Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1. EXT. JALANAN DUMAI – SIANG
Mobil melewati desa. Di ujung jalan terlihat rumah Bujang yang lama. Rumah itu terlihat sepi dan tak terawat.
CUT TO:
2. INT. /EXT. MOBIL – DEPAN RUMAH AWAL – SIANG
Gilang menyetir mobilnya sangat pelan.
GILANG
Yang ini kan rumah Om Bujang, Yah?
RANO
Iya, itu rumahnya yang dulu.
Rumahnya yang sekarang yang di sebelahnya.
Rano menunjuk rumah petak kecil dengan halaman yang tidak begitu luas, namun ditumbuhi berbagai macam tanaman, sehingga membuatnya terlihat nyaman untuk ditempati.
Gilang memberhentikan mobilnya.
GILANG
Sepi banget ya, Yah.
RANO
Mungkin Bujang lagi kerja. Kita coba lihat aja dulu.
Keduanya turun dari mobil.
3. EXT. RUMAH AWAL – SIANG
Rano berjalan menuju pintu rumah, Gilang mengikutinya dari belakang. Rano mengetuk pintu. Seorang pemuda 17 tahun membuka pintu. Namanya Awal. Keduanya terdiam beberapa saat. Tidak lama setelah itu, pemuda bisu itu menyalami Rano dan Gilang, ia berbicara dengan bahasa isyarat.
AWAL
(bahasa isyarat)
Silakan masuk.
4. INT. RUMAH AWAL
Rano masuk ke dalam rumah. Gilang mengikutinya dari belakang. Seluruh percakapan Awal menggunakan bahasa isyarat.
AWAL
Silakan duduk. Tunggu sebentar.
Rano menangguk. Gilang langsung duduk di atas sofa di ruang tamu. Sementara itu, Awal berjalan ke arah belakang rumah.
Rano berdiri melihat beberapa foto yang terpajang di dinding. Terlihat foto: Bujang bersama anak dan istrinya, Bujang bersama Rano, Bujang bersama Rano dan Gilang kecil, serta Bujang bersama Awal. Saat itu juga, firasat Rano mengatakan bahwa Bujang tak lagi ada.
Beberapa saat setelah itu, Awal datang menyerahkan dua buah amplop. Satunya amplop coklat tebal yang berisi uang. Satunya amplop kecil berisi sepucuk surat. Rano mengambil, meletakkan amplop besar di atas meja, lalu membuka amplop yang berisi sepucuk surat.
Awal kembali ke belakang untuk membuatkan minuman.
Raut wajah Rano menunjukkan kesedihan, sesekali ia tersenyum. Gilang memperhatikannya dengan rasa keingintahuan.
Setelah selesai membaca surat tersebut, Rano melirik Gilang seraya memasukkan surat tersebut ke dalam saku kemejanya. Terlihat air mata Rano mengalir. Gilang mengerti.
Awal datang membawakan tiga cangkir teh panas. Ia menyajikannya di atas meja.
RANO
Kapan?
AWAL
2 tahun yang lalu.
Awal duduk. Rano pun duduk, lalu menyeduh teh.
Ketiganya larut dalam hening. Gilang meminum teh untuk membunuh kecanggungan.
Tidak lama setelah itu, Rano mengambil amplop coklat berisi uang di atas meja, lalu ia berdiri. Ia berusaha tersenyum di balik wajahnya yang sedih.
RANO
Kalau begitu, kita pamit dulu.
Awal tersenyum. Ia berdiri bersamaan dengan Gilang, lalu mengantarkan Rano dan Gilang ke pintu. Gilang berjalan lebih dulu dan langsung ke mobil.
Di depan pintu, Rano berhenti. Ia menatap wajah Awal begitu lekat. Rano tersenyum. Wajahnya terlihat sangat lesu, lalu dipeluknya Awal. Setelah melepas pelukan tersebut, Rano menyerahkan kembali amplop yang diberikan Awal kepadanya. Awal kaget. Ia menggeleng dan berusaha menolak. Rano memaksa. Awal mengisyaratkan terima kasih. Rano menyentuh bahu Awal, lalu berjalan menuju mobil.
5. EXT. DEPAN RUMAH AWAL
Rano membuka pintu mobil, tetapi ketika ia hendak masuk, tubuhnya semakin lemas. Rano terjatuh dan tidak sadarkan diri.
FADE OUT:
Hanya terdengar suara Gilang.
GILANG (O.S)
(slow-motion)
Yah.... Ayah...
FADE IN:
Awal mengangkat tubuh Rano ke dalam mobil. Gilang berlari kembali menuju kursi kemudi. Ketika ia mencoba men-starter mobil, mobil tidak mau menyala. Berkali-kali ia coba.
Awal menunjuk sepeda motor bebeknya di depan halaman rumah. Tanpa tunggu lama, Gilang langsung mengambil motor tersebut.
Gilang sampai di depan mobil, ia berhenti, lalu membantu Awal mengangkat tubuh Rano ke atas sepeda motor.
6. EXT. JALANAN DUMAI – SIANG
Awal membawa motor cukup kencang, namun berhati-hati. Di belakangnya, Gilang terlihat cemas sambil menahan tubuh Rano agar tidak terjatuh.
7. EXT. RUMAH SAKIT – SIANG
Sesampainya di rumah sakit, para perawat bergegas membawa kasur jalan ke arah mereka. Rano segera dilarikan ke UGD.
DISSOLVE TO:
8. INT. RUMAH SAKIT – RUANG TUNGGU UGD - SIANG
Gilang menunggu dengan gelisah. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sangat besar. Kakinya tak berhenti bergoyang. Sesekali ia melirik ke pintu UGD berharap akan ada dokter maupun perawat yang keluar dari sana.
Di sebelah Gilang, Awal terlihat tenang, namun menunjukkan keprihatinan.
Tidak lama setelah itu, handphone Gilang berdering. Terlihat nama Ria di layar. Gilang segera berdiri, mencari spot yang agak sepi, lalu mengangkat telepon.
RIA (O.S)
Gimana Uda, Lang?
GILANG
(gemetar)
Masih di UGD, Tek. Gilang masih nunggu dokternya keluar.
RIA (O.S)
Oh gitu, barusan Etek udah hubungi dokter Andre.
Dia akan segera hubungi pihak rumah sakit di Dumai
mengenai kondisi kesehatan ayah kamu selama perawatan sama dokter Andre.
GILANG
Oh gitu, iya, Tek.
RIA (O.S)
Etek tahu kamu khawatir, tapi pikiran kamu tetap harus fokus.
Etek nggak bisa langsung sampe ke sana.
Paling nanti malam baru bisa sampai,
biar Etek suruh Pak Etek Heri aja yang jemput Ata sekolah.
GILANG
Nggak usah, Tek. Gilang nggak apa-apa kok sendiri.
Lagian di sini ada Awal, anak angkatnya Om Bujang yang ngebantuin.
RIA (O.S)
Kamu yakin?
GILANG
Iya, Tek. Etek juga nggak usah khawatir, ya.
RIA (O.S)
Ya sudah, kalau gitu tetap kabarin Etek ya.
GILANG
Iya, Tek. Pasti.
Gilang menutup panggilan. Ia kembali duduk di ruang tunggu. Tidak lama setelah itu, seorang dokter laki-laki berusia 50-an bernama Iqbal keluar dari ruang UGD.
DOKTER IQBAL
Hm... Gilang, yang mana?
Gilang segera berdiri.
GILANG
Saya sendiri, Dok.
DOKTER IQBAL
Kalau gitu, saya tunggu di ruangan saya lima menit lagi, ya.
Saya mau ngobrol dulu sebentar dengan dokter Andre yang biasa ngerawat
Pak Rano di Payakumbuh.
GILANG
Baik, terima kasih, Dok.
Wajah Gilang terlihat lebih lega. Melihat dari respon dokter Iqbal, sepertinya tidak ada kabar buruk yang akan ia dengar. Ia kembali ke Awal. Awal berdiri.
AWAL
(bahasa isyarat)
Saya harus pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kabari saja.
Nanti atau besok, saya datang lagi ke sini. Pinjam HP kamu.
Gilang memberikan HP-nya. Awal menyimpan kontaknya di HP Gilang. Ia menepuk pundak Gilang, lalu pamit.
INTERCUT:
9. INT. RUMAH SAKIT – RUANG DOKTER
Gilang masuk ketika dokter Iqbal sedang menelepon. Dokter Iqbal memberikan isyarat silakan duduk. Gilang langsung duduk di kursi seberang dokter Iqbal sambil menunggu dokter Iqbal mengakhiri teleponnya.
DOKTER IQBAL
Kalau begitu, terima kasih atas update-annya, dokter Andre.
Nanti berkas medikalnya akan saya titipkan kepada Nak Gilang
untuk nanti ditindaklanjuti lagi oleh dokter Andre di Payakumbuh.
Dokter Iqbal segera menutup telepon. Ia tersenyum ke arah Gilang. Gilang membalasnya.
DOKTER IQBAL (CONT’D)
Well... Gilang... ayah kamu sekarang dalam kondisi stabil,
butuh beberapa hari perawatan di sini agar bisa kembali lagi ke Payakumbuh...
Gilang menunggu kelanjutan dokter Iqbal, namun ternyata sepertinya ia sudah selesai.
GILANG
Terus, Dok?
DOKTER IQBAL
Terus, apanya? Udah. Ayah kamu baik-baik saja.
Nggak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini.
Saya rasa kamu sendiri sudah mendengar bagaimana kondisi Pak Rano sebelumnya
dan diagnosa penyakitnya serta...
Dokter Rano enggan melanjutkan kalimatnya.
GILANG
Sisa umurnya?
Dokter Iqbal mengangguk. Ia lalu diam sesaat. Tidak lama setelah itu, Dokter Iqbal mengungkapkan kekecewaannya.
DOKTER IQBAL
Kamu tahu ‘kan Gilang, perjalanan ini seharusnya tidak pernah terjadi
di saat kondisi ayah kamu yang terbilang sangat amat serius.
Payakumbuh dan Dumai itu jauh loh, perjalanan darat lagi.
Itu berbahaya. Kamu paham ’kan sebelum melakukannya?
Gilang terdiam. Kata-kata dokter Iqbal sangat menusuknya. Namun, kenyataan memang harus dihadapi dan diungkapkan. Memang begitulah tugas seorang dokter kepada keluarga pasien. Semuanya harus diungkapkan agar pasien tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang harus disesali, malahan perjalanan ini sangat Gilang syukuri.
GILANG
Maaf, Dok. Bapak Rano itu ayah saya.
Saya tahu kondisi beliau dan saya tahu dengan konsekuensi
yang akan saya hadapi jika saya melakukan perjalanan ini bersama beliau.
Kalau bukan dengan alasan yang tepat dan masuk akal,
saya tidak akan pernah menyetujui ajakan ayah saya.
Dokter Iqbal mendengarkan dengan seksama. Gilang terbawa emosi.
GILANG (CONT’D)
Saya juga tahu tugas Dokter sebagai seorang dokter,
kenyataan menyakitkan seperti ini memang
harus disampaikan kepada keluarga pasien.
Tapi.... (menghela napas) KALAU,
semisalnya perjalanan ini tidak pernah saya dan ayah lakukan,
apakah akan ada kemungkinan sisa waktu ayah saya bertambah?
Paling tidak sehari saja?
Dokter Iqbal menggeleng. Mata Gilang berkaca-kaca.
GILANG (CONT’D)
Dok, jika memang kematian ialah akhir dari segalanya,
saya hanya ingin sisa-sisa waktu ayah digunakan
untuk melakukan hal-hal yang ia senangi,
bertemu orang-orang yang ia sayangi agar kematiannya kelak
tidak akan menyisakan penyesalan apa-apa bagi arwahnya di surga.
Dokter Iqbal menghela napas panjang. Matanya pun terlihat berkaca-kaca. Ia mengangguk paham, lalu tersenyum.
DOKTER IQBAL
Saya dengar, kamu seorang penulis film, ya?
Gilang mengernyitkan dahi, tidak tahu korelasi apa yang terjalin antara kondisi ayahnya dengan pekerjaannya.
DOKTER IQBAL (CONT’D)
Tidak heran lagi. Baru kali ini saya mendengar kalimat seperti itu
keluar dari mulut keluarga pasien saya.
(bersemangat) 23 tahun saya mengabdi sebagai seorang dokter,
yang saya tahu hanya soal kesembuhan, keselamatan, hidup,
tapi saya tidak pernah berpikir mengenai kematian. Kamu luar biasa sekali.
Gilang tersenyum segan.
DOKTER IQBAL (CONT’D)
Sana, bahagiakan ayah kamu. Kehidupan nggak bakal terjadi untuk kedua kalinya.
(beat)
dan... pastikan nanti ayah kamu bisa dengan leluasa menikmati surga.
Gilang tersenyum. Ia beranjak dari duduknya meninggalkan Dokter Iqbal sambil mengggeleng-geleng kepala merasa takjub.
DOKTER IQBAL (CONT’D)
(ke diri sendiri)
Baru kali ini kematian terdengar begitu indah.
DISSOLVE TO:
START OF MONTAGE:
10. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP – MALAM
Rano telah tidur di atas ranjang. Di dadanya terpasang alat pendeteksi jantung yang tersambung ke monitor dan di pergelangan tangannya dipasang saluran infus. Tidak terdengar apa-apa, selain suara mesin pendeteksi detak jantung.
Gilang merebahkan kepalanya di atas kasur di samping tubuh Rano, kepalanya mendongak menatap Rano. Perlahan matanya tertutup.
FADE OUT:
FADE IN:
11. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP – PAGI
Rano terbangun. Dilihatnya Gilang tertidur pulas dengan posisi yang sama seperti malamnya. Rano membelai kepala Gilang. Gilang terbangun. Rano tersenyum.
DISSOLVE TO:
Gilang membantu Rano menyuap makan. Rano memasang wajah geli, karena merasa masakan rumah sakit yang begitu hambar. Gilang tertawa.
DISSOLVE TO:
Gilang tengah membaca hal-hal mengenai pasien kanker paru-paru di sofa kamar ketika Awal datang membawakan makanan untuknya. Awal langsung pamit pulang, karena ia harus bekerja.
DISSOLVE TO:
12. INT. RUMAH SAKIT – KANTIN – PAGI
Gilang terlihat sedang makan sendirian di pojok kantin. Wajahnya murung. Selera makannya pun tidak ada.
13. INT. RUMAH RIA – RUANG KELUARGA - SIANG
Ria sedang menonton TV. Matanya tepat mengarah ke TV, namun pikirannya tidak.
END OF MONTAGE
14. INT. RUMAH SAKIT – LORONG – SORE
Gilang hendak membuka pintu kamar inap Rano di saat ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Laras.
CUT TO:
15. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP
Rano mendengar dering ponsel Gilang. Ia menoleh ke arah pintu. Saup-saup terdengar percakapan Gilang dengan Laras.
CUT TO:
16. INT. RUMAH SAKIT – LORONG
Terlihat Gilang masih teleponan bersama Laras. Tidak lama setelah itu, ia terduduk, tidak jauh dari pintu kamar inap Rano. Tangis Gilang pecah
GILANG
Aku nyesal banget, Ras. Kenapa harus di saat-saat seperti ini aku baru pulang.
Kenapa dari dulu aku mentingin ego banget untuk nggak ketemu ayah.
Padahal ayah udah menyerahkan segalanya untuk aku.
Dari kecil semuanya ayah, dikit-dikit ayah.
17. INT. RUMAH SAKIT – RUANG INAP
Saup-saup masih terdengar tangis dan percakapan Gilang dengan Laras..
GILANG (O.S)
Hanya karena kesalahan kecil, aku kabur dan nggak mau lagi ketemu ayah.
Aku takut, Ras. Aku masih mau ngabisin waktu lebih banyak sama ayah.
Rano meneteskan air mata menyadari penyesalan anaknya yang begitu besar. Di dalam pikirannya, ia tidak ingin lebih lama lagi berada di rumah sakit.
Tidak lama setelah itu, pintu terbuka, Gilang masuk. Rano segera menyeka pipinya dan pura-pura tertidur.
Seiring dengan itu, seorang perawat bernama Dina masuk untuk memeriksa kondisi Rano sekaligus membawakan makan malam.
SUSTER DINA
Permisi...
Rano bangun dari pura-pura tidurnya. Gilang menoleh ke arah suara. Ia tersenyum merespon sapaan Suster Dina. Suster Dina pun tersenyum, namun senyumnya agak berbeda, Rano merasakan itu. Ia berdehem menggoda Gilang.
Gilang melirik ke arah Rano. Menyadari maksud ayahnya, Gilang berusaha menahan tawa. Di dalam pikiran Gilang, masih sempat-sempatnya ayahnya menggodanya.
SUSTER DINA (CONT’D)
Bang Gilang, ya?
GILANG
Iya...
Tiba-tiba, Awal datang. Gilang menyapa dengan mendongkakkan kepala sambil tersenyum.
RANO
Halo, Wal
Awal tersenyum sambil melambaikan tangan. Rano menyambar ke percakapan antara Gilang dengan Suster Dina.
RANO (CONT’D)
Anak saya itu, Sus. Nggak kalah ganteng kan sama bapaknya?
Suster Dina menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu.
SUSTER DINA
Saya boleh minta tolong.
GILANG
Minta tolong apa, Sus?
SUSTER DINA
Gini, kebetulan di apotek kita obat ini lagi habis
(menyerahkan kertas resep) Ini udah resep dari dokter.
Boleh minta bantuan Bang Gilang buat beli obatnya di apotik sebelah?
Nggak jauh kok dari sini.
GILANG
Oh ya, tentu.
Suster Dina tersenyum, lalu menatapnya cukup lama. Gilang jadi canggung. Awal tersenyum-senyum di ambang pintu.
GILANG (CONT’D)
Oh ya, Wal. Kebetulan sekali. Temenin yuk, ke apotik.
Awal mengangguk. Mereka segera berjalan keluar ruangan.
RANO
(percaya diri)
Dulu waktu saya seumuran dia, juga kayak gitu, Sus.
Emang sih buah jatuhnya nggak jatuh dari pohon.
Suster Dina menyengir.
INTERCUT: