Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
41. INT. KAMAR BAGAS – CONTINUOUS
PEMAIN ; BAGAS, ARWAH PAMAN
Bagas mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar.
Sosok itu perlahan menoleh. Wajahnya pucat membusuk, mata kosong berair tanah, mulutnya sobek hingga ke pipi. Dari rongga mulut keluar suara berderak, seperti tanah retak.
Kamera: close-up wajah Bagas yang membeku, air matanya jatuh, bibirnya bergetar.
Arwah melangkah mendekat, tapi langkahnya aneh — seperti menyeret kaki yang berat, meninggalkan jejak lumpur hitam di lantai kamar.
Kamera: medium shot — Bagas merapat ke dinding, tangannya menutup telinga, berusaha menahan suara teror. Namun bisikan itu semakin keras, memenuhi ruangan.
Suara: Bisikan-bisikan banyak suara — terdengar nama Bagas dipanggil berulang, suara tangisan, suara orang mengutuk.
Lampu minyak mendadak berkelip, lalu padam. Ruangan tenggelam dalam gelap total.
CUT TO BLACK.
Suara terakhir: jeritan Bagas bercampur dengan tawa parau arwah pamannya.
42. INT. KAMAR BAGAS – MALAM
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR, ARWAH PAMAN
Lampu kamar berkedip-kedip. Bagas terduduk di tepi ranjang, wajah pucat, tubuh gemetar. Dari jendela terbuka, angin malam masuk membawa bau tanah basah.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu kamar. DUG! DUG! DUG!
Bagas menoleh, napas memburu.
Pintu berderak, perlahan terbuka sendiri. Dari celah gelap, sosok arwah pamannya muncul: tubuh pucat, wajah hancur seperti mayat lama terkubur, tanah menempel di rambut dan mulutnya. Matanya kosong, tapi menyorot marah.
Bagas menjerit, mundur ke pojok kamar.
Seketika lampu padam. Kamar hanya diterangi cahaya bulan dari jendela. Arwah pamannya melayang mendekat, tangannya panjang seperti akar, hendak meraih leher Bagas.
Bagas berteriak histeris.
TIBA-TIBA – suara bacaan doa menggelegar di udara. Suara serak tapi tegas.
Lampu kembali menyala redup. Dari pintu, Pak Bokir muncul membawa kitab kecil dan tasbih, wajahnya penuh ketegasan.
Arwah pamannya meraung keras, suaranya memekakkan telinga. Jendela pecah, angin berputar kencang. Bayangan tubuh arwah terhempas mundur, tubuhnya menguap seperti asap, meninggalkan bau busuk menyengat.
Bagas terduduk, napas terengah-engah, wajah basah oleh keringat dan air mata.
Pak Bokir mendekat, meletakkan tangannya di pundak Bagas.
Kamera menyorot wajah Bagas yang shock, lalu close-up ke kitab di tangan Pak Bokir—halaman terbuka, tinta hitamnya bergetar seolah ada kekuatan gaib.
CUT TO BLACK.
43. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Kabut tebal menyelimuti area pemakaman. Bulan purnama tersembunyi di balik awan hitam, sesekali kilat menyambar. Suara jangkrik terhenti, diganti desiran angin yang membawa bau anyir.
Pak Bokir berdiri di tengah pemakaman, di depan sebuah pusara tua yang retak. Di tangannya, kitab tua terbuka, tasbih melingkar di pergelangan. Lilin-lilin kecil tertancap mengitari makam, bergetar tertiup angin.
Bagas berdiri di belakang, wajah pucat, tubuhnya gemetar.
Tiba-tiba tanah di pusara itu berguncang hebat. Retakan membelah permukaan makam, suara raungan dari dalam tanah memekakkan telinga.
Dari dalam retakan, muncul arwah pamannya: tubuhnya penuh tanah basah, wajahnya hancur dengan mata hitam berongga. Tangan-tangan panjang seperti akar menjulur keluar, berusaha meraih Bagas.
Bagas terjatuh ke tanah, panik. Pak Bokir segera berdiri tegak, mengangkat kitab.
Setiap ayat yang dibaca, angin bertiup kencang, lilin-lilin menyala makin terang, menerangi wajah arwah yang menyeringai kesakitan. Tubuh arwah berasap, berteriak meraung.
Arwah melompat ke arah Pak Bokir, mencakar dengan kuku panjang penuh tanah busuk. Pak Bokir terlempar, hampir mengenai nisan. Kitab hampir terlepas dari tangannya.
Bagas nekat berlari, mengambil kitab, lalu meletakkannya kembali di tangan Pak Bokir.
Pak Bokir bangkit perlahan, wajahnya penuh keringat, namun sorot matanya tegas. Ia mulai membaca doa dengan suara lebih keras, hingga getarannya menggema ke seluruh pemakaman.
Tiba-tiba tanah di sekitar pusara pecah lebih besar, menyedot tubuh arwah pamannya. Arwah berteriak histeris, tangannya berusaha meraih Bagas, tapi terhalang cahaya doa dari kitab yang dibaca Pak Bokir.
Suara terputus. Arwah tersedot kembali ke dalam retakan, yang lalu menutup rapat dengan dentuman keras. Lilin padam bersamaan.
Hening. Hanya terdengar napas berat Bagas dan Pak Bokir.
Pak Bokir menatap pusara itu lama, wajahnya serius.
Kamera menyorot wajah Bagas yang penuh dilema, lalu zoom out: pemakaman gelap, kabut perlahan menutup layar.
FADE OUT.
44. INT. RUMAH BAGAS – RUANG TAMU – MALAM
PEMAIN; BAGAS, IBU BAGAS
Lampu redup menerangi ruangan. Suasana hening, hanya suara detak jam dinding tua yang pelan tapi menusuk. Bagas duduk di kursi kayu, wajahnya letih dan murung setelah kejadian di pemakaman.
Ibunya masuk membawa segelas air hangat. Ia duduk di samping Bagas, menatap anaknya dengan lembut tapi penuh rasa khawatir.
Bagas menunduk, matanya berkaca-kaca.
Ibu tersenyum getir, mengelus rambut Bagas dengan penuh kasih.
Ibu berhenti sejenak, suaranya bergetar.
Bagas menatap ibunya, matanya berkaca-kaca.
Ibu mengangguk, memegang tangan Bagas erat-erat.
Kamera menyorot wajah Bagas yang tersapu cahaya pelita, lalu close-up ke genggaman tangan ibu dan anak yang erat, seolah menjadi simbol ikatan terakhir keluarga.
FADE OUT.
45. EXT. PEMAKAMAN DESA – SIANG
Matahari terik, tapi suasana pemakaman terasa berat dan muram. Para warga desa berkumpul, wajah-wajah mereka tegang. Bagas ikut berdiri di antara para penggali kubur, masih letih setelah kepergian bapaknya.
Di depan, keranda diturunkan perlahan. Jenazah seorang laki-laki paruh baya—warga desa itu—akan dimakamkan.
Pak Bokir ikut menurunkan jenazah ke liang lahat bersama warga. Doa pun mulai dipanjatkan. Semua berjalan normal.
TIBA-TIBA—
Tanah di atas kubur yang baru ditutup berguncang keras. Suara dentuman dari dalam tanah terdengar, seperti ada sesuatu yang menghantam peti. Orang-orang saling menoleh panik.
WARGA 2 (gemetar):
Itu… dari dalam kubur!
Tiba-tiba terdengar suara jeritan mengerikan dari dalam tanah, bukan suara manusia biasa—parau, penuh kesakitan. Suara itu membuat anak-anak kecil menangis, ibu-ibu teriak histeris.
Bagas melangkah mundur, wajahnya pucat, matanya tak lepas dari gundukan tanah yang bergetar seolah menolak tubuh di bawahnya.
BAGAS (lirih, gemetar):
Azab kubur… aku… aku melihatnya dengan mata kepala sendiri…
Beberapa orang desa berusaha menenangkan, tapi ketakutan membuat semua panik. Seorang tetua desa, dengan wajah sedih, akhirnya bicara pada kerumunan.
Hening sesaat. Suara jeritan dari dalam tanah masih samar terdengar, membuat semua orang menunduk ngeri.
Bagas memegang kepalanya, hatinya gemetar, air mata jatuh tanpa sadar.
Kamera menyorot wajah Bagas yang pucat namun penuh tekad baru. Lalu bergerak ke gundukan tanah yang sudah tenang, menyisakan keheningan yang mencekam.
FADE OUT.
46. INT. RUMAH BAGAS – RUANG TAMU – SENJA
PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS
Langit di luar jendela berwarna jingga kemerahan. Suasana rumah sepi, hanya suara ayam berkokok dari kejauhan. Bagas pulang dengan langkah gontai, wajahnya pucat, mata masih merah akibat tangisan di pemakaman tadi.
Ia meletakkan sandal, lalu duduk di kursi dengan tubuh lunglai. Tangannya gemetar, napasnya tak beraturan.
Ibunya keluar dari dapur, melihat keadaan Bagas. Ia duduk di samping anaknya, menatap dengan penuh kasih.
Air mata Bagas jatuh. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
Ibunya menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Bagas erat-erat.
Bagas menatap ibunya, mata berkaca-kaca.
Bagas mengangguk perlahan, suaranya bergetar.
Ibunya tersenyum lirih, meski matanya basah. Ia mengusap kepala Bagas dengan lembut.
Kamera perlahan zoom out, memperlihatkan ibu dan anak itu berpelukan dalam cahaya senja yang temaram, seakan alam pun menjadi saksi.
FADE OUT.
47. EXT. MUSHOLAH DESA – SORE MENJELANG MALAM
PEMAIN ; BAGAS,
Bagas duduk bersila di dalam musholah kecil, mukanya penuh keheningan. Suara adzan maghrib menggema sayup dari surau lain. Bagas terlihat lebih khusyuk, tangannya menengadah, bibirnya bergetar melafalkan doa dengan air mata mengalir.
Ia sujud lama sekali, tubuhnya gemetar antara takut dan pasrah.
CUT TO
48. INT. KAMAR BAGAS – MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Lampu redup. Angin malam masuk lewat jendela. Bagas baru selesai membaca doa sebelum tidur, lalu mematikan lampu, hanya menyisakan cahaya samar dari lampu minyak kecil.
Suasana tenang beberapa saat. Tiba-tiba... KREK...KREK... suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar.
Bagas menahan napas. Ia menarik selimut, keringat dingin menetes di kening.
CLOSE UP — BAYANGAN DI TEMBOK
Sebuah bayangan tinggi dan bengkok muncul di dinding, bergerak pelan mendekat. Bayangan itu bukan milik Bagas. Siluetnya mirip dengan pamannya yang dulu meninggal dengan wajah penuh dendam.
Bayangan itu semakin panjang, lalu seolah menunduk ke arah Bagas. Suara lirih berat terdengar, bukan suara manusia normal:
Tiba-tiba lampu padam dengan sendirinya. Kegelapan menyelimuti kamar. Dalam hitungan detik, Bagas merasa ada tangan dingin yang menyentuh bahunya dari belakang.
Ia menjerit, "ALLAHU AKBAR!!" sambil menoleh cepat. Kamera mengikuti pandangan Bagas—tidak ada siapa-siapa.
Namun di dinding... bayangan pamannya masih berdiri tegak, meski Bagas sendirian di kamar.
CUT TO
49. INT. KAMAR BAGAS – MALAM (GELAP TOTAL)
PEMAIN ; BAGAS
Keringat membasahi wajah Bagas. Nafasnya tersengal. Bayangan pamannya masih terlihat jelas di dinding, semakin besar, semakin gelap.
BAYANGAN PAMAN mulai bergerak liar, seolah mencoba merobek diri keluar dari dinding. Tangan panjang hitam itu meraih ke arah Bagas.
Namun semakin ia membaca, semakin keras pula suara bisikan-bisikan di kamar:
"Kau milikku... ikut aku... darah keluargamu sudah kotor..."
Tiba-tiba—DINDING KAMAR BERGETAR! Bingkai foto keluarga jatuh berantakan. Lampu minyak menyala sendiri dengan api biru pucat.
SUDUT PANDANG BAGAS
Bayangan pamannya kini benar-benar muncul sebagai sosok: wajah hitam pekat, mata merah menyala, mulut sobek lebar. Sosok itu mendekat, menunduk tepat di depan Bagas.
Bagas menjerit keras. Tubuhnya seakan tertarik ke arah ranjang, kasurnya bergetar keras. Ia mencoba meraih sajadah di meja kecil, memeluknya erat.
Seketika itu—suara adzan isya dari musholah terdengar sayup dari kejauhan. Suara itu menusuk keheningan, masuk ke kamar Bagas.
Bayangan itu hancur perlahan, menguap menjadi asap hitam pekat yang menembus jendela dan hilang ke luar.
Bagas jatuh tersungkur di lantai, menangis, tubuhnya bergetar. Ia mencium sajadahnya, lalu sujud lama sekali.
Kamera mengambil CLOSE UP wajah Bagas: penuh air mata, tapi ada cahaya kelegaan kecil.
CUT TO:
Di luar kamar, bulan purnama tampak dari balik awan, angin malam berhembus pelan.
50. INT. RUANG TAMU – PAGI
PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS
Cahaya matahari masuk dari celah jendela. Suasana masih hening, hanya terdengar kicau burung. Bagas duduk di kursi kayu, wajahnya pucat dan mata sembab, jelas tak tidur semalaman.
Ibu membawa segelas teh hangat, menaruhnya di meja. Ia memandang Bagas penuh rasa iba.
Ibu duduk di samping Bagas, menggenggam tangannya.
Bagas menunduk, air matanya menetes.
CLOSE UP wajah Bagas. Ia mengusap air matanya, lalu menatap ibunya dengan tekad baru.
KAMERA PAN – KELUAR RUMAH
Terlihat halaman rumah yang diterpa cahaya matahari pagi. Namun di bawah pohon besar, samar-samar terlihat bayangan hitam berkelebat cepat… seolah mengawasi Bagas dari kejauhan.
CUT TO BLACK.