Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
PENJAGA KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
1. MAYAT
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

OPENING

BLACK SCREEN

Hanya terdengar suara napas berat dan jeritan samar, seolah datang dari bawah tanah.

 

FADE IN:

 

01. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; PAK BOKIR (60-AN)

Hujan rintik. Angin menderu pelan. Daun-daun pisang di tepi pemakaman bergoyang seperti bayangan makhluk.

 

TRACKING SHOT mengikuti langkah Pak Bokir, wajah keras, tubuh ringkih, memikul cangkul dan lampu minyak. Cahaya kuning temaram membuat kabut tipis di pemakaman tampak lebih pekat.

Ia berjalan melewati nisan-nisan. Kamera bergerak LOW ANGLE, memperlihatkan bayangan Pak Bokir yang panjang, bergetar tak wajar di atas batu nisan.

 

SFX: suara tanah retak.

Pak Bokir berhenti. Menoleh.

 

CLOSE UP: sebuah gundukan tanah yang baru dikubur bergejolak pelan, seperti ada sesuatu yang berusaha keluar.

 

SFX: dari dalam tanah terdengar teriakan parau—jeritan panjang kesakitan bercampur tangis.

 

PAK BOKIR
(berbisik, ketakutan)
Astaghfirullah…

 

Ia mundur beberapa langkah.

Tiba-tiba, tanah meletup kecil. Uap hitam pekat menyembur, berbau busuk, dan terdengar suara tulang berderak.

 

CAMERA PAN: ke kanan. Gundukan kubur lain juga bergerak. Satu lagi. Dua lagi. Hingga seisi pemakaman tampak berdenyut, seolah ada ratusan tubuh meronta dari bawah.

 

WIDE SHOT: Pak Bokir kini dikelilingi kuburan yang hidup, dengan suara-suara jeritan, tangisan, dan bisikan doa yang terdengar terbalik.

 

CLOSE UP ke wajah Pak Bokir: matanya membelalak, tubuhnya gemetar hebat.

Tiba-tiba, tanah di depannya terbelah, menganga seperti mulut raksasa. Dari dalamnya muncul tangan jenazah hangus terbakar, kuku panjang meneteskan darah, meraih ke udara.

 

SFX: jeritan ngeri bercampur suara api menyala.

Pak Bokir jatuh tersungkur. Lampu minyaknya pecah, nyala api kecil menari di tanah becek.

 

Dalam cahaya api, terlihat jelas sosok jenazah hangus, tubuhnya penuh luka terbuka, wajahnya meleleh. Matanya kosong, namun dari mulutnya keluar suara berat menggema:

 

JENAZAH HANGUS
(berlapis, menakutkan)
Kami… tidak diterima… bumi menolak kami…

 

CUT TO BLACK.

 

02. INT. LORONG PEMAKAMAN — MALAM

PEMAIN ; PAK BOKIR, MAYAT

Lampu remang dari lentera minyak tergantung berderit di angin. Kabut tipis merayap di antara batu nisan yang tak rapi — beberapa terbalik, beberapa ditumbuhi lumut. Suara jangkrik tertahan, seperti ada yang menahan napas.

 

Pak Bokir, berjubah hitam lusuh, berwajah keriput namun matanya masih tajam — orang yang hidup di antara bayang. Ia berjalan pelan, tongkat kayunya mengetuk batu bata yang retak. Wajahnya teduh, tapi langkahnya mengandung beban ritual.

 

Suara: bisikan kecil, seperti bisikan dari tanah.

 

PAK BOKIR
(berbisik, tanpa melihat)
Sudah kubilang — kuburan mana pun tak boleh ditinggalkan sendiri.

 

Ia berhenti di depan sebuah lubang segar, gundukan tanah yang belum rata — ada kain kafan sobek tersisa. Lentera di tangannya bergoyang, cahaya menari-nari.

 

Kamera: steady, mendekat dari belakang bahu Pak Bokir, memperlihatkan bayangannya memanjang di tanah.

 

DARI BAWAH — tanah di sisi gundukan bergetar halus. Suara seperti kerikil yang digesekkan.

Pak Bokir mencondongkan tubuh, meraba dengan jari yang kaku ke arah tanah. Ia mengeluarkan segumpal kapur putih dari jubahnya dan menggores lingkaran kecil di tanah. Lalu, ia memulai sebuah doa pendek — bukan doa yang hangat; lebih seperti hitungan yang menahan sesuatu.

 

Suara doa: bahasa lama, terbata-bata, penuh dendam dan putus asa.

 

Tiba-tiba, tanah di depan PAK BOKIR tersengal—seolah menolak untuk menahan beban. Gumpalan tanah terbelah, dan tangan yang busuk dan berludah lumpur muncul, kuku hitamnya menggenggam udara.

 

Kamera: cut to close-up tangan — detil keputusasaan; tanah di sela-sela jari.

 

MAYAT itu merayap keluar bukan seperti mayat biasa. Kulitnya seperti tercabut dari akar, mata cekung namun menyala kemerahan; kain kafan menempel di tubuhnya seperti luka yang tak mau lepas. Ada bau busuk tapi bukan bau biasa — bau korupsi, bau aset yang meluap jadi racun: campuran parfum mahal, uang lusuh, dan asap rokok tua. Suara: desah, seperti koin beradu.

 

Pak Bokir tidak mundur. Ia menatap, takkah panik—lebih ke marah.

 

PAK BOKIR
(tenang, suara seperti tanah)
Engkau mencari istirahat. Tapi bumi menolak, karena tanganmu merenggut lebih dari sekadar nyawa.

 

MAYAT itu mengangkat muka. Bibirnya terbelah, suara serak yang keluar bukan bahasa manusia biasa—lebih seperti daftar nama-nama yang dicoret, klausa dan kontrak yang diucapkan sebagai kutukan.

 

MAYAT
(suara bergema, bagaikan kertas sobek)
Aku... diberi banyak. Aku mengambil. Aku menumpuk. Bahkan bumi — bumi menolak menelan orang seperti aku.

 

Kamera: slow push ke wajah PAK BOKIR, menyorot kerutan di mata dan kilau panik kecil.

 

Pak Bokir menyentuh lambungnya; ada kalung kecil tergantung — kalung pengusir. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil: kertas bertuliskan nama — segel lama. Ia melemparkan kertas itu ke arah mayat.

 

Kertas tersebut terbakar tanpa api, seperti kertas yang tahu dosa yang tertulis di dalamnya. Di saat kertas terbakar, cahaya kecil muncul — bukan terang; lebih seperti pemandangan neraka yang menyiratkan kesalahan finansial: lembaran buku besar, cap pemerintah, meterai yang robek.

 

MAYAT menjerit — suara itu mengguncang tanah. Suara jeritan menggetarkan dedaunan, memecah keheningan malam pemakaman.

Bak Bokir melangkah maju. Ia mulai membaca lebih kuat, doa yang bukan hanya menenangkan, tapi menuntut pertanggung jawaban.

 

PAK BOKIR
(berteriak ke malam)
Kembalikan! Kembalikan yang kau rampas pada orang yang tak berdosa!

 

Gambar visual: kilasan memori—meja rapat, segel, tanda tangan di kertas yang memerah, anak-anak kehilangan rumah—semua itu melintas sebagai bayang yang menempel pada mayat. Mayat itu berkedut, seolah-olah digurat-gurat kesalahan yang tak terhitung.

 

MAYAT
(tercekik, mencoba bicara)
Bukan...bukan hanya aku...ada yang memberi aku kunci...ada yang membeli keheningan...

 

Suara: gema kata-kata seperti rekening yang terus bertambah. Angin membawa bisik-bisik nama-nama — pegawai, kontraktor, notaris — nama-nama yang membentuk koridor dosa.

Pak Bokir berhenti. Wajahnya berubah: bukan belas kasihan, tapi penghakiman tua.

 

PAK BOKIR
(mengeja satu per satu)
Setiap koin akan kembali, setiap rumah akan diingat. Dunia ini bukan hanya milik mereka yang menimbang di timbangan kotor.

 

Ia meraih kain kafan yang tersisa, mengikat satu sisi, kemudian meletakkan tangan di dahi mayat. Tangannya seperti menempelkan tanah ke tubuh yang menolak.

 

Suara: tanah, seperti mengunyah. Angin semakin kencang; lentera hampir padam.

 

MAYAT
(berbisik, melemah)
Cabutkan aku... biarkan aku... damai...

 

PAK BOKIR menghela napas panjang, lalu mengangkat tongkatnya. Di ujung tongkat, ada simbol sederhana: pintu kecil, palu, dan timbangan—atribut keadilan. Ia menaruh tongkat ke tanah.

 

PAK BOKIR
(dengan suara yang merayap ke tanah)
Untuk setiap yang kau ambil, ada yang menagih. Untuk setiap rumah yang kau robohkan, ada jiwa yang menunggu.

 

Kamera: cut to extreme close-up pada mata mayat — perlahan berubah: dari merah jadi gelap pekat, lalu terlihat kilasan air mata kering.

 

Mayat itu menunduk, tidak lagi melawan. Tanah di sekitarnya mulai merenggut tubuhnya kembali, tetapi prosesnya tidak lembut — tubuhnya seperti menyerahkan sesuatu: tumpukan koin kecil yang memutih keluar dari lengan mayat, potongan sertifikat, selembar foto keluarga yang sudah pudar.

Sound design: bunyi logam jatuh, lembar kertas yang berdesir, isak tangis sumbang jauh di latar.

 

Pak Bokir mengumpulkan barang-barang itu satu per satu, menaruhnya ke dalam kainnya. Ia menatap ke arah langit malam, seolah memohon agar ada saksi untuk hal ini.

 

BAK BOKIR
(tenang, hampir berbisik)
Bumi menolakmu, karena kau menolak manusia. Biarkan benda-benda ini kembali pada pelukan yang benar.

 

Badan mayat perlahan tenggelam. Sebelum hilang sepenuhnya, ia mengangkat wajahnya sekali lagi — bukan marah lagi, hanya kosong.

 

MAYAT
(berbisik terakhir, seperti memuntahkan tagihan)
Maaf... maaf...

 

Kamera: wide shot — mayat menghilang, tanah menutup rapat. Kabut mengerut, lentera mulai menyala lebih terang, lalu meredup.

 

Pak Bokir berdiri, bahu menegang. Ia memandang ke arah benda-benda yang kini berada di kainnya: bukan hanya bukti kejahatan, tetapi juga harapan kecil yang terlupakan.

 

Tiba-tiba, di kejauhan, ada suara langkah kaki — bukan dari mayat, tapi dari sosok yang menjauh, tersenyum menyilaukan. Pak Bokir menengok, wajahnya menegang.

 

KAMERA: freeze frame pada wajah Pak Bokir — sorot matanya menantang kegelapan.

 

CUT TO BLACK.

 

JUDUL MUNCUL DI LAYAR:

“PENJAGA MAKAM”

 

03. EXT. DESA – PAGI

PEMAIN : BAGAS (25), IBU BAGAS

Kontras dengan adegan pembuka yang mencekam. Kamera menampilkan desa sederhana: sawah hijau, anak-anak berlari ke sekolah, ibu-ibu menjemur pakaian. Matahari pagi hangat, memberi nuansa normal dan damai. 

TRACKING SHOT mengikuti BAGAS, pemuda desa, tampan tapi terlihat keras kepala. Ia berjalan membawa galah bambu di pundaknya, membantu ibunya menggantung cucian.

Ibunya memperhatikannya dengan cemas.

 IBU 
Gas… jangan sering begadang. Kau itu laki-laki, harus bisa jaga diri.  BAGAS (menyeringai) Iya, Bu. Santai aja. Aku ini kuat kok. 

CLOSE UP wajah Bagas, matanya menyimpan sedikit kesombongan muda—skeptis, merasa semua baik-baik saja.

 

CUT TO

 

04. EXT. PEMAKAMAN UMUM – SIANG

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Pak Bokir terlihat sedang membersihkan nisan dengan sapu lidi. Tubuhnya lelah, wajahnya murung. Senter tua dan botol air doa ada di sampingnya. 

Bagas datang sambil membawa air minum.

 

BAGAS 
Pak Bokir, masih aja betah di sini? Kalau saya jadi Bapak, udah lama kabur. Kuburan itu kan… angker. 
 
PAK BOKIR (lirih, tanpa menoleh) 
Bukan kuburannya yang angker, Gas. Orang-orang yang dikubur di sini… yang bawa beban mereka sendiri. 

 

Bagas tertawa kecil, jelas tidak percaya.

 

BAGAS Ah… Bapak ini suka lebay. Kuburan ya kuburan, tinggal tanah sama tulang. Udah habis, selesai.  

CLOSE UP wajah Pak Bokir. Sorot matanya tajam, berat, penuh beban masa lalu.

 

PAK BOKIR (serius, pelan) Kalau kau sempat dengar apa yang saya dengar… lihat apa yang saya lihat… mungkin kau tak akan berani bicara begitu. 

Bagas terdiam sesaat, lalu tersenyum menantang.

 

BAGAS Ya udah, Pak. Nanti kalau ada yang butuh bantu gali malam-malam, panggil aja saya. Biar saya buktiin sendiri…  

SILENCE BEAT.

Pak Bokir menatapnya lama. Nafasnya berat, seolah ingin memperingatkan, tapi memilih diam.


CUT TO

05. EXT. PEMAKAMAN – SUNSET

PEMAIN ; PAK BOKIR

Kamera menyorot siluet Bagas yang berjalan meninggalkan pemakaman.

Di belakangnya, Pak Bokir tetap berdiri di antara nisan, tubuhnya kaku, tatapannya penuh kecemasan. 

LOW ANGLE SHOT dari balik nisan: seolah ada “sesuatu” yang memperhatikan mereka berdua.

 

SFX: Angin bertiup kencang, suara samar jeritan dari jauh, hampir tak terdengar.

 FADE OUT.

 

06. EXT. PEMAKAMAN UMUM – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Langit mendung. Bulan hanya separuh, sesekali tertutup awan hitam. Angin malam berhembus, membawa kabut tipis yang menggulung di antara nisan. 

Di ujung pemakaman, beberapa lelaki desa berdiri khidmat. Obor-obor kecil menerangi liang lahat yang baru digali.

Pak BOKIR menggenggam cangkul, wajahnya suram. Di sampingnya, Bagas berdiri dengan sorot mata penuh penasaran—ia ingin membuktikan kata-katanya siang tadi.

 

CAMERA TRACKING mengikuti rombongan yang membawa keranda. Suara doa lirih terdengar, berbaur dengan desau angin.

Keranda diturunkan perlahan. Saat tali pelepas ditarik, tiba-tiba—

 

SFX: kreeeeek … suara aneh, seperti daging yang merekah.

Orang-orang menoleh bingung. CLOSE UP jenazah di dalam kain kafan: warnanya mendadak menghitam, basah, mengeluarkan bau busuk menyengat.

 

Salah satu lelaki menutup hidung.

Bagas spontan terbatuk, menahan mual.

 

BAGAS (pelan, menahan tawa sinis) 
Baru dikubur aja udah… gitu?  


Pak BOKIR menoleh cepat, menatap tajam ke arah Bagas.


PAK BOKIR (tegas, berbisik) 
Jangan bicara sembarangan, Gas!  


Namun terlambat. Jenazah itu mulai membengkak, kain kafan menegang seakan-akan ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya.

 

CLOSE UP wajah para penggali: panik, pucat, sebagian beristighfar.

 

SFX: suara retak… dari dalam tubuh jenazah. Bau daging terbakar makin kuat.

 

Obor di dekat liang tiba-tiba padam. Pemakaman seketika gelap. Hanya tersisa cahaya bulan yang redup.

 

CAMERA HANDHELD—kacau, bergerak cepat mengikuti kepanikan.

Suara jeritan lirih terdengar dari dalam liang. Bukan suara manusia yang hidup, melainkan suara serak, seakan lidah kering terbakar.

 

SUARA JENAZAH (dari dalam kafan) 
A… aaaa… panasss… 


Bagas terpaku. Wajahnya pucat, namun mulutnya masih bergetar, tak percaya.

 

BAGAS (berbisik) 
Itu… itu tadi beneran? 


Pak Bokir buru-buru membaca doa dengan suara bergetar. Lelaki lain mempercepat penguburan, tanah dilemparkan cepat ke liang.

 

SFX: duk! duk! duk! suara tanah jatuh menutupi jeritan.

Namun setiap kali tanah menimpa, terdengar jeritan makin keras, bercampur suara retakan tulang.

 

WIDE SHOT – Bagas berdiri kaku di tepi liang, wajahnya shock. Tangannya gemetar, namun ia tidak bergerak membantu.

Tanah akhirnya menutup jenazah. Semua lelaki segera pergi, ketakutan, meninggalkan pemakaman dalam sepi.

 

CUT TO

07. EXT. PEMAKAMAN – LEBIH MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Hanya tersisa Bagas dan Pak Bokir. Bagas masih terdiam, tatapannya kosong ke tanah yang baru ditimbun. 

Pak Bokir menyalakan kembali senternya.

 

PAK BOKIR (serius, pelan) Ingat kata-kata saya, Gas. Tidak semua yang mati diterima bumi. Kau sudah lihat sendiri…  

Bagas mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. Nafasnya memburu.

 

CLOSE UP – tangan Bagas gemetar, tak disadarinya ada segenggam tanah kuburan masih menempel di telapak tangannya.

 

SFX: samar terdengar suara ketukan… tok… tok… tok… dari dalam tanah.

 

Bagas menoleh cepat ke arah kubur.

Pak Bokir sudah berjalan pergi.

 

Kamera menyorot Bagas yang masih berdiri terpaku, wajahnya diliputi ketakutan untuk pertama kali.

 

FADE OUT.

 

08. INT. KAMAR BAGAS – MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Kamar sederhana, lampu bohlam redup. Bagas berbaring di ranjang, tapi gelisah. Kipas angin berdecit pelan. Jam dinding menunjukkan pukul 00:17

CLOSE UP wajah Bagas. Matanya terbuka, keringat dingin membasahi pelipis. Ia masih teringat jelas jeritan dari pemakaman semalam.

 

SFX: tok… tok… tok… — suara ketukan pelan.

Bagas mendongak, menoleh ke jendela. Gelap.


Ketukan itu terdengar lagi, kali ini dari bawah ranjangnya.

Bagas duduk perlahan, wajah tegang. Ia menunduk, mencoba mengintip ke bawah ranjang.

LOW ANGLE SHOT dari bawah ranjang: gelap pekat. Hanya kaki Bagas yang terlihat di tepi ranjang.

Ketukan berhenti. Sunyi.

 

Bagas menarik nafas lega, hendak kembali berbaring—

CLOSE UP: ranjang bergetar pelan. Dari bawah, keluar bau busuk menyengat, seperti daging membusuk.

Bagas menutup hidung.

 

BAGAS (berbisik) 
Sial… bau apa ini? 


Lampu kamar berkedip-kedip.

Cermin kecil di dinding retak pelan, tanpa sebab.

 

CLOSE UP cermin: retakan membentuk pola wajah samar dengan mulut terbuka.

 

SFX: suara desahan serak — “Panas… panas…”

Bagas tersentak, berdiri panik. Ia menoleh ke arah pintu—tertutup rapat.

 

Tiba-tiba—

CAMERA WHIP PAN ke sudut kamar: sosok jenazah dalam kain kafan, tubuhnya membengkak dan hitam, berdiri kaku menatap Bagas.


Matanya putih kosong, mulutnya terbuka mengeluarkan asap hitam.

 

JENAZAH (parau, berat)
Baa… gaaas…  


CAMERA HANDHELD — kacau, mengikuti Bagas yang mundur ketakutan, menabrak meja, barang-barang jatuh berantakan.

Bagas meraih sapu, mengayunkannya, tapi tubuh jenazah menghilang. Sunyi.

 

Bagas terengah-engah. Ia menatap sekeliling kamar. Kosong.

Tiba-tiba—CLOSE UP wajah Bagas. Dari belakangnya, perlahan muncul tangan hitam membusuk menyentuh bahunya.

 

Bagas menoleh—JUMP SCARE: wajah jenazah yang hancur, lidah menjulur, mata melotot tepat di depannya.

Bagas menjerit keras. Lampu padam total.


CUT TO

09. INT. KAMAR BAGAS – SUBUH

PEMAIN ; BAGAS

Fajar mulai menyingsing. Cahaya samar menembus jendela. Bagas terbangun di lantai, wajahnya pucat, matanya sayu. Nafas tersengal. 

Di telapak tangannya masih ada tanah kuburan yang ia bawa semalam, kini basah dan berbau busuk..

 

Bagas menatap tangannya gemetar.

Air matanya menetes.

 

BAGAS (berbisik lirih)
Apa… yang kau mau dari aku?  


SFX samar: suara jenazah berbisik dari jauh, seakan datang dari dalam tanah.

 

SUARA JENAZAH (off)
Tuntut… balas… 


FADE OUT.

10. EXT. DESA – SIANG

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Matahari terik, tapi wajah Bagas pucat pasi. Matanya sembab, terlihat kurang tidur. Ia berjalan tergesa di jalan tanah desa, orang-orang menatapnya heran. TRACKING SHOT mengikuti Bagas yang terus melangkah, menoleh ke kiri-kanan, mencari seseorang. 

Akhirnya ia menemukan Pak BOKIR sedang duduk di bawah pohon beringin dekat pemakaman, sibuk menyalakan rokok kretek dengan tangan gemetar.

 

Bagas langsung menghampirinya, wajah penuh panik.

 

BAGAS (terengah)
Pak… Pak Bokir! Saya… saya diganggu! Semalam… dia datang ke kamar saya! 

 

Pak BOKIR menoleh pelan. Tatapannya kosong, lelah, seperti sudah sering mendengar keluhan serupa.

 

PAK BOKIR (dingin) Kau udah bilang sesuatu di kuburan semalam, kan? 

Bagas terdiam, wajahnya berubah tegang.

Kilasan adegan singkat (FLASHBACK) muncul: Bagas yang meledek jenazah saat dikubur.

 

BAGAS (lirih, menyesal) 
Saya… cuma bercanda. 

 

Pak Bokir menatap tajam, suaranya serak tapi tegas.

 

PAK BOKIR Tidak ada yang bercanda di tanah kubur. Setiap kata, setiap niat… akan didengar oleh yang ada di dalam sana. Jangan sebarangan bicara di pemakaman! 

CLOSE UP wajah Bagas, berkeringat, semakin takut.

 

BAGAS         
Tapi kenapa dia kejar saya, Pak?         
Apa salah saya? Apa yang dia mau?! 


Pak Bokir menghela nafas berat, lalu berdiri.

CAMERA LOW ANGLE menyorot siluet Pak Bokir dengan latar pemakaman di belakangnya.

 

PAK BOKIR (lirih, hampir berbisik)
Dia tidak diterima bumi.Dosanya terlalu berat.     
Kau yang menutup kuburnya dengan kata-kata buruk,jadi kau ikut menanggung dendamnya. 


SFX: suara angin tiba-tiba bertiup kencang. Daun-daun berjatuhan, suasana berubah mencekam.

Pak Bokir menatap Bagas dalam-dalam.

 

PAK BOKIR
Kalau kau masih mau hidup… kau harus tahu bagaimana cara menenangkannya.  
Bagas menelan ludah, matanya penuh rasa takut.

 

BAGAS 
Bagaimana, Pak? Apa yang harus saya lakukan?  


Pak Bokir tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke udara.

 

CLOSE UP asap rokok yang membentuk bayangan samar wajah jenazah.

 

Pak Bokir berbisik, nyaris tak terdengar:

 

PAK BOKIR
Ada doa… tapi… bukan doa biasa. Doa itu… bisa memanggil, sekaligus mengikat arwah. Tapi kalau salah kau ucapkan… kau yang akan dikubur hidup-hidup. 


BEAT.


Bagas menatapnya kaku, napas memburu.

 

CAMERA SLOW ZOOM OUT memperlihatkan Bagas dan Pak Bokir berdiri di tepi pemakaman, dikelilingi nisan yang diam membisu, seolah ikut mendengarkan percakapan mereka.

 


FADE OUT.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)