73. EXT/INT. GUDANG BERAS-MALAM
Beno berjalan sendiri seperti orang linglung. Air mata membasahi wajahnya dan tidak peduli pada sekitarnya. Beno masuk ke dalam gudang. Ia mendekati karung bekas yang dipakai alas tidur oleh Sundari dan berlutut di sana. Suasana gudang tampak berantakan. Kotak kayu bekas yang digunakan menaruh piring, gelas, senter, dan barang lainnya terbalik. Beno menyalakan senter. Ia melihat surat perpisahan yang ditulis Sundari sebelum ditangkap. Beno mengambil dan membacanya.
SUNDARI (OS)
Beno, terima kasih atas segala kebaikanmu. Aku pergi sekarang. Tak usah mencariku lagi. Jangan merasa bersalah atas segala peristiwa yang lalu. Rawatlah rumahtanggamu dengan Sendja. Lupakanlah aku. Aku adalah masa lalumu, sedangkan Sendja, dia adalah istrimu. Hanya Sendja satu-satunya orang yang sanggup membahagiakanmu.
Tangis Beno semakin sedih. Ia meraung.
CUT TO
74. INT. KAMAR SENDJA-MALAM
Sendja terpekur dan terisak dalam kamarnya. Ia sangat kecewa dan frustasi. Tangannya meremas rambut, semakin lama air matanya mengalir semakin deras. Sendja menangis tanpa sendirian. Air mata dan ingus membasahi wajahnya
CUT BACK TO
75. INT. GUDANG BERAS-MALAM
Beno masih membaca surat yang ditulis Sundari.
SUNDARI (OS)
Beno, tolong sampaikan pada Sendja. Meski kebersamaan kami singkat, tapi kehadirannya telah memberikan kehangatan persahabatan bagiku.
Aku minta maaf bila telah banyak menyusahkan dia, kuharap ke depannya aku tidak akan menyusahkan kalian lagi.
Selamat tinggal Beno, berbahagialah!
Beno menangis mendekap surat Sundari.
BENO
(meratap)
Maafkan aku Sun, aku gagal melindungimu. Karena aku sekarang kamu malah tertangkap. Aku memang lelaki tidak berguna yang hanya membawa kesengsaraan untuk orang-orang yang kusayangi.
(beat)
Hidupku hanya membuat dirimu dan Sendja menderita. Mungkin sebaiknya aku memang tidak pernah hidup!
Beno mengambil tali bekas pengikat karung beras. Tali itu disambung-sambung hingga menjadi tali yang cukup panjang. Beno melemparkan tali ke arah kayu palang langit-langit. Ia menumpuk beberapa kotak kayu bekas dan naik ke atasnya. Beno membuat simpul dan memasukkan lehernya. Dengan memejamkan mata, Beno menendang tumpukan kayu itu, sehingga tubuhnya menggantung dan lehernya terjerat. Beno mati gantung diri.
DISSOLVE TO
76. EXT. MAKAM BENO-SIANG
SUPER: SATU TAHUN SETELAH KEMATIAN BENO
Sendja terpekur di depan makam Beno. Penampilannya berantakan dan tubuh lebih kurus. Wajahnya tampak kuyu. Sri datang menyusul. Sendja menoleh melihat kedatangan ibunya dan berdiri.
SRI
(tersenyum)
Bapak tadi mencarimu. Ia khawatir sampai sore begini kamu belum pulang, Nduk.
Sendja tidak menjawab. Sri mengusap kepala Sendja lembut.
SRI (CONT'D)
Nduk, Ibu tahu kamu menyalahkan dirimu atas kematian Beno. Ibu juga tahu, permasalahan kamu, Beno, dan Sundari. Paklikmu menemui Ibu, dia cerita banyak.
Sendja terisak.Ia menangis sedih.
SENDJA
(menyesal)
Saya hanya berpikir, andai waktu bisa diputar, andai saya tidak melaporkan Sundari, tidak mengusir Mas Beno, tentu Mas Beno tidak akan melakukan tindakan nekat mengakhiri hidupnya, Bu. Perbuatan sayalah yang mendorongnya bunuh diri.
(beat)
Saya yang mendorongnya bunuh diri.
Sri menggeleng dan meraih Sendja dalam pelukannya.
SRI
Itu ndak benar. Kamu bukanlah penyebab Beno bunuh diri. Ia mengambil jalan pintas itu karena keputusannya sendiri. Bukan karena salahmu, Nduk.
(beat)
Bukannya Ibu ndak bersedih atas kematian Beno. Tentu saja Ibu sedih karena Ibu sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Tapi, Ibu hanya mencoba melihat persoalan ini dengan kacamata yang jernih.
Sri melepaskan pelukan. Ia memutar tubuh dan menatap lembut Sendja.
SRI (CONT'D)
(lembut)
Nduk, Beno itu lelaki dewasa, dia bertanggungjawab atas tiap keputusan dalam hidupnya. Kamu ndak perlu menyalahkan diri atas keputusan yang diambil oleh Beno.
(beat).
Masalah Sundari juga. Kalau Ibu jadi kamu, Ibu pasti melakukan hal yang sama. Kalau kamu ndak melaporkan Sundari, maka bahaya besar menanti keluarga kita.
Sendja memandang nisan Beno. Sri juga.
SRI (CONT'D)
Bayangkan jika warga yang menemukan Sundari bersembunyi di sana dan melaporkannya? Habislah kita, bisa-bisa dianggap menyembunyikan seorang penjahat.
SENDJA
(menangis)
Kadang saya berpikir, andai saja saya tidak pernah hadir di antara Mas Beno dan Sundari, tentu hari ini kita masih bersama sebagai keluarga? Rasa bersalah itu terus menghantui, sehingga tidak mungkin bagi saya untuk lari.
Sri kembali memeluk Sendja lebih erat dan mengusap rambutnya.
SRI
(menghibur)
Sudah nduk. Sudah. Jangan menyiksa dirimu dalam rasa bersalah yang berlarut-larut. Sudah setahun Beno meninggal, kenyataannya, meski kamu terus meratapinya, tangisanmu ndak akan mampu mengubah kenyataan itu.
(beat)
Bangkitlah, Nduk. Kuatkan dirimu. Mengapa mengubur diri dalam kesedihan tidak berujung? Yang lalu biarkan berlalu. Bukankah setiap orang berhak bahagia?
Sri mengguncang lembut bahu Sendja.
SRI (CONT'D)
Kamu punya pilihan untuk bangkit atau berhenti di titik ini. Mengapa justru memilih berhenti bila bangkit dapat membuatmu menjadi orang yang lebih baik?
Sendja masih menangis. Sri membiarkan Sendja melepas emosinya.
SRI (CONT’D)
Lihatlah Ibu dan Bapak. Kami berdua akan selalu mendukungmu karena kamu adalah harta yang paling berharga untuk kami.
(beat)
Dunia ini adalah sebuah pentas kehidupan dengan kita-kita ini sebagai pemerannya. Beri dirimu kesempatan untuk memerankan lakon terbaik.
Sendja mengangguk. Sri membimbing Sendja meninggalkan areal makam.
DISSOLVE TO
77. INT. KAMAR SENDJA-SIANG.
Senja duduk di depan meja riasnya. Wajahnya tampak segar habis mandi. Ia menatap tajam ke arah cermin. Sendja menghela napas lalu meraih gunting dan memotong rambut panjangnya.
CUT TO
78. INT. RUANG TENGAH-SIANG
Darman dan Sri yang sedang berbincang terkejut dengan kemunculan Sendja. Darman tercengang lalu menunjuk rambut Sendja yang sudah dipotong pendek. Ia terbatuk sebelum bertanya pada Sendja.
DARMAN
(terkejut)
Sendja, itu rambutmu kenapa?
Sendja tersenyum sekilas dan mengelus rambutnya yang dipotong sebatas dagu.
SENDJA
Sudah terlalu lama saya melakukan hal-hal tidak berguna. Hari ini saya ingin memulai hidup dengan hal-hal baru.
Sri menyenggol suaminya. Sri tersenyum pada Sendja.
SRI
Kamu benar Sendja. Rambut pendek juga bagus. Kemarilah, Nduk
Sendja menghampiri Bapak dan ibunya lalu duduk.
SENDJA
Bapak, Ibu. Maafkan saya karena belakangan telah membuat kalian cemas. Hari ini, ijinkan anakmu ini meminta satu hal lagi.
Darman tampak agak kebingungan
DARMAN
Eh, ada apa ini? Jangan membuat Bapak takut Sendja. Katakan apa yang kamu inginkan. Asalkan sanggup, Bapak dan Ibu pasti akan memenuhinya.
SENDJA
(mantap)
Saya ingin melanjutkan sekolah ke Jakarta. Saya ingin jadi sarjana.
CUT TO
79. INT/EXT. KAMPUS-SIANG MONTAGE
- Sendja mengikuti kegiatan baris-berbaris untuk mahasiswa baru di kampus. Wajahnya tampak berkeringat tapi ia tetap semangat.
- Sendja mengikuti kegiatan perkuliahan dengan rajin. Ia mencatat perkataan dosennya.
- Sendja belajar hingga larut di kamar kostnya. Ia terkantuk-kantuk tapi berusaha melawan dengan mencuci muka berkali-kali.
- Sendja mengikuti ujian
- Sendja berfoto bersama teman-temannya di hari kelulusannya.
END MONTAGE
80. INT. RUANG KERJA SENDJA-MALAM
SUPER: 2014
Foto-foto pernikahan Sendja dan Michael tergantung dalam pigura di dinding. Foto berikutnya adalah foto bersama suami dan keempat anaknya saat masih kecil-kecil, foto bersama saat anak-anak sudah dewasa, dan foto wajah Sendja Aedelmaer yang terlihat anggun, berkelas, dan elegan meski sudah tua.
Sendja masih duduk memandang foto hitam putih dirinya dan Sundari di masa muda.
FX: nada dering handphone.
Sendja meraih handphone di atas meja.
SENDJA
(on phone)
Halo, Brian?
INTERCUT
BRIAN
Halo, Ma. Aku udah di rumah sakit, nih.
SENDJA
(bersemangat)
Lalu?
BRIAN
Tadi aku udah ketemu sama Alika, ketua yayasan panti itu. Nah, dia bilang Mama boleh nengok nenek yang dipukul Bang Edo. Tapi, Alika tetap nggak mau cabut laporannya. Kayaknya dia kekeh bakal mempolisikan Bang Edo.
(beat)
Ya, aku maklum juga sih, dia ngotot begitu. Habis, Bang Edo memang kebangetan. Aku kalau ada di posisi Alika juga nggak bakalan maulah kalau disuruh cabut gugatanku.
SENDJA
(berdehem)
Baiklah. Terima kasih atas bantuanmu, Brian. Nanti biar Mama sendiri yang mencoba bicara dengan Alika.
BRIAN
Ah, percuma, Ma. Dia pasti menolak. Tapi kalau Mama mau coba sih, terserah saja. Katanya, kalau Mama mau menjenguk, datang besok pagi. Tapi jangan lama-lama. Nenek itu kondisinya masih lemah.
SENDJA
(mengangguk)
Baiklah, Mama mengerti.
Sendja menutup telepon. Wajahnya terlihat lega. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Air mata merembes di pipinya.
CUT TO FLASHBACK