Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SEBELUM SENJA BERAKHIR (SCRIPT FILM)
Suka
Favorit
Bagikan
3. Bagian 3


27.INT. KAMAR SUNDARI-MALAM

Sundari menatap foto hitam putih seorang perempuan cantik berkebaya. Tangannya mengusap lembut foto itu.

FX: pintu diketuk.

Sundari meletakkan foto di atas meja dan berjalan membuka pintu. Sundari melihat Sendja berdiri dengan wajah mengantuk.

SENDJA
(tersenyum)
Hai, tidak keberatan kan kalau malam ini aku tidur di sini? 

Sundari menggeleng dan mundur membiarkan Sendja masuk lalu menutup pintu. Sendja berjalan menuju tempat tidur. Langkahnya berhenti ketika melihat foto di atas meja. Sendja mengambil foto itu dan menatapnya lama. Tanpa mengalihkan pandangan dari foto itu Sendja bertanya.

SENDJA (CONT'D)
Ini foto ibumu?
SUNDARI
(menjawab tak acuh)
Ya

Sendja meletakkan foto itu dan tersenyum berjalan menghampiri Sundari.

SENDJA
Ibumu cantik sekali. Pantaslah anaknya cantik begini.
Foto ayahmu mana?
SUNDARI
(masih tak acuh)
Entahlah. Aku tidak pernah tahu wajahnya. Laki-laki itu pergi begitu saja sejak aku dalam kandungan.
(beat)
Yang kutahu, dia seorang serdadu peranakan Belanda.

Sendja tampak menyesal. Ia memeluk bahu Sundari.

SENDJA
Maafkan aku sudah lancang bertanya, Sun.
SUNDARI
(Tertawa sumbang)
Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Kenyataannya memang begitu. Ibu selalu marah bila aku menanyakan ayah. Ibu membenciku, karena kata orang-orang wajahku sangat mirip dengan ayah. Ibu bilang, aku pembawa sial.

Sundari masih tertawa miris. Perlahan ia mengusap air mata yang merembes di sudut matanya. Sendja memeluk Sundari makin erat.

SUNDARI (CONT'D)
Kakek dan neneklah yang merawatku. Tapi setelah mereka meninggal, aku tidak punya pilihan lain selain tinggal bersama ibuku yang telah menikah lagi dengan seorang laki-laki. Dia masih kerabat jauh kami.
(beat)
Aku pernah berharap, setelah menikah dan punya suami baru, ibu jadi lebih sabar dan memperhatikanku. Tapi nyatanya harapan itu terlalu berlebihan. Saat adik-adik tiriku lahir, kerepotan ibu kian bertambah. Ia semakin jauh saja rasanya dariku.
Aku justru merasa merdeka saat tinggal berjauhan dengan mereka.

Sundari tiba-tiba menoleh menatap Sendja dan berkata putus asa.

SUNDARI (CONT'D)
Mungkin aku anak durhaka. Kurasa ibuku benar. Aku memang pembawa sial.
SENDJA
(menggeleng)
Tidak Sun, jangan berkata begitu. Setiap manusia itu berharga. Bahkan bila di dunia ini tidak ada yang menghargaimu, kamu harus tetap percaya bahwa kamu berharga.
 SUNDARI
(pesimis)
Itu sulit dilakukan, kalau kenyataannya tidak ada yang pernah benar-benar menginginkanmu.
SENDJA
(menggeleng)
Tidak, kamu salah, Sun. Justru ketika kamu direndahkan kamu harus bangkit untuk menunjukkan betapa berharganya dirimu, mereka salah sudah menyia-nyiakanmu.
(beat).
Dan, jangan pernah bilang tidak ada yang benar-benar menginginkanmu. Kamu punya aku, sahabat yang selalu menginginkanmu bahagia.
SUNDARI
(menatap Sendja haru dan menangis).
Terima kasih, Sendja.

Sendja dan Sundari mengusap mata dan mencoba tertawa.

SUNDARI (CONT'D)
Ngomong-ngomong, ada apa kamu tumben ngungsi ke kamarku?
SENDJA
Tidak apa-apa. Eh, tadi apa kamu pulang bersama Mas Beno?
SUNDARI
(gugup)
Pulang sama Beno? Tidak. Aku lembur di kantor dan Beno ada liputan penting. Pagi-pagi udah ngilang dari kantor. Ada apa? Kok tiba-tiba nanya begitu?
SENDJA
(menggeleng dan tersenyum)
Ah tidak apa-apa. Kamu sudah lama kenal Mas Beno?
SUNDARI
(makin gugup dan gelisah)
Belum, aku kenal dia sejak kerja di tempat yang sama. Ada apa Sendja? Seperti sedang introgasi saja.
SENDJA
(tertawa dan mengibaskan tangan)
Ah itu perasaanmu saja. Tadi aku seperti melihatmu dan Mas Beno keluar dari restoran. Lupakan saja, mungkin aku cuma salah lihat.
SUNDARI
(tertawa gugup)
Kamu benar, mana mungkin aku pergi sama Beno?
SENDJA
(menguap)
Ahh, aku ngantuk sekali.

Sendja tersenyum dan merebahkan badannya. Ia meraih selimut dan bergelung dengan nyaman memunggungi Sundari. Perlahan dengan sikap ragu-ragu Sundari ikut merebahkan badannya.

FX: Detak jam dinding. terdengar lemparan batu di jendela tiga kali.

INSERT: jam dinding bulat menunjukkan angka 11.

Sundari bangun perlahan, ia melongok memastikan Sendja tidur lelap, lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Pelan-pelan Sundari membuka jendela kamar dan memandang ke luar. Di luar rumah, tampak Beno berdiri di bawah pohon sendirian. Kedua orang itu saling pandang. Sundari menutup jendela pelan-pelan dan berjinjit berjalan keluar kamar.

CUT TO

28. EXT. DEPAN RUMAH KONTRAKAN SUNDARI-MALAM

Sundari berjalan cepat menemui Beno. Ia melewati Beno dan dengan isyarat mata Sundari meminta Beno mengikutinya agak menjauh. Beno mengikuti Sundari berjalan keluar gang menuju sebuah taman yang sepi. Sundari mendadak berhenti dan berbalik.

SUNDARI
(gusar)
Sebaiknya jangan menemuiku di sini lagi!
BENO
(mendekat)
Mengapa?
SUNDARI
(gelisah)
Sendja, dia bersikap aneh hari ini. Sepertinya dia curiga. Dia melihat kita tadi, dan sekarang menginap di kamarku.
BENO
(terkejut)
Apa? Baiklah. Aku hanya ingin memelukmu sebentar, lalu pergi.

Beno maju dan memeluk Sundari.Sundari meronta melepaskan pelukan dan mendorong Beno. Beno terhuyung ke belakang.

BENO (CONT'D)
Sun!
SUNDARI
Pulanglah, Beno.
BENO
(mendengus marah)
Aku heran, belakangan ini kamu tampak menjaga jarak dan mudah marah. Di restoran tadi sikapmu juga tidak seperti biasa.

Beno menatap Sundari tajam dengan sikap menyelidiki.

BENO (CONT'D)
Apa ada lelaki lain? Belakangan kamu dekat dengan Mas Wawan.
SUNDARI
(mendelik marah)
Loh? Kok jadi bawa-bawa Mas Wawan segala? Lagi pula, memangnya kenapa kalau aku dekat dengannya? Memangnya kamu peduli?
Toh kamu juga sibuk dengan Sendja, kan?
BENO
(menelan ludah salah tingkah)
Jangan begitu, Sun. Aku mengkhawatirkanmu. Belakangan Mas Wawan makin dekat dengan orang-orang SOBSI.
Kamu juga sering diajak bertemu mereka kan?
SUNDARI
Mas Wawan cuma memintaku meliput kegiatan Lekra saja. Hubungan kami cuma sebatas pekerjaan saja.
BENO
Meski begitu kamu tetap harus hati-hati. Mas Wawan itu pandai menaklukkan hati wanita. Kekasihnya banyak.
SUNDARI
(tertawa sinis)
Kamu mengatakan kekasih Mas Wawan banyak. Apa kamu lupa? Kamu juga tidak ada bedanya.

Beno terdiam. Sundari juga.

BENO
(menatap Sundari sendu)
Maafkan aku, Sun. Aku tahu situasi ini membuatmu terluka. Aku tidak pernah berniat menyakitimu. Keadaanlah yang membuat situasi begini. Bersabarlah.

Sundari diam. Beno perlahan mendekat dan bicara lembut.

BENO (CONT'D)
(membujuk)
Sendja baru saja menikmati impiannya bekerja di Jakarta. Aku tidak sanggup menghancurkannya dengan kabar buruk.Aku janji, secepatnya akan bicara pada Sendja.

Beno meraih Sundari dalam pelukannya. Kali ini Sundari tidak menolak. Ia balas memeluk Beno erat. Beno mengusap rambut Sundari lembut. Perlahan Beno mencium kening Sundari.

BENO (CONT'D)
Aku cinta padamu, Sun. Kamu tahu kan? Tidak ada perempuan lain yang kucintai selain dirimu.

Sundari mengangguk dan menyandarkan kepala di dada Beno.

CUT TO

29. INT. RUMAH KONTRAKAN SUNDARI-MALAM

Sundari masuk dengan perlahan. Dengan sikap hati-hati Sundari menutup pintu dan berbalik. Ia terkejut melihat Sendja duduk di kursi ruang tamu.

SENDJA
Kamu dari mana malam-malam begini, Sun?
SUNDARI
(gugup)
Oh, aku tidak bisa tidur, jadi aku keluar sebentar.

Sendja bangun dan menghampiri Sundari. Ia menatap Sundari heran. Sundari tampak gelisah seolah takut rahasianya terbongkar.

SENDJA
Memangnya kamu ke mana tadi? Kenapa aku tidak dibangunkan? Kan bisa kutemani. Bahaya di luar rumah malam-malam sendirian.
SUNDARI
Tidurmu tadi nyenyak sekali. Jadi aku tidak tega membangunkan. Lagi pula, aku cuma ke depan sebentar kok. Kamu sudah lama bangun?
SENDJA
(menggeleng)
Baru saja. Aku lihat kamu tidak ada. Ya sudah, istirahatlah.

Sundari mengangguk dan berjalan ke kamarnya. Ia berbalik dan melihat Sendja masih diam.

SUNDARI
Kamu tidak tidur?
SENDJA
Aku tidur di kamarku saja biar kamu lebih nyaman. Tidurlah.
SUNDARI
(mengangguk)
Baiklah

Sundari melangkah masuk dan menutup pintu.

CUT TO

30. INT. KAMAR SENDJA-MALAM

Sendja duduk di tepi ranjang. Wajahnya terlihat gelisah. 

SENDJA (V.O)
Apa yang sedang disembunyikan Sundari?

CUT TO FLASHBACK

Beno dan Sundari yang berjalan bergandengan tangan keluar dari restoran kembali muncul.

FLASHBACK CUT TO

Sendja menggelengkan kepala, ia berpaling menatap fotonya dan Sundari yang dibuat di studio tempo hari, dalam pigura kecil di atas mejanya. Sendja bergumam lirih.

SENDJA
Mungkinkah?

CUT TO

 

31. INT. KANTOR SENDJA-SIANG

Sendja melamun di depan mesin tiknya. Lietje yang duduk di sebelahnya memperhatikan sikap Sendja yang biasanya ceria dan penuh semangat mendadak lesu. Lietje menghampiri Sendja.

LIETJE
Hei, lemes amat. Kamu lagi sakit ya? 
SENDJA
(menggeleng)
Aku tidak apa-apa, kok. 
LIETJE
Kalau tidak apa-apa, mengapa kuperhatikan dari tadi mukamu murung terus?
(beat)
Atau, kamu sedang ada masalah? Kamu bertengkar dengan Beno?

Sendja memandang Lietje dan mencoba tersenyum. Ia kembali menggeleng.

SENDJA
Kami tidak bertengkar. Aku hanya sedang berpikir saja. Lietje, apa kamu pernah merasa terasing? Merasa seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan di belakangmu?

Lietje memandang Sendja heran. Ia tampak bingung dengan pertanyaan Sendja.

LIETJE
Merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan di belakangmu? Hem, aneh sekali pertanyaanmu. Aku tidak pernah begitu. Memangnya Beno sedang menyembunyikan rahasia darimu?

Sendja buru-buru menggeleng dan pura-pura tertawa. Ia mengibaskan tangan.

SENDJA
Ah ini bukan aku, tapi temanku. Temanku bilang akhir-akhir ini sahabatnya bertingkah aneh. Em, bagaimana ya? Seperti ada sebuah rahasia yang sedang disembunyikan darinya.

Sendja menghela napas dengan wajah murung.

SENDJA (CONT'D)
Temanku juga pernah melihat kekasihnya pergi bersama sahabatnya itu.

Lietje menatap Sendja . Sendja mengangkat wajah dan memandang Lietje. suara Sendja makin lirih dan sedih.

SENDJA (CONT'D)
Mereka juga berpegangan tangan mesra layaknya kekasih.

Lietje masih memandang Sendja. Wajah Lietje terlihat mulai curiga.

SENDJA (CONT'D)
Apa mungkin pria dan wanita bisa sangat akrab tanpa melibatkan perasaan suka?
LIETJE
Ini sungguh tentang temanmu?

Sendja buru-buru mengangguk.

LIETJE (CONT'D)
Kalau aku jadi temanmu, maka aku akan memutuskan hubungan dengan kekasihku saat ini juga. 
SENDJA
(heran)
Loh? Kenapa? 

Memandang Sendja lalu tertawa. Lietje balik bertanya.

LIETJE
Kenapa? Sudah jelas temanmu itu sedang dikhianati oleh sahabatnya sendiri! Masa kamu tidak bisa melihat benang merahnya?
SENDJA
(menggeleng tak percaya)
Maksudmu mereka berpacaran?
LIETJE
(menjentikkan ibu jari dan telunjuknya)
Tepat sekali. Bukti sudah sedemikian nyata! Dia juga pernah melihat mereka bersama.

Sendja diam memikirkan kata-kata Lietje. Lietje memajukan wajah menatap Sendja.

LIETJE (CONT'D)
Perlu berapa banyak bukti lagi agar temanmu itu sadar?
(beat)
Bila merasa ada yang disembunyikan, artinya seharusnya temanmu itu memang tidak ada di antara mereka. Kehadirannya tidak diinginkan!

Sendja seketika terkejut. Wajahnya pucat mendengar penjelasan Lietje.

SENDJA
(menggeleng dan tertawa sumbang)
Ah, kurasa kamu berlebihan. Tidak mungkin ia tega menyakiti sahabatnya sendiri!
LIETJE
(mengangguk mantap)
Aku berani bertaruh, dugaanku pasti benar. Coba kamu minta temanmu itu memperhatikan sikap sahabatnya. Cari bukti-bukti!
Biasanya orang akan menyembunyikan rahasia di tempat paling pribadi, kamar misalnya.
Serapi apa pun disembunyikan, bau bangkai tetap akan tercium busuknya.
LIETJE (CONT'D)
(menatap Sendja)
Sendja, jangan terlalu polos. Jaman sekarang, teman yang makan teman itu banyak.

Sendja bingung mendengar kata-kata Lietje yang terus-terang. Ia memandang Lietje sebentar lalu lekas-lekas membereskan barang-barang di meja dan meraih tasnya.

LIETJE (CONT’D)
(heran)
Loh? Mau ke mana?

Sendja mengemasi barangnya tanpa menoleh.

SENDJA
Maaf, Tje, kepalaku pusing sekali. Aku ijin pulang duluan ya? Tolong sampaikan pada Bos.

Tanpa menunggu jawaban Lietje Sendja bergegas keluar meninggalkan Lietje yang bengong sendiri. 

LIETJE
Aneh, mengapa ia tergesa-gesa begitu?

CUT TO

32. EXT. JALANAN DEPAN KONTRAKAN SUNDARI-SIANG

Sendja turun dari metromini. Ia berjalan bergegas. Kata-kata Lietje terngiang.

LIETJE (OS)
Biasanya orang akan menyembunyikan rahasia di tempat paling pribadi, kamar misalnya.

Sendja berpapasan dengan dua orang ibu-ibu tetangganya. Mereka berbasa-basi menyapa. Sendja membalas dengan sopan, namun lekas-lekas menyingkir.

Di tikungan Sendja kembali berpapasan dengan seorang pedagang jamu yang menyapanya. Sendja balas menyapa lalu mempercepat langkahnya.

CUT TO

33. INT. RUMAH KONTRAKAN SUNDARI-SIANG

Sendja masuk ke pekarangan dan mengeluarkan kunci rumah. Tapi Sendja heran saat melihat pintu tidak dikunci.

SENDJA (VO) 
Apa Sundari tidak ke kantor? 

Sendja masuk dan melangkah pelan. Ia menatap sekeliling.

INSERT: tas Beno ada di kursi. 

Sendja terkejut dan menoleh cepat pada kamar Sundari yang tertutup rapat. Gemetar kakinya saat berjalan mendekati kamar Sundari. 

FX: terdengar dengusan napas lelaki perempuan yang berbisik.

Sendja membekap bibir saat makin dekat dengan pintu kamar Sundari. Suara-suara yang didengarnya makin jelas. Di depan pintu kamar Sendja berhenti. Ia memejamkan mata sebentar lalu dengan gemetar tangannya mendorong pintu kamar Sundari yang tidak terkunci. Sendja membelalak. 

PAN TO

34.INT.KAMAR SUNDARI-SIANG

Beno dan Sundari sedang bercumbu mesra. Beno mencium Sundari. Beno dan Sundari terkejut, seketika melepaskan pelukan.

BENO
(terkejut)
Sendja!

Sendja terlihat sangat terpukul dan seperti orang linglung.

 SENDJA  
(berkata pelan)
Mas Beno? Sundari? Kalian berdua? 

Sendja memandang Sundari yang buru-buru mengancingkan bajunya yang berantakan.  

SENDJA (CONT’D) 
(terhuyung linglung)
Kukira kita adalah sahabat. Tapi ternyata aku sudah percaya pada orang yang salah.

Sendja menangis lalu berbalik cepat dan berlari keluar.

BENO 
Sendja! 

Sendja tidak peduli pada Beno yang berteriak memanggil namanya. Beno lekas-lekas mengenakan pakaian, sedangkan Sundari tertunduk menangis.

Sendja berlari makin kencang, ia tidak peduli pada orang-orang yang berpapasan dengannya dan memandang heran. Sendja menyetop metromini dan segera naik. Metromini melaju, Beno terengah mengejarnya. Ia akhirnya menyerah kelelahan memandang asap knalpot yang berdebu.

CUT TO

 


Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar