Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
PENJAGA KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
5. AZAB PENDENDAM
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

41. INT. KAMAR BAGAS – CONTINUOUS

PEMAIN ; BAGAS, ARWAH PAMAN

Bagas mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar.

 

BAGAS
(ketakutan, berbisik)
Paman…?
 

Sosok itu perlahan menoleh. Wajahnya pucat membusuk, mata kosong berair tanah, mulutnya sobek hingga ke pipi. Dari rongga mulut keluar suara berderak, seperti tanah retak.

 

ARWAH PAMAN
(serak, marah)
Tanahku… tanah itu milikku… diambil bapakmu… sampai aku mati dalam dendam…!

 

Kamera: close-up wajah Bagas yang membeku, air matanya jatuh, bibirnya bergetar.

 

BAGAS
(putus asa, gemetar)
Aku… aku tidak tahu, Paman… aku nggak ikut-ikutan… aku cuma…

 

Arwah melangkah mendekat, tapi langkahnya aneh — seperti menyeret kaki yang berat, meninggalkan jejak lumpur hitam di lantai kamar.

  

ARWAH PAMAN
(suara menggema, mengancam)
Darahmu… tetap darahnya! Kau juga akan menanggungnya… sampai tanah itu kembali!

 

Kamera: medium shot — Bagas merapat ke dinding, tangannya menutup telinga, berusaha menahan suara teror. Namun bisikan itu semakin keras, memenuhi ruangan.

 

Suara: Bisikan-bisikan banyak suara — terdengar nama Bagas dipanggil berulang, suara tangisan, suara orang mengutuk.

Lampu minyak mendadak berkelip, lalu padam. Ruangan tenggelam dalam gelap total.


CUT TO BLACK.

Suara terakhir: jeritan Bagas bercampur dengan tawa parau arwah pamannya.

 

42. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR, ARWAH PAMAN

Lampu kamar berkedip-kedip. Bagas terduduk di tepi ranjang, wajah pucat, tubuh gemetar. Dari jendela terbuka, angin malam masuk membawa bau tanah basah.

 

Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu kamar. DUG! DUG! DUG!


Bagas menoleh, napas memburu.

 

SUARA (BERBISIK, PARAU):
Bagaaas… tanah itu… bukan milik bapakmu… milikku…

 

Pintu berderak, perlahan terbuka sendiri. Dari celah gelap, sosok arwah pamannya muncul: tubuh pucat, wajah hancur seperti mayat lama terkubur, tanah menempel di rambut dan mulutnya. Matanya kosong, tapi menyorot marah.

Bagas menjerit, mundur ke pojok kamar.

 

ARWAH PAMAN (TERIAK PARAU):
Kamu… anak dari pengkhianat! Serakah! Kembalikan tanah itu! Atau kalian semua… ikut denganku!!

 

Seketika lampu padam. Kamar hanya diterangi cahaya bulan dari jendela. Arwah pamannya melayang mendekat, tangannya panjang seperti akar, hendak meraih leher Bagas.

 

Bagas berteriak histeris.

 

BAGAS:
Tolongggg!!!

 

TIBA-TIBA suara bacaan doa menggelegar di udara. Suara serak tapi tegas.

 

SUARA PAK BOKIR (OFF):
A’udzubillahi minasy-syaithanir rajiim…

 

Lampu kembali menyala redup. Dari pintu, Pak Bokir muncul membawa kitab kecil dan tasbih, wajahnya penuh ketegasan.

 

PAK BOKIR (BERTERIAK):
Kau jangan ganggu anak ini! Tempatmu bukan di sini!

 

Arwah pamannya meraung keras, suaranya memekakkan telinga. Jendela pecah, angin berputar kencang. Bayangan tubuh arwah terhempas mundur, tubuhnya menguap seperti asap, meninggalkan bau busuk menyengat.

 

Bagas terduduk, napas terengah-engah, wajah basah oleh keringat dan air mata.

 

Pak Bokir mendekat, meletakkan tangannya di pundak Bagas.

 

PAK BOKIR (LEMBUT, TAPI TEGAS):
Bagas, ini baru permulaan. Arwah pamanmu tidak akan tenang… selama dosa bapakmu belum tertebus.

 

Kamera menyorot wajah Bagas yang shock, lalu close-up ke kitab di tangan Pak Bokir—halaman terbuka, tinta hitamnya bergetar seolah ada kekuatan gaib.


CUT TO BLACK.


43. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Kabut tebal menyelimuti area pemakaman. Bulan purnama tersembunyi di balik awan hitam, sesekali kilat menyambar. Suara jangkrik terhenti, diganti desiran angin yang membawa bau anyir.

 

Pak Bokir berdiri di tengah pemakaman, di depan sebuah pusara tua yang retak. Di tangannya, kitab tua terbuka, tasbih melingkar di pergelangan. Lilin-lilin kecil tertancap mengitari makam, bergetar tertiup angin.

 

Bagas berdiri di belakang, wajah pucat, tubuhnya gemetar.

 

BAGAS (lirih, gugup):
Pak… apa benar… paman saya akan datang?

 

PAK BOKIR (tegas, tanpa menoleh):
Dia sudah di sini, Bagas. Dan malam ini, kita harus menghadapinya.

 

Tiba-tiba tanah di pusara itu berguncang hebat. Retakan membelah permukaan makam, suara raungan dari dalam tanah memekakkan telinga.

 

Dari dalam retakan, muncul arwah pamannya: tubuhnya penuh tanah basah, wajahnya hancur dengan mata hitam berongga. Tangan-tangan panjang seperti akar menjulur keluar, berusaha meraih Bagas.

 

ARWAH PAMAN (teriak parau):
Bagaaaaas!!! Darahmu… darah pewaris… akan jadi milikku!!!

 

Bagas terjatuh ke tanah, panik. Pak Bokir segera berdiri tegak, mengangkat kitab.

 

PAK BOKIR (lantang membaca ayat):
Bismillahirrahmanirrahim… Qul a’udzubirabbil falaq…

 

Setiap ayat yang dibaca, angin bertiup kencang, lilin-lilin menyala makin terang, menerangi wajah arwah yang menyeringai kesakitan. Tubuh arwah berasap, berteriak meraung.

 

ARWAH PAMAN:
Doa itu… membakar aku…!!

 

Arwah melompat ke arah Pak Bokir, mencakar dengan kuku panjang penuh tanah busuk. Pak Bokir terlempar, hampir mengenai nisan. Kitab hampir terlepas dari tangannya.

Bagas nekat berlari, mengambil kitab, lalu meletakkannya kembali di tangan Pak Bokir.

 

BAGAS (teriak putus asa):
Pak! Jangan berhenti! Lawan dia!

 

Pak Bokir bangkit perlahan, wajahnya penuh keringat, namun sorot matanya tegas. Ia mulai membaca doa dengan suara lebih keras, hingga getarannya menggema ke seluruh pemakaman.

 

PAK BOKIR (berteriak):
Dengan asma Allah yang Maha Agung, aku kembalikan engkau ke tempatmu!

 

Tiba-tiba tanah di sekitar pusara pecah lebih besar, menyedot tubuh arwah pamannya. Arwah berteriak histeris, tangannya berusaha meraih Bagas, tapi terhalang cahaya doa dari kitab yang dibaca Pak Bokir.

 

ARWAH PAMAN (jeritan terakhir):
Tanah itu… tanah itu… tetap milikku—

 

Suara terputus. Arwah tersedot kembali ke dalam retakan, yang lalu menutup rapat dengan dentuman keras. Lilin padam bersamaan.

 

Hening. Hanya terdengar napas berat Bagas dan Pak Bokir.

 

BAGAS (terengah, menatap Pak Bokir):
Apakah… sudah selesai, Pak?

 

Pak Bokir menatap pusara itu lama, wajahnya serius.

 

PAK BOKIR (pelan, berat):
Belum, Bagas. Arwah pamammu hanya terikat… Tapi tidak akan pernah benar-benar tenang, selama dosa bapakmu belum diampuni.

 

Kamera menyorot wajah Bagas yang penuh dilema, lalu zoom out: pemakaman gelap, kabut perlahan menutup layar.


FADE OUT.


44. INT. RUMAH BAGAS – RUANG TAMU – MALAM

PEMAIN; BAGAS, IBU BAGAS

Lampu redup menerangi ruangan. Suasana hening, hanya suara detak jam dinding tua yang pelan tapi menusuk. Bagas duduk di kursi kayu, wajahnya letih dan murung setelah kejadian di pemakaman.

 

Ibunya masuk membawa segelas air hangat. Ia duduk di samping Bagas, menatap anaknya dengan lembut tapi penuh rasa khawatir.

 

IBU (pelan, menenangkan):
Bagas… Nak… jangan terlalu kau simpan rasa takut itu. Hidup ini hanya sementara. Kita semua, cepat atau lambat, akan kembali ke tanah.

 

Bagas menunduk, matanya berkaca-kaca.

 

BAGAS (lirih):
Tapi Bu… aku takut. Kalau nanti aku… kalau nanti Bapak… tidak diterima bumi… seperti paman.

 

Ibu tersenyum getir, mengelus rambut Bagas dengan penuh kasih.

 

IBU (lembut, penuh makna):
Karena itu, Nak… kita harus selalu berbuat baik, menjaga hati, jangan serakah, jangan menyakiti orang lain. Semua yang kita punya di dunia ini… harta, tanah, jabatan… tidak ada yang kita bawa saat mati. Yang ikut hanya amal dan keikhlasan.

 

Ibu berhenti sejenak, suaranya bergetar.

 

IBU (menahan air mata):
Kalau hidup dipenuhi dosa, tanah pun menolak tubuh kita. Tapi kalau kita ikhlas, banyak berbuat baik… insya Allah kita dijauhkan dari siksa kubur.

 

Bagas menatap ibunya, matanya berkaca-kaca.

 

BAGAS (suara pecah):
Jadi… yang bisa aku lakukan sekarang… hanya berdoa untuk Bapak, ya Bu?

 

Ibu mengangguk, memegang tangan Bagas erat-erat.

 

IBU (tegas, penuh harapan):
Berdoa, Nak. Dan buktikan lewat hidupmu. Jangan ulangi kesalahan BAPAKmu. Jadilah anak yang membawa kebaikan, supaya arwah leluhur kita bisa tenang.

 

Kamera menyorot wajah Bagas yang tersapu cahaya pelita, lalu close-up ke genggaman tangan ibu dan anak yang erat, seolah menjadi simbol ikatan terakhir keluarga.


FADE OUT.


45. EXT. PEMAKAMAN DESA – SIANG

Matahari terik, tapi suasana pemakaman terasa berat dan muram. Para warga desa berkumpul, wajah-wajah mereka tegang. Bagas ikut berdiri di antara para penggali kubur, masih letih setelah kepergian bapaknya.

 

Di depan, keranda diturunkan perlahan. Jenazah seorang laki-laki paruh baya—warga desa itu—akan dimakamkan.

 

Pak Bokir ikut menurunkan jenazah ke liang lahat bersama warga. Doa pun mulai dipanjatkan. Semua berjalan normal.

 

TIBA-TIBA—

Tanah di atas kubur yang baru ditutup berguncang keras. Suara dentuman dari dalam tanah terdengar, seperti ada sesuatu yang menghantam peti. Orang-orang saling menoleh panik.

 

WARGA 1 (berbisik ketakutan):
Ya Allah… suara apa itu?

 

WARGA 2 (gemetar):

Itu… dari dalam kubur!

 

Tiba-tiba terdengar suara jeritan mengerikan dari dalam tanah, bukan suara manusia biasa—parau, penuh kesakitan. Suara itu membuat anak-anak kecil menangis, ibu-ibu teriak histeris.

 

Bagas melangkah mundur, wajahnya pucat, matanya tak lepas dari gundukan tanah yang bergetar seolah menolak tubuh di bawahnya.

 

BAGAS (lirih, gemetar):

Azab kubur… aku… aku melihatnya dengan mata kepala sendiri…

 

Beberapa orang desa berusaha menenangkan, tapi ketakutan membuat semua panik. Seorang tetua desa, dengan wajah sedih, akhirnya bicara pada kerumunan.

 

TETUA DESA (pelan, tapi jelas):
Kalian tahu sendiri… almarhum semasa hidupnya tidak pernah sholat. Berkali-kali diingatkan… dia hanya tertawa. Tidak ada yang bisa menolongnya sekarang, selain doa kita.

 

Hening sesaat. Suara jeritan dari dalam tanah masih samar terdengar, membuat semua orang menunduk ngeri.

Bagas memegang kepalanya, hatinya gemetar, air mata jatuh tanpa sadar.

 

BAGAS (monolog, bergetar):
Ya Allah… aku tidak mau bernasib seperti itu. Aku harus berubah. Aku harus menjaga sholatku… dan hidupku…

 

Kamera menyorot wajah Bagas yang pucat namun penuh tekad baru. Lalu bergerak ke gundukan tanah yang sudah tenang, menyisakan keheningan yang mencekam.


FADE OUT.


46. INT. RUMAH BAGAS – RUANG TAMU – SENJA

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Langit di luar jendela berwarna jingga kemerahan. Suasana rumah sepi, hanya suara ayam berkokok dari kejauhan. Bagas pulang dengan langkah gontai, wajahnya pucat, mata masih merah akibat tangisan di pemakaman tadi.

 

Ia meletakkan sandal, lalu duduk di kursi dengan tubuh lunglai. Tangannya gemetar, napasnya tak beraturan.

Ibunya keluar dari dapur, melihat keadaan Bagas. Ia duduk di samping anaknya, menatap dengan penuh kasih.

 

IBU (lembut, menyentuh bahu Bagas):
Bagas… kenapa wajahmu pucat sekali? Kau terlihat ketakutan.

 

BAGAS (lirih, suaranya pecah):
Bu… aku lihat sendiri… kubur itu menolak. Aku dengar jeritan dari dalam tanah… ngeri sekali, Bu. Orang itu katanya tidak pernah sholat… aku takut, Bu… aku takut sekali.

 

Air mata Bagas jatuh. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

 

Ibunya menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Bagas erat-erat.

 

IBU (tegas tapi lembut):
Nak… itulah tanda peringatan. Allah sudah tunjukkan padamu, supaya kau belajar. Hidup ini sementara, Bagas. Dunia ini cuma singgah sebentar. Yang akan menyelamatkan kita di kubur nanti hanyalah amal baik, doa, dan sholat kita.

 

Bagas menatap ibunya, mata berkaca-kaca.

 

IBU (melanjutkan, penuh perasaan):
Jangan ulangi kesalahan BAPAKmu. Jangan pernah tinggalkan sholat. Ikhlaskan hati, jauhi serakah, jangan sakiti orang lain. Kalau kau jalani hidup dengan ikhlas dan benar, insya Allah kuburmu nanti jadi taman, bukan penjara.

 

Bagas mengangguk perlahan, suaranya bergetar.

 

BAGAS:
Iya, Bu… aku janji… aku akan berubah. Aku tidak mau mengalami apa yang aku lihat tadi.

 

Ibunya tersenyum lirih, meski matanya basah. Ia mengusap kepala Bagas dengan lembut.

 

IBU (pelan, penuh kasih sayang):
Itu yang Ibu harapkan, Nak. Biar doa-doa kita jadi cahaya untuk Bapakmu… dan jalan selamat untuk hidupmu.

 

Kamera perlahan zoom out, memperlihatkan ibu dan anak itu berpelukan dalam cahaya senja yang temaram, seakan alam pun menjadi saksi.


FADE OUT.


47. EXT. MUSHOLAH DESA – SORE MENJELANG MALAM

PEMAIN ; BAGAS,

Bagas duduk bersila di dalam musholah kecil, mukanya penuh keheningan. Suara adzan maghrib menggema sayup dari surau lain. Bagas terlihat lebih khusyuk, tangannya menengadah, bibirnya bergetar melafalkan doa dengan air mata mengalir.

 

BAGAS (lirih, berdoa):
Ya Allah... lindungi hamba, terimalah taubat bapak, ampuni dosa-dosanya... jangan biarkan aku tergelincir ke jalan yang sama...

 

Ia sujud lama sekali, tubuhnya gemetar antara takut dan pasrah.


CUT TO


48. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Lampu redup. Angin malam masuk lewat jendela. Bagas baru selesai membaca doa sebelum tidur, lalu mematikan lampu, hanya menyisakan cahaya samar dari lampu minyak kecil.

Suasana tenang beberapa saat. Tiba-tiba... KREK...KREK... suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar.

Bagas menahan napas. Ia menarik selimut, keringat dingin menetes di kening.

 

CLOSE UP — BAYANGAN DI TEMBOK

Sebuah bayangan tinggi dan bengkok muncul di dinding, bergerak pelan mendekat. Bayangan itu bukan milik Bagas. Siluetnya mirip dengan pamannya yang dulu meninggal dengan wajah penuh dendam.

 

BAGAS (gemetar):
Innalillahi... jangan... jangan dekati aku... aku sudah berdoa...

 

Bayangan itu semakin panjang, lalu seolah menunduk ke arah Bagas. Suara lirih berat terdengar, bukan suara manusia normal:

 

SUARA PAMAN (berbisik, bergaung):
Doa... tidak akan menyelamatkanmu... darah dan dosa keluargamu... belum selesai...

 

Bagas menutup telinga, membaca doa keras-keras:
A'udzubillahi minasy-syaithanir rajim! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

 

Tiba-tiba lampu padam dengan sendirinya. Kegelapan menyelimuti kamar. Dalam hitungan detik, Bagas merasa ada tangan dingin yang menyentuh bahunya dari belakang.

 

Ia menjerit, "ALLAHU AKBAR!!" sambil menoleh cepat. Kamera mengikuti pandangan Bagas—tidak ada siapa-siapa.

 

Namun di dinding... bayangan pamannya masih berdiri tegak, meski Bagas sendirian di kamar.

 

CUT TO

49. INT. KAMAR BAGAS – MALAM (GELAP TOTAL)

PEMAIN ; BAGAS

Keringat membasahi wajah Bagas. Nafasnya tersengal. Bayangan pamannya masih terlihat jelas di dinding, semakin besar, semakin gelap.

 

BAYANGAN PAMAN mulai bergerak liar, seolah mencoba merobek diri keluar dari dinding. Tangan panjang hitam itu meraih ke arah Bagas.

 

BAGAS (gemetar, membaca ayat kursi tergagap):
Allahu laa ilaaha illa huwa al-hayyul qayyum... laa ta’khudzuhu sinatun walaa naum...

 

Namun semakin ia membaca, semakin keras pula suara bisikan-bisikan di kamar:

"Kau milikku... ikut aku... darah keluargamu sudah kotor..."

 

Tiba-tiba—DINDING KAMAR BERGETAR! Bingkai foto keluarga jatuh berantakan. Lampu minyak menyala sendiri dengan api biru pucat.

 

SUDUT PANDANG BAGAS

Bayangan pamannya kini benar-benar muncul sebagai sosok: wajah hitam pekat, mata merah menyala, mulut sobek lebar. Sosok itu mendekat, menunduk tepat di depan Bagas.

 

ARWAH PAMAN (menggeram):
Ikut aku ke liang lahat...!!!

 

Bagas menjerit keras. Tubuhnya seakan tertarik ke arah ranjang, kasurnya bergetar keras. Ia mencoba meraih sajadah di meja kecil, memeluknya erat.

 

BAGAS (teriak, putus asa):
Ya Allah lindungi aku!! Aku hanya pada-Mu berserah!!

 

Seketika itu—suara adzan isya dari musholah terdengar sayup dari kejauhan. Suara itu menusuk keheningan, masuk ke kamar Bagas.

 

SOSOK PAMAN BERHENTI. Tubuhnya mengejang, wajahnya terdistorsi, seperti terbakar cahaya. Ia menjerit panjang, suaranya melengking bukan manusiawi:
"AAAAAAAAAARGHHHH!!"

 

Bayangan itu hancur perlahan, menguap menjadi asap hitam pekat yang menembus jendela dan hilang ke luar.

 

Bagas jatuh tersungkur di lantai, menangis, tubuhnya bergetar. Ia mencium sajadahnya, lalu sujud lama sekali.

Kamera mengambil CLOSE UP wajah Bagas: penuh air mata, tapi ada cahaya kelegaan kecil.

 

CUT TO:


Di luar kamar, bulan purnama tampak dari balik awan, angin malam berhembus pelan.

 

50. INT. RUANG TAMU – PAGI

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Cahaya matahari masuk dari celah jendela. Suasana masih hening, hanya terdengar kicau burung. Bagas duduk di kursi kayu, wajahnya pucat dan mata sembab, jelas tak tidur semalaman.

 

Ibu membawa segelas teh hangat, menaruhnya di meja. Ia memandang Bagas penuh rasa iba.

 

IBU (lembut, tapi tegas):
Bagas… wajahmu pucat. Kau tidak tidur lagi semalam, ya?
 
BAGAS (suara serak, bergetar):
Ibu… paman datang lagi. Dia… dia menjeratku. Aku hampir mati rasanya. Aku baca doa, tapi tetap saja… aku takut, Bu. Aku nggak sanggup begini terus.

 

Ibu duduk di samping Bagas, menggenggam tangannya.

 

IBU (menatap dalam, bijak):
Bagas… kau sudah tahu akar masalahnya, kan? Semua ini karena warisan yang dulu direbut bapakmu. Tanah itu bukan hak kita. Selama tanah itu tidak dikembalikan, arwah pamanmu takkan pernah tenang… dan kau juga tidak akan pernah bebas dari gangguan.

 

Bagas menunduk, air matanya menetes.

 

BAGAS (lirih):
Jadi… aku harus mengembalikannya, Bu? Walaupun bapak dulu mati-matian mempertahankannya?

 

IBU BAGAS (mengelus kepala Bagas, dengan suara bergetar menahan tangis:
Ya, Nak. Hidup ini hanya sementara. Bapakmu mungkin khilaf. Tapi kau masih punya kesempatan untuk memperbaikinya. Kembalikan tanah itu pada keluarga pamanmu. Itulah jalan satu-satunya agar semua ini berakhir, agar arwah bapakmu dan pamanmu sama-sama tenang.

 

CLOSE UP wajah Bagas. Ia mengusap air matanya, lalu menatap ibunya dengan tekad baru.

 

BAGAS (pelan, tapi tegas):
Baik, Bu. Aku akan lakukan. Aku tidak mau terus dihantui dosa masa lalu. Aku akan kembalikan tanah itu, apa pun risikonya.

 

KAMERA PAN – KELUAR RUMAH

Terlihat halaman rumah yang diterpa cahaya matahari pagi. Namun di bawah pohon besar, samar-samar terlihat bayangan hitam berkelebat cepat… seolah mengawasi Bagas dari kejauhan.

 

CUT TO BLACK.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)