Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
PENJAGA KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
6. KELUARGA PAMAN
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

 

51. EXT. RUMAH KELUARGA PAMAN – SIANG

PEMAIN ; BAGAS, ISTRI PAMAN, ANAK PAMAN

Langit mendung. Suasana terasa berat. Bagas berjalan sendirian menuju rumah keluarga pamannya, membawa map berisi surat tanah. Langkahnya gontai, namun penuh tekad.

 

Rumah tua itu terlihat sederhana, dengan cat terkelupas dan halaman berdebu. Di depan rumah, istri paman duduk di kursi bambu, wajahnya keras dan penuh luka batin. Anak-anak pamannya berdiri di belakangnya, memandang Bagas dengan dingin.

 

BAGAS (berhenti, menunduk dalam, lalu bicara lirih:
Assalamualaikum…

 

ISTRI PAMAN (ketus, menahan emosi):
Wa’alaikumsalam. Ada apa lagi kau kemari, Gas? Apa kau belum puas mengambil yang bukan hakmu?
 
BAGAS (menelan ludah, lalu membuka map, mengangkatnya dengan kedua tangan:)
Saya… saya datang bukan untuk mengambil, Bulik. Saya datang untuk mengembalikan. Tanah yang dulu direbut bapak saya… seharusnya milik keluarga paman. Saya… saya minta maaf atas semua dosa yang sudah terjadi.

 

CLOSE UP – wajah istri paman. Air matanya menetes, walau wajahnya masih tegang.

 

ANAK PAMANNYA (marah):
Kenapa baru sekarang?! Setelah bapak kami mati, setelah kami menderita bertahun-tahun!
 
BAGAS (terisak, menunduk):
Saya tahu, saya salah karena diam selama ini. Tapi saya tak mau lagi hidup dalam dosa bapak saya. Tolong… terimalah tanah ini kembali. Semoga arwah paman tenang, dan keluarga kita tidak lagi terpecah.

 

SUNYI. Angin mendesir lewat halaman, membuat dedaunan kering beterbangan. Kamera menyorot wajah-wajah keluarga yang masih penuh luka.

 

Istri Paman akhirnya maju, mengambil map itu dengan tangan gemetar. Ia memandang Bagas, matanya berkaca-kaca.

 

ISTRI PAMAN (lirih):
Kalau benar kau ikhlas mengembalikannya… mudah-mudahan Allah ampuni dosa bapakmu. Mudah-mudahan arwah suami saya pun bisa tenang.

 

Bagas mengangguk, menitikkan air mata. Ia langsung sujud di tanah halaman, di depan keluarga pamannya.

 

 

BAGAS (suara bergetar):
Saya mohon… maafkan bapak saya… maafkan saya…

 

KAMERA CRANE UP – memperlihatkan suasana dramatis: Bagas bersujud di tanah, keluarga paman berdiri dengan perasaan campur aduk, dan langit mendung menggantung berat di atas mereka.


CUT TO:


Tiba-tiba suara gemuruh petir menggema dari langit, seolah alam merespons.

 

52. EXT. DESA – MALAM

Langit hitam, sunyi. Kabut tipis menutupi jalan setapak menuju rumah Bagas. Angin berhembus kencang, membawa suara samar tangisan dan bisikan yang entah dari mana.


CUT TO


53. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Bagas duduk di sajadah, lampu minyak menyala redup. Ia baru selesai sholat dan menengadahkan tangan berdoa. Wajahnya tampak lebih tenang setelah menyerahkan tanah warisan siang tadi.

 

BAGAS (lirih):
Ya Allah… semoga arwah bapak dan pamanku Engkau terima. Semoga dosa mereka Kau ampuni.

 

TIBA-TIBA—LAMPU MINYAK BERGETAR, API MERAH BERKEDIP. Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar. Suara itu semakin mendekat, lalu berhenti tepat di depan pintu.

 

PINTU BERDERIT TERBUKA SENDIRI.

Kabut hitam merembes masuk. Dari balik kabut, terlihat dua sosok arwah: bapaknya Bagas dan pamannya.

·        Arwah Bapak: wajah pucat, mata cekung, tubuh compang-camping.

·        Arwah Paman: mata merah, wajah hitam pekat, tapi kini ekspresinya tidak seganas sebelumnya.

 

Bagas terpaku. Tangannya gemetar.

 

BAGAS (suara pecah):
Bapak… Paman… aku sudah kembalikan tanah itu. Bukankah sekarang kalian sudah tenang?

ARWAH BAPAK (suara bergaung, serak):
Anakku… dosaku berat… aku rebut hak saudaraku, aku butakan hatiku oleh dunia…
 
ARWAH PAMAN (menyeringai getir):
Dan aku… mati membawa dendam. Aku ingin menjerat keluargamu, tapi sekarang… tanah itu sudah kembali.

 

TIBA-TIBA—ANGIN KENCANG MEROBEK KAMAR. Foto-foto beterbangan, sajadah terangkat. Bagas terhempas ke dinding.

 

Arwah Bapak dan Paman saling menatap— wajah mereka berubah mencekam, lalu tubuh mereka bergetar keras. Seperti ada sesuatu yang menarik mereka ke dalam kegelapan di bawah lantai.

 

BAGAS ( menjerit, berusaha mendekat)
Bapaaaak!! Pamaaan!!
 
ARWAH BAPAK (menjerit, wajah penuh penyesalan):
Doakan aku, Gas!! Jangan hentikan doa!!!

 

KAMERA CLOSE UP wajah Bagas menangis, tangannya terulur, tapi tak bisa menyentuh.

 

TIBA-TIBA—LANTAI TERBELAH. Dari celah lantai, muncul cahaya merah menyala disertai jeritan arwah. Kedua sosok itu tersedot ke dalamnya, lenyap dalam sekejap.

 

SUNYI. Angin berhenti. Lampu minyak kembali menyala normal.

Bagas terisak, tersungkur di lantai, bersujud lama sekali.

 
BAGAS (lirih, penuh ketakutan):
Ya Allah… jangan biarkan aku bernasib sama… tuntun aku di jalan-Mu…

 

CUT TO


54. EXT. HALAMAN RUMAH – MALAM

PEMAIN : BAGAS

Kamera menyorot dari luar rumah: jendela kamar Bagas tampak redup. Tapi dari balik kaca, samar terlihat bayangan hitam besar masih berdiri memandang Bagas… seolah belum semuanya berakhir.


CUT TO BLACK.


TEXT ON SCREEN:

"Hidup di dunia hanyalah sementara. Setiap dosa akan diminta pertanggungjawabannya."

 

55. EXT. PEMAKAMAN DESA – SORE

PEMAIN ; BAGAS

Langit mendung, warna oranye keabu-abuan. Kamera perlahan menyapu deretan nisan. Angin bertiup pelan, dedaunan berguguran.

 

Di tengah area pemakaman, Bagas duduk sendirian di samping makam bapaknya. Wajahnya pucat, tapi matanya penuh tekad. Ia menaburkan bunga, lalu menutup mata, berdoa dengan khusyuk.

 

BAGAS (lirih):
Semoga Allah ampuni dosa bapak, semoga bapak tenang di sana. Aku akan terus mendoakanmu.

 

KAMERA PELAN – CLOSE UP wajah Bagas.

Air matanya jatuh, lalu ia mengusapnya dengan tangan, mencoba tegar.

 

TIBA-TIBA—SUARA GEMURUH HALUS.

Angin bertiup lebih kencang. Salah satu nisan di belakang Bagas retak sedikit, tanahnya bergerak, lalu berhenti.

Bagas menoleh, matanya membesar. Nafasnya tercekat. Namun ia segera menunduk kembali, melanjutkan doa dengan suara bergetar

 

BAGAS (lebih keras, penuh ketakutan dan harap):

Ya Allah, lindungi aku dan keluargaku… jangan biarkan aku ikut dalam azab yang pedih…

 

KAMERA CRANE UP — memperlihatkan Bagas kecil di tengah pemakaman luas yang diselimuti kabut.

Di kejauhan, samar-samar terlihat bayangan hitam tinggi berdiri di balik pohon beringin, menatap Bagas tanpa bergerak.


CUT TO BLACK.

TEXT ON SCREEN:

"Setiap tanah akan memanggil pemiliknya. Setiap dosa akan menagih bayarnya."

 

FADE OUT


56. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, ARWAH PAMAN

Hujan deras turun di luar. Petir menyambar, cahayanya menerobos masuk lewat celah jendela. Bagas terbangun dari tidur, wajahnya pucat, napas terengah. Ia merasa ada sesuatu di dalam kamar.

SUARA BERGAUNG, BERBISIK:

Kau sudah bersumpah... tapi kau belum lunas...

Bagas memandang sekeliling. Dinding kamar tampak basah, seperti mengeluarkan cairan hitam. Foto keluarga di dinding tiba-tiba retak, wajah pamannya di foto berubah menjadi senyuman mengerikan.

CLOSE UP – Bagas.

Keringatnya menetes deras. Ia memegang sajadah, tubuh gemetar.


BAGAS (berbisik, ketakutan):
Tidak... aku sudah kembalikan tanah itu... kau harusnya tenang...


TIBA-TIBA—SOSOK ARWAH PAMAN MUNCUL DI BELAKANGNYA.

Kepala miring, mata merah menyala, wajah penuh nanah. Suaranya berat, terputus-putus.


ARWAH PAMAN:
Tenang? Kau sendiri... yang sumpahi aku dulu... agar aku tak pernah tenang... sampai akhirat!
Bagas terpaku. Ingatan kilas balik muncul: saat pemakaman pamannya dulu, Bagas remaja yang marah sempat mengucap sumpah lirih, penuh benci:
"Biar kau tak pernah diterima bumi... biar arwahmu gentayangan selamanya!"


KEMBALI KE SAAT INI.

Bagas terisak, menutup telinga.


BAGAS (menjerit):
Aku menyesal! Aku cabut sumpah itu!! Aku cabut!!!

 

ARWAH PAMAN mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Bagas. Nafasnya busuk, suaranya menggeram:

Keterlambatanmu... sudah jadi pintu bagiku... untuk terus menagih jiwa...

TIBA-TIBA—LAMPU MINYAK PADAM. Gelap total. Hanya terdengar jeritan Bagas menggema.

KAMERA CRANE OUT – EXT. RUMAH MALAM ITU.

Hujan terus mengguyur. Dari luar jendela kamar Bagas, terlihat bayangan dua sosok: Bagas yang meronta, dan sosok tinggi gelap yang menjeratnya.


CUT TO BLACK.

TEXT ON SCREEN:

"Sumpah manusia bisa menjadi belenggu bagi arwah... dan bagi dirinya sendiri."


57. INT. RUMAH BAGAS – PAGI

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Cahaya matahari menerobos tirai tipis. Suasana rumah sepi, tapi ada hawa dingin yang ganjil. Burung tidak berkicau seperti biasanya.

Ibu berjalan pelan ke kamar Bagas sambil membawa nampan berisi sarapan. Wajahnya tampak letih, matanya sembab karena semalam ia juga sulit tidur.


IBU (lembut, mengetuk pintu):
Gas… bangun, Nak. Sarapan dulu, ya…


Tak ada jawaban.

Ibu membuka pintu perlahan.

CUT TO


58. INT. KAMAR BAGAS – PAGI

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Kamar berantakan: sajadah tergeletak di lantai, foto keluarga pecah, dan dinding penuh bekas goresan seolah dicakar. Tirai jendela sobek separuh.

CLOSE UP – Bagas.

Ia duduk di sudut kamar, tubuhnya menggigil, wajah pucat pasi, matanya merah seperti habis menangis semalaman.

Ibu terkejut, nampan jatuh, makanan berserakan.


IBU (terbata, panik):
Ya Allah, Bagas! Kenapa kamu, Nak?

BAGAS (menoleh perlahan, suaranya serak dan lemah)
Ibu… dia datang lagi. Paman… dia bilang aku yang mengikatnya dengan sumpahku sendiri. Aku… aku tidak bisa lepas, Bu…


Ibu memeluk Bagas erat.

Wajahnya tegang, tapi ia mencoba menenangkan dengan suara lembut.


IBU (lirih, hampir menangis):
Kuatkan hatimu, Nak. Tidak ada sumpah, tidak ada arwah, yang lebih kuat dari Allah. Jangan berhenti berdoa. Kita harus minta tolong pada orang yang paham, biar semua ini bisa lepas.


Bagas terisak dalam pelukan ibunya. Kamera mengambil CLOSE UP wajah Bagas: matanya kosong, tapi ada keteguhan yang mulai tumbuh.


CUT TO:


Di luar kamar, bayangan hitam samar masih tampak bergerak di dinding lorong, seolah menunggu waktu berikutnya untuk kembali.


FADE OUT.


59. EXT. HALAMAN RUMAH BAGAS – SIANG

PEMAIN ; PAK BOKIR

Langit mendung. Angin bertiup kencang, dedaunan beterbangan. Seekor ayam tiba-tiba berkokok nyaring padahal bukan waktunya. Tanda ada yang ganjil.

Pak Bokir berjalan perlahan memasuki halaman, membawa tas kain berisi kitab tua, botol air, dan kemenyan. Wajahnya serius, matanya menatap lurus ke rumah Bagas.


CUT TO:


60. INT. RUMAH BAGAS – SIANG

PEMAIN ; IBU BAGAS, PAK BOKIR

Ibu duduk di ruang tamu, wajahnya cemas. Bagas masih di kamar, tubuhnya lemah. Saat pintu rumah diketuk, Ibu cepat berdiri membukanya.

Pak Bokir berdiri di ambang pintu.


PAK BOKIR (tenang, dalam):
Assalamualaikum… aku dengar, gangguan itu belum berhenti.

IBU (terburu, menahan tangis):
Wa’alaikum salam, Pak Bokir. Betul… malah semakin parah. Bagas makin lemah. Saya takut sesuatu yang buruk terjadi.


Pak Bokir masuk, menurunkan tas kain. Ia menatap sekitar, menghirup dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.


PAK BOKIR (lirih):
Bau tanah ini… bau dendam. Ini bukan gangguan biasa. Bagas pernah bersumpah pada pamannya yang mati. Sumpah itulah yang mengikat arwahnya. Kita harus membebaskan ikatan itu, kalau tidak… jiwa Bagas bisa terseret bersamanya.


Ibu menutup mulut, menahan isak.


CUT TO:


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)