Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
11. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Kabut tipis turun, bulan separuh tertutup awan. Suasana pekuburan terasa lebih dingin dari biasanya. Suara serangga malam tiba-tiba senyap, menyisakan hanya desir angin yang meliuk di antara nisan.
BAGAS berjalan pelan, wajah pucat, langkahnya ragu. Ia membawa senter tua yang cahayanya berkedip-kedip, semakin membuat suasana tegang.
Di kejauhan, samar-samar terdengar suara tanah digali. Cek... cek... cek...
Bagas menoleh panik.
SFX: suara sekop menghantam tanah, berat dan berulang.
Bagas mengikuti suara itu. Semakin dekat, napasnya semakin memburu.
CUT TO
12. EXT. UJUNG PEMAKAMAN – MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Ia berhenti. Senter diarahkan. Terlihat sosok punggung lelaki sedang mengayunkan sekop, tanah berhamburan.
Sosok itu berhenti. Perlahan berbalik.
Ternyata bukan Pak Bokir, melainkan sesosok mayat berwajah pucat dengan mata kosong, mengenakan kain kafan yang sudah penuh tanah basah. Tangannya menggenggam sekop.
CLOSE UP: tanah menetes dari ujung sekop, suara tetesan seolah denting di telinga Bagas.
Bagas mundur, tubuhnya gemetar.
Tiba-tiba, di belakang Bagas muncul bayangan-bayangan jenazah lain yang pernah ia kuburkan bersama Pak Bokir. Mereka berdiri diam, tubuh kaku, mata kosong, seperti menatap langsung ke arah Bagas.
Senter jatuh ke tanah. Gelap total.
SFX: bisikan-bisikan samar, seperti suara doa yang terbalik, memenuhi udara.
Dari kegelapan, terdengar suara langkah berat mendekat.
Bagas terjatuh, merangkak, berusaha lari.
Tiba-tiba tangan jenazah menyentuh pundaknya. Bagas menoleh cepat—
CUT TO BLACK.
13. EXT. PEMAKAMAN – MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Cahaya bulan temaram menembus awan. Kabut makin tebal, membuat setiap nisan tampak samar dan bergerak-gerak seperti bayangan hidup.
BAGAS merangkak di tanah, wajah penuh keringat dingin bercampur tanah. Ia berusaha bangun, tapi kakinya terasa berat.
LOW ANGLE: terlihat ada tangan jenazah mencengkeram pergelangan kakinya. Kuku panjang hitam, tanah menetes dari sela jarinya.
Ia menendang, tapi tangan itu semakin kuat. Dari kegelapan muncul lebih banyak tangan—satu demi satu keluar dari tanah, seolah seluruh kuburan hidup kembali.
WIDE SHOT: Bagas kini dikepung puluhan tangan yang meraih tubuhnya, menahan, mencengkeram bajunya, menyeretnya perlahan ke tanah.
SFX: suara tanah berderak, seperti lubang kubur baru saja digali.
Bagas menoleh ke kanan—sebuah liang lahat terbuka sendiri, tanahnya amblas ke dalam. Bau busuk menusuk hidung.
Tiba-tiba, dari dalam liang itu muncul kepala jenazah dengan mulut sobek, matanya menatap Bagas.
CLOSE UP: mulut jenazah bergerak, berbisik dengan suara berat dan berlapis:
Bagas menjerit, mencoba meraih senter yang jatuh. Cahayanya berkedip-kedip, menyorot wajah jenazah yang semakin dekat.
TRACKING SHOT: Bagas ditarik perlahan menuju liang lahat terbuka, tubuhnya setengah masuk tanah. Ia mengais tanah dengan panik, kukunya patah, darah di jari bercampur lumpur.
Tapi suara Bagas hanya bergema. Tak ada yang datang. Hanya bisikan-bisikan doa terbalik yang semakin keras, menyayat telinga.
CLOSE UP: air mata Bagas bercampur tanah, wajahnya putus asa.
Tiba-tiba, semua suara berhenti. Sunyi.
Tangannya terlepas.
Bagas terengah-engah, tubuh penuh lumpur. Ia menoleh—
Kuburan yang terbuka tadi sudah kembali tertutup rapat, seolah tak pernah ada.
Namun, ketika Bagas menoleh ke sekeliling, semua jenazah berdiri mengitari dirinya, kaku dan menatap lurus ke arahnya.
SLOW ZOOM IN ke wajah Bagas: matanya melebar, napas memburu, terjebak, tak ada jalan keluar. Bagas berlari pulang ke rumah.
CUT TO BLACK.
14. EXT. HALAMAN RUMAH PAK BOKIR – PAGI HARI
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Matahari sudah naik, tapi sinarnya tertutup kabut tipis yang menggantung di desa. Ayam berkokok, suara sendok beradu dengan piring dari dapur rumah Pak Bokir terdengar samar.
BAGAS, wajah pucat, mata cekung, duduk di kursi kayu reyot di beranda. Bajunya kusut, keringat dingin masih membekas di pelipis. Tangannya gemetar, sesekali mengusap lehernya sendiri — bekas kuku tanah dari sosok mayat semalam masih samar di kulitnya.
Kamera: close-up pada jemari Bagas yang bergetar saat ia mencoba menyalakan rokok, api korek padam tertiup angin.
PAK BOKIR muncul dari dalam rumah, membawa segelas kopi hitam panas. Wajahnya tenang tapi penuh curiga, seolah tahu sesuatu. Ia meletakkan kopi di meja kecil depan Bagas.
Kamera: flash cut singkat ke adegan malam sebelumnya — tangan mayat menarik kaki Bagas, wajah mayat membusuk dengan mata merah menyala. Suara jeritan Bagas menggema.
Kembali ke pagi: Bagas langsung berdiri, hampir menumpahkan kopi.
Pak Bokir menghela napas panjang. Ia duduk di kursi sebelah Bagas, memandang ke arah pemakaman yang terlihat samar dari balik pepohonan.
Bagas menelan ludah. Wajahnya tambah pucat. Suara jangkrik pagi yang biasanya ramai, tiba-tiba terasa redup.
Kamera: close-up pada tatapan Bagas — linglung, tak percaya, setetes keringat jatuh dari pelipisnya.
Pak Bokir menepuk bahu Bagas, tatapannya dingin tapi tegas.
Kamera: wide shot — Bagas berdiri di beranda, tubuhnya goyah. Kabut pagi semakin tebal, menelan sebagian pemakaman di kejauhan. Suara angin bertiup, membawa bisikan samar seperti suara dari liang lahat.
CUT TO BLACK.
15. EXT.PEMAKAMAN DESA-MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Suasana gelap pekat. Angin malam bertiup dingin. Bulan pucat menggantung di langit, sesekali tertutup awan. Bagas berjalan cepat melewati pemakaman, membawa senter kecil yang goyah. Nafasnya berat, wajahnya masih diliputi kesal.
Senter bergetar di tangannya. Ia menendang gundukan tanah makam baru yang masih basah.
Hening.
Tiba-tiba tanah gundukan itu bergerak. Seperti ada sesuatu yang berusaha keluar. Bagas tertegun, wajahnya pucat.
KRAAAKKK!
Tanah makam merekah. Tangan pucat membusuk keluar dari dalam kubur, mencakar udara.
Senter terjatuh, sinarnya menyorot mayat yang merangkak keluar: kain kafan kotor penuh tanah, wajahnya remuk tapi matanya terbuka lebar—menatap lurus ke Bagas.
Bagas panik, berlari kencang di antara nisan-nisan. Nafasnya terengah, ranting dan rumput liar menampar wajahnya. Tapi dari belakang terdengar suara seret—SREK… SREK… SREK…—mayat itu mengejar, melompat-lompat kaku tapi semakin dekat.
Bagas menoleh sebentar—dan tepat saat itu kain kafan mayat melilit pergelangan kakinya.
Ia jatuh tersungkur, wajahnya nyaris membentur nisan berlumut. Mayat itu menarik kakinya ke arah makam. Bagas meronta, menendang dengan sekuat tenaga. Tanah basah menempel di wajahnya, teriakan bercampur tangis.
Kamera menyorot wajah mayat yang makin dekat, mulutnya koyak sambil berbisik—
Adegan berhenti di teriakan Bagas yang ditarik ke dalam kegelapan, senter terlempar dan padam.
CUT TO
16. EXT.PEMAKAMAN DESA-MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Bagas jatuh tersungkur, wajahnya penuh tanah dan lumpur. Nafasnya terengah, tangannya gemetar berusaha meraih nisan untuk bangkit. Tapi kain kafan mayat itu sudah melilit kakinya semakin kencang, seperti ular hidup.
Ia menendang, meronta, kukunya patah saat mencoba mencakar tanah. Darah keluar dari jemarinya. Tapi tarikan itu semakin kuat—ia terseret perlahan menuju liang kubur yang tadi merekah.
KAMERA CLOSE UP: wajah mayat penuh tanah, matanya putih melotot, mulut robek hingga ke pipi, menggumamkan kutukan yang sama sekali tak bisa dipahami.
Suara teriakannya menggema di pemakaman, namun tak ada satu pun yang mendengar.
Mayat itu tiba-tiba menarik tubuh Bagas dengan hentakan keras. Badannya terseret, bajunya robek, kulitnya tergores nisan-nisan tajam. Bagas mencoba mencengkeram akar pohon besar di dekat makam—tapi tangannya penuh darah dan licin, ia tak mampu bertahan.
KAMERA WIDE: Bagas diseret masuk ke liang makam yang terbuka lebar, kakinya menendang liar, teriakannya makin parau.
Dalam sekejap, tubuhnya lenyap ditelan tanah. Liang kubur itu kembali menutup rapat, seolah tak pernah terbuka.
Keheningan.
Senter Bagas yang terlempar tadi menyala redup di tanah. Cahayanya menyorot nisan baru dengan ukiran nama orang yang dikubur kemarin. Tapi perlahan—tulisan di nisan itu berubah sendiri.
Kini tertulis nama: BAGAS.
Senter padam. Layar hitam.
CUT TO
17. INT. DALAM KUBUR – MALAM
PEMAIN : BAGAS
Gelap total.
Suara tanah runtuh menindih Bagas yang terkubur hidup-hidup. Ia berteriak, tubuhnya meronta, tapi semakin lama nafasnya terputus.
Tiba-tiba... hening.
Mata Bagas terbuka. Ia sudah tak bernyawa, tapi kesadarannya masih ada. Ia melihat tubuhnya sendiri terbaring membiru, kain kafan kotor melekat erat.
Suara gemuruh datang dari bawah tanah.
Tanah bergetar. Dua sosok hitam tinggi, bermuka mengerikan, bermata api—Munkar dan Nakir—muncul dari dinding tanah.
Mereka menatap Bagas dengan wajah murka.
Bagas ketakutan, lidahnya kelu.
Ia mencoba menjawab, tapi suaranya tercekik.
Tiba-tiba tubuhnya diseret ke dalam kegelapan lebih dalam. Tanah berubah jadi lorong kubur berapi, penuh suara jeritan dari arwah lain.
Bagas melihat mayat-mayat lain disiksa: ada yang kepalanya dihantam batu, ada yang tubuhnya dibakar api, ada pula yang dimakan cacing raksasa.
Seekor ular hitam sebesar pohon muncul dari tanah, melilit tubuh Bagas. Taringnya menancap, darah bercucuran. Bagas berteriak, tapi tidak mati—siksanya berulang.
Dari kejauhan, muncul sosok mayat yang dulu pernah ia sumpahi. Wajahnya busuk, matanya putih kosong. Mayat itu berjalan tertatih mendekati Bagas.
Bagas menangis, tubuhnya penuh luka.
Tangannya meraih tanah, tapi semakin ia berusaha keluar, semakin dalam ia ditarik masuk ke dalam kegelapan kubur.
CUT TO BLACK.
Hanya tersisa suara jeritan Bagas yang menggema panjang.
18. EXT. TPU – MALAM
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Angin malam bertiup kencang. Bulan tertutup awan. Di kejauhan, Pak Bokir—penjaga makam tua—berjalan tergesa membawa lampu petromaks. Matanya waspada, seolah ada bisikan gaib yang menuntunnya.
Ia berhenti di sebuah gundukan tanah baru.
Dari dalam tanah samar terdengar suara teriakan lirih:
Pak Bokir tercekat. Wajahnya pucat, tapi ia cepat-cepat menancapkan cangkul.
Ia menggali dengan tenaga sisa. Tanah berhamburan. Napasnya terengah, keringat bercucuran.
Suara Bagas makin jelas. Teriakan bercampur tangisan membuat bulu kuduk berdiri.
CUT TO
19. INT. DALAM KUBUR – CONTINUOUS
PEMAIN ; BAGAS
Bagas setengah sadar, tanah menindih dadanya. Matanya melotot, wajah penuh tanah dan darah. Ia meronta lemah, mencoba bernapas.
CUT TO
20. EXT. TPU – MALAM
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Pak Bokir menggali makin cepat. Tangannya luka, tapi tak peduli. Sampai akhirnya cangkulnya membentur kain kafan.
Dengan tangan gemetar, ia merobek tanah terakhir. Bagas terlihat—masih hidup!
Pak Bokir langsung menarik tubuh Bagas keluar. Bagas terbatuk-batuk hebat, tanah keluar dari mulutnya.
Namun tiba-tiba... angin berhembus kencang, suara jeritan gaib menggema dari liang kubur. Dari lubang itu terlihat bayangan hitam menggapai, mencoba menarik Bagas kembali.
Pak Bokir panik, tapi ia berteriak keras sambil merapal doa.
Ia memeluk Bagas erat, menyeretnya menjauh dari lubang. Lubang kubur bergetar, tanah runtuh menutup kembali, seolah menelan kegelapan itu.
Bagas pingsan dalam dekapan Pak Bokir. Tubuhnya dingin, matanya masih ketakutan meski tertutup.
Pak Bokir menatap ke langit, wajahnya muram.
FADE OUT.