Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
101. EXT. RUMAH ISMAIL. HALAMA. NIGHT.
Di bawah sinar bulan di halaman. Tampak Karta dengan mata ditutup sedang awas dengan serangan-serangan. Kuda-kuda dan balabeknya kokoh. Telinganya nyaring.
Ismail memukulkan tongkat ke tanah. Karta menoleh ke sumber bunyi. Ia pukul tanah bagian lain. Karta segera menoleh.
Ismail menusukan tongkat ke perut Karta. Karta berhasil menangkap dan mengunci serangan Ismail.
Ismail melepaskan kuncian. Ia serang kepala Karta. Karta berhasil mengelak dan melayangkan tendangan ke arah rusuknya. Segera ia tangkis kaki Karta dengan tongkat tepat mengenai mata kaki Karta. Karta menarik kakinya dan menahan rasa sakit.
CUT TO:
102. EXT. PUNCAK BUKIT. DAY.
Sebuah puncak bukit yang ditumbuhi rerumputan hijau.
Karta, Tari, dan Ismail sedang berlaga. Ismail dan Tari menyerang Karta secara bergantian. Ia berhasil mengelak serangan demi serangan Tari.
Pukulan Karta ditangkap Ismail. Ia berusaha melepaskan. Dan mengait kaki Ismail dengan kakinya. Ismail tersungkur.
Tari mencabut pisau di pinggangnya. Menusukan ke perut karta. Karta mengelak. Ismail melayangkan golok ke arah kepala Karta. Ia masih berhasil mengelak. Mereka saling membuka langkah.
Karta mencabut karambik di pinggangnya. Ia sembunyikan di balik pergelangan tangan. Ia pasang kuda-kuda dan balabek yang kokoh. Ismail menebaskan golok ke arah kepala. Karta masih mengelak.
Tari menusukan pisau ke arah perut Karta. Dengan sigap, ia menangkap dan mengunci tangan Tari. Beberapa gerakan karambik memutus urat nadi di tangan hingga leher Tari. Ia menahan serangan karambik di leher Tari.
Nafas tari sesak. Tangannya terkunci. Karambik siap untuk memutus urat lehernya.
Ismail betepuk tangan. Karta melepaskan kuncian dan menurunkan karambik dari leher Tari.
Matahari mulai tenggelam. Mereka tampak lelah namun bahagia. Mereka duduk sambil memandangi matahari yang akan tenggelam di balik bukit.
ISMAIL
Kamu sudah menguasai apa yang kami ajarkan.
KARTA
Terimakasih banyak atas segala kemurahan hati kalian.
TARI
Sayang ya, Akang harus berangkat. Padahal masih banyak yang bisa kita ajarkan.
ISMAIL
Janganlah banyak-banyak diberikan nanti tak ada yang tinggal dengan kita. Kata orang-orang tua dahulu, hanya sembilan yang boleh diajarkan kepada murid. Yang ke sepuluh tetap pada guru.
Tari dan Karta tertawa.
TARI
Sudahlah. Hari sudah senja.
Mereka berdiri. Dan berjalan memunggungi matahari.
TARI (O.S)
Uda Karta lapar?
KARTA (O.S)
Tentulah...
ISMAIL (O.S)
Uda tidak kau tanya Tari?
Mereka melanjutkan perjalanan sambil tertawa. Suara adzan terdengar.
CUT TO:
103. EXT. PASAR. NIGHT.
Di sepanjang jalan berjejer gerobak-gerobak penjual kuliner. Mulai dari sate, martabak, kue putu, teh telur, dan ragam lainnya.
Kendaran lumayan ramai di jalanan. Begitu juga yang terparkir di hadapan gerobak-gerobak penjaja makanan.
CUT TO:
104. INT. PASAR. GEROBAK PENJUAL SATE. NIGHT.
Di bawah terpal biru yang ditopang dengan kayu. Asap dari kipasan daging sate mengepul. Tukang sate mengambil beberapa tusuk sate dari pembakaran. Ia letakan dalam piring berisi beberapa potong ketupat. Lalu ia tuangkan kuah sate panas berwarna kuning ke piring itu.
De sebuah meja panjang yang dipenuhi pembeli yang sedang menyantap sate. Tampak Karta dan Tari.
TARI
Di Jakarta cukup banyak saudara Ibu di sana. Rata-rata mereka berjualan kain di Tanah Abang.
KARTA
Jakarta memang sibuk. Semua orang mencari uang di sana. Jika tidak pandai, bisa mati kelaparan di ibu kota kita sendiri.
Tukang sate menghantarkan dua piring sate ke hadapan Tari dan Karta.
TARI
Terimakasih, Da.
Karta mengambil satu tusuk daging. Lalu ia makan. Wajahnya menyiratkan bahwa daging yang masuk ke mulutnya itu empuk.
Tari memperhatikan Karta yang begitu menikmati.
KARTA
Sate di sini terasa lebih enak dari pada di Jakarta.
TARI
Sama saja, Kang.
KARTA
Mungkin karena aku makan dengan kamu.
Tari terbahak. Mereka terus menikmati sate.
CUT TO:
105. EXT. PASAR. JALANAN. NIGHT.
Seorang pemain rebab dengan ketiding kecil di hadapannya. Orang-orang berlalu di depan tukang rabab itu. Ia terus mengesek rabab tanpa mempedulikan orang-orang berlalu-lalang.
KARTA (O.S)
Bagaimana dengan penelitianmu?
TARI (O.S)
Masih terus aku tuliskan.
Tukang rebab menyampaikan kaba berisi lirik-lirik perasaian hidup. Oang-orang tetap berlalu di hadapannya.
Tampak kaki Ismail dan Karta melintas di depan tukang rebab.
TARI (O.S)
Kita duduk di sini dulu, Kang.
Tari dan Karta duduk menghadap tukang rebab. Mereka nikmati dendang-dendang perasaian itu.
Karta tidak tahu apa arti dari dendang-dendang itu, ia hanya menikmati bunyi yang menyayat hati.
KARTA
Ismail kalau di kontrakan juga sering memainkan alat yang seperti bapak itu mainkan.
Tari memasukan selembar uang lima puluh ribu ke dalam ketiding kecil itu. Melihat hal itu Karta juga merogoh dompetnya. Ia masukan uang seratus ribu.
Bapak pemain rebab berhenti memainkan rebabnya.
PEMAIN REBAB
Dari pasar mulai ramai hingga sekarang baru ini ketiding bapak terisi. Terimakasih banyak.
Bapak pemain rebab. Mengambil uang itu dan memasukannya dalam saku.
PEMAIN REBAB
Anak mau dendang kaba apa?
TARI
Pak, bapak tidak selayaknya mengamen di jalanan seperti ini. Terkesan rendah budaya kita.
TUKANG RABAB
Kehidupan bapak selalu di debih sepeti senar rebab. Dan tiap kisah selalu pilu seperti kaba.
TARI
Bukan bapak yang menjadikannya pilu, namun zaman.
PEMAIN REBAB
Apalah daya, Nak. Hanya ini kepandaian yang bapak punya.
TARI
Kepandaian bapak sangat mahal di zaman sekarang ini. Namun orang-orang yang berlalu-lalang menjadikannya murah.
Tari tidak dapat berkata banyak. Matanya berkaca. Ia marah tapi tidak tahu kepada siapa.
TARI
Suatu saat, Pak, akan ada pemimpin yang memperhatikan nilai-nilai luhur budaya kita.
Karta terharu dengan kepedulian Tari terhadap budaya. Ia pandangi terus Tari wajah Tari yang sendu melampiaskan amarahnya.
CUT TO: