Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
PENJAGA KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
4. AZAB MEREBUT WARISAN
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

 

31. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR, BAPAK, WARGA

Hujan baru reda. Orang-orang desa datang sebentar, lalu pergi dengan cepat. Tinggal Bagas sendiri, berdiri di samping liang lahat.

 

Pak Bokir hanya melihat dari jauh, wajahnya muram dan takut.

Bagas turun ke liang lahat, menggali lebih dalam. Suara sekop menghantam tanah bercampur dengan desah napas beratnya.

 

CLOSE UP: tanah lembek bercampur air hujan, seperti darah hitam.

 

Bagas bekerja sendiri. Matanya bengkak karena menangis, tapi tangannya terus menggali, semakin dalam.

 

SFX: samar-samar terdengar bisikan.

Mirip suara BAPAKnya:

 

BAPAK (V.O.)
Gas… jangan kuburkan aku… malam ini…

 

Bagas berhenti, keringat bercampur air hujan di wajahnya. Ia menoleh kanan-kiri—tak ada siapa-siapa.

Ia kembali menggali.

 

Namun bisikan makin jelas, seakan berasal dari dalam tanah yang ia gali:

 

BAPAK (V.O.)
Aku… panas… panas sekali, Gas…

 

LOW ANGLE: Bagas berdiri di liang lahat, tanah di sekelilingnya mulai bergetar pelan, seperti kuburan-kuburan lain ikut hidup.

 

Bagas tercekat, tubuhnya gemetar. Ia menatap ke liang yang digali—


tampak cahaya merah samar keluar dari sela tanah basah.

CLOSE UP wajah Bagas: penuh air mata, mulutnya bergetar ketakutan, tapi tak ada lagi orang yang membantunya. Ia harus tetap menguburkan bapaknya… sendirian.


CUT TO

32. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, BAPAK BAGAS, JENAZAH

Langit kelam, petir sesekali menyambar, menerangi pepohonan beringin di tepi kuburan.

 

Bagas menurunkan jenazah BAPAKnya perlahan ke dalam liang lahat. Matanya bengkak karena menangis, tangannya gemetar.

 

BAGAS
(suara bergetar)
Maafkan aku, Pak… aku harus…

 

Ia mulai menimbun tanah. Sekopnya menghantam pelan, suara duk, duk, duk bersahutan dengan desiran angin.

 

SFX: tanah berderak pelan.

Tiba-tiba, tanah yang baru ditimbunnya bergerak kembali, menggeliat seperti hidup.

 

Bagas berhenti. Nafasnya tersengal.

Ia menaruh sekop, lalu meraih tanah dengan tangannya. Saat itu, tanah amblas, seolah ada sesuatu yang mendorong dari bawah.

 

CLOSE UP: kain kafan BAPAKnya muncul kembali ke permukaan, perlahan terangkat keluar.

Bagas mundur, terbelalak.

 

SFX: dari dalam kafan terdengar suara parau:


BAPAK (V.O.)
Aku… tidak diterima… panas… panas sekali, Gas…

 

WIDE SHOT: kain kafan bergerak sendiri, tubuh jenazah terangkat perlahan dari liang lahat. Kepalanya miring, mata terbuka kosong, wajahnya pucat membiru.

Bagas terisak, setengah berlutut di tanah.

 

BAGAS
(putus asa, histeris)
Pak… jangan… jangan gini…

 

Jenazah BAPAKnya terhuyung keluar liang lahat. Kain kafan yang basah tanah meneteskan cairan hitam.

 

CLOSE UP: wajah BAPAK Bagas—

Matanya menatap lurus ke arah Bagas, mulutnya terbuka, mengeluarkan asap hitam pekat.

 

SFX: suara rintihan, jeritan, dan doa terbalik bergema di seluruh pemakaman.

 

Kuburan-kuburan lain ikut bergetar. Dari tanah muncul tangan-tangan jenazah lain, meraih ke udara.

 

Bagas menjerit keras, mundur hingga terjatuh.

 

CAMERA HANDHELD: mengikuti gerakan panik Bagas yang mencoba merangkak menjauh, tapi arwah BAPAKnya perlahan mendekat, kain kafannya terseret tanah, wajahnya makin dekat.

 

BAPAK (suara berlapis, menggema):
Giliranmu… ikut aku…

 

CLOSE UP wajah Bagas: mata melebar, mulut berteriak tanpa suara.


CUT TO BLACK.


33. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; PAK BOKIR

Petir menyambar. Pak Bokir datang terburu-buru sambil menenteng lampu minyak. Nafasnya ngos-ngosan, wajahnya panik.

 

CAMERA TRACKING: mengikuti langkahnya menembus kabut, sepatu botnya menginjak tanah becek.

Ia tiba di makam BAPAK Bagas.

 

WIDE SHOT: tanah kubur tampak rata dan tenang, seolah baru saja selesai dikubur dengan rapi. Tak ada tanda-tanda jenazah menolak dikubur, tak ada Bagas.

 

Pak Bokir menurunkan lampu, menatap bingung. Tangannya gemetar menyentuh tanah yang masih basah.

 

CLOSE UP wajah Pak Bokir: kerutannya tegang, napas pendek, matanya bergetar.

 

PAK BOKIR
(berbisik, takut)
Ya Allah… kenapa bisa rata begini…?

 

SFX: samar-samar terdengar suara erangan dari bawah tanah, lalu sunyi mendadak.

 

Pak Bokir langsung mematikan rokoknya, membaca istighfar, lalu pergi cepat sambil menoleh ke belakang dengan wajah cemas.

 


CUT TO

34. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, BAPAK BAGAS

Bagas duduk di tepi ranjang, tubuh penuh lumpur, wajahnya pucat pasi. Tangannya masih gemetar. Ia menatap lantai dengan pandangan kosong.

 

SFX: suara tetesan air. tik… tik… tik…

Bagas menoleh. Dari atap kamarnya, air menetes—tapi warnanya merah pekat seperti darah.

 

CLOSE UP: tetesan itu jatuh ke lantai, membentuk noda yang melebar.

 

Bagas menelan ludah, lalu mengangkat pandangannya ke cermin besar di sudut kamar.

 

Di dalam cermin, ia tidak melihat dirinya sendiri, melainkan BAPAKnya yang berdiri kaku dengan kain kafan masih melekat, wajahnya pucat dengan mata kosong.

 

BAPAK (dari dalam cermin, suara berat berlapis):
Gas… kenapa kau kubur aku… malam ini…

 

Bagas terlompat ke belakang, menjatuhkan kursi.

 

SFX: pintu kamar berderak pelan, lalu terbuka sendiri. Angin dingin bertiup masuk.

 

LOW ANGLE: di ambang pintu, terlihat bayangan sosok BAPAK Bagas berdiri, kepalanya miring, kain kafan menyeret lantai, meneteskan cairan hitam.

Bagas memeluk dirinya sendiri, tubuh gemetar.

 

BAGAS
(tangis ketakutan)
Pak… jangan… jangan ganggu aku….

 

CLOSE UP wajah arwah BAPAK: mulutnya terbuka, mengeluarkan teriakan panjang bercampur doa terbalik hingga kaca jendela kamar bergetar


Lampu kamar Bagas meledak, membuat ruangan gelap total.

 

CUT TO BLACK


35. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, BAPAK BAGAS

Kamar remang, hanya diterangi lilin kecil. Bagas berusaha tidur, wajahnya pucat, mata sembab.

 

SFX: suara langkah kaki berat dari luar kamar. duk… duk… duk…

Suara itu berhenti tepat di depan pintu.

 

CLOSE UP: gagang pintu bergetar pelan, seperti ada yang mencoba membukanya.

 

Bagas menahan napas, menutup mulutnya dengan tangan.

 

SFX: bisikan parau—suara BAPAKnya.


BAPAK (V.O.)
Gas… buka kan pintunya… bapak kedinginan…

 

LOW ANGLE: pintu terbuka sendiri. Sosok BAPAKnya masuk, kepala miring, wajah hancur membusuk, kain kafannya basah dan menghitam.

 

Bagas berteriak histeris. Lilin padam, kamar gelap total.


CUT TO


36. INT. DAPUR RUMAH BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, BAPAK BAGAS

Bagas berlari ke dapur, mencoba menenangkan diri dengan meminum air.

 

Ia menyalakan lampu minyak.

 

SFX: suara “kletak-kletak” dari sumur belakang rumah.

Bagas melangkah pelan, menatap ke dalam sumur.

 

WIDE SHOT: dari dalam sumur, perlahan muncul wajah BAPAKnya, menatap ke atas dengan mata putih kosong, mulut sobek.

 

SFX: suara berat bergema.


BAPAK (V.O.)
Ikut bapak, Gas… ikut bapak ke dalam…

 

Tangan jenazah menjulur keluar dari sumur, meneteskan lumpur hitam. Bagas jatuh terduduk, membanting lampu minyak, api kecil menyambar lantai.


CUT TO


37. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, BAPAK BAGAS

Bagas sudah kehilangan kendali. Tubuhnya kurus, mata merah karena kurang tidur. Ia duduk di lantai, memeluk lutut, bergumam sendiri.

 

BAGAS
(jemari gemetar)
Pergi, Pak… tolong… jangan datangi aku lagi…

 

SFX: suara napas berat di belakangnya.

 

CLOSE UP: bayangan besar menjulang di dinding—bayangan jenazah BAPAK.

 

Bagas menoleh pelan. Sosok BAPAKnya berdiri tepat di belakangnya, menunduk, wajahnya hampir menempel di telinga Bagas.

 

BAPAK (berbisik pelan, menyeramkan):
Aku… tetap di sini… selamanya…

 

Bagas menjerit panjang. Kamera berputar 360°, menyorot ruangan yang bergetar, jendela terbuka sendiri, angin kencang membawa bau busuk.


CUT TO BLACK.


38. INT. RUANG DEPAN RUMAH — MALAM

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Lampu minyak redup berayun tertiup angin. Suara jangkrik di luar terdengar lebih berat, seperti mengiringi kesedihan.

BAGAS duduk di tikar anyaman, wajahnya pucat dan letih setelah kejadian di kamar Bapaknya. Matanya merah, tidak hanya karena takut, tapi juga karena menahan tangis.

IBU duduk berseberangan. Wajahnya muram, tangannya sibuk meremas kain sarung yang melilit kakinya.

 

Kamera: close-up pada wajah Bagas, tegang, penuh pertanyaan yang menekan dadanya.

 

BAGAS
(suara serak, hampir berbisik)
Ibu… dosa apa sebenarnya yang sudah Bapak lakukan…? Kenapa bumi sampai menolak jasadnya…? Kenapa arwah-arwah itu mengejar dia? Apa yang sebenarnya terjadi…?

 

Hening sejenak. Ibu menunduk, bahunya gemetar. Air mata jatuh ke pangkuannya.

 

IBU
(terputus-putus, lirih)
Gas… bukan hal mudah buat Ibu cerita ini. Tapi kamu harus tahu… kamu harus dengar.

 

Kamera: medium shot — Ibu mengangkat wajahnya, mata berkaca-kaca, menatap Bagas dengan getir.

 

IBU
Dulu… waktu kakekmu meninggal… ada tanah warisan di pinggir desa. Tanah itu seharusnya dibagi rata. Tapi… Bapakmu… dia bertengkar dengan pamanmu. Pertengkaran besar, berbulan-bulan… sampai akhirnya Bapakmu merebut tanah itu untuk dirinya sendiri.

 

Bagas membeku. Nafasnya memburu, seolah setiap kata Ibu menusuk dadanya.

 

BAGAS
(bergetar, terisak)
Jadi… Bapak mengambil hak orang lain…?

 

Ibu mengangguk perlahan, wajahnya dipenuhi penyesalan.

 

IBU
Tanah itu jadi sumber dendam. Pamanmu meninggal dengan sakit hati… sampai sekarang keluarganya tak pernah mau bicara dengan kita. Dan kata orang-orang tua… tanah yang direbut dengan cara kotor… tidak akan pernah tenang… sampai pemiliknya mempertanggung jawabkan di hadapan bumi.

 

Kamera: close-up pada wajah Bagas — matanya berkaca-kaca, tangan mengepal, tubuhnya gemetar.

 

BAGAS
(berbisik, hancur)
Jadi… itu sebabnya Bapak dihantui… dan… mendapat azab kubur itu?

 

Ibu menunduk, menangis tanpa suara.

 

IBU
(suara pecah)
Ya, Nak… itulah dosa besar Bapakmu. Dia sudah menyesal… tapi penyesalan datang terlambat. Sekarang arwah yang tak tenang itu menuntut… menuntut keadilan.

 

Kamera: wide shot — Bagas duduk terpaku di tikar, Ibu menangis lirih, sementara dari luar rumah terdengar sayup-sayup suara angin yang membawa bisikan: samar-samar terdengar seperti suara lelaki tua memanggil nama Bagas.

 

FADE OUT.


39. INT. KAMAR BAGAS – TENGAH MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Kamar kecil itu diterangi lampu redup. Tirai jendela bergoyang pelan, angin malam berdesir masuk membawa dingin yang menusuk tulang.

 

BAGAS terbaring gelisah di ranjang, matanya terbuka lebar. Suara IBU yang menangis masih terngiang di telinganya. Ia menatap langit-langit, wajahnya pucat penuh rasa bersalah bercampur takut.

 

Kamera: close-up pada mata Bagas — lelah, berkaca-kaca, tapi tak bisa terpejam.

 

Tiba-tiba, suara ketukan kayu terdengar samar dari luar jendela. Tok… tok… tok… Suara itu berirama pelan, seperti seseorang mengetuk tanah dengan tongkat.

 

Bagas langsung terduduk. Dadanya naik-turun, napasnya memburu.

 

BAGAS
(berbisik, pada dirinya sendiri)
Siapa… siapa di luar…?

 

Kamera: tracking shot mengikuti Bagas yang perlahan mendekati jendela. Tangannya gemetar saat menyibak tirai.


CUT TO

 

40. EXT. HALAMAN RUMAH – CONTINUOUS

PEMAIN ; BAGAS, LELAKI TUA

Kabut tebal menutupi halaman. Di antara kabut, samar terlihat sosok lelaki tua berdiri memunggungi jendela Bagas. Tubuhnya kurus, membungkuk, mengenakan baju lurik compang-camping penuh tanah.

 

Suara: hembusan napas berat, bercampur dengan bisikan nama Bagas.

 

SOSOK (ARWAH PAMAN)
(suara parau, bergema)
...Bagaaas…
 


CUT TO


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)