Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
PENJAGA KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
7. RUQIAH
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

61. INT. KAMAR BAGAS – SIANG

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Pak Bokir masuk ke kamar. Bagas terbaring di ranjang, wajahnya pucat, matanya sayu tapi tetap menatap Pak Bokir penuh harap.


BAGAS (lemah, serak):
Pak… saya sudah ikhlaskan tanah itu. Tapi kenapa dia… kenapa paman masih datang?


Pak Bokir duduk di samping Bagas, menaruh tangannya di dada Bagas.


PAK BOKIR (tegas, menatap Bagas):
Karena sumpahmu, Nak. Kau pernah berkata biar arwahnya tak tenang. Kata-kata itu berat, apalagi diucapkan di pemakaman. Itu doa yang jadi belenggu. Sekarang hanya kau yang bisa melepasnya.


Bagas meneteskan air mata.


BAGAS (lirih):
Kalau begitu, ajari saya, Pak… ajari saya melepasnya…


Pak Bokir mengangguk. Ia membuka kitab tua, mulai menyiapkan air doa, dan menyalakan kemenyan. Asap tipis memenuhi kamar, menciptakan suasana mistis.

KAMERA CLOSE UP wajah Bagas: takut bercampur harap.


PAK BOKIR (dengan suara berat, menyeramkan tapi penuh wibawa):
Malam ini kita lakukan ritual pelepasan. Tapi bersiaplah, Gas… arwah itu tidak akan pergi begitu saja. Dia akan melawan. Dan bisa jadi, malam ini adalah pertarungan terakhir.


CUT TO BLACK.


62. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Langit kelam, tanpa bulan. Angin dingin menyapu pepohonan. Bagas, Ibunya, dan PAK BOKIR berdiri di depan makam sang paman, membawa dupa, kendi berisi air, dan kitab tua.

PAK BOKIR membakar kemenyan, asapnya mengepul tebal, menciptakan suasana sakral namun mencekam.


PAK BOKIR
(serius, lirih)
Bagas… malam ini kau harus melepas sumpahmu. Kata-katamu waktu itu… menjadi ikatan gaib yang memanggil arwah pamammu.


Bagas terlihat gemetar. Ia menggenggam tasbih di tangannya.


BAGAS
(parau, penuh rasa bersalah)
Saya… saya nggak kuat lagi, Pak. Kalau memang harus… saya rela.


PAK BOKIR mengangguk. Ia menancapkan dupa di tanah, lalu mulai melafalkan doa-doa panjang. Suaranya berat, menggema, seolah membawa suasana mistis.

Tiba-tiba, angin bertiup kencang, dedaunan berputar liar. Dari arah makam, suara erangan lirih terdengar—makin lama makin jelas, seperti rintihan penuh dendam.


SOSOK ARWAH PAMAN muncul perlahan dari asap kemenyan. Wujudnya pucat, mata hitam bolong, wajahnya dipenuhi tanah dan darah kering.


ARWAH PAMAN
(geram, suaranya bergema)
Bagaaaas… kau sudah bersumpah! Aku akan menuntutmu!


Bagas menutup telinganya, tubuhnya gemetar ketakutan. Ibunya langsung memeluknya dari samping, menangis, membaca doa berulang-ulang.

PAK BOKIR menengadahkan tangan.


PAK BOKIR
(lantang, penuh wibawa)
Demi Asma Allah, demi ayat yang suci… wahai ruh yang tersumpah! Lepaskanlah ikatan ini! Sumpah manusia bukanlah kekal di sisi-Nya!


Ia memercikkan air dari kendi ke arah makam. Asap tebal pecah seperti disambar petir, jeritan arwah menggema keras, memekakkan telinga.

Arwah paman itu meraung, tubuhnya perlahan ditarik ke tanah makam. Namun sebelum lenyap, ia menatap Bagas dengan mata penuh murka.


ARWAH PAMAN
(berdengung, mengerikan)
Bagaaaasss… sumpahmu… tidak akan pernah hilang…


Tiba-tiba tanah makam mengguncang keras, lalu hening. Asap kemenyan hilang, hanya tersisa bau tanah basah dan keheningan malam.

Bagas jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal. Ibunya menangis lega.


PAK BOKIR
(menatap makam dengan raut serius)
Sudah… ikatan itu longgar. Tapi ingat, Bagas… kata-kata adalah doa. Dan doa bisa menjadi kutukan bila salah ucap.


Bagas menunduk, air matanya jatuh, wajahnya penuh penyesalan.



CUT TO:


63. EXT. RUMAH BAGAS – MALAM TENGAH

PEMAIN ; BAGAS, ARWAH PAMAN

Bagas sudah kembali ke rumah bersama ibunya. Malam itu tampak lebih tenang. Angin tidak sekencang biasanya, jangkrik terdengar lagi, seolah semua kembali normal.

Bagas duduk di ruang tamu, memegang tasbih, berdoa dengan khusyuk. Ibunya tertidur kelelahan di kursi.

Tiba-tiba… lampu padam. Rumah gelap gulita.

Bagas terdiam. Nafasnya tercekat. Hanya suara detak jam dinding yang berdengung pelan.

Dari jendela, terlihat bayangan SOSOK PAMAN berdiri kaku, matanya menatap tajam ke arah Bagas.


BAGAS
(berbisik, gemetar)
Tidak… Pak Bokir sudah melepas sumpah itu… ini tidak nyata… ini tidak nyata…


Tiba-tiba bayangan itu masuk menembus dinding, mendekat. Udara jadi dingin membeku.


ARWAH PAMAN
(bergema lirih, mendekat ke telinga Bagas)
Sumpahmu… akan menempel… sampai kau ikut denganku…


Bagas menjerit ketakutan. Ia mencoba membaca doa keras-keras, tapi suaranya tercekat, seolah ada yang mencekik.

Lampu tiba-tiba menyala kembali.

Ibunya terbangun, kaget melihat Bagas terduduk di lantai, wajahnya pucat, matanya kosong menatap ke arah jendela.


IBU
(cemas, memeluk Bagas)
Bagas! Ya Allah, Bagas!


Kamera bergerak perlahan ke arah jendela. Di balik kaca, samar terlihat wajah arwah paman menyeringai, sebelum perlahan lenyap ditelan kegelapan malam.


CUT TO BLACK.

Terdengar suara napas berat Bagas, lalu bisikan samar:


ARWAH PAMAN (V.O.)

(lirih, menyeramkan)

Aku… masih di sini…

CUT TO:


64. EXT. HALAMAN RUMAH BAGAS – PAGI BUTA

PEMAIN ; IBU BAGAS

Matahari belum sepenuhnya terbit. Kabut tipis masih menyelimuti desa. Burung-burung hanya terdengar sayup. Ibu Bagas keluar rumah dengan langkah tergesa, mengenakan kerudung seadanya. Wajahnya pucat, matanya sembab karena semalaman tidak tidur menemani Bagas.

Ia berjalan cepat menyusuri jalan tanah yang sepi, menuju rumah Pak Kyai yang berada di ujung desa.


CUT TO:


65. EXT. HALAMAN RUMAH PAK KYAI – PAGI

PEMAIN ; IBU BAGAS, SANTRI, PAK KYAI MAWARDI

Ibu Bagas tiba di depan rumah kayu sederhana. Ia menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu dengan tangan gemetar.

Pintu terbuka. Seorang santri muda muncul.


SANTRI
(heran, sopan)
Ibu Bagas? Ada perlu pagi-pagi begini?

IBU BAGAS
(suara bergetar, menahan tangis)
Nak… panggilkan Pak Kyai… tolong… Bagas sudah tidak kuat… arwah pamannya masih terus mengganggu…
Santri itu menatap iba, lalu cepat masuk memanggil. Tak lama, PAK KYAI MAWARDI keluar. Wajahnya teduh, berjanggut putih tipis, sorot matanya tajam penuh wibawa.


PAK KYAI
(lembut tapi tegas)
Assalamu’alaikum, Bu. Apa yang terjadi?


Ibu Bagas menunduk, air mata jatuh.


IBU BAGAS
(terisak)
Wa’alaikum salam… Kyai… saya mohon… selamatkan anak saya. Bagas sudah menderita karena sumpah yang ia ucapkan. Malam tadi… dia hampir diambil arwah pamannya…


Pak Kyai terdiam sesaat, wajahnya serius. Ia memandang jauh ke arah langit yang masih diselimuti kabut.


PAK KYAI
(dalam, penuh wibawa)
Sumpah itu berat, Bu. Apa yang diucapkan di depan kematian tidak main-main. Tapi insyaAllah… kalau kita ikhlas, dan kembali hanya pada Allah, masih ada jalan.


Ibu Bagas menangis, menunduk, meremas tangannya sendiri.


IBU BAGAS
Saya rela, Kyai… saya ikhlas… asalkan Bagas selamat. Tolonglah anak saya, Kyai…
Pak Kyai mengangguk perlahan.

PAK KYAI
Baiklah. Malam ini kita akan lakukan ruqyah besar dan pelepasan sumpah. Siapkan Bagas, siapkan juga hatinya… karena setan hanya kuat pada jiwa yang lemah.


Ibu Bagas mengangguk penuh harap.

Kamera menyorot wajahnya yang masih berlinangan air mata, lalu berpindah pada Pak Kyai yang memandang ke arah langit. Awan hitam tampak bergerak pelan, menandakan badai baru akan segera datang.


CUT TO BLACK.


66. INT. RUMAH BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS, KYAI MAWARDI

Suasana rumah sunyi mencekam. Angin malam berhembus kencang, membuat jendela berderit. Lampu minyak dan lilin dinyalakan, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding.

Bagas duduk di ruang tengah, wajahnya pucat, tubuhnya gelisah. Di sampingnya ada Ibu yang terus menggenggam tangannya.

PAK KYAI MAWARDI masuk, ditemani dua santri yang membawa kitab, botol air berisi doa, dan dupa.


PAK KYAI
(tenang tapi tegas)
Bagas, malam ini kita hadapi bersama. Ingat… jangan biarkan rasa takutmu lebih besar dari imanmu.


Bagas mengangguk dengan kepala menunduk, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

RITUAL DIMULAI.

Pak Kyai duduk bersila, membuka kitab suci, lalu membaca ayat-ayat dengan lantang. Suaranya bergetar kuat, memenuhi ruangan. Santri mengikutinya dengan wirid.

Tiba-tiba, angin kencang menerpa dalam rumah, lilin padam satu per satu. Ruangan jadi hampir gelap total, hanya tersisa cahaya kecil dari lampu minyak.

ARWAH PAMAN mulai muncul, sosok hitam dengan wajah rusak, matanya menyala merah, berdiri di pojok ruangan.


ARWAH PAMAN
(bergema, penuh kebencian)
Dia… sudah bersumpah… dia milikku!


Bagas menjerit, tubuhnya bergetar keras seperti dirasuki. Ibu mencoba menahan, tapi tubuh Bagas terlalu kuat, meronta seperti bukan dirinya.


IBU
(panik, menangis)
Ya Allah… Bagas!


Pak Kyai berdiri, menatap tajam ke arah sosok arwah itu.


PAK KYAI
(menghardik)
Kau tidak punya kuasa atas anak ini! Kembalilah ke tempatmu!


Ia memercikkan air doa ke arah Bagas. Tubuh Bagas bergetar hebat, lalu jatuh tersungkur. Dari mulutnya keluar suara berat, bukan suaranya sendiri—suara pamannya.


SUARA PAMAN (melalui Bagas)
(mengeram)
Dia bersumpah! Dia bagian dari aku!


Pak Kyai semakin keras membaca doa, suaranya bergema, disertai hentakan dari para santri yang menutup mata sambil melantunkan zikir.

PERANG SPIRITUAL PUN MELETUS.

Benda-benda di rumah mulai berguncang: lemari berderit, kursi bergeser sendiri, foto keluarga jatuh ke lantai. Udara semakin dingin menusuk.

Pak Kyai menekan telapak tangannya ke kepala Bagas, membaca doa pelepasan.


PAK KYAI
(lantang, penuh kuasa)
Ya Allah… bebaskan hamba-Mu ini dari sumpah yang menjeratnya!


Sosok arwah pamannya semakin jelas, kini berdiri tepat di belakang Bagas, meraung marah. Wajahnya meleleh seperti daging terbakar.


ARWAH PAMAN
(menjerit pilu)
Tanah itu… tanah itu milikku!

BAGAS
(tiba-tiba sadar, meski masih gemetar)
Aku… aku sudah kembalikan tanah itu, Paman! Pergilah! Aku doakan kau tenang…


Seketika ruangan bergetar hebat. Sosok arwah pamannya berteriak, tubuhnya retak seperti kaca, lalu meledak menjadi kepulan asap hitam yang menghilang ke udara.

Keheningan.

Bagas tergeletak, lemas. Ibu memeluknya erat sambil menangis lega.

Pak Kyai menghela napas panjang, wajahnya serius namun penuh syukur.


PAK KYAI
(pelan, menutup kitab)
Alhamdulillah… ikatan itu sudah terlepas. Tapi ingat, Bagas… doa dan amal baiklah yang menjaga manusia dari azab. Jangan pernah lagi kau bermain-main dengan sumpah.


Kamera menyorot wajah Bagas yang penuh air mata, lalu ke arah jendela yang perlahan terbuka sendiri—angin malam masuk, namun kini terasa lebih tenang.


CUT TO BLACK.


67. INT. KAMAR BAGAS – MALAM TENGAH

PEMAIN; BAGAS, IBU BAGAS

Bagas sudah terbaring di kamarnya, kelelahan setelah ritual besar bersama Pak Kyai. Ibu duduk di tepi ranjang, mengelus kepalanya dengan lembut. Wajahnya terlihat lega, seolah semua beban sudah terlepas.


IBU
(pelan, menenangkan)
Tidurlah, Nak. Semua sudah berakhir. InsyaAllah, kau akan baik-baik saja.


Bagas tersenyum lemah, lalu memejamkan mata. Ibu meninggalkan kamar, menutup pintu perlahan.

 

SUASANA HENING.

Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Kamera menyorot wajah Bagas yang tampak damai.

Tiba-tiba…

CEKREEK! — Lampu kamar berkelip. Suasana jadi dingin.

Bagas terbangun, kaget. Nafasnya memburu. Ia menoleh ke arah jendela—terbuka sedikit, kain gordennya berkibar tertiup angin.

Bagas bangkit, berjalan perlahan mendekat. Tangannya gemetar saat hendak menutup jendela.

TIBA-TIBA… Refleksi kaca jendela memperlihatkan SOSOK PAMAN berdiri tepat di belakangnya, wajah hancur, tersenyum mengerikan.


BAGAS
(tercengang, berbisik ketakutan)
Tidak… ini sudah selesai… ini sudah selesai…
Arwah pamannya mendekat, suaranya berbisik tepat di telinga Bagas:

ARWAH PAMAN
(lirih, menyeramkan)
Sumpah… tidak pernah benar-benar hilang…


Bagas menoleh cepat ke belakang—kamar kosong.

Ia kembali menatap jendela. Refleksi itu masih ada.

Sosok paman tiba-tiba menerjang keluar dari kaca jendela dengan jeritan panjang.


BAGAS
(menjerit histeris)
AAAAAAAAHHHHH!!!


Kamera mendekat cepat ke wajah Bagas yang berteriak ketakutan, lalu


CUT TO BLACK.

Suara detak jam semakin keras… lalu berhenti mendadak.


ARWAH PAMAN (V.O.)
(sangat lirih, bergema)
Aku… masih di sini…


LAYAR HITAM.

Teks muncul perlahan, diiringi suara azan subuh yang sayup dari kejauhan:

“Hidup di dunia hanyalah sementara.

Harta, tanah, dan warisan tak akan dibawa mati.

Yang abadi hanyalah amal, doa, dan sholat kita.

Jagalah hati, perbanyak kebaikan…

agar terhindar dari azab kubur.”


Suara IBU BAGAS (V.O.) terdengar lembut, seperti wejangan terakhir:


IBU BAGAS (V.O.)
(pelan, penuh haru)
Nak, jangan ulangi dosa orang-orang sebelum kita. Karena bumi bisa menolak jasad… tapi Allah tak pernah menolak hamba yang ikhlas kembali pada-Nya.


FADE OUT.


68. EXT. PEMAKAMAN DESA – SUBUH

PEMAIN : BAGAS, IBU BAGAS

Kabut tebal menyelimuti kompleks makam. Tanah masih basah, bau tanah bercampur dupa memenuhi udara. Beberapa warga terlihat berjalan pulang setelah pemakaman terakhir.

Kamera bergerak perlahan menyorot Bagas, berdiri sendirian di tepi makam, wajahnya pucat, matanya kosong. Ia menggenggam cangkul peninggalan Pak Bokir yang diletakkan di samping nisan tua.


IBU BAGAS
(dari kejauhan, cemas)
Bagas… pulanglah, Nak. Kau sudah cukup menderita.


Bagas tidak menjawab. Ia menatap tanah kuburan yang masih basah, lalu menunduk pelan, suaranya berat.


BAGAS
(lirih, seperti bukan dirinya)
Tidak, Bu… ini tugasku sekarang. Aku yang harus menjaga mereka… agar tak bangkit, agar tak menuntut lagi…


Ibu tertegun, matanya berkaca-kaca.

Angin bertiup kencang, dedaunan berjatuhan. Kamera bergerak mendekat ke wajah Bagas—matanya tampak merah samar, seperti ada yang merasuki.

Ia menancapkan cangkul ke tanah, lalu berjalan perlahan menyusuri barisan nisan, seperti seorang penjaga makam sejati.


VOICE OVER – PAK KYAI (bergema lirih)
“Ada yang terpilih… bukan karena kehendaknya. Tapi karena sumpah, dosa, dan takdir yang mengikat. Penjaga makam… tidak selalu memilih jalannya sendiri.”


Kamera menyorot siluet Bagas yang perlahan hilang ditelan kabut.



CUT TO BLACK.


Suara seram berbisik, tumpang tindih:


BISIKAN ARWAH (V.O.)
(bergaung samar)
Penjaga baru… sudah datang…



69. EXT. AREA MAKAM – MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Langit malam tampak muram. Bulan pucat tertutup awan. Angin berembus lirih, menimbulkan suara gesekan daun yang menyerupai bisikan.

 

Bagas masih mengenakan jaket lusuh, duduk di kursi kayu pos kecil. Di depannya lampu petromak bergetar redup, suaranya ngiiiiik... ngiiiik tak stabil.

 

Ia menggenggam mushaf kecil, berusaha membaca, namun matanya terus melirik ke arah makam baru di sudut kiri. Nisan putih itu masih basah oleh tanah merah.

 

SFX: Suara lirih, mirip rintihan manusia.
"Aaahhh... panas... panas sekali... tolong... tolong...!”

 

Bagas tertegun. Bibirnya kaku. Ia menoleh perlahan ke arah suara.

 

CLOSE UP – wajah Bagas mulai pucat, keringat dingin menetes.

 

BAGAS
(berbisik pada diri sendiri)
Astaghfirullah... jangan-jangan... itu cuma angin...

 

Namun suara itu makin jelas. Seperti seseorang sedang terbakar.

 

SFX: Krekkk... kruckkk... – suara tanah retak.

 

CAMERA – TRACKING menuju gundukan makam. Tanahnya berguncang, retak, lalu bergetar keras seolah ada sesuatu yang mendorong dari dalam.

 

Bagas berdiri gemetar, langkah kakinya mundur.


BAGAS
(teriak, hampir menangis)
Ya Allah... lindungi aku...

 

CUT TO


70. EXT. DEPAN MAKAM – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, MAYAT LAKI-LAKI

Tanah makam itu pecah. Tiba-tiba, sebuah tangan penuh darah muncul dari bawah. Jemarinya hancur, kukunya tercabut sebagian.

 

SLOW MOTION – tanah dan darah muncrat saat tangan itu mencengkeram udara.

 

Bagas menjerit kecil, tubuhnya gemetar, namun tak sanggup bergerak.

 

Lalu, tubuh MAYAT LELAKI muncul perlahan. Wajahnya remuk, rahang terpelintir ke samping, bola mata kirinya keluar setengah, darah segar bercampur tanah menetes dari kepala yang retak.

 

Pakainya robek penuh noda darah, bekas kecelakaan tragis.

 

MAYAT
(dengan suara serak, penuh derita)
...Ini... azabku... darah... api... zina...

 

Mayat itu berjalan terseok, tubuhnya meneteskan cairan kental hitam ke tanah, meninggalkan jejak basah.

 

CAMERA – CLOSE UP pada mulut mayat yang sobek, setiap kata yang keluar disertai semburan darah.

Bagas menutup telinga, tubuhnya lunglai.

 

BAGAS
(teriak histeris)
Allahu Akbar... jangan dekati aku!

 

Mayat makin dekat. Tiba-tiba dadanya robek dari dalam. Organ hancur berjatuhan ke tanah. Dari dalam rongga dadanya muncul lidah api kecil yang bergejolak.

 

SFX: Suara jeritan panjang bercampur bisikan.
"Zina... neraka... darah... panas... sakit... sakit..."

 

Bagas berusaha lari, namun kakinya lemas. Ia terjatuh di lumpur.

 

CAMERA – HIGH ANGLE – Bagas tergeletak, wajahnya ketakutan, tubuh mayat itu semakin dekat, langkahnya menyeret kaki patah.

 

Lampu petromak tiba-tiba padam.

 


CUT TO BLACK


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)