.

Jadi jarang juga yang ikut ke lokasi.

SUSTER DINA

Tapi ketemu artis-artis sering kan?

GILANG

He he... lumayan.

SUSTER DINA

Bang Gilang kenapa nggak ikutan main film juga?

Rano dan Awal senyum-senyum mendengarkan percakapan mereka.

GILANG

Nggak punya bakat akting, Sus. He he...

SUSTER DINA

Sayang sekali. Ganteng-ganteng gini kerjanya di belakang layar aja.

Kalau main film pasti banyak fansnya.

RANO

(nimbrung)

Ah, nggak main film aja udah banyak fansnya dia.

GILANG

Yah... apa-apaan sih?

SUSTER DINA

Ya udah, kalau gitu saya pamit dulu.

(ke Rano) Pak Rano, kalau untuk obat ini minumnya sekali saja sebelum tidur ya.

Permisi, Pak Rano, Bang Gilang dan... temannya.

Rano, Gilang, dan Awal mengangguk sambil melempar senyum. Sepeninggalan Suster Dina, Gilang menghela napas panjang.

RANO

Kamu kenapa kayak kelelahan gitu?

GILANG

Ayah lagi, pake dikompor-komporin segala.

Gilang berjalan ke arah Rano dan duduk di kursi di samping Rano.

RANO

Lang, kamu bau banget sih.

Gilang kaget. Diciumnya ketek kiri kanan, lalu nyengir.

GILANG

Ya, kan dari kemarin belum mandi, Yah.

RANO

Ya udah, kamu mandi sana.

GILANG

Nggak ah, masa Gilang ninggalin ayah.

Awal mengetuk pundak Gilang. Dalam bahasa isyarat yang pelan ia berkata:

AWAL

Malam ini, nggak apa-apa aku yang jagain Pak Rano.

Kamu istirahat saja di rumah.

GILANG

Nggak usah, Wal. Nggak usah repot-repot.

Awal bersikukuh.

AWAL

(bahasa isyarat)

Nggak repot kok. Sambil ngobrol-ngobrol dengan ayah kamu.

Selama ini kan cuma dengan ceritanya doang dari Pak Bujang.

Gilang melirik Rano. Rano mengangkat bahunya.

GILANG

Ya udah kalau gitu. Makasih, ya, Wal.

Gilang berdiri. Awal menyerahkan kunci motor dan rumah.

AWAL

(bahasa isyarat)

Ingat kan jalannya?

GILANG

He he... nggak.

Awal menjelaskannya kepada Gilang dalam bahasa isyarat. Gilang mengangguk-angguk. Awal memegang baju Gilang, lalu berkata dalam bahasa isyarat.

AWAL

Pakai bajuku saja nanti.

Gilang mengangguk, lalu berjalan menuju pintu kamar inap.

CUT TO:

3.     EXT. JALANAN DUMAI – MALAM

Gilang mengendarai mobil di tengah kota yang cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan. Terlihat ia mengingat-ingat petunjuk jalan yang dijabarkan Awal tadi.

CUT TO:

4.     INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP – MALAM

Awal tengah membantu Rano menyuap makanan.

RANO

Keluarga kamu di mana, Wal?

AWAL

(bahasa isyarat)

Ayah dan ibu di surga. Adik kakak nggak punya.

Sanak saudara nggak tahu pada ke mana.

Rano tersenyum prihatin sekaligus bangga melihat sosok Awal yang begitu tegar menjalani semuanya seorang diri.

RANO

Sebentar lagi saya akan bertemu dengan mereka.

Juga Bujang. Kamu mau titip salam?

Awal tertawa. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu mengangguk.

AWAL

(bahasa isyarat)

Saya juga mau titip duplikat kunci rumah.

Biar mereka dan bapak Rano juga bisa leluasa masuk ke rumah tanpa mengetuk dulu.

Rano tertawa haru. Ia lalu mengangguk.

RANO

Saya besok mau pulang, Wal.

AWAL

(bahasa isyarat)

Memang sudah boleh?

RANO

Pasti boleh. Saya nggak mau habisin sisa hidup saya di rumah sakit.

Ada banyak hal lain yang ingin saya lakukan sebelum saya pergi.

Salah satunya ialah permintaan Bujang di surat yang kamu kasih ke saya kemarin.

AWAL

(bahasa isyarat)

Baiklah, kalau begitu. Besok akan saya sampaikan ke Gilang.

DISSOLVE TO:

5.     INT. RUMAH AWAL – PAGI

Gilang keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Ia masuk ke dalam kamar Awal.

6.     INT. RUMAH AWAL – KAMAR

Gilang membuka lemari. Di bagian dalam pintu yang ia buka, terlihat foto Awal kecil bersama kedua orang tuanya. Di bawahnya, foto Awal remaja bersama Bujang. Gilang tersenyum melihat potret keluarga kecil Awal yang sekarang semuanya tidak lagi menemani Awal.

Gilang lalu mengambil satu kaos dan langsung dipakainya. Terdengar dering HP, Gilang melirik. Panggilan dari Tio. Gilang mengangkatnya, lalu berjalan menuju dapur.

7.     INT. RUMAH AWAL – DAPUR

Gilang menelepon sambil membuat secangkir teh. Dari dapur, sesekali terdengar suara kokok ayam. Gilang membuka pintu belakang, ternyata di sana terdapat beberapa ekor ayam ternak milik Awal.

GILANG

Selamat pagi, Mas Tio.

TIO (O.S)

Selamat pagi, Lang.

Gilang, saya masih nunggu kabar dari kamu loh soal proyek kita selanjutnya.

Udah dua hari saya hubungi kamu nggak ada respon apa-apa.

GILANG

Maaf, Mas Tio. Saya sepertinya nggak bisa garap sendiri proyek tersebut.

TIO (O.S)

(nada kecewa dan penasaran)

Loh, kenapa, Lang?

GILANG

Maaf, Mas, ada urusan keluarga yang saya harus kerjakan sebelum kembali ke Jakarta.

TIO (O.S)

Kamu mau nikah, ya?

Gilang tertawa.

GILANG

Bukan, Mas. Ayah saya sedang sakit.

TIO (O.S)

Oh gitu, saya turut prihatin, Lang.

Semoga ayah kamu cepat sembuh ya

GILANG

Iya, terima kasih, Mas Tio. Semoga saja.

Gilang menyeduh tehnya sembari berjalan ke halaman belakang.

8.     EXT. RUMAH AWAL – HALAMAN BELAKANG

Gilang terus melanjutkan percakapan sambil menyeduh teh. Di depannya, terlihat beberapa ekor ayam sedang berkeliaran. Tidak jauh dari sana, pemandangan ialah sepetak kebun kokoa.

TIO (O.S)

Terus gimana nasib proyek kita, Lang?

GILANG

Kalau untuk script-nya sudah saya selesaikan.

Nanti saya kirim ke email Mas Tio. Kalau untuk direct sendiri,

gimana kalau kita coba kontak Mas Dimas?

TIO (O.S)

Ah, jangan Dimaslah.

Kamu ‘kan tahu sendiri dia kalau bikin film selalu difokusin

sama asmaranya, ujung-ujungnya jadi drama percintaan,

nggak sesuai dengan naskah kita.

GILANG

Mas Bobby?

TIO (O.S)

Bobby lagi sibuk. Kemarin saya sempat ngobrol sama dia.

Katanya masih ada dua proyek lagi yang masih pra produksi.

Gilang yang saat itu tidak bersemangat membahas pekerjaan, dipaksa berpikir untuk mencari sutradara yang tepat untuk naskahnya. Selain karena ia tidak mau ceritanya nantinya digarap asal-asalan, hal itu juga karena ia sangat menyegani Tio, karena harapan Tio yang begitu besar kepadanya.

Gilang berjalan ke sisi samping rumah Awal.

TIO (O.S) (CONT’D)

Lagipula, saya pengennya cerita ini dibuat sesuai

dengan presentasi kamu ke saya waktu itu, Lang.

Idenya fresh dan unik.

Anak muda seperti kamu memang pantas menurut saya untuk proyek ini.

Tiba-tiba, Gilang teringat satu nama.

GILANG

Hm... kalau sutradara baru, gimana, Mas?

TIO (O.S)

Ya, tergantung.

GILANG

Mas, masih ingat nggak film pendek yang pernah saya buat sama teman saya dulu?

TIO (O.S)

Ya...

GILANG

Ya, teman saya itu. Ajit namanya. Saya kan pernah cerita sama Mas Tio.

Kalau Mas Tio mau, biar nanti saya hubungi Ajit.

Nanti Mas Tio bisa ngobrol-ngobrol lebih sama dia. Gimana?

TIO (O.S)

Yang kata kamu sekarang main di teater?

Wah, resikonya besar, Lang. Teater sama film kan jauh beda.

Gilang sekarang berada di samping rumah Awal yang menghadap langsung ke rumah lama Bujang.

GILANG

Sama, kan. Saya juga belum berpengalaman directing, Mas.

Saya pastiin ke Mas Tio, Ajit itu kalau soal kemampuan,

dia jauh di atas saya. Saya awalnya banyak belajar dari dia.

TIO (O.S)

Gimana, ya, Lang...

GILANG

Mas Tio nggak perlu jawab sekarang. Kalau Mas Tio mau,

paling nggak ketemu dulu sama Ajit, nanti saya coba hubungi dia

TIO (O.S)

Ya udah kalau gitu, Lang. Kabari saya secepatnya, ya.

GILANG

Siap, Mas Tio.

Gilang menutup telepon. Tatapannya kini mengarah ke arah rumah lama Bujang. Rumah lama Bujang tersebut menghadap ke arah samping rumah Awal, hanya terpisah oleh jalan kerikil.

Terlihat rumah yang begitu familiar baginya. Rumah penuh kenangan dengan orang-orang yang keseluruhannya tidak lagi ada bersamanya: Bujang, Yuni, dan Damar. Orang-orang yang dulu ia anggap sebagai keluarga kedua sebelum kejadian utang-piutang terjadi. Tidak akan lama lagi, keluarga itu yang akan menyambut ayahnya di surga.

Sekilas memori berputar ke MASA LALU:

Dari arah Gilang, muncul bayangan GILANG KECIL DAN DAMAR KECIL berlari-lari di halaman rumah. GILANG KECIL DAN DAMAR KECIL berhenti. GILANG KECIL DAN DAMAR KECIL menatap balik ke arah GILANG DEWASA. Mereka tersenyum seraya mengedip, melambaikan tangan, lalu kembali berlari ke arah samping rumah, dan menghilang. GILANG DEWASA balas tersenyum.

Gilang dibangungkan oleh nada pemberitahuan Whatsapp. Dari Awal yang berisi:

Bang Gilang, Pak Rano katanya mau pulang pagi ini saja, dia nggak mau lama-lama di rumah sakit. Gilang membalas pesan tersebut: Ya udah, saya jalan ke sana, Wal.

DISSOLVE TO:

9.     INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP – PAGI

Di dalam ruangan, terlihat Rano di atas kursi roda, Awal bersiap-siap untuk mendorong kursi rodanya keluar kamar. Terlihat juga Suster Dina.

Gilang datang. Suster Dina menyambut sembari menyerahkan sebuah dokumen.

SUSTER DINA

Bang Gilang, Dokter Iqbal menitip dokumen ini

untuk diberikan ke dokter Andre.

Gilang meraih dokumen tersebut.

GILANG

Oh, ya. Terima kasih, Suster.

SUSTER DINA

Sama-sama...

Gilang hendak menghampiri Rano, ketika ternyata Suster Dina masih belum selesai berbicara.

SUSTER DINA (CONT’D)

Bang Gilang!

Di dalamnya saya selipin nomor Whatsapp,

kalau bikin film lagi, kabarin, Mas.

GILANG

He... he.. iya.

SUSTER DINA

 (malu-malu)

Kalau mau ngabarin soal yang lain juga nggak apa-apa.

Suster Dina langsung keluar ruangan. Rano dan Awal tersenyum-senyum melihat tingkah perawat tersebut.

DISSOLVE TO:

10. EXT. TEMPAT PEMAKAMAN UMUM – PAGI

Terlihat ratusan makam. Sebagian terlihat hijau, sebagian terlihat gersang karena sudah lama tidak dirawat. Sebagian masih baru, sebagian lagi sudah lama.

Rano, Gilang, dan Awal berdiri di depan tiga makam yang berjejer: Bujang, Damar, dan Yuni. Ketiga makam itu terlihat bersih dan terjaga. Di atasnya tumbuh rumput-rumput yang setiap minggu rajin dibersihkan Awal.

Rano meletakkan masing-masing seiikat bunga di ketiga makam. Dimulai dari makam Yuni, Damar, hingga Bujang. Di makam Bujang, Rano berjongkok, lalu menyentuh nisan Bujang. Setelah itu, ia berdoa. Gilang dan Awal pun ikut berdoa.

DISSOLVE TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar