Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
13 INT. DI DALAM MOBIL – PERJALANAN PULANG
Rea dan Kamal hanya terdiam selama di dalam mobil. Rea menatap ke jendela, sedangkan Kamal fokus menyetir. Beberapa menit kemudian, Kamal menatap Rea yang tetap terdiam, ia lalu berdeham.
KAMAL
Re…
REA
Aku turun di halte depan aja. Aku mau langsung kerja.
KAMAL
Kalau gitu aku anterin kamu ke tempat kerja, ya?
Rea menghembuskan napas dan menoleh ke arah Kamal.
REA
Mal, kamu nggak denger orang tua kamu ngomong apa tadi?
KAMAL
Kamu mau aku nyalain musik?
Tangan kiri Kamal hendak menghidupkan radio mobil. Lalu lagu "Rehat" dari Kunto Aji menyala.
REA
Mal, aku lagi serius!
KAMAL
Wah, lagu kesukaan kamu ini!
Rea dengan marah mematikan radio dan menatap Kamal.
REA
Mal!
KAMAL
Aku juga serius, Re.
Kamal memberhentikan mobilnya dan balik menatap Rea.
KAMAL (CONT’D)
Aku juga serius sama kamu. Aku juga serius kalau aku bakal perjuangin kamu! Aku nggak peduli Mama-Papa ngomong apa, aku cuma pengin sama kamu! Apa menurut kamu, aku kurang serius sama hubungan ini? Re, aku nggak pernah main-main sama kamu. Nggak ada niatan sama sekali.
Rea terdiam.
REA
Ucapan kamu ini bikin aku tambah mikir kalau seharusnya kita emang nggak gini dari awal, Mal.
KAMAL
Re, jangan terlalu dipikir omongan Mama sama Papaku, mereka emang biasa─
REA
Tapi, aku nggak biasa! Aku butuh waktu buat ngerti semua ucapan orang tua kamu. Jadi, plis, untuk saat ini, aku mohon biarin aku sendiri dulu.
Rea membuka pintu mobil dan keluar. Kamal berteriak marah sambil memukul-mukul setir kemudi.
14 EXT. HALTE BUS – SORE HARI
Rea terduduk dan merenung. Pandangannya kosong. Halte saat itu sedang sepi. Ia lalu menangis tanpa suara dan menutup matanya.
15 INT. MEJA MAKAN HALAMAN BELAKANG RUMAH KAMAL – FLASHBACK
Semua orang kecuali Rea dan Kamal kaget mendengar jawaban Rea. Ayah Kamal berdeham.
AYAH KAMAL
Kenapa jadi tegang begini? Hahaha, ayo-ayo dilanjut.
Ayah Kamal menatap Kamal. Kamal memalingkan muka.
16 INT. MEJA MAKAN HALAMAN BELAKANG RUMAH KAMAL – FLASHBACK
Acara makan-makannya sudah selesai. Digantikan dengan cerita-cerita nostalgia. Rea lebih sering melamun, hanya tersenyum tipis beberapa saat. Ia lalu dikagetkan oleh panggilan Papa Kamal. Saat itu, Kamal sedang berbicara dengan Tantenya yang sedang menuangkan air minum.
AYAH KAMAL
Kamu lihat kolam renang itu 'kan, Re?
Rea menoleh ke belakang untuk melihat itu, lalu mengangguk kecil.
MAMA KAMAL
Papanya Kamal buat kolam renang, karena Kamal pernah dibully sama temen sekolahnya.
REA
Dibully? (mengerutkan kening)
AYAH KAMAL
(Menganggukkan kepala) Temen-temen sekolahnya bilang Kamal anak yang cupu karena nggak bisa berenang. Ahaha, (menggelengkan kepala berulang) anak-anak kecil emang pemikirannya masih sederhana. Tapi, Kamal beda. Dia anak yang lebih perasa. Kamal bahkan sampai ngunci diri di kamar dan nggak berani pergi sekolah.
MAMA KAMAL
Sebagai orang tua, kami mau yang terbaik untuk Kamal, anak laki satu-satunya. Jadi, ya, Papanya Kamal ngide bikin kolam, ngajarin dia sampai bisa.
Rea menganggukkan kepala sambil tersenyum. Mama Kamal menatap Rea.
MAMA KAMAL (CONT’D)
Saya cerita ini bukan tanpa sebab. Kamu tahu maksud saya?
Rea menatap balik Mama Kamal.
REA
Iya, saya tahu.
MAMA KAMAL
(Menghela napas) Saya harap kamu ngerti kalau saya dan suami saya hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Termasuk siapa istrinya nanti. Kamu dari Solo ‘kan? Kamu pasti tahu istilah bobot-bibit-bebet. Keluarga kami penganut aliran itu. Pikirkan, ya, Rea? Tante tahu kamu gadis yang baik.
AYAH KAMAL
(Berdeham). Cantik saja tidak cukup, Rea. Untuk Kamal, terutama.
Bersamaan dengan itu Kamal dan tantenya datang untuk memberikan minuman. Kamal duduk di sebelah Rea dan memberikan segelas sirup. Ia tersenyum dan Rea membalas senyumannya.
Di pantulan gelas berisi sirup merah itu, terlihat senyuman Rea yang memudar.
17 INT. BUS KOTA
Rea menatap dirinya di layar ponselnya yang mati. Wajahnya kusut dan sedih. Matanya berair dan memerah. Ia mengelap ingus dan memalingkan wajahnya ke luar jendela sambil terus menangis tanpa suara di dalam bus.
18 INT. KAFE – SORE HARI
Kafe tempat Rea kerja ada di dekat sekolah Kia. Saat itu keadaannya sedang sepi. Rea memasuki pintu kafe dan langsung disambut oleh Devi (25) yang sedang mengelap meja.
DEVI
Eh, Re! Katanya hari ini mau bolos?
REA
Nggak jadi.
Rea langsung memakai apron yang di depannya ada tulisan nama kafenya. Devi berhenti mengelap dan menatap Rea.
DEVI
Widiiih, ada apa, nih? Tetumbenan semangat kerja lo melambung tinggi.
REA
(sembari mencuci tangan)
Karena gue masih miskin?
DEVI
Hah? Apa?
Rea tersenyum kecut.
REA
Gue mencoba sadar diri kalau gue masih miskin. Selagi status gue masih belum diakui sebagai orang kaya, nggak ada istilah males kerja.
Rea balik menatap Devi. Devi mengerutkan keningnya.
DEVI
Re? Lo nggak ketempelen arwah nenek lo 'kan? (memeriksa dahi Rea)
REA
Gue cuma nggak mau nama dan harga diri gue diinjek orang seenaknya. Lo tahu itu 'kan, Dev? Haaah (menghembuskan napas), makanya gue nggak jadi bolos kerja.
Devi mulai merasa ada yang tidak beres. Ia berjalan ke arah Rea yang tangannya mengepal di pinggiran wastafel.
DEVI
Rea? Something happen?
REA
Gue emang miskin, Dev. Gue emang miskin. Gue emang miskin dibanding keluarganya Kamal! Gue tahu gue nggak ada apa-apanya! Gue makan mi instan tiap hari, gue nahan laper kalau malem, gue bahkan nggak bisa beliin adik gue buah! (mulai menangis) Tapi, apa salahnya? Apa salahnya jadi orang miskin? Dev, gue…
Devi langsung memeluk Rea.
DEVI
Sstt, sstt, gue paham, Re. Udah-udah, tenang. (sambil menepuk-nepuk punggung Rea)
REA
Lo nggak tahu, Dev! Lo nggak paham! Lo nggak ada di sana waktu nyokapnya Kamal ngomong itu! Lo nggak tahu gimana reaksi om-tantenya Kamal waktu tahu gue cuma penulis bayaran 400 ribu, kerja di kafe … Mereka semua ngehina gue dengan tatapan itu, padahal gue nggak tahu apa salah gue!
DEVI
Iya-iya, gue bisa ngerti, Re. Ayo-ayo sini keluarin semua uneg-uneg lo. Gue bakal dengerin, oke? Oke? Gue bakal selalu ada buat lo.
Rea terus menangis di pelukan Devi.