26. INT – RUMAH NANA - KAMAR NANA – PAGI
Kita melihat Nana berjalan masuk ke kamar. Lalu dia menoleh pada ponsel yang tergeletak di meja belajar. Sejak sidang pertama orang tuanya, Nana jadi malas membuka ponsel. Bukan apa-apa, karena terlalu banyak pesan berisi pertanyaan serupa, yaitu tentang kabar perceraian orang tuanya. Nana mendekati meja, lalu membuka pesan dari Dika.
Nana lalu menelepon Dika. Dia duduk di kursi rias, menunggu panggilan diangkat.
DIKA (O.S)
Halo, Na ….
(Suara Dika tetap ramah)
NANA
Dik, kamu ada waktu sebentar nggak? Bisa ketemu?
DIKA (O.S)
Bisa, kapan?
NANA
Sekarang bisa?
DIKA (O.S)
Di mana? Aku enggak bisa pergi jauh-jauh dari asrama, Na. Paling bisa izin pergi sekitar satu jam.
NANA
Oke, aku ke sana. Kita ketemu di warung makan depan asrama.
Nana menutup telepon sepihak.
DISSOLVE TO:
27. INT - WARUNG SOTO – PAGI
Terlihat Nana dan Dika duduk berhadapan terhalang meja kayu persegi panjang. Ada dua mangkuk soto di depan mereka, juga botol kecap serta mangkuk sambal. Nana hanya memakan pesanannya separuh. Sedangkan mangkuk Dika sudah kosong. Mereka saling lirik sesaat, kemudian Dika mengambil napas dalam, melepaskannya perlahan sebelum mulai bicara.
DIKA
Kamu enggak apa-apa, kan, Na?
(Suaranya lirih, takut menyinggung perasaan Nana)
NANA
(Menggeleng)
Enggak apa-apa, Dik. Aku cuma bingung.
DIKA
(Membuka mulut, mengatupkannya lagi)
Kalau mungkin ada yang bisa aku bantu, aku bakalan bantu kamu kok, Na.
Nana mendongak, tersenyum pada Dika. Nana menepuk punggung tangan Dika di atas meja. Akan tetapi, tidak lama, Nana menarik tangannya lagi.
NANA
Aku ngajak ketemu, karena mau minta maaf sama kamu, Dik.
DIKA
Minta maaf buat apa, Na? Kamu enggak salah apa-apa.
NANA
(Menggeleng)
Aku salah, karena aku justru ngebiarin kamu berjuang sendirian. Aku tahu, kamu mau masuk ke sekolah perminyakan itu karena aku yang ngajak. Tapi sekarang aku malah enggak bisa ikut pembekalan dan seleksi. Aku enggak nyangka kalau Mamah sama Papah bakalan ….
Nana menunduk dalam, air matanya menetes. Kedua tangan Nana refleks mengusap pipi, tetapi tangisnya tak mau berhenti. Dika pun murung, sejujurnya dia kecewa.
DIKA
Kamu enggak perlu minta maaf, Na. Aku yang seharusnya minta maaf, karena aku enggak bisa bantu kamu. Aku bingung, bingung harus gimana lihat kondisi kamu yang sekarang.
NANA
(Masih sibuk mengusap pipinya)
Apa aku semenyedihkan itu, Dik?
Dika tidak berani menjawab pertanyaan Nana, dia tetap diam.
NANA (CONT’D)
Aku semenyedihkan itukah?
(Dia bertanya lagi, kali ini menatap Dika)
DIKA
Aku enggak tahu harus jawab apa, Na.
(Dika berusaha tersenyum)
Kamu yang kuat, ya.
NANA
Aku sendiri enggak tahu mesti gimana, Dik. Aku belum berani ngomong sama Mamah. Meski aku udah minta Papah untuk pulang ke rumah. Tapi aku tahu itu enggak cukup, karena Mamah orangnya keras kepala. Aku kebayang, kalau Papah pulang, mereka pasti akan ribut lagi.
DIKA
Apa Papah kamu janji dia akan pulang?
NANA
(Menggeleng lemah)
Papah enggak bilang apa-apa, Dik. Tapi kemarin di persidangan, Papah bilang kalau dia masih cinta sama Mamah.
DIKA
Aku harap, itu pertanda baik, Na.
NANA
Ya, aku harap juga gitu. Yang aku enggak habis pikir, kenapa Mamah sampai tega menggugat Papah. Aku pikir, Mamah dan Papah cuma bertengkar sementara. Lalu mereka bakal baikan lagi beberapa hari kemudian. Aku bener-bener enggak nyangka ….
Hening. Nana terdiam. Dika pun termenung, sama seperti Nana yang tidak menyangka pertengkaran orang tua Nana akan berujung pada gugatan cerai.
NANA (CONT’D)
Makanya aku minta maaf, Dik. Mestinya kita bisa ikut pembekalan bareng juga dateng bareng ke seleksi beasiswa itu. Maafin, aku, ya, Dik.
DIKA
Na, sebenernya aku mau ngasih tahu sesuatu sama kamu. Tapi, aku takut kamu malah jadi makin sedih.
NANA
Apa? Bilang aja, Dik. Seenggaknya aku tahu apa yang mau kamu bilang.
DIKA
Em … guru pembimbing bilang, kamu masih bisa ikut seleksi meski enggak ikut bimbingan. Karena nama kamu udah telanjur didaftarin sama sekolah.
NANA
(Tersenyum getir)
Titip makasih sama Pak Guru, ya, Dik. Tanggal ujiannya, satu hari setelah sidang kedua orang tuaku. Aku bahkan enggak berani ngebayangin bakal kayak apa sidang kedua itu. Maaf, kalau aku ngecewain banyak orang termasuk Pak Guru dan sekolah.
Dika mengangguk, lalu tersenyum.
DIKA
Udah, jangan minta maaf terus.
(Mengusap punggung tangan Nana)
DISSOLVE TO:
28. INT – RUMAH NANA - RUANG TAMU – SORE
Kita melihat bibi menyilakan Dika masuk. Dika tersenyum, lalu berjalan menuju sofa di ruang tamu.
BIBI
Duduk dulu, Den, saya panggilkan Non Nana.
DIKA
Makasih, Bik.
(Dika mengangguk sopan, lalu duduk)
Ketika Dika baru duduk TERDENGAR suara mobil berhenti di garasi.
Puji pulang, turun dari mobil yang dikendarainya sendiri.
Dika tidak jadi duduk, bibi pun kembali berlari untuk membukakan pintu untuk Puji.
Kita melihat Puji masuk sambil menentang tas kertas belanjaan juga tas tangan kecil. Dia tersenyum singkat ketika melihat Dika berdiri di dekat sofa.
DIKA
Sore, Tante.
PUJI
(Menyerahkan tas belanjaan pada bibi)
Sore. Sudah lama, Dik?
DIKA
Saya baru dateng, Tante. Mau ketemu Nana.
PUJI
Mau ngajak Nana keluar?
DIKA
Oh, enggak Tante. Cuma mau ngobrol aja, enggak ada rencana ke mana-mana.
Puji mengangguk kecil, lalu menggerakkan dagu pada bibi.
PUJI
Panggil Nana, Bi.
Puji tersenyum sekali lagi sebelum meninggalkan Dika di ruang tamu.
Bibi berlari kecil, meletakkan tas belanja di dapur lalu naik ke lantai dua untuk memanggil Nana.
Dika duduk dengan ekspresi wajah yang merasa kurang nyaman. Tak lama kemudian Nana muncul, menuruni tangga. Nana langsung duduk di sofa, tak jauh dari sebelah Dika.
NANA
Tumben, dateng tapi enggak ngasih kabar dulu. Ada apa, Dik?
DIKA
Enggak ada apa-apa, Na. Aku cuma kepikiran aja, soal obrolan kita kemarin.
NANA
(Menatap Dika dengan alis bertaut, Nana tengah berpikir)
Obrolan soal apa? Soal orang tuaku? Udahlah, Dik ….
Nana menoleh sekilas ke arah kamar Puji, lalu berbalik pada Dika lagi.
NANA (CONT’D)
Enggak usah dibahas bisa nggak, Dik?
DIKA
(Mengangguk paham)
Aku minta maaf, juga soal kemarin yang aku bilang kalau kamu masih bisa ikut seleksi. Maaf, ya, Na. Kalau kau jadi kesannya maksa kamu untuk tetep ikut. Aku enggak bisa tidur, kepikiran kalau aku udah bikin kamu makin banyak beban yang harus dipikirin.
NANA
Kan aku udah bilang, aku yang mestinya minta maaf ke Pak Guru. Kamu enggak salah kok.
DIKA
Iya, tapi tetep aja aku ngerasa enggak tenang.
Bibi datang membawa nampan berisi jus buah. Dia meletakkan gelas jus di meja, satu untuk Dika dan satu untuk Nana.
BIBI
Silakan, Den.
(Bibi pergi meninggalkan Dika dan Nana)
Dika menjawab tawaran Bibi dengan senyum tipis.
NANA
Kamu tahu aku harus milih, Dik. Dan aku enggak bisa ngejar keduanya, antara cita dan cinta.
Nana menunduk, Dika pun begitu. Keduanya tahu ucapan Nana benar, seratus persen benar.
DIKA
Aku ngerti, Na. Justru aku sedih lihat kamu kayak gini.
NANA
(Menggeleng)
Kamu enggak perlu sedih buat aku, Dik.
Aku enggak apa-apa.
Seenggaknya, aku yakin ini yang terbaik.
Aku enggak mau kehilangan cinta Mamah dan Papah.
Nana mengatakan kalimat terakhir dengan lirih. Dia menahan tangis, tak mau terlihat lemah dan sakit.
DISSOLVE TO:
29. INT – RUMAH NANA - KAMAR NANA - MALAM
Terlihat Nana keluar dari kamar mandi seraya menyeka wajahnya dengan handuk kecil warna putih. Dia duduk di kursi rias, mengamati wajahnya di pantulan cermin. Belakangan Nana lupa merawat diri, kantung matanya menghitam dan wajahnya kusam. Nana menarik napas dalam-dalam, mengembuskan perlahan.
Ponsel Nana berpendar, tanda ada pesan masuk. Dia meraih ponselnya, memeriksa siapa yang mengirim pesan. Tertulis nama Dika, ada pesan kalimat pendek, ‘Na, kalau kamu butuh apa pun, jangan sungkan bilang sama aku. Aku tahu kamu pasti ngerti, kalau aku sayang sama kamu.’
CUT TO:
30. INT – SEKOLAH SMA – RUANG KELAS NANA – SIANG (FLASHBACK)
Kita melihat Dika masuk ke kelas, menghampiri Nana.
Nana mendongak, tangannya mengemasi buku-buku lalu memasukkan ke dalam tas. Nana tersenyum.
NANA
Aku udah dijemput Papah, Dik.
Jadi, enggak bisa pulang bareng kamu.
DIKA
(Senyum cengengesan)
Aku tahu kok, tadi lihat mobil Om Bimo di depan gerbang.
NANA
(Menyipitkan tatapan mata)
Terus, ngapain kamu ke sini?
Bukannya langsung pulang.
DIKA
(Mengeluarkan sesuatu dari kantong celana)
Mau ngasih ini.
NANA
Apa ini?
(Memandangi kertas lipatan kecil di meja, lalu celingukan ke sekitar)
Surat? Apa, sih, Dik?
Nana mendongak, sambil memegangi kertas pemberian Dika. Dika buru-buru balik badan, lalu berjalan cepat ke luar kelas Nana.
DISSOLVE TO: