Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
RASA
Suka
Favorit
Bagikan
26. Chapter XXVI
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

126. EXT. ROOFTOP AMARTA DIGITAL AGENCY – AFTERNOON

(Renjana, Karsa)

Renjana membuka pintu rooftop secara perlahan. Tampak punggung Karsa yang sedang berdiri menatap matahari yang mulai terbenam di antara gedung-gedung bertingkat di hadapannya. Ia belum menyadari keberadaan Renjana. Renjana terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara.

Renjana

Kenapa sih pak, harus maksain masuk ke kantor hari ini?

Karsa menoleh dan tampak terkejut dengan keberadaan Renjana.

Karsa

Maksud kamu?

Renjana

Ngerasa sedih saat kehilangan orang yang kita sayang itu wajar pak. Kehilangan memang gak pernah mudah.

Karsa

Saya gapapa, Renjana. Cuman butuh udara segar aja.

Renjana menghela napas selagi menggeleng.

Renjana

Manusia itu wajar pak punya rasa, apapun itu, mau sedih ataupun senang. Yang terpenting adalah gimana cara kita untuk mengekspresikannya dan mengontrolnya. Merelakan kehilangan orang yang kita sayang emang butuh waktu, dan untuk mencapai tahap itu, kita harus nerima rasa sedih dan kehilangan, tanpa perlu menyangkal.

Karsa terdiam, sorot matanya berubah sendu. Namun ia tetap bergeming.

Renjana

Lepasin aja pak, kayak gini nih.

Renjana berteriak kencang, Karsa menyerit bingung.

Renjana

Apa yang kita rasain itu butuh diluapin, pak. Dengan cara apapun, nangis, teriak, apapun, asal diluapin dengan cara yang positif.

Karsa

Saya gak lemah, Na.

Renjana

Punya perasaan itu bukan berarti kita lemah. Kecewa, terluka, sedih, marah, itu yang bikin kita jadi manusia kan? Coba deh pak, teriak, luapin semuanya, saya tau pasti ada yang mengganjal kan dihati bapak?

Karsa tidak menjawab, mengalihkan perhatiannya kembali pada matahari yang semakin berwarna kemerahan. Renjana kembali berteriak. Karsa tetap bergeming.

Renjana

Pak, kalo terus terusan dipendem, bapak akan terus tersiksa. Bapak gak capek? Pura-pura kuat terus?

Karsa menghela napas. Beberapa detik kemudian ia mencoba berteriak. Renjana tersenyum.

Renjana

Coba lagi deh, pak. Keluarin semua yang bapak rasain, sampe udah gak ngeganjel lagi. Bapak harus mulai menerima dan mengakui segala luka di hati bapak, supaya bisa sembuh dan bahagia sepenuhnya.

Karsa mencoba berteriak lagi. Lagi. Dan lagi. Hingga teriakannya amat kencang. Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Air mata Karsa mengalir semakin deras, bersamaan dengan teriakan Karsa yang semakin kencang. Karsa menangis, ia berlutut. Tangisannya semakin deras.

Karsa

Andai saya yang ke rumah orang tua saya, Na! Andai saya nyempetin waktu untuk ketemu ibu saya! Andai saya gak terlalu larut dengan kerjaan saya, ibu saya akan tetap hidup!

Renjana ikut berlutut di samping Karsa, mengelus punggung Karsa.

Karsa

Kenapa gak saya aja yang mati? Kenapa harus ibu saya?

Renjana menggeleng.

Karsa

Saya gak sempet ngeliat ibu saya untuk terakhir kali, Na. Orang yang selama ini ada buat saya. Orang yang ngebela saya. Orang yang sayang sama saya. Saya gak sempet ngebahagiain dia. Saya gak sempet ngeliat senyumannya untuk terakhir kali.

Renjana

Dengan bapak hidup bahagia, sukses, dan sehat, saya yakin itu udah ngebahagiain beliau.

Karsa terus menangis, tangisan pertamanya setelah bertahun-tahun memendam segala hal yang ia rasa.

Renjana

Hal yang terjadi, bukan salah bapak. Mungkin dengan kehilangan, semesta mau ngajarin bapak untuk memeluk semua perasaan yang bapak rasain. Tanpa perlu nutupin lagi.

Karsa

Hal yang paling nyakitin buat saya adalah tanpa saya tahu, suara terakhir di telepon kemarin merupakan suara terakhir beliau yang saya dengar selamanya. Dan saya nggak sempet bilang saya mencintai ibu saya.

Tangisan Karsa terus mengalir deras. Matahari yang terbenam sore itu, diiringi oleh tangisan pilu dari Karsa.

 

127. EXT. ROOFTOP AMARTA DIGITAL AGENCY – NIGHT

(Karsa, Renjana)

Karsa dan Renjana duduk di kursi kayu yang berada di rootop dalam diam. Mereka hanya menatap hamparan lampu-lampu gedung bertingkat.

Karsa

Maaf ya, Na. Tadi saya nangis dan ngomong kosong di depan kamu. Gak seharusnya saya selemah itu.

Renjana menggeleng selagi tersenyum.

Renjana

Gapapa kok, pak. Seperti yang saya bilang tadi, nangis itu bukan kelemahan. Lagipula kita juga impas, bapak juga pernah ngeliat saya nangis di tempat ini juga.

Karsa tersenyum.

Renjana

Kalo dipikir-pikir, tempat ini jadi saksi bisu di mana kita sama-sama ngeluapin emosi kita ya.

Renjana tertawa, tanpa disadari Karsa juga tertawa kecil.

Karsa

Gak usah panggil saya pak lagi, Na.

Renjana menoleh, menatap Karsa yang sudah menatapnya.

Renjana

Eh?

Karsa

Iya, panggil saya Karsa aja.

Renjana

Serius pak? Eh?

Karsa tertawa kecil, lalu mengangguk.

Karsa

Makasih ya, Na. Udah bikin saya lega. Saya gak ngerasa berat lagi.

Renjana

Iya, Pak- eh Sa. Inget ya, nangis, marah, sedih, kecewa itu wajar kok, bukan suatu kelemahan. Kalo kita terus-terusan nyangkal dan mendem perasaan negatif, gimana kita bisa tahu dan ngerasain apa itu bahagia?

Karsa

Dan semua perasaan itu gak perlu disimpen dan dipendam sendirian, Na. Kesedihan itu bisa dibagi ke orang lain, orang yang peduli. Dan saya peduli sama kamu, Na. Jangan terus berpura-pura bahagia ya, Na. Kamu juga harus mulai jujur sama apa yang kamu rasain.

Renjana tersenyum kembali menatap gemerlap lampu di hadapannya.

Karsa

Renjana.

Renjana

Hm?

Karsa

Ada satu perasaan yang saya rasa perlu diungkapkan. Saya sendiri sebenarnya bingung dengan apa yang saya rasain.

Renjana

Apa itu?

Karsa

Saya rasa, saya suka sama kamu, Na. Ada rasa nyaman yang selalu muncul saat saya sama kamu. Sama kamu, saya bisa jadi manusia seutuhnya tanpa perlu berpura-pura kuat.

Renjana tertegun. Tidak menjawab apapun.

Karsa

Saya gak mengharapkan balasan apapun kok, Na. Saya cuman pengen kamu tau aja apa yang saya rasain.

Hening. Renjana masih bergeming.

Renjana

Aku boleh jujur, Sa?

Karsa mengangguk.

Renjana

Setelah kehilangan Erlan, aku sadar, alasan kenapa saat itu aku bertahan dengan dia karena aku belum mencintai diri aku sendiri. Aku jadi gak tau, apa yang aku butuhkan, apa yang pantas buat aku.

Renjana menghela napas.

Renjana

Saat itu aku mencintai Erlan tanpa mencintai diri aku terlebih dahulu. Aku pikir, dicintai dan mencintai orang lain udah cukup.

Renjana kemudian menggeleng. Karsa tetap mendengarkan.

Renjana

Ternyata nggak. Kita tuh terlalu sibuk mikirin cinta kita ke orang lain, sampe kadang kita lupa untuk mencintai diri kita sendiri. Aku pikir, kebahagiaan aku bergantung sama dia, ternyata ya, kebahagiaan aku cuman bergantung sama diri aku sendiri. Tanggung jawab aku, bukan orang lain. Dan aku saat ini sadar, kalo aku harus sayang sama diri sendiri dulu, Sa. Supaya aku bisa nerima cinta mana yang pantas buat aku, tanpa perlu ngerasa kurang.

Karsa terdiam.

Renjana

Aku masih jauh dari tahap itu, Sa. Begitu pula kamu, selama ini kita terlalu sibuk dengerin dan mikirin kata orang tanpa bener-bener mikirin diri kita sendiri. Saat dunia jahat ke kita, kita juga tanpa sadar jahat ke diri kita sendiri. Kita terlalu sibuk ikutin apa yang orang lain mau, tanpa bener-bener tau apa yang kita mau. Apa yang kita butuh.

Renjana melanjutkan.

Renjana

Aku juga nyaman sama kamu, Sa. Kamu juga orang pertama yang ngeliat aku nangis. Tapi aku rasa, kita perlu kenal, nerima dan sayang sama diri kita sendiri dulu, Sa. Termasuk apa yang kita rasain. Sebelom kita saling sayang lebih jauh lagi.

Karsa menatap dalam Renjana, sebelum mengalihkan pandangannya ke depannya.

Karsa

Kamu bener. Maaf ya, Na.

Renjana

Aku yang minta maaf, Sa. Let’s give time for ourselves dulu ya. Kalo emang perasaan itu nyata, waktu yang akan menjawab kan, Sa?

Karsa tersenyum selagi mengangguk.

Karsa

Love shouldn’t take a rush.

Renjana

Dan semesta selalu punya cara tersendiri untuk ngasih kita yang terbaik.

Karsa mengangguk. Hening. Ia kemudian bangkit dari duduknya lalu mengulurkan tangannya. Renjana ikut berdiri.

Karsa

Thank you ya, Na. Udah ingetin dan ngajarin saya banyak hal.

Renjana menerima uluran tangan Karsa.

Renjana

Kamu juga udah nyadarin aku banyak hal. Makasih ya Sa, karena udah peduli dan jujur sama aku.

Mereka berjabat tangan. Sebelum Karsa secara spontan mendekap Renjana. Renjana balas memeluknya.

Karsa

Good luck ya Na. Semoga apa yang kamu impikan dapat tercapai. Dan semoga kamu bisa lebih sayang sama diri kamu sendiri. I will always care for you.

Renjana

Begitu pula dengan kamu ya, Sa. Aku harap kamu bisa lebih jujur dan nerima apa yang kamu rasain, supaya kamu bisa lebih bahagia.

Keduanya kemudian saling bergeming, hanya saling mendekap. Gemerlap lampu perkotaan menemani Karsa dan Renjana.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar