Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
79 INT. DI RUMAH IBU REA – SOLO
Rea sedang berbicara dengan Ibunya di kamar sambil mengeluarkan baju dari tas ransel.
REA
Aku nggak bakal pergi ke Jakarta lagi.
IBU
Kerjamu piye?
REA
Mmm, nanti juga ada jalan.
Ibu Rea menatap Rea tidak percaya. Ia lalu menyentil jidat Rea.
REA (CONT’D)
Aw! (Memegang jidat kesakitan) Ibu!
IBU
Bocah kok pikirane pendek banget to? Kerja serabutan di Solo itu akeh, Re. Tapi gajine iku lho. Pengeluaran kita ini banyak. Adikmu harus sekolah, obat jalan Ayah. Kreditan Ibu juga ada yang belum lunas. Gaji Ibu kerja pabrik nggak cukup kalau buat─
REA
Cukup, Bu.
Rea berhenti menatap baju. Ia menghembuskan napas dan duduk di sebelah ibunya. Ia menggenggam tangan ibunya.
REA (CONT’D)
Aku udah hubungin notaris buat ngurus rumah Uti. Uangnya bisa buat bayar hutang-hutang, bayar sekolah Kia, bayar pengobatan Ayah. Aku juga dapet pinjaman dari ibu tempat kerja. Untuk pindahan Kia, biar aku yang urus. Nanti aku juga dibantu sama temen di Jakarta. Untuk kerjaan di Solo, aku udah kontak Kak Intan. Ibu inget Kak Intan?
Ibu Rea mengangguk.
REA
Aku bakal diusahain magang jadi guru Bahasa Inggris di SMA tempat ngajarnya Kak Intan, Bu. Kia nanti bisa ikut pindah sekolah ke sana.
IBU REA
Kamu yakin?
REA
Maksudnya?
IBU REA
Jual rumah Uti, pindah ke Solo … Maksud Ibu, kamu nggak papa?
Rea terdiam lama. Ibu Rea tersenyum.
IBU REA (CONT’D)
Ibu nggak mau kamu terkekang, Re. Ibu mau kamu jalani hidup itu seneng-seneng aja. Ibu nggak mau ngerepotin kamu. Tugas Ibu menjaga anaknya. Kalau kamu ngerasa sedih, Ibu ngerasa gagal jagain kamu. (Mengusap tangan Rea) Seberapa sedih kamu waktu putus sama Kamal? Seberapa sedih kamu waktu dipecat kerja? Ibu tahu rasanya. Ibu tahu, karena seorang ibu, sebaik-baiknya orang yang mengenal anaknya sendiri.
Rea menatap Ibunya. Air matanya menetes. Rea buru-buru menghapusnya.
REA
Aku nggak papa (memeluk Ibunya), asal ada Ibu, aku bakal baik-baik aja.
Rea melepas pelukan. Ibu Rea menatapnya jahil.
IBU REA
Jadi piye? Habis putus sama Kamal, kamu udah nggak laku lagi to?
REA
Ibu! (Matanya membesar) Ibu mau aku ceritain nggak waktu makan malam itu?
IBU REA
O ya kamu itu kudu cerita! Biar Ibu besok yang bales ucapan nyelekit ibunya Kamal itu!
Rea tertawa. Ia mulai cerita.
80 INT. DI DEPAN RUANGAN UGD – MALAM HARI
Rea menghampiri pamannya.
PAMAN REA
Ibumu ora ke sini?
REA
(Menggeleng) Kasihan Ibu kalau terus-terusan jaga Ayah. Aku lihat mata pandanya item banget. Jadi, aku bilang ke Ibu biar yang jaga malam Ayah ini aku aja.
PAMAN REA
Paklik pulang dulu, yo? Kamu tenanan nggak papa sendiri?
REA
Apa sih! Dikira aku masih bocah!
Paman Rea tertawa kecil. Rea menyalimi tangan pamannya.
Rea duduk di kursi depan UGD setelah pamannya berjalan keluar. Ia mengeluarkan ponselnya dari tas. Ia menghidupkan ponselnya yang mati.
Ponselnya yang sudah hidup menampilkan deretan telepon dari Devi. Rea tersenyum kecil. Ia menelepon Devi.
Fx: suara telepon tersambung.
DEVI
Halo? (suaranya lemah dan serak-serak seperti orang sedang tidur)
Rea tertawa kecil.
DEVI (CONT’D)
Halo? Siapa ini?
REA
Heh, Kue Apem, udah tidur?
81 INT. KAMAR TIDUR DEVI – JAKARTA – MALAM HARI
Devi sedang tertidur di kamarnya. Lampu kamarnya mati dan keadaan gelap. Ia segera membelalak kala tahu yang menelepon adalah Rea.
DEVI
Upil Kuda lo! Bikin gue khawatir aja! Nggak mau tau, pokoknya gue marah sama lo!
REA
Astaga …
DEVI
Astaga-astaga! GUE yang harusnya bilang gitu! Ke mana sih lo sebenarnya, Princess? Ke Solo apa hilang di Antartika? Nggak ada kabar apa-apa, tau-tau keluar kerja, nggak bisa dihubungin!
Rea tertawa kecil.
82 INT. RUMAH SAKIT – SOLO – MALAM HARI
Rea berdiri dan berjalan ke arah jendela. Lalu menatap ke bawah di mana ada taman dan kolam ikan.
REA
Makasih ya, Dev. Lo udah ngawatirin gue, lo udah telfon gue berkali-kali, spam whatsapp, thank you, ya. (Menghembuskan napas) Gue jadi sadar, nggak papa temen gue dikit, asal ada lo, gue tahu gue bakal baik-baik aja. (Menangis)
Devi dan Rea terdiam lama.
DEVI
Gimana kabar Om Heri? Apa kata dokter?
REA
Jantungnya kena. Mungkin … cuma bisa bertahan beberapa bulan … (tercekat) Gue yakin Ayah nggak selemah itu. Dokter pasti salah ‘kan?
DEVI
Iya … Om Heri pasti bakal kuat. Lo tahu, ketabahan Om Heri itu nurun ke lo.
83 INT. KAMAR DEVI – JAKARTA – MALAM HARI
Devi terduduk di kasurnya.
DEVI (CONT’D)
Lo yang bahkan masih sempet-sempetnya bagi gue roti waktu maag gue kambuh, padahal lo nggak ada duit sepeser pun buat beli makan siang. Lo yang rela hujan-hujanan karena cuma punya satu paying dan lebih milih dipinjemin ke bapak-bapak tukang parkir. Lo yang nggak ngelawan waktu dipecat. Lo yang selalu pasang muka baik-baik aja waktu Garut bilang penjualan buku lo defisit. Gue kagum banget sama lo, Re. Lo pasti bahagia. Lo pasti akan dapet kebahagiaan yang luar biasa dari Tuhan.
84 INT. RUMAH SAKIT – SOLO – MALAM HARI
Rea mengelap air matanya dengan tangan.
REA
Thanks buat doanya. Thanks ya, Dev.
Fx: suara suster.
SUSTER RUMAH SAKIT
Keluarga saudara Heri Akbar?
Rea menoleh.
REA
Gue dipanggil suster. Gue tutup teleponnya, ya? Lanjutin tidur, gih!
DEVI
Oh … iya-iya! Kabarin gue selalu, oke?
Rea menutup teleponnya. Ia berjalan ke arah suster.
SUSTER RUMAH SAKIT
Keluarga Heri?
REA
Saya, Sus! Saya anaknya. Ayah saya kenapa, ya?
SUSTER RUMAH SAKIT
Bapak Heri sudah siuman, Mbak. Saya mau minta tanda tangan buat obat baru.
REA
(Membulatkan mata, tersenyum) Saya boleh masuk, Sus?
SUSTER RUMAH SAKIT
Untuk saat ini belum, Mbak. Menunggu jadwal. Boleh tanda tangan dulu, Mbak?
REA
Iya, Sus.
Rea tersenyum. Setelah tanda tangan, ia mengeluarkan ponsel lalu, mengetik pesan untuk ibunya.
REA (PESAN SINGKAT)
Bu, Ayah siuman.
Rea lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Tak lama kemudian ponselnya bergetar.
Fx: suara nada ponsel.
DEVI (PESAN SINGKAT)
Gue lupa bilang. Fans yang lo kira waktu nulis di kertas kalau cerita lo bagus itu Pak Rival. Udah itu aja, gue mau lanjut tidur. Bye, Princess.
Rea mengerutkan kening. Ujung bibirnya lalu menarik ke atas, ia tersenyum.
85 INT. RUMAH SAKIT – SOLO – PAGI HARI
Rea dan Kia menatap Ayahnya yang sudah bangun.
KIA
(Tersenyum) Ayah … Aku udah takut Ayah kenapa!
Ayah Rea tertawa dan mengelus puncak kepala Kia.
AYAH REA
Ayah ini kuat, lho! Waktu kemarin, Ayah teruuus kepikiran dua anak Ayah yang cantik-cantik (mencubit pipi Kia), terus Ayah bertekad. Demi Kia, demi Rea (menatap ke arah Rea), Ayah harus sehat!
KIA
(Tersenyum) Ayah jangan sakit lagi, ya … (mulai menangis) Aku nggak mau lihat Ayah sakit. (menghapus air mata) Jadi, Ayah nggak boleh sakit.
Ayah Rea menghapus air mata Kia dan mengangguk. Rea menatap Ayahnya.
REA
Ayah masih sakit dadanya?
AYAH REA
Sedikit. Tapi, wis, nggak papa. Jam besuknya mau habis to? Kia, (menatap Kia) Kia keluar dulu, Ayah mau ngomong sama Ibu sama Kakakmu.
KIA
Haaaa (mengerucutkan bibir) Nggak mau! Aku masih mau sama Ayah …
REA
Kia!
KIA
Apa?!
REA
Jangan kayak anak kecil! Jangan jadi anak yang dikit-dikit ngambek! Malu. Ini rumah sakit. Udah sana! Gantian sama Ibu!
Kia memasang wajah merajuk dan menatap ayahnya.
AYAH REA
Nanti sore ada jam besuk lagi, kamu bisa cerita-cerita sama Ayah lagi. Ngalah dulu, ya?
Kia menghembuskan napas kesal. Ia akhirnya mengangguk dan keluar.
REA
Ayah mau ngobrol penting?
AYAH REA
Iya. Tunggu Ibumu dulu.
Cut to.
Setelah beberapa saat.
Ibu dan Rea saling tatap.
IBU REA
Ibu nggak setuju.
REA
Aku juga.
AYAH REA
Ayah iki tahu, umur Ayah udah nggak lama.
REA
Itu 'kan kata dokter, Yah. Dokter bukan Tuhan.
AYAH REA
Orang yang hidupnya nggak bakal bertahan lama pasti tahu, Rea. Ayah bisa ngerasain.
IBU REA
Udah. (Membetulkan selimut) Ayah capek. Makanya ngomongnya jadi ngelantur kayak gini.
Ayah Rea memegang jemari Ibu. Ibu terdiam. Mata Rea mulai memanas.
IBU REA
Selama masih ada waktu, kita manut apa kata dokter, Yah.
AYAH REA
(Tersenyum) Bakal lebih menyenangkan kalau di sisa umur Ayah ini, dihabiskan di rumah. Sama Rea, sama Kia, sama Ibu. Kumpul kayak dulu. Daripada harus ketemu mati di rumah sakit, di kasur UGD, bau obat-obatan. Ayah mau, punya kenangan sama keluarga, sebelum Ayah dipanggil nanti.
Rea menatap ke arah lantai rumah sakit. Air matanya menetes. Ia merasakan genggaman tangan ayahnya semakin menguat.