81. INT. RUMAH MARYANTO-SIANG
SUPER: TAHUN 1980
Sendja yang sudah berusia 33 tahun, tampak sangat cantik dengan potongan rambut pendek dan berpenampilan elegan, duduk berhadapan dengan Maryanto yang sudah sepuh. Wajah Sendja terlihat tegang.
MARYANTO
(menghela napas)
Maafkan Paklik Sendja. Paklik tidak tahu di mana Sundari di tahan. Sejak Sundari diambil hari itu, tempat pembinaannya berpindah-pindah, dan Paklik tidak mengikutinya lagi sejak pensiun.
SENDJA
(mendesak)
Tapi di koran diberitakan tahanan politik sudah banyak yang dibebaskan. Apa Sundari termasuk yang dibebaskan, Paklik?
MARYANTO
(mengangguk)
Benar. Sundari termasuk tahanan kelas B. Kemungkinan besar dia juga sudah dibebaskan. Tapi Paklik tidak tahu kapan, dan di mana. Maaf, hanya itu yang bisa Paklik katakan.
SENDJA
(kecewa)
Terima kasih Paklik.
Maryanto menatap Sendja.
MARYANTO
Sendja, mengapa kamu susah payah mencari keberadaan Sundari? Apakah ini ada hubungannya dengan Beno?
Sendja diam. Ia menunduk. Maryanto menatap Sendja prihatin.
MARYANTO (CONT'D)
(sabar dan lembut)
Lupakanlah peristiwa pahit itu. Lupakan Sundari. Sekarang kamu sudah menikah dan hidup bahagia dengan keluargamu. Suamimu, Michael Aedelmaer bukan orang sembarangan. Jangan kamu rusak kebahagiaan itu dengan urusan di masa lalu.
SENDJA
(menggeleng dan tersenyum)
Tidak Paklik, saya tidak bisa melakukannya. Rasa bersalah pada Mas Beno selalu datang. Ada hutang yang harus saya selesaikan dengan Sundari.
Maryanto menatap Sendja kasihan. Sendja menghela napas dan balas memandang Maryanto.
SENDJA (CONT'D)
Perasaan itu menciptakan rongga menganga dalam diri saya membuat saya merasa kosong, meski dari luar saya terlihat baik-baik saja.
MARYANTO
Tapi, Nduk...
SENDJA
(memotong)
Paklik, Saya tidak ingin kelak mati penasaran, karena masih diganduli urusan masa lalu saya. Saya ingin menuntaskan hutang ini. Bagaimanapun, saya harus menemukan Sundari.
FLASHBACK CUT TO
82. INT. RUMAH SAKIT-SIANG
Sendja berjalan di lorong rumah sakit. Di depannya tampak Alika, dan di sebelah Sendja berjalan Brian. Sampai di depan pintu kamar, Alika berhenti. Ia memandang Sendja dalam.
ALIKA
Jadi, Nyonya adalah Sendja? Teman lama Bu Sundari?
SENDJA
(mengangguk penuh harap)
Benar, apa Sundari pernah bicara tentang saya?
ALIKA
(mengangguk terharu)
Dulu, sebelum seluruh ingatan Bu Sundari direnggut oleh demensia alzheimer yang dideritanya sekarang, ia sering berdiri di dekat jendela menatap langit sore.
CUT TO FLASHBACK
83.INT.PANTI JOMPO-SORE
ALIKA (OS)
Sepuluh tahun terakhir, demensia alzheimer perlahan-lahan merenggut hidup Bu Sundari. Perlahan memori ingatannya semakin menurun, susah fokus, kesulitan mengenali bentuk, sering tersasar dan emosinya semakin tidak stabil.
Tampak Sundari yang sudah tua kebingungan memandang sendok dan garpu. Ia juga bingung memasukkan garam ke dalam teh. Sundari tampak kebingungan mencari kamarnya di dalam panti.
ALIKA (OS)
Yang membuat saya heran, ada satu hal yang selalu dilakukan Bu Sundari sebelum ia benar-benar tidak dapat mengingat.
Bu Sundari sering berdiri di depan jendela saat sore hari sambil menyebut senja lalu menangis.
Sundari yang sudah tua dan kurus berdiri melamun di depan jendela kamarnya. Sundari mengenakan mantel rajut tua, baju terusan kembang-kembang dan sandal jepit yang berbeda warna. Sundari tampak menatap pada langit sore yang cantik. Tampak Alika datang menghampiri Sundari mengajaknya bicara dan membujuknya untuk masuk. Tampak Sundari menangis sesengukan ditenangkan oleh Alika.
SUNDARI
(merintih dan menangis)
Sendja. Maafkan aku. Maafkan aku.
FLASHBACK CUT TO
84.INT.RUMAH SAKIT-SIANG
Sendja menyeka matanya yang basah.
SENDJA
Boleh saya masuk menemuinya?
ALIKA
(mengangguk)
Mungkin situasinya tidak terlalu baik. Saya harap Nyonya tidak memaksanya bila sekarang Bu Sundari sama sekali tidak bisa ingat kenangan masa lalu bersama anda.
SENDJA
Baiklah. Saya paham, Nona.
Alika mengangguk, lalu membuka pintu
CUT TO
85. INT. KAMAR RUMAH SAKIT-SIANG
Sundari tampak duduk meringkuk di atas ranjang. Tubuhnya kurus. Kepalanya diperban. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang terbuka. Sundari memeluk batal erat-erat saat Sendja, Alika, dan Brian masuk. Sundari tampak bingung. Alika tersenyum menenangkannya.
ALIKA
(menenangkan)
Tidak apa-apa, Bu. Ini ada teman-teman Bu Sundari datang berkunjung.
Alika menghampiri Sundari dan duduk di tepi ranjang. Ia memegang tangan Sundari lembut. Alika memberi tanda pada Sendja untuk mendekat. Sendja berjalan mendekati Sundari. Bibir Sendja bergetar menahan tangisan. Alika berdiri memberi tempat pada Sendja yang kini duduk di pinggir ranjang. Sendja menatap pada Sundari.
SENDJA
(terharu)
Apa kabarmu, Sun? Sudah lama sekali kita tidak bertemu.
Bola mata Sundari bergerak pelan dan memandang Sendja bingung. Sundari tampak ketakutan.
SUNDARI
(lirih)
Apa kau mengenalku? Apa kita saling mengenal?
Pertanyaan Sundari membuat Sendja sedih. Perlahan ia mengangguk. Tangannya mencoba memegang tangan Sundari tapi Sundari tidak mau disentuh.
SENDJA
(mengangguk pelan)
Ya, kita saling kenal. Bahkan kita sangat dekat dulu. Namaku Sendja.
SUNDARI
(bergumam)
Sendja. Sendja. Dan siapa namaku? Apa kau tahu siapa namaku?
SENDJA
Tentu saja aku tahu. Namamu adalah Sundari. Sun da ri. Kamu tidak ingat?
Sundari menggeleng. Sendja mengeluarkan foto masa muda mereka dari dalam tas dan meletakkan foto itu di pangkuan Sundari.
SENDJA (CONT'D)
Ini adalah foto kita berdua sewaktu masih muda. Gadis ini adalah dirimu. Dan ini aku. Lihat, betapa cantiknya kamu, Sun. Sekarang pun kamu masih cantik.
Sundari memandang foto yang ditunjukkan Sendja lama. Tangannya gemetar saat mengambil dan mendekatkan ke wajahnya agar lebih jelas. Sendja menunggu, wajahnya penuh harap. Sendja sangat kecewa saat Sundari meletakkan kembali foto itu tanpa berkata apa-apa.
SENDJA (CONT'D)
Hari itu kita sangat gembira. Bahkan kita tidak malu menyanyi sambil menari di jalanan, tidak peduli jadi tontonan orang-orang. Ini adalah lagu yang kita nyanyikan.
Sepasang mata bola, dari balik jendela
Datang dari Jakarta, menuju medan perwira
Sendja berhenti,menunggu reaksi Sundari. Sundari memandang Sendja dengan bingung, ia tidak mengerti apa yang dikatakan Sendja. Sendja tampak sedih.
SENDJA (CONT'D)
Maafkan aku, Sun. Maafkan aku karena baru sekarang datang menemuimu.
Sendja mulai menangis. Ia sangat menyesal. Sundari memandang Sendja dengan wajah datar. Ia juga tidak paham mengapa Sendja tiba-tiba menangis. Perlahan Sundari bergumam.
SUNDARI
Kagum 'ku melihatnya, sinar sang perwira rela
Hati telah terpikat, semoga kelak kita berjumpa pula
Sendja terkejut, Alika juga. Sendja menghambur memeluk Sundari.
SENDJA
(bersemangat)
Benar, Sun. Benar begitu liriknya. Kamu masih ingat lagunya?
Sundari yang bingung meronta melepaskan pelukan Sendja dan mendorong Sendja menjauh. Sundari mundur dan panik. Alika berusaha menenangkannya. Sendja tampak kebingungan.
ALIKA
(sambil berusaha menenangkan Sundari)
Jangan heran, Nyonya. Ini reaksi yang sering terjadi. Bagi Ibu Sundari, ingatan datang dan pergi. Kadang ia bisa mengingat beberapa hal, Tapi lebih sering lagi tidak ingat.
SENDJA
Baiklah, saya paham
Sundari tampak lebih tenang. Sendja menangis lega. Sundari menoleh pada Brian yang memandang bingung pada Sendja. Brian heran ibunya menangis di depan Sundari. Sundari memandang Brian.
SUNDARI
Siapa dia?
SENDJA
Dia Brian, anakku yang bungsu.
Sendja menoleh pada Brian dan tersenyum.
SENDJA (CONT'D)
Brian, sapalah tante Sundari.
BRIAN
(tersenyum)
Halo, Tante Sundari, apa kabar?
Sundari tidak menjawab sapaan Brian. Ia berpaling pada Sendja.
SUNDARI
Apa aku juga punya anak? Di mana anakku?
Sendja tampak terkejut sekaligus bingung menjawab pertanyaan Sundari. Ia menatap Sundari lama, sebelum akhirnya menangis pilu.
SENDJA
Maafkan aku, Sun. Maafkan aku.
CUT TO
86. EXT. TAMAN RUMAH SAKIT-SIANG
Sendja dan Alika berdiri berhadapan di taman rumah sakit yang rindang. Brian berdiri di pinggir lorong mengawasi keduanya.
SENDJA
Terima kasih, sudah mengijinkan saya menemui Sundari.
ALIKA
(tersenyum)
Bu Sundari salah satu penghuni terlama yang ada di panti kami. Dia sudah bersama kami sejak mendiang ayah saya masih ada. Ayah pernah cerita, Bu Sundari dulu adalah adik kelasnya.
(beat)
Seingat saya, sejak ia tinggal di panti, tidak ada yang datang mengunjungi Bu Sundari. Hari ini saya senang akhirnya ada teman yang datang mengunjunginya.
SENDJA
Mengenai biaya perawatan Sundari, biar saya yang menanggungnya.
ALIKA
(Memandang Sendja)
Mengapa? Apa itu kompensasi agar saya tidak meneruskan laporan penganiayaan yang dilakukan oleh putra anda?
Sendja menatap Alika. Sendja bertanya dengan sikap tenang.
SENDJA
Apa Nona bersedia mencabut gugatan itu?
ALIKA
(tegas)
Tidak.
SENDJA
(mengangguk paham)
Kalau begitu saya tidak akan minta Nona mencabut gugatan.
Tapi saya tetap akan menanggung biaya rumah sakit untuk Sundari.
(beat)
Dan Nona, silakan teruskan laporan sesuai prosedur yang berlaku.
ALIKA
Apa ini bentuk rasa kesetiakawanan seorang kawan lama?
SENDJA
(tersenyum getir)
Lebih tepatnya, saya ingin menebus kekeliruan saya di masa lalu, meski tetap saja tidak bisa menghapus penderitaan yang telah ia alami karena perbuatan saya di masa lalu.
(Beat)
Nona mengatakan tadi ayah Nona dan Sundari adalah kawan lama. Apa beliau pernah bercerita tentang siapa Sundari pada Nona?
ALIKA
(mengangguk)
Saya tahu. Bu Sundari dulu bekas tapol. Setelah bebas dari penjara, ia kembali pada keluarganya, tapi, sayang mereka menolaknya. Demikian pula para tetangga, mereka tidak ingin bekas tapol berada dalam kampung mereka.
CUT TO FLASHBACK
87.EXT.DEPAN RUMAH SUNDARI-SIANG
Tampak orang-orang kampung memandang Sundari muda yang baru keluar dari tahanan dengan jijik. Ibu dan adik-adik Sundari berdiri di depan pintu rumah dengan wajah ketus dan tidak mengijinkan Sundari masuk.
IBU SUNDARI
(ketus dan dingin)
Pergi! Jangan pernah datang mencariku. Kau bukan anakku dan aku bukan ibumu lagi.
Sundari menangis. Sambil mengusap air mata, ia berbalik dan berjalan melewati orang-orang yang berbisik-bisik dan menatap sinis padanya.
ALIKA (OS)
Untuk bertahan hidup, Bu Sundari melakukan pekerjaan serabutan. Buruh cuci, berjualan kue, atau membantu di sawah saat panen. Meski memiliki ijazah sarjana dan sangat pintar, tapi dengan status bekas tapol, sulit bagi Bu Sundari untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Tampak Sundari bekerja serabutan. Memanen padi di sawah dan menerima upah seadanya. Mencuci pakaian di sumur, memulung kardus di pembuangan sampah.
ALIKA (OS)
Sampai akhirnya ayah bertemu dengan Bu Sundari. Dulu, saat masih sehat dan kuat, Bu Sundari membantu memasak di panti. Kadang juga menjahit dan membuat kerajinan. Tapi saat ingatannya mulai memburuk dan semakin bertambah usia, dia lebih banyak menyendiri di kamar.
Tampak Sundari yang sudah berusia lima puluhan sedang mencuci piring di sebuah warung makan dan Yadi melihatnya. Yadi datang menghampiri Sundari. Sundari menangis melihat kedatangan Yadi. Yadi kemudian membawanya ke panti. Sundari membantu memasak dan bersih-bersih
FLASHBACK CUT TO
88.EXT. TAMAN RUMAH SAKIT-SIANG
Sendja dan Alika berhadapan. Mata Sendja berkaca-kaca dan terharu.
SENDJA
(penasaran)
Siapa nama ayah Nona?
ALIKA
Yadi.
Sendja memandang Alika dalam. Ia mengangguk paham, lalu tersenyum.
SENDJA
(menghela napas)
Dunia ini ternyata sempit. Mengenai tanah panti itu..
Sendja tampak ragu. Alika memandangnya.
SENDJA (CONT'D)
Apa Nona tetap akan memperkarakannya?
Alika mengangguk mantap. Sendja menatap Alika seksama.
SENDJA (CONT'D)
Meski kemungkinan besar Nona tetap kalah dalam sidang?
ALIKA
(tegas)
Ya, meski saya tahu kemungkinan menangnya sangat kecil, tapi ini usaha terakhir yang bisa saya lakukan.
(beat)
Panti itu adalah impian mendiang ayah saya. Tidak ada niatan saya bersekongkol menipu perusahaan anda. Saya melakukannya demi penghuni panti yang sudah sepuh, yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri.
SENDJA
(mengangguk)
Saya paham, Nona. Jangan khawatir, saya akan bicara dengan putra saya dan mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.
Sendja tersenyum mencoba meyakinkan dan menenangkan Alika.
SENDJA (CONT'D)
Percayalah, tidak sedikitpun ada niatan saya ingin menggusur panti.
Saya pamit dulu. Saya akan datang lagi menjenguk Sundari.
Sendja berbalik dan berjalan meninggalkan Alika. Alika menatap punggung Sendja, Alika tampak berpikir lalu berteriak memanggil Sendja.
ALIKA
Nyonya!
Sendja berbalik memandang pada Alika.
ALIKA (CONT'D)
Saya akan mencabut gugatan pada putra anda.
Sendja tersenyum, matanya mengerjap senang dan ia mengangguk sopan pada Alika, lalu berbalik kembali dan melangkah anggun. Alika menatap punggung Sendja yang menjauh dengan tersenyum.
DISSLOVE TO