Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
SEBELUM SENJA BERAKHIR (SCRIPT FILM)
Suka
Favorit
Bagikan
2. Bagian 2

14. EXT. STASIUN GAMBIR – SIANG

SUPER: STASIUN GAMBIR TAHUN 1965 

FX: ramai orang bercakap -cakap di stasiun 

Sendja (18) turun dari kereta, menenteng tas kain besar, rambut panjangnya dikepang dua, mengenakan kemeja lengan pendek putih dan rok payung kembang-kembang sebawah lutut. Ia berjalan keluar stasiun.

Di luar, Sendja tersenyum melihat metro mini, becak, mobil mini morris, Volkswagen beetle melintas. Sendja juga kagum melihat mahasiswi menenteng buku, dan beberapa karyawati berpakaian kemeja dan rok lipit selutut hendak berangkat ke kantor. Rambut mereka dipotong pendek dan agak mengembang atau ditata model sasak. Ibu-ibu berkebaya menenteng belanjaan. Beberapa lelaki berpakaian rapi kemeja putih lengan panjang dan celana panjang putih mengayuh sepeda. Ada juga laki-laki berkemeja dan celana pendek sedang membaca koran.

Sendja mengeluarkan kertas catatan, dan menunjukkan pada salah seorang tukang becak. Lelaki itu menggeleng dan memanggil temannya. Mereka kemudian menunjuk sebuah metro mini yang mangkal. Sendja mengangguk dan naik metro mini itu. Metro mini melaju.

DISSOLVE TO

15. EXT. DEPAN KANTOR HARIAN SEMANGAT DJIWA RAKJAT-SORE

Sendja turun dari metro mini. Ia menatap rumah sederhana yang dijadikan kantor itu ragu. Tulisan papan nama Harian Semangat Djiwa Rakyat terlihat mulai mengelupas. Sendja celingak-celinguk mencari seseorang untuk ditanyai. Namun tidak ada orang. Sendja kebingungan, ia mengedikkan bahu lalu melangkah masuk.

SUNDARI (OS)
Mau cari siapa, Mbak? 

Sendja terkejut dan berbalik. Sundari (24) tengah tersenyum padanya. Sendja mengamati wajah cantik indo dengan penampilan modern dan rambut sebahu digerai itu. Sendja kagum dengan kecantikan Sundari.

SUNDARI
(berdehem)
Mbak mau melamar kerja?

Sendja tersenyum malu karena ketahuan mengamati wajah Sundari.

SENDJA
(menggeleng)
Tidak. Saya mencari Beno. Apa dia ada? 
SUNDARI
(tersenyum dan bicara ramah)
Oh, mencari Beno. Kebetulan Beno sedang tugas luar, biasalah Mbak, namanya wartawan itu ya tugasnya nguber berita. Tapi jangan khawatir, biasanya nanti balik kantor lagi, kok. Mbak ini saudaranya? 
SENDJA
Saya tunangannya Beno. 

Sundari agak terkejut mendengar jawaban jujur Sendja. Tatapan Sundari mengamati Sendja dari ujung rambut ke ujung kaki lalu kemudian tersenyum ramah.

SUNDARI
Oh tunangan Beno rupanya. Beno sudah tahu kalau Mbak datang hari ini? Ayo, tunggu di dalam saja sekalian istirahat. Tidak usah malu, saya juga kerja di sini, kok. Oh ya, nama Mbak siapa?

Sundari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Sendja menyambut uluran tangan Sundari.

SENDJA
Sendja. Kalau Mbak?
SUNDARI
(tersenyum)
Nama saya Sundari.
SENDJA
Ngomong-ngomong, Mbak wartawan juga di sini? 
SUNDARI
(mengangguk)
Iya, saya bertugas membuat liputan seni dan budaya.
Tapi, sebagai satu-satunya karyawan perempuan di sini, kadang saya juga merangkap pekerjaan administrasi. Bisa dibilang serabutanlah.

Sundari tertawa. Sendja ikut tertawa

SENDJA
Berarti Mbak sangat pintar, bisa merangkap banyak pekerjaan.
SUNDARI
Ayo masuk, panggil nama saja biar lebih akrab. 

Sundari membantu Sendja membawa tas besarnya masuk ke dalam.

CUT TO 

16. INT. WARUNG MAKAN-MALAM

Sendja dan Sundari menikmati makanan. Keduanya berbincang akrab. Sundari meniup kuah soto yang mengepul lalu menyeruput nikmat.

SUNDARI
Jadi, kamu anak tunggal? Orangtuamu pasti sangat menyayangimu 
SENDJA
(mengangguk)
Begitulah
SUNDARI
Pasti menyenangkan jadi anak kesayangan.
SENDJA
(mengangkat bahu)
Menyenangkan? Entahlah.

Sendja menghela napas seperti melepas beban

SENDJA (CONT'D)
Kadang justru aku merasa kasih sayang mereka berlebihan. Tidak boleh begini, jangan begitu. Lama-lama aku malah jadi terkekang. Mau berontak, takut durhaka. Serba salah.

Sendja menghentikan suapannya dan memandang Sundari kagum.

SENDJA (CONT'D)
Padahal, aku juga ingin seperti perempuan lainnya. Sekolah tinggi, berjuang, punya karir, seperti kamu inilah. Pasti senang.
SUNDARI
(tertawa kecil)
Ah, tapi tetap saja lebih enak kalau dicintai oleh kedua orang tua kita. Apalagi kalau cinta itu bisa kamu miliki utuh dan tidak harus berbagi dengan saudara-saudara lainnya.

Sendja menatap Sundari serius. 

SENDJA
Menurutmu apa aku kurang bersyukur? Ah sudahlah. Kamu sendiri gimana, Sun? Apa kamu punya adik atau kakak? 
SUNDARI
(mengangguk)
Aku punya tiga adik lelaki dan satu adik perempuan.

Sendja memandang Sundari takjub. 

SENDJA
Kamu pasti tidak pernah kesepian, tidak dikekang. Buktinya mereka memperbolehkanmu menjadi wartawan di Jakarta.
SUNDARI
Senang? Hmm, mungkin seharusnya begitu.

Sundari mengangkat bahu lalu bicara dengan nada sedih.

SUNDARI (CONT'D)
Ya, mereka tidak pernah mengekangku, mau pergi ke mana pun, mereka tidak khawatir dan tidak pernah peduli.

Sendja memandang heran pada Sundari. Sundari tiba-tiba tertawa .

SUNDARI (CONT'D)
Ah,aku cuma bercanda.

Sendja ikut tertawa dan meneguk minumannya. Sundari kembali bicara.

SUNDARI (CONT'D)
Tapi ini serius. Kadang aku malah merasa lebih baik sendiri tapi nyaman, daripada beramai-ramai tapi kenyataannya kesepian.
(beat).
Manusia memang aneh ya? Selalu saja merasa hidup orang lain lebih baik. Eh ngomong-ngomong, berapa lama kamu akan di Jakarta? 
SENDJA
(mengedikkan bahu)
Aku belum tahu. Tapi aku sudah menyiapkan diri untuk mencari pekerjaan di sini. Aku ingin mencoba mengadu nasib dan mencicipi rasanya jadi perempuan modern.

Sendja tertawa dan mengedipkan mata. Wajahnya tampak bersemangat.

SENDJA (CONT'D)
Kapan lagi aku punya kesempatan menikmati kebebasan? Kalau aku dapat kerja di Jakarta, aku punya alasan untuk lepas dari bayang-bayang orangtuaku.

Sundari ikut tertawa dan mengangguk setuju.

SUNDARI
Sepakat.

Sundari menoleh dan tersenyum senang.

SUNDARI (CONT'D)
Eh, itu Beno. Beno! Sini! 

Sendja mengikuti arah pandangan Sundari. Keduanya melambai pada Beno (27).

PAN TO

17.INT.WARUNG MAKAN-MALAM

Beno tersenyum dan bergegas menghampiri Sendja. Beno memandang Sendja dengan senang, kemudian berpaling pada Sundari.

BENO
 Sun, terima kasih udah jagain Sendja.
SUNDARI
Ah tidak apa. Aku malah senang punya teman ngobrol.

Sundari pura-pura menggerutu.

SUNDARI (CONT'D)
Lagian kamu, tunangan datang malah ditinggal liputan! 
BENO
(memandang Sendja serius)
Sendja, Mas minta maaf tidak jemput kamu di stasiun. Tiba-tiba Mas ada tugas liputan mendadak. 
SENDJA
Ah, tidak apa-apa, Mas. Mas kan tahu aku bukan anak manja yang merepotkan. Malah senang jadi bisa kenalan dengan Sundari. Mas sudah makan? 
BENO
(berdecak senang)
Sudah, tadi Mas makan dulu sebelum balik kantor. Syukurlah, kalian cepat akrab rupanya. 
SUNDARI
Kok tahu, kami ada di sini? 
BENO
Pak Wawan yang tadi memberitahuku. 
SUNDARI
Begitu rupanya. Oh iya Sendja, nanti kamu tinggal di mana?
SENDJA
Rencananya malam ini aku cari penginapan, lalu besok mencari tempat kos.

Sundari memandang Sendja dan Beno bergantian.

SUNDARI
Cari kos? Kebetulan sekali. Kupikir, kamu tidak perlu repot-repot cari tempat kos. Kalau mau, tinggal bareng aku saja.
(beat)
Begini, aku mengontrak rumah yang bayarnya pertahun. Harganya lebih murah. Ada dua kamar, kamu bisa menempati yang satunya dan berbagi sewa denganku. Gimana?
SENDJA
Apa tidak malah mengganggumu, Sun? 
SUNDARI
(mengibaskan tangan)
Ah, mengganggu apanya? Aku malah senang kalau kamu mau tinggal bareng aku. Jadi ada teman.

Sundari memandang Beno.

SUNDARI (CONT'D)
Kamu setuju kan, Beno?
BENO
(memandang Sendja)
Terserah Sendja saja. 
SENDJA
(tersenyum)
Baiklah kalau begitu. Terima kasih Sun, kamu baik sekali.

CUT TO

18. MONTAGE-VARIOUS LOCATION

A. Sundari dan Sendja membereskan kamar yang akan dipakai Sendja.

B. Sendja sibuk memasak saat Sundari datang. Sendja melompat gembira, ia bersemangat saat Sundari menunjukkan sebuah iklan lowongan pekerjaan yang mencari tenaga administrasi.

C. Sundari mengantar Sendja melamar kerja, dan menungguinya di depan ruangan direktur dengan gelisah. Laki-laki pegawai kantor melirik Sundari dengan pandangan menggoda. Sundari balas mendelik membuat lelaki itu gugup dan menunduk, sedangkan teman di sebelahnya tertawa. Sendja keluar dengan wajah gembira. Ia mengangguk pada Sundari yang disambut gadis itu dengan pelukan senang.

D. Sundari dan Sendja berbelanja ke pasar. Sendja mencoba beberapa potong pakaian baru dan menunjukkan pada Sundari.

E. Sendja dan Sundari berjalan sambil berbincang. Wajah mereka gembira menenteng tas plastik berisi belanjaan.

F. Di depan sebuah salon Sundari dan Sendja berhenti. Sendja tersenyum dan menarik tangan Sundari masuk.

G. Pegawai salon menyambut Sendja, Sendja duduk di kursi tempat potong rambut, petugas menebarkan kain di badan Sendja dan mulai memotong rambut Sendja.

END MONTAGE

19. EXT. JALAN DI DEPAN PERTOKOAN-MALAM

Sundari dan Sendja menenteng belanjaan sambil tertawa-tawa. Rambut Sendja dipotong sebahu dan lebih mengembang dengan bagian bawah berbentuk ikal. Penampilannya terlihat modern. Sendja berjalan sambil menari-nari, berputar, ia lalu menarik tangan Sundari untuk berdansa. Tanpa malu-malu keduanya menari dan berdansa di trotoar sambil menyanyikan lagu Sepasang Mata Bola karya Ismail Marzuki dan Suto Iskandar. 

SENDJA 
Sepasang mata bola, dari balik jendela
Datang dari Jakarta, menuju medan perwira
SUNDARI
Kagum 'ku melihatnya, sinar sang perwira rela
Hati telah terpikat, semoga kelak kita berjumpa pula 

Sundari dan Sendja berputar lalu membungkuk dan saling menjura memberi hormat. Beberapa orang yang lewat tampak geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Namun Sundari dan Sendja tidak peduli.

SUNDARI 
(tertawa)
Ah, senangnya.

Sundari memandang Sendja sambil tersenyum. Matanya tampak bahagia.

SUNDARI (CONT'D)
Ini pertama kalinya aku melakukan kegilaan seperti tadi. Sejujurnya,aku tidak punya banyak teman. Mereka lebih suka menjauhiku. 
SENDJA 
(tertawa)
kegilaan? Ah, itu berlebihan. Sekali-sekali kita harus menikmati hidup. Selama tidak merugikan orang, kupikir tidak masalah.

Sendja memandang Sundari serius.

SENDJA (CONT'D)
Ngomong-ngomong, suaramu lumayan juga. Kenapa tidak coba jadi penyanyi saja? 
SUNDARI
(tertawa)
Jadi penyanyi? Ngaco, mana ada produser yang mau buang duit mengorbitkanku jadi penyanyi? Tapi suaramu juga bagus, kok.

Sendja tertawa. Sundari menatap Sendja yang sedang tertawa. Perlahan Sundari bertanya.

SUNDARI 
Kamu sudah lama berpacaran dengan Beno? 

Sendja menoleh pada Sundari. Ia lalu menengadah menatap bintang-bintang di langit.

SENDJA
Sejak aku mengenal rasa suka pada lelaki, aku sudah mencintainya.

Sendja tertawa dan memandang Sundari yang ikut tersenyum di sebelahnya. Keduanya melangkah perlahan. Beberapa lelaki yang berpapasan dengan mereka tampak melihat dengan kagum.

SENDJA (CONT'D)
Mungkin kedengarannya klise. Kami tumbuh bersama sejak kecil. Kedua orangtua Mas Beno meninggal saat desa kami diterjang banjir bandang.
(beat)
Sejak saat itu, ayah dan ibuku memutuskan untuk mengangkat Mas Beno sebagai anak.

Sendja diam dan menghela napas, lalu berpaling pada Sundari yang masih mendengarkannya. Sendja kembali tersenyum.

SENDJA (CONT’D)
Mungkin ini yang namanya witing tresno jalaran soko kulino. Cinta tumbuh karena sering bersama. Lalu semuanya makin mudah saat orangtuaku menjodohkan kami.
Oh ya, kamu sendiri apa punya pacar? 
SUNDARI 
Aku?

Sundari menggeleng.

SUNDARI (CONT'D)
Tidak
SENDJA 
Mengapa? Memangnya tidak ada laki-laki di Jakarta ini yang menarik perhatianmu?

Sundari menanggapi pertanyaan itu dengan senyuman. Pandangannya agak menerawang.

SENDJA (CONT’D)
Tapi kamu pernah jatuh cinta, kan?
SUNDARI 
Tentu saja pernah. Mencintai kan tidak harus memiliki?
SENDJA 
Jadi? Pacaran terus tanpa status yang jelas, begitu? Kamu ini aneh, Sun. Bukannya kalau mencintai seseorang, ada tujuan yang ingin kita capai bersama?
SUNDARI 
(tertawa)
Nah, pendapat itulah yang menurutku membuat banyak perempuan terjebak, jadinya menderita gara-gara cinta. Karena cinta dikaitkan dengan keharusan untuk memiliki.

Sundari menarik napas dalam-dalam dan memandang Sendja.

SUNDARI (CONT'D)
Bagiku, cinta tidak harus memiliki raga karena cinta adalah rasa yang tidak butuh legalitas. Kalau memaksakan cinta harus memiliki, menurutku justru tidak pantas disebut cinta, tapi penjara berkedok cinta.

Sendja tampak bingung dengan jawaban Sundari. Ia mengerutkan kening dan memiringkan wajahnya.

SENDJA
Kata-katamu kedengarannya seperti orang yang putus asa saja.

Sundari hanya tersenyum menanggapi ucapan Sendja. Tiba-tiba Sendja memicingkan mata dan menatap Sundari yang berjalan di sampingnya penuh selidik.

SENDJA (CONT'D)
Apa laki-laki itu menduakanmu?

Sundari terkejut lalu pura-pura tertawa.

SUNDARI
Kamu berlebihan. Mana ada begitu?
SENDJA 
Lalu, apa kamu tetap mencintainya kalau dia menikah dengan orang lain? Kamu tidak sakit hati?
(beat).
Untuk apa mati-matian mencintai laki-laki yang tidak mungkin untuk dimiliki? Bukankah itu tindakan sia-sia yang sangat tolol? Buang-buang waktu saja.

Sepasang mata Sundari tampak berkaca. Raut wajahnya terlihat sedih. Sundari berjalan menunduk. Sendja berhenti dan menyentuh lengan Sundari. Sundari mengangkat wajah dan mencoba tersenyum. Sendja menatapnya simpati. Sundari menggeleng dan kembali berjalan. Sendja menjejeri langkahnya.

SUNDARI
(lirih)
Saat bertemu orang yang sangat dicintai, kurasa setiap orang akan berusaha melakukan apapun agar tetap bisa memiliki cintanya tidak peduli bahkan bila itu menyakitkan.
SENDJA
(menggeleng tegas)
Tapi itu bukan cinta. Segala yang membuatmu merasa sakit dan tersakiti tidak pantas disebut cinta!

Sendja meraih tangan Sundari dan menatapnya sungguh-sungguh.

SENDJA (CONT'D)
Sun, cinta tidak hanya tentang kamu jatuh cinta pada orang lain tapi mengabaikan dirimu sendiri. Orang pertama yang harus kamu sayangi adalah dirimu sendiri.
(beat)
Orang yang tulus mencintaimu tidak akan tega mengorbankanmu atau menghapus mimpi-mimpimu.
Jika kamu sangat berarti untuknya, dia pasti mempertahankanmu dan memperjuangkanmu.

Sundari berhenti. Ia menatap Sendja lama seolah hendak mengatakan sesuatu namun kembali ditahannya. Sundari mencoba bersikap biasa dan tersenyum.

SUNDARI
Ternyata selain baik kamu juga sangat pintar. Beno memang pandai memilih calon istri.

Keduanya tertawa. Mereka kembali berjalan. Tiba-tiba langkah kaki Sundari berhenti. Sendja ikut-ikutan berhenti. Sundari memandang studio foto yang mereka lewati. Sendja menoleh dan berkedip senang.

SENDJA 
Kita bikin foto, yuk? Untuk merayakan penampilan baruku sebagai gadis kota.

Sundari mengangguk setuju. Keduanya tertawa masuk ke studio.

CUT TO 

20. INT. STUDIO FOTO-MALAM

PEGAWAI STUDIO
Selamat malam, Mbak. Ada yang bisa dibantu?
SENDJA
(ramah)
Oh tentu saja Bang, kami memang butuh bantuan Abang. Kami mau buat foto untuk kenang-kenangan.
PEGAWAI STUDIO
(nyengir lebar)
Foto kenangan? Ah kayak yang mau berpisah aja, Neng.
SENDJA
(terkejut)
Berpisah? Ih si Abang doanya jelek bener. Pokoknya, kami mau bikin foto yang paling cantik. 
PEGAWAI STUDIO
Nah gitu dong. Bikin foto yang paling cantik.

Pegawai studio membungkuk dengan hormat.

PEGAWAI STUDIO (CONT'D)
Silakan, di ruangan itu.

Sundari dan Sendja berpandangan lalu tertawa melihat tingkah pegawai studio. Keduanya masuk ke ruangan foto. Mereka berdua mulai berpose saat tukang foto menjepretkan kameranya.

CUT TO 

21. MONTAGE-VARIOUS LOCATION

1.Sendja di kantor mendengarkan arahan dari Lietje.

2.Sendja mengetik surat menggunakan mesin tik, kemudian diperiksa Lietje, Lietje mengacungkan jempol.

3.Beno menjemput Sendja di kantor, mengajaknya jalan-jalan ke pasar malam. Mereka membeli jajanan lalu menonton layar tancap. Sendja sangat gembira.

END MONTAGE

22. EXT. DEPAN KONTRAKAN SUNDARI-MALAM

Beno dan Sendja berjalan bergandengan. Raut wajah kedua muda-mudi itu tampak bahagia. Jalanan sudah sepi malam itu. Tampak tukang sate memikul dagangannya.

SENDJA
Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan hari ini, Mas. Aku senang sekali.
BENO
(tersenyum)
Maafkan Mas yang tidak bisa sering-sering mengajakmu jalan-jalan, Sendja. Kesibukan pekerjaan Mas benar-benar tidak bisa ditebak. Jauh-jauh kamu datang ke Jakarta, tapi Mas malah sering meninggalkanmu sendirian.

Sendja cemberut dan memukul lembut dada Beno. Ia mengerling pura-pura marah.

SENDJA
Mas ini bicara apa, sih? Seperti baru kenal aku kemarin saja.
(beat)
Mas, aku bukan anak kecil yang harus selalu Mas temani ke mana-mana. Ada teman-teman kantor, ada Sundari, aku sama sekali tidak kesepian.
BENO
(tersenyum). Kalian berdua tampak sangat cocok. Mas lega kamu banyak teman di sini.
SENDJA
(menatap Beno)
Aku juga senang Mas bahagia dengan pekerjaan Mas. Terus terang Mas terlihat berbeda di sini. Mas lebih hidup,lebih sering tertawa. Lebih banyak bicara juga

Sendja tertawa senang. Beno menanggapi dengan senyum. Sendja menarik tangan Beno pelan hingga Beno berhenti dan menatapnya.

SENDJA (CONT'D)
Dan sejujurnya aku lebih suka Mas Beno yang sekarang dibandingkan dengan Mas Beno yang pendiam dan penurut di kampung Tambakraras.

Kali ini Beno ikut tertawa, ia menatap Sendja mesra dan lembut.

BENO
Kamu benar. Mas memang sangat menyukai pekerjaan ini. Menjadi wartawan adalah impian Mas sejak dulu.

Beno mengantar Sendja sampai pintu pagar. Tangan Beno menggenggam tangan Sendja erat. Keduanya berhadapan dan saling menatap mesra. Beno menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Sendja.

BENO (CONT'D)
(menoleh pada pintu)
Sepertinya Sundari sudah tidur. Kamu juga harus cepat masuk dan istirahat. 

Sendja mengangguk. Keduanya diam dan saling menatap dalam. Beno meraih dagu Sendja lembut dan mengangkat wajah Sendja.

BENO (CONT'D)
(berbisik)
Terima kasih Sendja. Kamu memang calon istri yang sangat pengertian. Mas senang ada kamu di dalam hidup Mas. Mas cinta padamu, Sendja.

Perlahan Beno menunduk dan mencium lembut bibir Sendja.

CUT TO 

23. INT. KANTOR SENDJA-SIANG

Sendja keluar dari ruangan direktur dengan wajah gembira, ia menggenggam amplop gaji. Lietje yang melihat wajah gembira Sendja menggodanya.

LIETJE
Duh, senangnya yang dapat gaji!  

SENDJA

(tersipu)
Ah, kamu bisa saja. 
LIETJE
Sendja, pulang kerja ayo ikut makan bakmi di Pasar baru. Mumpung si Bos lagi senang hatinya, dia mau traktir kita semua makan.
SENDJA 
(ragu)
Hm, tapi aku takut kemalaman. Tahu sendirilah bahaya kalau menumpang metromini malam-malam. 
LIETJE
(membujuk)
Aih-aih, rejeki jangan ditolak, Sendja. Jarang-jarang loh si Bos mau traktir kita-kita.
Kalau hanya takut pulang malam, tidak usah khawatir. Rumah pamanku jalur angkutannya sama denganmu. Nanti kutemani kamu pulang, biar nanti aku menginap di rumah pamanku. Setuju?
SENDJA
(mengangguk)
Baiklah 

Lietje tersenyum senang.

DISSOLVE TO

24. INT. RESTORAN BAKMI-MALAM

FX: orang bercakap-cakap dan tertawa

Sendja bersama teman-temannya menikmati makanan, ia sesekali ikut tertawa, tapi matanya terus-terusan melirik jam dinding. Perlahan ia menyikut Lietje. Lietje memberi tanda tunggu sebentar dan mengedipkan mata. Sendja terlihat mulai gelisah.

CUT TO 

25. EXT. JALAN DEPAN RESTORAN BAKMI-MALAM

Sendja dan Lietje berjalan sambil menenteng bungkusan berisi bakmi ayam. Mereka berdiri di trotoar menunggu metromini. Lietje mengelus perutnya yang kekenyangan.

LIETJE
Aduh kenyangnya. Perutku rasanya mau meledak saja. 
SENDJA
(tersenyum)
Kamu sih tadi makan kayak kesurupan. Dua mangkok habis sendiri. Belum lagi kamu nyomot pangsit banyak banget. Gimana tidak kekenyangan?
LIETJE
Kan mumpung si Bos lagi nraktir, kapan lagi bisa makan enak di tempat mahal tanpa pusing bayarnya, mumpung ada kesempatan sikat saja. Betul,kan?

Sendja tertawa. Ia memandang ke sekeliling dan melongok untuk melihat datangnya metromini.

PAN TO

26.EXT. RESTORAN SEBERANG JALAN-MALAM

Beno dan Sundari berjalan bergandengan tangan keluar dari sebuah restoran di seberang jalan lalu naik angkutan yang melaju ke arah berlawanan.

Sendja tertegun, ragu dengan apa yang dilihatnya. Ia menutup bibirnya dengan tangan. Lietje yang melihat perubahan ekspresi wajah Sendja menegurnya heran.

LIETJE
Ada apa? Wajahmu mendadak pucat seperti melihat hantu saja? 
SENDJA
(menggeleng dan tersenyum)
Ah tidak, tadi aku mengira melihat orang yang kukenal.

Lietje celingak-celinguk. Sendja pura-pura kembali melongok untuk melihat datangnya metromini.

SENDJA (CONT’D)
(bergumam)
Mana sih angkotnya? Kok tidak datang-datang? 

INSERT:

Sebuah metromini datang.

Lietje tersenyum senang. Lalu melambai untuk menyetop metromini tersebut.

LIETJE
Nah tuh angkotnya datang. Yuk!

Lietje mengamit tangan Sendja dan bergegas berjalan menuju metromini yang sudah menunggu.

 CUT TO

 


Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar