40.INT. LANTAI ATAS VILA TUA — DAY
Kai duduk bersila di lantai, memperbaiki pengering rambut. Cho duduk di depannya, mengamati Kai dengan wajah bosan.
CHO
Masih lama, ya?
Kai tak menjawab Cho. Dengan kesal, Cho mengganggu Kai dengan memegang beberapa alat milik Kai. Kai menepis tangan Cho dengan kesal.
KAI
Jangan aneh-aneh, Cho. Nanti ilang itu. Bentar lagi juga selesai.
Cho mendengus kesal.
CHO
Kamu udah ngomong kayak gitu satu jam yang lalu.
(beat)
Lagian kamu dapet dari mana, sih, itu?
KAI
Di gudang. Kayaknya punya Budhe. Sayang, masih bisa dibenerin ini. Budhe juga kayaknya belum beli yang baru.
Cho mengangguk-angguk. Dia pun berdiri dan berjalan mengitari ruangan sambil sesekali melirik Kai. Kai masih serius memperbaiki pengering rambut. Cho mengalihkan pandangannya ke arah lukisan-lukisan miliknya dan menarik napas dalam-salam.
CHO
Tinggal satu tempat lagi…
Kai mengangkat wajahnya, ikut menatap ke arah lukisan. Cho menoleh ke arah Kai.
CHO
Kamu udah bisa inget sesuatu?
Kai terdiam, berpikir… kemudian menggeleng pelan, kecewa. Cho ikut terlihat kecewa.
CHO
Apa kita perlu coba cara lain?
KAI
Masih ada satu lukisan lagi, kan?
Cho menatap lukisan terakhir yang berada paling ujung. Lukisan sebuah taman bunga. Cho terlihat ragu.
KAI
Sebenernya, ada ingatan samar-samar gitu. Aku enggak tahu itu bener ingatan atau cuma halusinasiku aja. Kayak… waktu aku main sama Mama, ngerjain PR sama Mama, ngelukis… aku bahkan enggak inget Mama suka ngelukis.
Cho menatap Kai lama. Tatapannya sedih.
CHO
Kamu yakin itu mama kamu?
KAI
Ya, siapa lagi sih perempuan yang ada di hidupku selain Mama?
Cho tersenyum pahit dan menganggkuk, bisa memahami Kai. Cho pun menghampiri Kai dan duduk berlutut di depannya, tersenyum ke arah Kai.
CHO
Ya udah. Besok kita coba ke tempat terakhir. Ini tempat spesial. Jadi aku yakin kamu enggak akan kecewa.
Kai tertawa kecil dan mengangguk setuju. Kai kembali mengutak-atik pengering rambut, tetapi dia tiba-tiba teringat sesuatu.
KAI
Oh, iya. Sebenernya ada yang mau aku tanyain, sih.
Cho mengangkat alisnya, menunggu pertanyaan Kai. Pandangan Kai kembali bergerak ke lukisan.
KAI
Kenapa di semua lukisanmu ada kupu-kupu?
Cho terdiam. Dia ikut menoleh ke arah lukisan-lukisannya dan berpikir sejenak.
CHO
Hmm… karena aku suka kupu-kupu, mungkin?
(beat)
Lebih ke iri, sih, sebenernya.
Kai menyipitkan matanya, tak paham pada jawaban Cho. Cho tersenyum dan tertawa kecil.
CHO (CONT'D)
Aku juga pengin kayak mereka… bisa terbang bebas ke mana pun mereka mau. Hinggap di tempat-tempat yang cantik.
Kai memandangi Cho dan berpikir.
KAI
Kalau kamu segitu penginnya pergi? Ngapain kamu masih di sini?
Senyum lebar Cho sedikit memudar, digantikan senyum pahit.
CHO
Enggak bisa…
(beat)
Masih ada seseorang yang harus aku jaga.
Kai mengerutkan keningnya.
KAI
Emang orang itu enggak bisa jaga diri sendiri? Kenapa mesti kamu yang jaga?
CHO
Ya… karena aku yang sayang sama dia…
Kai mendengus sinis. Dia meletakkan obeng di tangannya dengan emosi.
KAI
Ck. Sayang…
(beat)
Orang-orang itu selalu pakai alasan sayang lah, cinta lah, buat ngelakuin hal di luar akal sehat mereka.
Cho tersenyum tipis.
CHO
Ya, kalau kamu udah sayang sama seseorang, seringnya yang jalan bukan akal, sih. Tapi hati.
KAI
Ya, tapi apa harus sayang sampai ngelupain diri sendiri? Sampai nyakitin diri sendiri? Paling enggak pikirin diri sendiri dulu. Bahagia sendiri dulu sebelum berusaha bahagiain orang lain. Jangan berkorban aneh-aneh dan akhirnya cuma bikin kita jadi ngerasa bersalah.
Cho tertawa pelan. Dia mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah Kai, menyentuh pipi Kai.
CHO
Kenapa kamu jadi marah-marah, sih?
Kai menatap Cho lekat-lekat. Tiba-tiba, Kai membalasa menangkup tangan Cho yang berada di pipinya. Cho terdiam, terkejut. Kai menatapnya dengan serius.
KAI
Kalau aku jadi orang yang kamu sayangi itu, aku bakal ngelepasin kamu.
(beat)
Aku bakal ngebiarin kamu pergi ke mana pun kamu mau, asal kamu bisa bahagia dulu.
Kai dan Cho bertatapan lama, berusaha saling membaca isi pikiran satu sama lain. Kai tenggelam dalam tatapan Cho. Jantungnya berdegup keras.
41.INT. SEKOLAH KAI - RUANG KELAS — DAY
Kai duduk di bangkunya, melamun memikirkan Cho. Pandangannya menerawang lurus ke depan. Wajahnya memerah.
SEKAR (O.S.)
Kai? Kai? Kai!
Kai tersadar dan terperanjat kaget. Dia langsung menoleh ke arah Sekar.
KAI
H-hah?! Iya, apa?
SEKAR
Gimana? Mau ikut, enggak?
KAI
(bingung)
Ikut apa?
Sekar duduk di bangkunya, menggeleng heran.
SEKAR
Kamu ngelamun, ya, dari tadi? Tadi kita ngajakin kamu ke teahouse. Ada yang baru buka di sekitar kemuning. Ikut, yuk. Sekalian jalan-jalan.
Kai menggeleng, menolak dengan sopan. Sekar langsung terlihat kecewa.
SEKAR
Kenapa? Kan, sekalian biar kamu bisa jalan-jalan. Kamu belum pernah ke sana, kan?
Kai tersenyum.
KAI
Aku udah ada janji.
Sekar mengerutkan dahinya.
SEKAR
Janji? Janji sama siapa?
KAI
Temen.
(beat)
Kalian enggak kenal, kok
Sekar menatap Kai dengan curiga. Dia kemudian menoleh ke belakang, melihat ke Ryan. Ryan yang sedang membaca buku, mengangkat wajahnya, melihat Sekar. Sekar bicara tanpa suara ke Ryan, “Temen siapa coba?”
Ryan ikut mengerutkan dahi dengan bingung. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Kai yang kini sedang sibuk mencoret-coret sesuatu di bukunya. Ryan menatap Kai dengan cemas.
42.EXT. TAMAN MUSIM SEMI — DAY
Terlihat lukisan Cho berisi taman penuh bunga dengan sebuah pohon tinggi yang subur. Kai menurunkan kertas lukisan itu dan melihat sebuah tempat yang gersang, berbeda jauh dengan lukisan. Yang sama hanya sebuah pohon tinggi. Cho berdiri di samping Kai, tersenyum dengan bangga.
CHO
Coba kamu bayangin, kalau rumput-rumput ini ditanami bunga lilac warna ungu, terus di sana hortensia, terus-
KAI
Jadi maksudnya mesti ngebayangin dulu biar sama kayak di lukisan gitu?
Cho menyeringai.
CHO
Kita cuma butuh sedikit imajinasi
Kai mendengus, kemudian menggeleng pelan.
KAI
Pulang aja lah kita
Kai hendak berbalik pergi, tetapi Cho menahannya.
CHO
Kamu kenapa, sih, sekarang enggak punya imajinasi gini?
KAI
Ya, kalau aku masih SD atau SMP gitu, aku mungkin bakal nurut-nurut aja. Masalahnya sekarang aku punya urusan yang lebih penting dari sekadar berimajinasi. Inget tujuan kita, enggak, sih?
Cho terlihat kecewa.
CHO
Kadang aku pengin kamu tetep 12 tahun…
KAI
(bingung)
Kenapa gitu?
CHO
Ya, kayaknya kamu bakal lebih nyenengin kalau masih 12 tahun.
Kai menggeleng, merasa Cho aneh. Kai mendekati sepedanya, kemudian menoleh lagi ke arah Cho.
KAI
Yakin enggak mau ikut pulang?
CHO
Pulang aja sendiri.
Kai mengangkat bahu, kemudian menuntun sepedanya. Baru beberapa langkah, tiba-tiba hujan turun. Kai langsung melepas sepedanya dan kembali menghampiri Cho. Cho terlihat sama sekali tak terganggu dengan hujan.
KAI
Hujan, Cho.
CHO
Ya, enggak papa.
KAI
Basah semua ini.
CHO
Nanti juga kering lagi.
Cho justru menengadahkan kepala dan tangannya, merasakan tetesan hujan.
CHO
Hujan enggak akan selamanya, Kai. Kita nikmatin aja.
KAI
Enggak usah macem-ma–
Hujan turun semakin deras, membuat Kai sibuk menutupi kepalanya dengan tangan. Cho meraih tangan Kai dan menurunkannya, membiarkan mereka berdua benar-benar terguyur hujan.
Cho tertawa kecil dan memutar tubuh Kai, membuat mereka berdua seakan menari di bawah hujan. Kai awalnya ogah-ogahan, tetapi Cho tak menyerah hingga Kai ikut tertawa bersamanya. Mereka tertawa dan menari bersama di bawah hujan. Kai tersenyum lebar mengamati Cho yang terlihat amat bahagia. Hingga perlahan senyuman Kai memudar.
Cho menari dan berputar sambil tertawa bahagia, perlahan kamera kembali terarah pada Kai yang kini telah berubah menjadi Kai Kecil. Kai Kecil tersenyum memperhatikan Cho hingga Cho yang kini mengenakan pakaian berbeda dan rambut yang digerai meraih tangannya. Dia adalah Cho empat tahun yang lalu, berdansa bersama Kai Kecil di bawah hujan. Cho mengangkat tangannya dan berputar. Kai bisa melihat banyak bekas luka gores di lengannya.
Kamera kembali ke arah Kai dan Kai Kecil telah kembali menjadi Kai saat ini. Cho yang menari di depannya juga telah kembali menjadi Cho yang dikepang satu seperti biasa. Kai segera menghampiri Cho dan meraih lengannya, membuat Cho berhenti menari.
Cho menatap Kai dengan bingung. Tiba-tiba Kai menarik lengan Cho dan menyingkap lengan pakaian Cho. Kai melihat luka gores yang sama di lengan Cho, seperti yang dia lihat dalam ingatannya tadi.
Cho langsung menarik tangannya dengan marah dan buru-buru menutupinya lagi.
KAI
Luka apa, Cho? Cho? Cho, aku lihat luka kayak gitu di ingatanku. Bisa jadi luka itu ada hubungannya sama masa laluku. Tolong, Cho… Cho! Apa susahnya sih jawab pertanyaanku?!
Cho berbalik dan menatap Kai dengan marah.
CHO
Kalau ada orang yang tanya tentang luka bakar di mata kamu itu, emangnya kamu bisa segampang itu jawab?
Kai terdiam. Tangan Kai menyentuh eye patch yang menutupi mata kirinya.
KAI
Kamu tahu?
Mata Cho mulai berkaca-kaca. Kai menatap Cho dengan menuntut.
KAI
Ternyata bukan Mama…
(beat)
Perempuan di mimpiku itu, ternyata bukan Mama. Kamu, kan, orangnya?
Cho terdiam. Kai mulai marah.
KAI
Selama ini kamu tahu semuanya? Kamu tahu tentang ingatan yang aku cari? Kenapa kamu diem aja? Kamu selama ini tahu, kan, gimana aku susah payah berusaha ngembaliin ingatanku lagi?
(beat)
Kenapa kamu mesti rahasiain itu ke aku? Kenapa, sih, semua orang ngerahasiain masa laluku? Aku ngelakuin hal buruk apa sih di masa lalu sampai semua orang setakut ini buat bilang ke aku?
CHO
Bukan aku yang ngerahasiain masa lalu kamu…
(beat)
Kamu yang ngelupain aku.
Kai membeku, berusaha mencerna segalanya.
CHO
Aku udah berusaha kasih kamu banyak petunjuk. Aku udah berusaha kasih tahu kamu, tapi…
(beat)
Apa yang bisa aku ceritain… ke orang yang bahkan enggak inget namaku?
Cho berjalan melewati Kai dengan sedih dan kecewa. Kai berbalik, hendak menahan Cho, tetapi Cho sudah menghilang. Kai berdiri sendiri di bawah hujan.
43.INT. RUMAH RASYID DAN MIRNA - RUANG KELUARGA — MOMENTS LATER
Kai yang basah kuyup melangkah masuk ke ruang keluarga. Ryan dan Marni yang sedang menonton TV terkejut melihat keadaannya. Marni langsung bangkit dan menghampiri Kai dengan khawatir.
MARNI
Kai! Kok, basah kuyup?
Ryan mengamati Kai dengan serius. Marni membantu Kai membuka jaketnya. Kai menunduk menghindari tatapan Marni.
MARNI
Habis dari mana, tho? Kok, ya enggak nunggu terang aja? Apa telepon Ryan kan bisa, nanti dianter payung dari sini…
KAI
(lirih)
Enggak papa, kok, Budhe…
MARNI
Budhe siapin air anget, ya, buat mandi. Kamu ganti baju aja dulu.
KAI
(ragu)
Enggak usah, Budhe…
MARNI
Enggak usah gimana? Masuk angin kamu nanti. Kamu bawa baju yang anget, enggak?
(ke Ryan)
Yan, pinjem sweatermu dulu.
KAI
Enggak usah, Budhe…
MARNI
(ke Ryan)
Sama kamu angetin sekalian sopnya biar Kai makan habis mandi.
KAI
Budhe…
MARNI
Budhe godokin air dulu, ya. Sekalian Budhe bawain mi-
KAI
BUDHE, ENGGAK USAH!
Marni membeku. Ryan bangkit berdiri dengan terkejut. Kai menunduk, menyesali emosinya yang lepas.
MARNI
(terbata-bata)
Aduh, Budhe enggak maksud… Maafin Budhe, ya, Kai…
RYAN
(marah)
Kok, ibu yang minta maaf? Dia lah yang harusnya minta maaf!
MARNI
Yan, udah…
RYAN
Aku yakin di kota harusnya juga ada pelajaran sopan santun. Gitu cara kamu ngomong sama orang tua?!
MARNI
Yan, jangan gitu sama Kai!
RYAN
Kenapa sih bu? Ibu sama bapak itu dari dulu terlalu lembek sama dia! Emangnya kalau dia enggak punya bapak, kalau ibunya mati, terus dia boleh gitu seenaknya sendiri?
MARNI
RYAN!
RYAN
Nah, tho? Aku lagi, tho, yang salah? Jelas-jelas dia yang bentak ibu!
(beat)
Ibu tahu enggak anak-anak sekolah bilang dia apa? Dia dibilang gila, pengabdi setan, orang aneh! Sekar lihat dia ngomong sendiri di jalan. Anak-anak lain lihat dia lari-lari ketawa sendiri di sawah. Aku sendiri lihat dia bolak-balik ke vila, Bu. Padahal kita semua udah ngelarang, tapi dia blas enggak mau denger!
Marni mendekati Ryan, berbisik ke Ryan.
MARNI
Yan, kamu kan tahu kondisinya Kai-
RYAN
Yang aku tahu dia amnesia, Bu. Bukan gila!
(ke Kai)
Atau bukan gila apa, ya? Caper aja mungkin.
Kai hendak pergi ke kamar. Ryan langsung menahannya.
RYAN
Ngeloyor aja enggak pake permisi. Mau kabur ke mana lagi? Ke vila? Mau bikin ritual sesat biar semua orang di sini merhatiin kamu?
Kai menatap Ryan dengan dingin.
KAI
Ke kamar.
(beat)
Sholat. Ngaji. Berdoa mohon ampun. Itu, kan, yang harus aku lakuin? Biar aku enggak gila lagi. Biar anak haram kayak aku dapat ampunan. Biar aku bisa hidup normal kayak kalian.
MARNI
Kamu, kok, ngomongnya gitu, tho, Kai?
RYAN
Biarin aja, Bu. Dia sendiri yang ngaku gila.
MARNI
Jangan nambahi masalah, Yan!
Ryan terdiam menatap Marni, terlihat sangat kecewa.
RYAN
Udahlah, mungkin anak ibu itu emang Kai, bukan aku!
Ryan pergi meninggalkan ruangan. Marni menoleh ke arah Kai. Namun Kai hanya menunduk dan ikut meninggalkan ruangan, menuju kamarnya. Marni berdiri sendirian, bingung harus berbuat apa.