Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Love Apps
Suka
Favorit
Bagikan
1. Bagian 1. Love Apps
1.  INT. KAMAR NANA. RUMAH PRABU. MENJELANG PAGI

 

Suasana di kamar sangat tenang dan lampu tetap menyala. Ada sebuah meja kerja yang dipenuhi dengan aneka novel. Juga ada laptop yang terbuka dengan layar yang gelap. Jam di dinding menunjukkan pukul 3 dini hari. Di sebuah ranjang berukuran single, NANA (27) tampak gelisah dalam tidurnya. Keningnya basah karena keringat.

 

CUT TO

 

2. INT. KAMAR NANA. RUMAH ORANG TUA NANA. MALAM. (FLASH BACK)

 

Nana yang masih berusia 14 tahun, berjongkok di samping tempat tidur sambil menutup telinganya. Terdengar jeritan kesakitan dan makian, juga suara kaca yang pecah. Nana menangis tanpa bersuara. Pintu kamar terbuka. PRABU (19) masuk dengan terburu-buru sambil mencari Nana. Setelah melihat adiknya, Prabu jongkok di depan Nana, lalu memeluknya.

 PRABU

Mas di sini, Na! Mas di sini.

Jangan takut, ya!


FADE TO BLACK

 

3. INT. KAMAR NANA. RUMAH PRABU. MENJELANG PAGI.

 

Nana mendadak bangun. Dia duduk dengan napas terengah, lalu mengelap keringat di wajahnya. Nana melihat ke jam dinding yang masih menunjukkan pukul 3.30 pagi. Dia tidak bisa tidur lagi dan memilih bangun, kemudian berjalan menuju meja kerja, lalu menyalakan laptopnya. Nana menggeser bangku dengan malas. Dia pun mulai mengetikkan naskahnya.

 

CUT TO

 

4. INT. RUANG MAKAN. RUMAH PRABU. PAGI.

 

Di meja makan persegi, sudah ada tiga piring nasi goreng dan teh manis hangat. Di tengah-tengah ada setoples krupuk. Prabu dan RATIH (27) istrinya duduk bersebelahan, sementara Nana duduk di seberang mereka.

 RATIH

Begadang lagi, Na? Lagi ngejar deadline?

 

NANA

Iya, Mbak.

Deadline-nya minggu ini dan masih banyak banget yang belum aku tulis.

 

PRABU

Emangnya bagus begadang mulu?

Kamu itu bukan anak kecil lagi, Na, masa apa-apa harus diingetin terus?


Nana kelihatan kesal, tapi tetap makan makanannya. Dia tidak mau menjawab kata-kata Prabu.

PRABU (CONT’D)

Sabtu nanti jangan lupa dateng ke resto yang udah Mas infoin ke kamu kemarin. Jangan sampai nggak dateng lagi. Mas udah liat profilnya dan cari tau latar belakang keluarganya. Dia pria baik dan kayaknya coc ….

Nana meletakkan sendoknya dengan kasar, lalu menenggak minumannya.

NANA

Makasih nasi gorengnya ya, Mbak Ratih. Aku mau lanjutin nulis dulu.

Nana pergi tanpa bilang apa-apa ke Prabu, sambil bawa piring dan gelasnya. Prabu bangkit sambil menatap tajam dan ingin memanggil Nana, tapi Ratih memegang tangannya. Saat Prabu menoleh pada Ratih, dia menggeleng.

RATIH

Jangan terlalu keras sama Nana, Mas.

 

PRABU

Emangnya dia mau sampai kapan begitu terus? Umurnya udah berapa?

 

RATIH

Maaas. Justru karena Nana bukan anak kecil lagi. Mas nggak boleh kayak gitu ke dia.

Prabu menatap Ratih beberapa saat, lalu memalingkan wajahnya.

PRABU

Aku berangkat. Kamu tolong bujuk Nana buat pergi Sabtu nanti.

Ratih terlihat ingin membantah, tapi Prabu mengecup keningnya, kemudian pergi meninggalkan meja makan.     

 

CUT TO

 

5. INT. KAMAR NANA. RUMAH PRABU. PAGI.

 

Nana hanya duduk sambil memandangi layar laptopnya. Sejak masuk ke kamar, dia belum bisa menuliskan apa-apa lagi. Terdengar ketukan pintu.

RATIH (O.S)

Na, lagi sibuk nggak?

Mbak mau ngomong sebentar.

 

NANA

Masuk aja, Mbak. Enggak dikunci.

 

RATIH

(Sambil buka pintu)

Mbak dapet amanat dari Masmu. Dia ….

Nana mengambil ponselnya, menyentuh layarnya beberapa kali, kemudian bangkit dan menyerahkan benda itu pada Ratih yang sudah berdiri tidak jauh dari meja kerjanya.

NANA

Aku tau Mbak mau ngapain. Pasti mau nyuruh aku ketemu dulu sama laki-laki itu kan?

Ratih tidak menjawab dan hanya tersenyum canggung.

RATIH

(Mengalihkan pembicaraan)

Ini apa, Na?

 

NANA

Itu pemberitahuan dari Love Apps, kalau aku terpilih untuk masuk ke tahap selanjutnya.

 

RATIH

Mbak nggak ngerti.

 

NANA

Itu lho, Mbak, yang waktu itu aku ceritain. Emang Mbak Ratih nggak inget?

Ratih diam dan tampak sedang mengingat-ingat.

RATIH

Ooooh, yang aplikasi pencarian jodoh itu.

 

NANA

Iya. Itu. Dari sekian banyak orang yang ngirim, aku yang terpilih buat ke tahap selanjutnya. Makanya Aku nggak boleh ketemu sama cowok lain di luar kandidat yang udah dipilih sistem.

Ratih melihat Nana sebentar, lalu tertawa.

RATIH

Mana ada aturan kayak gitu, Denada Ayuningtyas.

 

NANA

Makanya Mbak baca itu emailnya. Intinya, mulai sekarang, aku nggak bisa ketemu sama cowok lain di luar aplikasi. Nanti aku bilang juga ke Mas Prabu.

 

RATIH

Tapi, Na …. 


NANA

Udah jam berapa ini? Nanti Mbak Ratih telat ngantor, lho.

Ratih melihat jam di lengannya dan kelihatan kebingungan. Dia nggak bisa berkata apa-apa lagi. Ratih berbalik dan hendak pergi dari kamar Nana.

 NANA (CONT’D)

Mbak, hapeku!

Ratih berbalik lagi dan mengembalikan ponsel Nana, tapi langsung keluar.

NANA (CONT’D)

(Setengah teriak)

Nanti aku jelasin semuanya pas Mbak udah pulang kerja. Ke Mas Prabu sekalian.

CUT TO

6. INT. RUANG TAMU. RUMAH PRABU. MALAM.

 

Nana menghampiri Prabu dan Ratih yang sedang duduk santai sambil menonton TV.

NANA

Mas! Mbak! Aku mau ngomong.

 

PRABU

Mau ngomong apa? Kalau soal penolakan, Mas nggak mau denger alasan apa-apa.

Nana mendekat dan duduk di kursi yang ada di dekat Prabu. Dia juga menyodorkan selembar kertas pada kakaknya.

PRABU (CONT’D)

Ini apa?

 

NANA

Mas baca dulu, nanti aku jelasin.

Prabu membaca tulisan yang ada di kertas tadi. Ratih juga ikut membacanya.

NANA (CONT’D)

Sabtu nanti aku mau ketemu sama kandidat pertama. Makanya aku nggak bisa temuin temennya Mas Prabu. Dan karena ini udah tahap kedua, aku tuh nggak bisa ketemu sama cowok lain di luar kandidat dari Love Aps itu.

Prabu menaruh kertas kertas itu ke meja, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa dan bersedekap. Ratih mengusap-usap lengan atas suaminya, berusaha untuk menenangkan Prabu.

PRABU

(Dingin)

Kamu lebih milih ketemu orang yang kamu nggak kenal dari pada temennya, Mas? Emangnya kamu tau cowok-cowok itu kayak gimana?

 

NANA

Apa bedanya? Aku juga nggak tau sama orang yang mau Mas kenalin.

 

PRABU

Tapi Mas kenal. Dan yang penting, Mas tau siapa mereka. Mereka nggak akan main tangan sama kamu.

 

NANA

(Sinis)

Bapak juga dulu nggak suka main tangan sama Ibu, tapi apa kenyataannya? Setelah nikah bertahun-tahun baru ketauan kan, kalau Bapak ….

 

PRABU

CUKUP! Mas nggak suka kamu ungkit-ungkit masalah itu terus. Semua itu udah lewat, Na. Kamu harus bisa move on, dong.

 

RATIH

Udah, Mas! Jangan terlalu keras sama Nana. Toh sama aja kan? Apa yang dia lakukan sekarang sama apa yang Mas lakuin selama ini buat Nana. Kasih dia kesempatan.

 

NANA

Mbak Ratih aja ngerti.

Nana bangkit dan pergi meninggalkan Prabu dan Ratih. Prabu masih tampak kesal. Ratih menyandarkan kepalanya di bahu Prabu.

RATIH

Kalau aku bisa sabar dengan kondisi kamu, kenapa kamu harus maksa adikmu, Mas?

Prabu mencium puncak kepala istrinya. Wajahnya berubah sendu.

PRABU

Maafin aku ya. Aku masih butuh waktu untuk yakinin diri aku. Aku nggak mau anak-anakku ngalamin apa yang aku dan Nana alamin.

Ratih melingkarkan tangannya di pinggang Prabu.

RATIH

Iya, Mas. Aku akan sabar nungguin kamu siap. Aku percaya kok kamu bisa. Aku juga yakin kalau nantinya kamu bakalan jadi ayah yang baik untuk anak-anak kita.

DISSOLVE TO

 

7. INT. KAFE. SIANG.

 

Nana yang mengenakan dress selutut tanpa lengan berwarna dusty pink berbahan satin dengan luaran blazer putih tulang, duduk sendiri di sebuah kafe. Di mejanya ada segelas es kapucino. Nana berswafoto dan mengirimkannya pada seseorang. Tidak lama kemudian, DANUARTA (27) yang mengenakan pakaian pakaian serba hitam, muncul, dan langsung menghampiri meja Nana.

DANU

(Menyodorkan tangan)

Hai! Denada. Aku Danu. Maaf aku telat.

Kamu udah lama?

Nana bangkit dan menjabat tangan Danu.

NANA

Oh, nggak kok. Aku yang datengnya kecepetan. Kamu mau minum apa? Sori aku pesen duluan. Enggak enak soalnya kalau duduk lama nggak pesen apa-apa.

Danu mengeluarkan setangkai mawar merah dari balik saku jasnya, lalu memberikannya pada Nana.

DANU

Sori. Tadi aku telat karena cari ini dulu. Enggak enak dong kalo ketemu calon pacar, tapi nggak bawa apa-apa.

Nana hanya tersenyum canggung saat menerima bunga itu, lalu meminum es kopinya. Sementara itu Danu melihat daftar menu dan melihat-lihat harganya.

DANU (CONT’D)

Gila. Mahal-mahal banget. Es kapucino yang kamu minum aja itu lima puluh ribu. Untungnya banyak banget nih kafe. Ngomong-ngomong, kamu udah bayar belom? Kamu bawa duit kan?

Nana hampir tersedak karena ucapan Danu yang tidak terduga.

NANA

Kamu tenang aja. Aku udah bayar kok.

 

DANU

Kamu tau nggak sih, Na! Sebelum aku ke sini, aku tuh udah feeling kalau kita bakalan cocok. Kamu tuh tipe aku banget. Cantik, mandiri, nggak matre, dan nggak ngandelin cowo buat bayarin makanan atau minuman.

 

NANA

Aku nggak suka utang budi sama orang. Lagian aku juga mampu kok bayar makanan atau minumanku sendiri.

 

DANU

Di profil kamu tertulis kalau kerjaan kamu itu penulis. Emang dari nulis bisa ngasilin duit ya?

(Jeda)

Sorry. No offense, tapi berapa sih yang bisa kamu hasilin sebulan?

 

NANA

Enggak tentu. Tapi bisalah buat aku hidup.

Nana mulai jenuh dengan obrolan Danu yang terkesan menyudutkannya. Dia merasa tidak nyaman, sementara Danu terus saja bicara. Di pangkuannya, Nana menyetel alarm yang akan berbunyi dalam sepuluh menit. Danu masih tidak memesan apa-apa sampai pelayan kafe memperhatikan meja Nana dengan tatapan sinis. Nana merasa tidak enak, jadi buru-buru menghabiskan minumannya dan mengajak Danu pergi.

 

CUT TO

 

8. EXT. JALANAN-PARKIRAN KAFE. SIANG.

 

Nana dan Danu berjalan bersisian menuju parkiran. Nana sengaja tidak mau bertanya apa-apa, karena dia sudah merasa ill feel pada Danu. Secara penampilan, Danu cukup menarik, tapi tidak dengan sikapnya.

DANU

Kamu mau aku anterin pulang?

 

NANA

Enggak usah. Makasih. Aku bawa motor kok.

 

DANU

Asli. Kamu itu tipe aku banget. Kayaknya kita cocok deh. Dan aku rasa kita itu emang kayak udah ditakdirin ketemu.

Nana tersenyum canggung, tapi tidak menanggapi. Ketika sampai di pelataran parkir, ponsel Nana pun berbunyi. Nana tersenyum lega.

NANA

Sori nih, Dan. Aku ada janji lain. Thanks buat hari ini ya.

 

DANU

Mau ketemu siapa? Di mana? Mau ngapain?

 

NANA

(Terkejut)

Kayaknya aku nggak wajib laporan sama kamu deh.

Nana sudah berada di atas motornya dan memakai helm. Ketika dia menyalakan mesin motor, Danu memegang stang motor Nana.

NANA (CONT’D)

(Membuka kaca helm)

Iya?

 

DANU

Aku boleh chat atau nelpon kamu kan?

 

NANA

(Manggut-manggut)

Boleh kok. Sori nih sebelumnya, tapi aku beneran buru-buru.

Bye, Danu.

Nana buru-buru pergi. Danu memperhatikan Nana yang menjauh dengan motornya, lalu akhirnya menghilang dari pandangan.

 

CUT TO

 

9. INT. RUANG TAMU. RUMAH PRABU. MALAM.

 

Nana masuk dengan wajah kesal. Dia bahkan tidak menyapa Prabu dan Ratih yang sedang duduk di sofa. Prabu dan Ratih bertukar pandang, karena sikap aneh Nana. Nana pun masuk ke kamar.

RATIH

Nana kenapa ya, Mas? Perasaan tadi pas berangkat excited banget.

 

PRABU

Coba kamu liat, Dek, sekalian tanyain.

 

RATIH

Kenapa nggak, Mas, aja?

Prabu menggeser posisinya sampai berhadapan dengan Ratih.

PRABU

Kamu inget kan gimana obrolanku sama Nana terakhir kali?

Ratih diam sebentar. Prabu memalingkan mukanya. Ratih memegang tangan suaminya sambil tersenyum tipis.

RATIH

Ya udah. Aku liat Nana dulu ya.

 

PRABU

Makasih ya, Dek. Kalau bisa, sekalian bujuk Nana buat ketemuan sama kenalan Mas.

CUT TO

 

10.    INT. KAMAR NANA. RUMAH PRABU. MALAM.

 

Nana tengah duduk bersila di ranjangnya sementara Ratih duduk di pinggir. Mereka saling berhadapan, tapi tidak ada yang mulai bicara. Setelah diam beberapa saat, akhirnya Nana buka suara.

NANA

Mbak disuruh Mas Prabu buat ke sini?

 

RATIH

(Tertawa kecil)

Tau aja kamu, Na.

Masmu khawatir liat kamu pulang sambil manyun begitu. Gimana? Oke nggak orangnya?

Bahu Nana merosot dan dia memutar matanya dengan malas.

NANA

Enggak banget, Mba.

 

RATIH

Enggak gimana? Orangnya jelek, dekil, apa bau ketek?

Nana dan Ratih saling pandang, lalu akhirnya tertawa bersama. Ratih menggeser tubuhnya dan akhirnya ikut bersila berhadapan dengan Nana.

RATIH

Cerita dong, Na! Jangan bikin Mba penasaran.

 

NANA

Ya Allah, Mbak. Orangnya sih oke, tapi pelitnya itu lho. Masa ketemuan di kafe, dia nggak pesen apa-apa. Dia juga nanyain aku udah bayar minumanku apa belom. Gila nggak?

 

RATIH

(Tertawa)

Terus, kok pulangnya lama?

 

NANA

Sebenernya sebentar. Esmosi banget aku. Daripada aku bawa pulang, mending aku alihin emosiku ke tulisan. Makanya aku mampir ke tempat lain dulu buat nulis. Lumayan dapet dua bab.

 

RATIH

Terus gimana? Kapok?

 

NANA

Kapok nggak kapok. Minggu depan aku mau ketemuan sama kandidat berikutnya. Mudah-mudahan nggak seajaib yang tadi.

 

RATIH

Ya ampun, Na! Kata-katamu itu lho. Masa orang dibilang ajaib?

 

NANA

Gimana nggak ajaib. Itu orang pedenya kebangetan. Masa dia bilang aku sama dia itu jodoh. Serasilah. Aku tipenya dia.

(Menggerakkan tubuh seperti orang merinding)

Ih, nggak banget deh. Kata ajaib itu udah paling sopan dan baik yang bisa aku pilih buat gambarin manusia itu.

CUT TO

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar