Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
START OF MONTAGE:
1. EXT. RUMAH – HALAMAN BELAKANG – PAGI
Di atas meja makan terlihat bekas makan malam semalam. Sangat berantakan.
2. EXT. DESA TARAM – PAGI
Terlihat hamparan sawah pohon-pohon kelapa di sekitarnya.
CLOSE UP: Air mengalir.
Terlihat seorang petani pria membawa cangkul dan dua orang petani wanita berjalan menuju sawah.
3. EXT. RUMAH – TAMPAK DEPAN
Terlihat rumah Rano di antara perkebunan dan hamparan sawah.
4. INT. RUMAH – RUANG KELUARGA
Tidak terlihat aktifitas apa-apa. Terdengar suara dengkuran Rano dari arah kamarnya.
5. INT. RUMAH – DAPUR
Gilang meminum segelas air putih.
END OF MONTAGE
6. EXT. DESA TARAM – PAGI
Gilang berjalan di atas pematang sawah menuju kebun. Terlihat kebun dengan berbagai macam tanaman, mulai dari tomat, mentimun, cabai, dan sebagainya. Di antara tumbuh-tumbuhan rendah, menjulang tinggi dan besar pohon durian dan pohon rambutan.
Gilang mencomot sebuah tomat, dibersihkannya di aliran air, lalu dimakannya. Ia lalu duduk di atas rerumputan menghadap pesawahan sambil menikmati udara pagi.
Tiga orang petani (1 laki-laki, 2 perempuan) berjalan di atas pematang sawah. Percakapan antara Gilang dan petani berlangsung dengan menggunakan bahasa Minang.
PETANI LAKI-LAKI
Eh, Nak Gilang, kan? Kapan pulang?
GILANG
Iya... kemarin siang, Pak.
PETANI WANITA 1
Itu rambutan udah lebat buahnya, kebetulan lagi musim, ambillah.
PETANI WANITA 2
Iya, akhir-akhir ini hasil kebun Da Rano jadi milik umum.
Tanamannya bagus-bagus, sehat-sehat.
Kalau dibiarin kan sayang, nanti busuk sendiri.
PETANI LAKI-LAKI
(kepada petani-petani wanita) Ayolah..
(kepada Gilang) Ya sudah, kalau gitu kami pamit dulu, mau ke sawah, Nak Gilang.
Gilang mengangguk. Ia lalu berjalan ke pohon rambutan. Ternyata tidak satupun buah yang berhasil dijangkaunya.
Sesaat kemudian, Rano datang.
RANO
Pohon rambutan juga tumbuh, sama kayak kamu.
Kalau gitu terus nggak bakal dapat. Udah panjat aja.
Gilang melirik ke sumber suara. Ia menyengir. Dengan ragu-ragu, ia memanjat. Rano memperhatikannya sambil tersenyum, lalu duduk di atas rumput.
RANO (CONT’D)
(setengah berteriak)
Kamu ingat, waktu kecil, kalau habis kena marah,
kamu sama Rian suka bersembunyi di atas pohon rambutan itu.
Kadang-kadang, sakalian bawa makan siang.
Gilang melirik ke arah dahan yang lebih tinggi. Terlihat GILANG KECIL sedang membuka kulit rambutan dengan mulutnya. GILANG KECIL melempar kulit rambutan ke arah GILANG DEWASA.
Gilang kaget. Sontak, ia menghindar. Saat itu juga, Gilang tersadar dari LAMUNAN. Gilang beralih ke Rano.
GILANG
Iya, soalnya ayah takut ketinggian, ga bakal berani nyusulin.
(tertawa) Tangkap, Yah!
Gilang melempar buah rambutan kepada Rano. Rano menangkap, membuka kulitnya dengan mulut, lalu memakan buah rambutan tersebut.
Di atas pohon, Gilang terlihat memetik beberapa buah. Sebagian dimakannya, sebagian dilemparnya kembali ke arah Rano.
RANO
Kamu masih ingat dengan Om Bujang, tidak?
GILANG
Om Bujang yang tinggal di Dumai itu?
RANO
Iya
Tiba-tiba, Gilang menunjukkan wajah malas.
GILANG
Masih, kenapa, Yah?’
RANO
Ayah pengen ketemu dia.
GILANG
Emang Om Bujang sekarang tinggal di sini?
RANO
(menggeleng) Ayah ingin ke Dumai.
Gilang kaget. Ia berhenti memetik buah rambutan. Segera ia turun dari pohon rambutan menuju ayahnya. Berharap melihat omong kosong, namun ternyata Rano serius dengan perkataannya.
GILANG
Ayah serius?
RANO
(mengangguk yakin)
Ayah serius.
GILANG
Nggak mungkin Yah. Kondisi ayah...
RANO
(memotong)
Kondisi ayah kenapa? Ayah baik-baik saja. Tuh lihat.
Rano berdiri, lalu loncat-loncat. Ketika berhenti, Rano ngos-ngosan, ia kembali duduk di sebelah Gilang.
Keduanya terdiam beberapa saat. Rano sibuk mengatur napasnya, sedangkan Gilang terlihat larut dalam pikirnya. Ia teringat akan sosok Bujang dan apa yang sahabat ayahnya itu sudah lakukan kepada ayahnya.
Rano membuka percakapan, berusaha untuk meyakinkan Gilang bahwa ia akan baik-baik saja dan perjalanan untuk bertemu dengan Bujang itu ialah suatu hal yang sangat penting baginya sebelum ia pergi meninggalkan dunia. .
RANO (CONT’D)
Kamu kan tahu, ayah sama Om Bujang itu sama kayak kamu sama Rian.
Dari kecil udah bersahabat. Pas masih muda ke mana-mana sama-sama.
Pas udah berkeluarga, ayah berkunjung ke sana, dia berkunjung ke sini.
Walau nggak ada ikatan darah, Om Bujang adalah saudara ayah.
Kamu kan tahu itu. Semasa senang dan sedih, dia selalu ada untuk ayah.
GILANG
(tersenyum sinis)
Iya, setelah itu, ia utang uang ayah puluhan juta, terus nggak ada kabar.
Pas kita samperin ke Dumai, eh ternyata dia kabur ke Aceh.
RANO
Sudahlah, ayah sudah melupakan itu. Uang bukan apa-apa. Kasih sayang yang penting.
Apalagi ikatan seperti itu tidak sebanding jika dibandingkan dengan materi.
Lagipula, dia sudah meminta maaf terhadap apa yang ia lakukan kepada ayah.
Selain kamu, Om Bujang orang yang ingin ayah temui sebelum ayah pergi.
GILANG
Terus ibu? Bagaimana dengan ibu?
Ayah nggak mau ketemu ibu sebelum pergi?
RANO
(memasang muka malas)
Oh ayolah. Ayah tidak ingin membahas itu.
GILANG
Gitu aja terus!
Dari dulu Gilang nanya soal ibu jawabannya kayak gitu mulu.
Gilang semakin kesal. Ia berjalan meninggalkan kebun. Rano memasang muka malas. Dengan malas pula, ia mengikuti dari belakang.
Tidak lama setelah itu Gilang berhenti.
GILANG (CONT’D)
Terus, utang-utang dia sudah dilunasi ke ayah?
RANO
(keras)
Gilang, ayah sudah bilang ini bukan tentang uang!
GILANG
(tenang)
Yah, Gilang tahu, ayah sudah menganggap Om Bujang seperti saudara ayah sendiri—
RANO
(memotong) ...ayah tidak menganggapnya sebagai saudara.
DIA saudara ayah.
GILANG
Okay, fine! SAUDARA ayah! Kalau memang dia saudara ayah, kenapa dia kabur?
Dia nggak sadar bahwa ayah juga butuh uang, usaha ayah merosot jauh.
Sampai-sampai semua simpanan uang pun habis.
Tanah-tanah dijual, cuma sisa kebun sama rumah.
RANO
(berusaha tenang)
Gilang... lima tahun yang lalu ayah berkunjung ke sana, dia sudah cerita kepada ayah.
Dia sudah menyesalinya. Ayah mengerti dengan kondisi dia.
Lagi pula, ketika ayah meminjamkan uang kepadanya,
ayah tidak pernah berniat untuk memintanya kembali.
GILANG
(tersenyum sinis)
Iya, sampai-sampai usaha ayah bangkrut.
Tidak punya apa-apa lagi, sehingga ayah menjadi seorang pemabuk
dan lupa bahwa ayah masih punya anak!
Rano terdiam. Gilang melanjutkan langkahnya.
INTERCUT:
7. EXT. RUMAH – HALAMAN BELAKANG
Degan wajah yang kesal, Gilang membersihkan meja halaman belakang bekas makan malam semalam. Rano datang. Ia ngos-ngosan, lalu memutuskan untuk duduk di salah satu kursi.
GILANG
Lima tahun yang lalu, ayah ke sana.
Dibayar nggak sih utangnya ke ayah?
Rano kaget. Dengan napas yang masih ngos-ngosan, ia melirik Gilang dengan wajah marah.
RANO
(keras)
Gilang! Ayah sudah bilang, ini bukan tentang uang.
(berhenti sejenak, menormalkan nafasnya)
Sejak kapan kamu jadi mata duitan seperti ini?
Ayah tidak pernah mengajarkan kamu untuk mengataskan uang dari segala hal,
apalagi kasih sayang. Memang, waktu kamu kecil, kita mempunyai segalanya.
Kamu bisa memiliki apa yang kamu minta. Tapi, apa pernah ayah mengajarkan kamu
bahwa uang bisa mengalahkan keberadaan cinta?
Tidak pernah Gilang!
(berhenti sejenak)
Dan, ketika usaha ayah mulai memudar, apa pernah ayah berkata
bahwa bagaimanapun caranya ayah harus menagih utang-utang
yang sudah ayah pinjamkan, termasuk kepada Bujang? Tidak pernah!
Rano susah payah menormalkan nafasnya.
RANO (CONT’D)
Memang, ayah kalut. Ayah mulai menjadi seorang pemabuk semenjak itu.
Sebab segala usaha yang ayah lakukan sepertinya tidak menemukan titik terang
sementara tanah yang ayah miliki sudah habis terjual untuk memulai usaha ayah kembali,
belum lagi kamu mau masuk SMA, setelah itu kuliah.
Akan banyak uang yang dibutuhkan.
Memang, ayah sempat mengabaikan kamu,
berkata yang tidak seharusnya ayah katakan kepada kamu
sehingga kamu memutuskan untuk pergi dari rumah.
Memang! Ayah menyesal akan itu. Ayah sadar.
Ayah meminta maaf.
(kembali ngos-ngosan) Tapi, satu hal yang ayah ingin kamu camkan,
jangan sekali-kali kamu memutuskan hubungan hanya karena materi.
Gilang terdiam. Rano diam, nafasnya masih ngos-ngosan, namun ternyata ia masih belum selesai.
RANO (CONT’D)
(berbicara tenang, matanya menerawang)
Kamu tahu, lima tahun yang lalu, ayah ke sana.
Om Bujang hidupnya jaaauh lebih parah dari kita.
Beruntung kita masih punya rumah dan kebun,
sementara ia harus menjual rumah dan tanahnya akibat utang yang menumpuk.
Alhasil, Om Bujang harus membeli rumah petak di dekat rumahnya sendiri,
karena dia yakin suatu saat ia akan mampu menebus kembali rumahnya.
(kepada Gilang) Rumah itu tidak pernah dihuni oleh pemiliknya yang baru.
Dia mempercayakan kepada Bujang untuk merawat rumah itu,
tapi Bujang tidak diperbolehkan untuk menempatinya.
Sementara itu, setiap kali ia memasuki pekarangan rumah itu,
senyum mendiang istri dan tawa mendiang anaknya masih mengambang di ingatannya.
Dia hidup sebatang kara, bekerja serabutan sana sini dengan mimpi
bahwa suatu saat ia akan mampu menebus rumahnya kembali
agar dapat merasakan senyum dan tawa mereka di setiap hembusan nafasnya.
GILANG
(mulai prihatin) Tante Yuni dan Damar... meninggal Yah?
RANO
Iya, kecelakaan. Tujuh tahun yang lalu. Bujang selamat.
Gilang terdiam. Wajahnya sedih. Matanya menerawang.
RANO (CONT’D)
(sungguh-sungguh)
Ayah cuma ingin bertemu saudara ayah untuk terakhir kalinya, Nak...
Gilang menatap ayahnya dalam-dalam. Dilihatnya kesungguhan yang amat dalam. Gilang diambang kebingungan antara menyetujui atau tidak, sebab mengingat kondisi kesehatan ayahnya.
DISSOLVE TO:
8. INT. RUMAH – RUANG MAKAN – MALAM
Rano dan Gilang duduk berseberangan. Gilang menyantap makanannya dengan lahap. Sedangkan, makanan Rano tak tersentuh sedikit pun di atas meja. Ia menatap Gilang tajam dan tak berkedip, masih menunggu jawaban atas ajakannya ke Dumai.
Gilang mulai gelisah. Ia berhenti makan.
GILANG
Yah!?
RANO
Gimana?
Gilang mendengus. Wajahnya kesal. Namun, akhirnya dia menyerah.
GILANG
Oke, tapi Gilang yang nyetir
Wajah Rano sontak berseri. Ia segera beranjak dari duduknya, lalu mengecup kening Gilang. Cukup lama sampai akhirnya Gilang merasa geli dan berusaha melepas.
GILANG (CONT’D)
(sambil tertawa geli)
Yah!! Udah! Ntar berbekas.
Rano tidak berhenti. Sambil mencium Gilang, ia berkata.
RANO
(seperti bergumam)
Biarin. Kan anak Den. Ini kecupan rindu, bangga, terima kasih,
semuanya bercampur aduk, makanya lama.
Gilang pasrah. Bibirnya membentuk senyum.
DISSOLVE TO: