Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1. EXT. APOTEK – SORE
Gilang bersama Awal membeli obat di apotik.
APOTEKER
Ini, Bang, obatnya. Dosisnya sekali saja sebelum tidur, ya.
Oh ya, ini obatnya untuk siapa?
GILANG
Ayah saya.
APOTEKER
Ohh... semoga ayahnya segera membaik, ya.
Gilang tersenyum kecut.
GILANG
Iya, semoga. Terima kasih, ya, Kak.
APOTEKER
Sama-sama.
Gilang berjalan meninggalkan apotek bersama Awal. Suasana kota Dumai yang cukup ramai dengan kendaraaan menimbulkan suara bising.
AWAL
(bahasa isyarat)
Semuanya akan baik-baik saja.
Gilang kesusahan memahaminya. Awal mengulangnya lagi. Saat itu, ia baru paham dengan apa yang disampaikan Awal.
GILANG
Entahlah, Wal. Saya tidak mau berharap banyak lagi.
Kita yang sehat-sehat aja bisa aja meninggal besok atau nanti,
tapi kalau penyakit yang yang udah ada vonis sisa waktunya,
mau berharap bagaimana lagi.
AWAL
(bahasa isyarat)
Kita tidak pernah tahu jalan Tuhan bagaimana.
Yang itu, Gilang langsung paham. Gilang tersenyum tanpa menaruh harapan sedikit pun. Akan tetapi, ucapan Awal cukup membuat hatinya sedikit lebih lega.
AWAL (CONT’D)
Ayah kamu orang baik.
Sebelum bertemu, hampir setiap hari Pak Bujang bercerita tentang beliau.
Kalaupun Tuhan menjemputnya, ayah kamu
pasti akan ditempatkan di sisinya. Di surga.
Penjelasan Awal yang sangat pelan membuat Gilang lebih mudah memahami maksud Awal. Sekali lagi Gilang tersenyum. Sekali lagi hatinya merasa lebih lega.
Mereka sampai di pintu masuk utama rumah sakit.
INTERCUT:
2. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP
Di dalam ruangan, terlihat Rano dan Suster Dina yang ternyata masih berada di sana.
RANO
Eh, panjang umur dia, Sus.
Suster Dina masih tersipu malu. Gilang menyerahkan obat kepada perawat. Suster Dina menyambutnya sambil mencuri lirik. Gilang terseenyum kaku.
RANO (CONT’D)
Kata suster Dina ini, dia udah nonton film-film kamu.
Katanya keren-keren. Beda dari film-film Indonesia lain yang ceritanya gampang ketebak dan banyak nggak masuk akal.
Gilang menyengir.
GILANG
Wah, terima kasih, ya, Sus.
Tapi, film-film Indonesia yang lain masih banyak juga kok yang bagus-bagus.
SUSTER DINA
(nyengir) Iya... ajak lah, Bang Gilang, main film sekali-kali.
Bosan juga jadi perawat. Kerjanya gitu-gitu mulu.
Kalau main film pasti jalan-jalan terus ya, kerjaannya?
GILANG
Wah, saya kan nulis, Sus, kerjanya di belakang layar.
Jadi jarang juga yang ikut ke lokasi.
SUSTER DINA
Tapi ketemu artis-artis sering kan?
GILANG
He he... lumayan.
SUSTER DINA
Bang Gilang kenapa nggak ikutan main film juga?
Rano dan Awal senyum-senyum mendengarkan percakapan mereka.
GILANG
Nggak punya bakat akting, Sus. He he...
SUSTER DINA
Sayang sekali. Ganteng-ganteng gini kerjanya di belakang layar aja.
Kalau main film pasti banyak fansnya.
RANO
(nimbrung)
Ah, nggak main film aja udah banyak fansnya dia.
GILANG
Yah... apa-apaan sih?
SUSTER DINA
Ya udah, kalau gitu saya pamit dulu.
(ke Rano) Pak Rano, kalau untuk obat ini minumnya sekali saja sebelum tidur ya.
Permisi, Pak Rano, Bang Gilang dan... temannya.
Rano, Gilang, dan Awal mengangguk sambil melempar senyum. Sepeninggalan Suster Dina, Gilang menghela napas panjang.
RANO
Kamu kenapa kayak kelelahan gitu?
GILANG
Ayah lagi, pake dikompor-komporin segala.
Gilang berjalan ke arah Rano dan duduk di kursi di samping Rano.
RANO
Lang, kamu bau banget sih.
Gilang kaget. Diciumnya ketek kiri kanan, lalu nyengir.
GILANG
Ya, kan dari kemarin belum mandi, Yah.
RANO
Ya udah, kamu mandi sana.
GILANG
Nggak ah, masa Gilang ninggalin ayah.
Awal mengetuk pundak Gilang. Dalam bahasa isyarat yang pelan ia berkata:
AWAL
Malam ini, nggak apa-apa aku yang jagain Pak Rano.
Kamu istirahat saja di rumah.
GILANG
Nggak usah, Wal. Nggak usah repot-repot.
Awal bersikukuh.
AWAL
(bahasa isyarat)
Nggak repot kok. Sambil ngobrol-ngobrol dengan ayah kamu.
Selama ini kan cuma dengan ceritanya doang dari Pak Bujang.
Gilang melirik Rano. Rano mengangkat bahunya.
GILANG
Ya udah kalau gitu. Makasih, ya, Wal.
Gilang berdiri. Awal menyerahkan kunci motor dan rumah.
AWAL
(bahasa isyarat)
Ingat kan jalannya?
GILANG
He he... nggak.
Awal menjelaskannya kepada Gilang dalam bahasa isyarat. Gilang mengangguk-angguk. Awal memegang baju Gilang, lalu berkata dalam bahasa isyarat.
AWAL
Pakai bajuku saja nanti.
Gilang mengangguk, lalu berjalan menuju pintu kamar inap.
CUT TO:
3. EXT. JALANAN DUMAI – MALAM
Gilang mengendarai mobil di tengah kota yang cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan. Terlihat ia mengingat-ingat petunjuk jalan yang dijabarkan Awal tadi.
CUT TO:
4. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP – MALAM
Awal tengah membantu Rano menyuap makanan.
RANO
Keluarga kamu di mana, Wal?
AWAL
(bahasa isyarat)
Ayah dan ibu di surga. Adik kakak nggak punya.
Sanak saudara nggak tahu pada ke mana.
Rano tersenyum prihatin sekaligus bangga melihat sosok Awal yang begitu tegar menjalani semuanya seorang diri.
RANO
Sebentar lagi saya akan bertemu dengan mereka.
Juga Bujang. Kamu mau titip salam?
Awal tertawa. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu mengangguk.
AWAL
(bahasa isyarat)
Saya juga mau titip duplikat kunci rumah.
Biar mereka dan bapak Rano juga bisa leluasa masuk ke rumah tanpa mengetuk dulu.
Rano tertawa haru. Ia lalu mengangguk.
RANO
Saya besok mau pulang, Wal.
AWAL
(bahasa isyarat)
Memang sudah boleh?
RANO
Pasti boleh. Saya nggak mau habisin sisa hidup saya di rumah sakit.
Ada banyak hal lain yang ingin saya lakukan sebelum saya pergi.
Salah satunya ialah permintaan Bujang di surat yang kamu kasih ke saya kemarin.
AWAL
(bahasa isyarat)
Baiklah, kalau begitu. Besok akan saya sampaikan ke Gilang.
DISSOLVE TO:
5. INT. RUMAH AWAL – PAGI
Gilang keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Ia masuk ke dalam kamar Awal.
6. INT. RUMAH AWAL – KAMAR
Gilang membuka lemari. Di bagian dalam pintu yang ia buka, terlihat foto Awal kecil bersama kedua orang tuanya. Di bawahnya, foto Awal remaja bersama Bujang. Gilang tersenyum melihat potret keluarga kecil Awal yang sekarang semuanya tidak lagi menemani Awal.
Gilang lalu mengambil satu kaos dan langsung dipakainya. Terdengar dering HP, Gilang melirik. Panggilan dari Tio. Gilang mengangkatnya, lalu berjalan menuju dapur.
7. INT. RUMAH AWAL – DAPUR
Gilang menelepon sambil membuat secangkir teh. Dari dapur, sesekali terdengar suara kokok ayam. Gilang membuka pintu belakang, ternyata di sana terdapat beberapa ekor ayam ternak milik Awal.
GILANG
Selamat pagi, Mas Tio.
TIO (O.S)
Selamat pagi, Lang.
Gilang, saya masih nunggu kabar dari kamu loh soal proyek kita selanjutnya.
Udah dua hari saya hubungi kamu nggak ada respon apa-apa.
GILANG
Maaf, Mas Tio. Saya sepertinya nggak bisa garap sendiri proyek tersebut.
TIO (O.S)
(nada kecewa dan penasaran)
Loh, kenapa, Lang?
GILANG
Maaf, Mas, ada urusan keluarga yang saya harus kerjakan sebelum kembali ke Jakarta.
TIO (O.S)
Kamu mau nikah, ya?
Gilang tertawa.
GILANG
Bukan, Mas. Ayah saya sedang sakit.
TIO (O.S)
Oh gitu, saya turut prihatin, Lang.
Semoga ayah kamu cepat sembuh ya
GILANG
Iya, terima kasih, Mas Tio. Semoga saja.
Gilang menyeduh tehnya sembari berjalan ke halaman belakang.
8. EXT. RUMAH AWAL – HALAMAN BELAKANG
Gilang terus melanjutkan percakapan sambil menyeduh teh. Di depannya, terlihat beberapa ekor ayam sedang berkeliaran. Tidak jauh dari sana, pemandangan ialah sepetak kebun kokoa.
TIO (O.S)
Terus gimana nasib proyek kita, Lang?
GILANG
Kalau untuk script-nya sudah saya selesaikan.
Nanti saya kirim ke email Mas Tio. Kalau untuk direct sendiri,
gimana kalau kita coba kontak Mas Dimas?
TIO (O.S)
Ah, jangan Dimaslah.
Kamu ‘kan tahu sendiri dia kalau bikin film selalu difokusin
sama asmaranya, ujung-ujungnya jadi drama percintaan,
nggak sesuai dengan naskah kita.
GILANG
Mas Bobby?
TIO (O.S)
Bobby lagi sibuk. Kemarin saya sempat ngobrol sama dia.
Katanya masih ada dua proyek lagi yang masih pra produksi.
Gilang yang saat itu tidak bersemangat membahas pekerjaan, dipaksa berpikir untuk mencari sutradara yang tepat untuk naskahnya. Selain karena ia tidak mau ceritanya nantinya digarap asal-asalan, hal itu juga karena ia sangat menyegani Tio, karena harapan Tio yang begitu besar kepadanya.
Gilang berjalan ke sisi samping rumah Awal.
TIO (O.S) (CONT’D)
Lagipula, saya pengennya cerita ini dibuat sesuai
dengan presentasi kamu ke saya waktu itu, Lang.
Idenya fresh dan unik.
Anak muda seperti kamu memang pantas menurut saya untuk proyek ini.
Tiba-tiba, Gilang teringat satu nama.
GILANG
Hm... kalau sutradara baru, gimana, Mas?
TIO (O.S)
Ya, tergantung.
GILANG
Mas, masih ingat nggak film pendek yang pernah saya buat sama teman saya dulu?
TIO (O.S)
Ya...
GILANG
Ya, teman saya itu. Ajit namanya. Saya kan pernah cerita sama Mas Tio.
Kalau Mas Tio mau, biar nanti saya hubungi Ajit.
Nanti Mas Tio bisa ngobrol-ngobrol lebih sama dia. Gimana?
TIO (O.S)
Yang kata kamu sekarang main di teater?
Wah, resikonya besar, Lang. Teater sama film kan jauh beda.
Gilang sekarang berada di samping rumah Awal yang menghadap langsung ke rumah lama Bujang.
GILANG
Sama, kan. Saya juga belum berpengalaman directing, Mas.
Saya pastiin ke Mas Tio, Ajit itu kalau soal kemampuan,
dia jauh di atas saya. Saya awalnya banyak belajar dari dia.
TIO (O.S)
Gimana, ya, Lang...
GILANG
Mas Tio nggak perlu jawab sekarang. Kalau Mas Tio mau,
paling nggak ketemu dulu sama Ajit, nanti saya coba hubungi dia
TIO (O.S)
Ya udah kalau gitu, Lang. Kabari saya secepatnya, ya.
GILANG
Siap, Mas Tio.
Gilang menutup telepon. Tatapannya kini mengarah ke arah rumah lama Bujang. Rumah lama Bujang tersebut menghadap ke arah samping rumah Awal, hanya terpisah oleh jalan kerikil.
Terlihat rumah yang begitu familiar baginya. Rumah penuh kenangan dengan orang-orang yang keseluruhannya tidak lagi ada bersamanya: Bujang, Yuni, dan Damar. Orang-orang yang dulu ia anggap sebagai keluarga kedua sebelum kejadian utang-piutang terjadi. Tidak akan lama lagi, keluarga itu yang akan menyambut ayahnya di surga.
Sekilas memori berputar ke MASA LALU:
Dari arah Gilang, muncul bayangan GILANG KECIL DAN DAMAR KECIL berlari-lari di halaman rumah. GILANG KECIL DAN DAMAR KECIL berhenti. GILANG KECIL DAN DAMAR KECIL menatap balik ke arah GILANG DEWASA. Mereka tersenyum seraya mengedip, melambaikan tangan, lalu kembali berlari ke arah samping rumah, dan menghilang. GILANG DEWASA balas tersenyum.
Gilang dibangungkan oleh nada pemberitahuan Whatsapp. Dari Awal yang berisi:
Bang Gilang, Pak Rano katanya mau pulang pagi ini saja, dia nggak mau lama-lama di rumah sakit. Gilang membalas pesan tersebut: Ya udah, saya jalan ke sana, Wal.
DISSOLVE TO:
9. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP – PAGI
Di dalam ruangan, terlihat Rano di atas kursi roda, Awal bersiap-siap untuk mendorong kursi rodanya keluar kamar. Terlihat juga Suster Dina.
Gilang datang. Suster Dina menyambut sembari menyerahkan sebuah dokumen.
SUSTER DINA
Bang Gilang, Dokter Iqbal menitip dokumen ini
untuk diberikan ke dokter Andre.
Gilang meraih dokumen tersebut.
GILANG
Oh, ya. Terima kasih, Suster.
SUSTER DINA
Sama-sama...
Gilang hendak menghampiri Rano, ketika ternyata Suster Dina masih belum selesai berbicara.
SUSTER DINA (CONT’D)
Bang Gilang!
Di dalamnya saya selipin nomor Whatsapp,
kalau bikin film lagi, kabarin, Mas.
GILANG
He... he.. iya.
SUSTER DINA
(malu-malu)
Kalau mau ngabarin soal yang lain juga nggak apa-apa.
Suster Dina langsung keluar ruangan. Rano dan Awal tersenyum-senyum melihat tingkah perawat tersebut.
DISSOLVE TO:
10. EXT. TEMPAT PEMAKAMAN UMUM – PAGI
Terlihat ratusan makam. Sebagian terlihat hijau, sebagian terlihat gersang karena sudah lama tidak dirawat. Sebagian masih baru, sebagian lagi sudah lama.
Rano, Gilang, dan Awal berdiri di depan tiga makam yang berjejer: Bujang, Damar, dan Yuni. Ketiga makam itu terlihat bersih dan terjaga. Di atasnya tumbuh rumput-rumput yang setiap minggu rajin dibersihkan Awal.
Rano meletakkan masing-masing seiikat bunga di ketiga makam. Dimulai dari makam Yuni, Damar, hingga Bujang. Di makam Bujang, Rano berjongkok, lalu menyentuh nisan Bujang. Setelah itu, ia berdoa. Gilang dan Awal pun ikut berdoa.
DISSOLVE TO: