Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
OPENING
BLACK SCREEN
Hanya terdengar suara napas berat dan jeritan samar, seolah datang dari bawah tanah.
FADE IN:
01. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM
PEMAIN ; PAK BOKIR (60-AN)
Hujan rintik. Angin menderu pelan. Daun-daun pisang di tepi pemakaman bergoyang seperti bayangan makhluk.
TRACKING SHOT mengikuti langkah Pak Bokir, wajah keras, tubuh ringkih, memikul cangkul dan lampu minyak. Cahaya kuning temaram membuat kabut tipis di pemakaman tampak lebih pekat.
Ia berjalan melewati nisan-nisan. Kamera bergerak LOW ANGLE, memperlihatkan bayangan Pak Bokir yang panjang, bergetar tak wajar di atas batu nisan.
SFX: suara tanah retak.
Pak Bokir berhenti. Menoleh.
CLOSE UP: sebuah gundukan tanah yang baru dikubur bergejolak pelan, seperti ada sesuatu yang berusaha keluar.
SFX: dari dalam tanah terdengar teriakan parau—jeritan panjang kesakitan bercampur tangis.
Ia mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba, tanah meletup kecil. Uap hitam pekat menyembur, berbau busuk, dan terdengar suara tulang berderak.
CAMERA PAN: ke kanan. Gundukan kubur lain juga bergerak. Satu lagi. Dua lagi. Hingga seisi pemakaman tampak berdenyut, seolah ada ratusan tubuh meronta dari bawah.
WIDE SHOT: Pak Bokir kini dikelilingi kuburan yang hidup, dengan suara-suara jeritan, tangisan, dan bisikan doa yang terdengar terbalik.
CLOSE UP ke wajah Pak Bokir: matanya membelalak, tubuhnya gemetar hebat.
Tiba-tiba, tanah di depannya terbelah, menganga seperti mulut raksasa. Dari dalamnya muncul tangan jenazah hangus terbakar, kuku panjang meneteskan darah, meraih ke udara.
SFX: jeritan ngeri bercampur suara api menyala.
Pak Bokir jatuh tersungkur. Lampu minyaknya pecah, nyala api kecil menari di tanah becek.
Dalam cahaya api, terlihat jelas sosok jenazah hangus, tubuhnya penuh luka terbuka, wajahnya meleleh. Matanya kosong, namun dari mulutnya keluar suara berat menggema:
CUT TO BLACK.
02. INT. LORONG PEMAKAMAN — MALAM
PEMAIN ; PAK BOKIR, MAYAT
Lampu remang dari lentera minyak tergantung berderit di angin. Kabut tipis merayap di antara batu nisan yang tak rapi — beberapa terbalik, beberapa ditumbuhi lumut. Suara jangkrik tertahan, seperti ada yang menahan napas.
Pak Bokir, berjubah hitam lusuh, berwajah keriput namun matanya masih tajam — orang yang hidup di antara bayang. Ia berjalan pelan, tongkat kayunya mengetuk batu bata yang retak. Wajahnya teduh, tapi langkahnya mengandung beban ritual.
Suara: bisikan kecil, seperti bisikan dari tanah.
Ia berhenti di depan sebuah lubang segar, gundukan tanah yang belum rata — ada kain kafan sobek tersisa. Lentera di tangannya bergoyang, cahaya menari-nari.
Kamera: steady, mendekat dari belakang bahu Pak Bokir, memperlihatkan bayangannya memanjang di tanah.
DARI BAWAH — tanah di sisi gundukan bergetar halus. Suara seperti kerikil yang digesekkan.
Pak Bokir mencondongkan tubuh, meraba dengan jari yang kaku ke arah tanah. Ia mengeluarkan segumpal kapur putih dari jubahnya dan menggores lingkaran kecil di tanah. Lalu, ia memulai sebuah doa pendek — bukan doa yang hangat; lebih seperti hitungan yang menahan sesuatu.
Suara doa: bahasa lama, terbata-bata, penuh dendam dan putus asa.
Tiba-tiba, tanah di depan PAK BOKIR tersengal—seolah menolak untuk menahan beban. Gumpalan tanah terbelah, dan tangan yang busuk dan berludah lumpur muncul, kuku hitamnya menggenggam udara.
Kamera: cut to close-up tangan — detil keputusasaan; tanah di sela-sela jari.
MAYAT itu merayap keluar bukan seperti mayat biasa. Kulitnya seperti tercabut dari akar, mata cekung namun menyala kemerahan; kain kafan menempel di tubuhnya seperti luka yang tak mau lepas. Ada bau busuk tapi bukan bau biasa — bau korupsi, bau aset yang meluap jadi racun: campuran parfum mahal, uang lusuh, dan asap rokok tua. Suara: desah, seperti koin beradu.
Pak Bokir tidak mundur. Ia menatap, takkah panik—lebih ke marah.
MAYAT itu mengangkat muka. Bibirnya terbelah, suara serak yang keluar bukan bahasa manusia biasa—lebih seperti daftar nama-nama yang dicoret, klausa dan kontrak yang diucapkan sebagai kutukan.
Kamera: slow push ke wajah PAK BOKIR, menyorot kerutan di mata dan kilau panik kecil.
Pak Bokir menyentuh lambungnya; ada kalung kecil tergantung — kalung pengusir. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil: kertas bertuliskan nama — segel lama. Ia melemparkan kertas itu ke arah mayat.
Kertas tersebut terbakar tanpa api, seperti kertas yang tahu dosa yang tertulis di dalamnya. Di saat kertas terbakar, cahaya kecil muncul — bukan terang; lebih seperti pemandangan neraka yang menyiratkan kesalahan finansial: lembaran buku besar, cap pemerintah, meterai yang robek.
MAYAT menjerit — suara itu mengguncang tanah. Suara jeritan menggetarkan dedaunan, memecah keheningan malam pemakaman.
Bak Bokir melangkah maju. Ia mulai membaca lebih kuat, doa yang bukan hanya menenangkan, tapi menuntut pertanggung jawaban.
Gambar visual: kilasan memori—meja rapat, segel, tanda tangan di kertas yang memerah, anak-anak kehilangan rumah—semua itu melintas sebagai bayang yang menempel pada mayat. Mayat itu berkedut, seolah-olah digurat-gurat kesalahan yang tak terhitung.
Suara: gema kata-kata seperti rekening yang terus bertambah. Angin membawa bisik-bisik nama-nama — pegawai, kontraktor, notaris — nama-nama yang membentuk koridor dosa.
Pak Bokir berhenti. Wajahnya berubah: bukan belas kasihan, tapi penghakiman tua.
Ia meraih kain kafan yang tersisa, mengikat satu sisi, kemudian meletakkan tangan di dahi mayat. Tangannya seperti menempelkan tanah ke tubuh yang menolak.
Suara: tanah, seperti mengunyah. Angin semakin kencang; lentera hampir padam.
PAK BOKIR menghela napas panjang, lalu mengangkat tongkatnya. Di ujung tongkat, ada simbol sederhana: pintu kecil, palu, dan timbangan—atribut keadilan. Ia menaruh tongkat ke tanah.
Kamera: cut to extreme close-up pada mata mayat — perlahan berubah: dari merah jadi gelap pekat, lalu terlihat kilasan air mata kering.
Mayat itu menunduk, tidak lagi melawan. Tanah di sekitarnya mulai merenggut tubuhnya kembali, tetapi prosesnya tidak lembut — tubuhnya seperti menyerahkan sesuatu: tumpukan koin kecil yang memutih keluar dari lengan mayat, potongan sertifikat, selembar foto keluarga yang sudah pudar.
Sound design: bunyi logam jatuh, lembar kertas yang berdesir, isak tangis sumbang jauh di latar.
Pak Bokir mengumpulkan barang-barang itu satu per satu, menaruhnya ke dalam kainnya. Ia menatap ke arah langit malam, seolah memohon agar ada saksi untuk hal ini.
Badan mayat perlahan tenggelam. Sebelum hilang sepenuhnya, ia mengangkat wajahnya sekali lagi — bukan marah lagi, hanya kosong.
Kamera: wide shot — mayat menghilang, tanah menutup rapat. Kabut mengerut, lentera mulai menyala lebih terang, lalu meredup.
Pak Bokir berdiri, bahu menegang. Ia memandang ke arah benda-benda yang kini berada di kainnya: bukan hanya bukti kejahatan, tetapi juga harapan kecil yang terlupakan.
Tiba-tiba, di kejauhan, ada suara langkah kaki — bukan dari mayat, tapi dari sosok yang menjauh, tersenyum menyilaukan. Pak Bokir menengok, wajahnya menegang.
KAMERA: freeze frame pada wajah Pak Bokir — sorot matanya menantang kegelapan.
CUT TO BLACK.
JUDUL MUNCUL DI LAYAR:
“PENJAGA MAKAM”
03. EXT. DESA – PAGI
PEMAIN : BAGAS (25), IBU BAGAS
Kontras dengan adegan pembuka yang mencekam. Kamera menampilkan desa sederhana: sawah hijau, anak-anak berlari ke sekolah, ibu-ibu menjemur pakaian. Matahari pagi hangat, memberi nuansa normal dan damai.
TRACKING SHOT mengikuti BAGAS, pemuda desa, tampan tapi terlihat keras kepala. Ia berjalan membawa galah bambu di pundaknya, membantu ibunya menggantung cucian.
Ibunya memperhatikannya dengan cemas.
CLOSE UP wajah Bagas, matanya menyimpan sedikit kesombongan muda—skeptis, merasa semua baik-baik saja.
CUT TO
04. EXT. PEMAKAMAN UMUM – SIANG
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Pak Bokir terlihat sedang membersihkan nisan dengan sapu lidi. Tubuhnya lelah, wajahnya murung. Senter tua dan botol air doa ada di sampingnya.
Bagas datang sambil membawa air minum.
Bagas tertawa kecil, jelas tidak percaya.
BAGAS Ah… Bapak ini suka lebay. Kuburan ya kuburan, tinggal tanah sama tulang. Udah habis, selesai.
CLOSE UP wajah Pak Bokir. Sorot matanya tajam, berat, penuh beban masa lalu.
PAK BOKIR (serius, pelan) Kalau kau sempat dengar apa yang saya dengar… lihat apa yang saya lihat… mungkin kau tak akan berani bicara begitu.
Bagas terdiam sesaat, lalu tersenyum menantang.
BAGAS Ya udah, Pak. Nanti kalau ada yang butuh bantu gali malam-malam, panggil aja saya. Biar saya buktiin sendiri…
SILENCE BEAT.
Pak Bokir menatapnya lama. Nafasnya berat, seolah ingin memperingatkan, tapi memilih diam.
CUT TO
05. EXT. PEMAKAMAN – SUNSET
PEMAIN ; PAK BOKIR
Kamera menyorot siluet Bagas yang berjalan meninggalkan pemakaman.
Di belakangnya, Pak Bokir tetap berdiri di antara nisan, tubuhnya kaku, tatapannya penuh kecemasan.
LOW ANGLE SHOT dari balik nisan: seolah ada “sesuatu” yang memperhatikan mereka berdua.
SFX: Angin bertiup kencang, suara samar jeritan dari jauh, hampir tak terdengar.
FADE OUT.
06. EXT. PEMAKAMAN UMUM – MALAM
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Langit mendung. Bulan hanya separuh, sesekali tertutup awan hitam. Angin malam berhembus, membawa kabut tipis yang menggulung di antara nisan.
Di ujung pemakaman, beberapa lelaki desa berdiri khidmat. Obor-obor kecil menerangi liang lahat yang baru digali.
Pak BOKIR menggenggam cangkul, wajahnya suram. Di sampingnya, Bagas berdiri dengan sorot mata penuh penasaran—ia ingin membuktikan kata-katanya siang tadi.
CAMERA TRACKING mengikuti rombongan yang membawa keranda. Suara doa lirih terdengar, berbaur dengan desau angin.
Keranda diturunkan perlahan. Saat tali pelepas ditarik, tiba-tiba—
SFX: kreeeeek … suara aneh, seperti daging yang merekah.
Orang-orang menoleh bingung. CLOSE UP jenazah di dalam kain kafan: warnanya mendadak menghitam, basah, mengeluarkan bau busuk menyengat.
Salah satu lelaki menutup hidung.
Bagas spontan terbatuk, menahan mual.
Pak BOKIR menoleh cepat, menatap tajam ke arah Bagas.
Namun terlambat. Jenazah itu mulai membengkak, kain kafan menegang seakan-akan ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya.
CLOSE UP wajah para penggali: panik, pucat, sebagian beristighfar.
SFX: suara retak… dari dalam tubuh jenazah. Bau daging terbakar makin kuat.
Obor di dekat liang tiba-tiba padam. Pemakaman seketika gelap. Hanya tersisa cahaya bulan yang redup.
CAMERA HANDHELD—kacau, bergerak cepat mengikuti kepanikan.
Suara jeritan lirih terdengar dari dalam liang. Bukan suara manusia yang hidup, melainkan suara serak, seakan lidah kering terbakar.
Bagas terpaku. Wajahnya pucat, namun mulutnya masih bergetar, tak percaya.
Pak Bokir buru-buru membaca doa dengan suara bergetar. Lelaki lain mempercepat penguburan, tanah dilemparkan cepat ke liang.
SFX: duk! duk! duk! suara tanah jatuh menutupi jeritan.
Namun setiap kali tanah menimpa, terdengar jeritan makin keras, bercampur suara retakan tulang.
WIDE SHOT – Bagas berdiri kaku di tepi liang, wajahnya shock. Tangannya gemetar, namun ia tidak bergerak membantu.
Tanah akhirnya menutup jenazah. Semua lelaki segera pergi, ketakutan, meninggalkan pemakaman dalam sepi.
CUT TO
07. EXT. PEMAKAMAN – LEBIH MALAM
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Hanya tersisa Bagas dan Pak Bokir. Bagas masih terdiam, tatapannya kosong ke tanah yang baru ditimbun.
Pak Bokir menyalakan kembali senternya.
PAK BOKIR (serius, pelan) Ingat kata-kata saya, Gas. Tidak semua yang mati diterima bumi. Kau sudah lihat sendiri…
Bagas mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. Nafasnya memburu.
CLOSE UP – tangan Bagas gemetar, tak disadarinya ada segenggam tanah kuburan masih menempel di telapak tangannya.
SFX: samar terdengar suara ketukan… tok… tok… tok… dari dalam tanah.
Bagas menoleh cepat ke arah kubur.
Pak Bokir sudah berjalan pergi.
Kamera menyorot Bagas yang masih berdiri terpaku, wajahnya diliputi ketakutan untuk pertama kali.
FADE OUT.
08. INT. KAMAR BAGAS – MALAM
PEMAIN ; BAGAS
Kamar sederhana, lampu bohlam redup. Bagas berbaring di ranjang, tapi gelisah. Kipas angin berdecit pelan. Jam dinding menunjukkan pukul 00:17.
CLOSE UP wajah Bagas. Matanya terbuka, keringat dingin membasahi pelipis. Ia masih teringat jelas jeritan dari pemakaman semalam.
SFX: tok… tok… tok… — suara ketukan pelan.
Bagas mendongak, menoleh ke jendela. Gelap.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini dari bawah ranjangnya.
Bagas duduk perlahan, wajah tegang. Ia menunduk, mencoba mengintip ke bawah ranjang.
LOW ANGLE SHOT dari bawah ranjang: gelap pekat. Hanya kaki Bagas yang terlihat di tepi ranjang.
Ketukan berhenti. Sunyi.
Bagas menarik nafas lega, hendak kembali berbaring—
CLOSE UP: ranjang bergetar pelan. Dari bawah, keluar bau busuk menyengat, seperti daging membusuk.
Bagas menutup hidung.
Lampu kamar berkedip-kedip.
Cermin kecil di dinding retak pelan, tanpa sebab.
CLOSE UP cermin: retakan membentuk pola wajah samar dengan mulut terbuka.
SFX: suara desahan serak — “Panas… panas…”
Bagas tersentak, berdiri panik. Ia menoleh ke arah pintu—tertutup rapat.
Tiba-tiba—
CAMERA WHIP PAN ke sudut kamar: sosok jenazah dalam kain kafan, tubuhnya membengkak dan hitam, berdiri kaku menatap Bagas.
Matanya putih kosong, mulutnya terbuka mengeluarkan asap hitam.
CAMERA HANDHELD — kacau, mengikuti Bagas yang mundur ketakutan, menabrak meja, barang-barang jatuh berantakan.
Bagas meraih sapu, mengayunkannya, tapi tubuh jenazah menghilang. Sunyi.
Bagas terengah-engah. Ia menatap sekeliling kamar. Kosong.
Tiba-tiba—CLOSE UP wajah Bagas. Dari belakangnya, perlahan muncul tangan hitam membusuk menyentuh bahunya.
Bagas menoleh—JUMP SCARE: wajah jenazah yang hancur, lidah menjulur, mata melotot tepat di depannya.
Bagas menjerit keras. Lampu padam total.
CUT TO
09. INT. KAMAR BAGAS – SUBUH
PEMAIN ; BAGAS
Fajar mulai menyingsing. Cahaya samar menembus jendela. Bagas terbangun di lantai, wajahnya pucat, matanya sayu. Nafas tersengal.
Di telapak tangannya masih ada tanah kuburan yang ia bawa semalam, kini basah dan berbau busuk..
Bagas menatap tangannya gemetar.
Air matanya menetes.
SFX samar: suara jenazah berbisik dari jauh, seakan datang dari dalam tanah.
FADE OUT.
10. EXT. DESA – SIANG
PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR
Matahari terik, tapi wajah Bagas pucat pasi. Matanya sembab, terlihat kurang tidur. Ia berjalan tergesa di jalan tanah desa, orang-orang menatapnya heran. TRACKING SHOT mengikuti Bagas yang terus melangkah, menoleh ke kiri-kanan, mencari seseorang.
Akhirnya ia menemukan Pak BOKIR sedang duduk di bawah pohon beringin dekat pemakaman, sibuk menyalakan rokok kretek dengan tangan gemetar.
Bagas langsung menghampirinya, wajah penuh panik.
Pak BOKIR menoleh pelan. Tatapannya kosong, lelah, seperti sudah sering mendengar keluhan serupa.
PAK BOKIR (dingin) Kau udah bilang sesuatu di kuburan semalam, kan?
Bagas terdiam, wajahnya berubah tegang.
Kilasan adegan singkat (FLASHBACK) muncul: Bagas yang meledek jenazah saat dikubur.
Pak Bokir menatap tajam, suaranya serak tapi tegas.
PAK BOKIR Tidak ada yang bercanda di tanah kubur. Setiap kata, setiap niat… akan didengar oleh yang ada di dalam sana. Jangan sebarangan bicara di pemakaman!
CLOSE UP wajah Bagas, berkeringat, semakin takut.
Pak Bokir menghela nafas berat, lalu berdiri.
CAMERA LOW ANGLE menyorot siluet Pak Bokir dengan latar pemakaman di belakangnya.
SFX: suara angin tiba-tiba bertiup kencang. Daun-daun berjatuhan, suasana berubah mencekam.
Pak Bokir menatap Bagas dalam-dalam.
Pak Bokir tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke udara.
CLOSE UP asap rokok yang membentuk bayangan samar wajah jenazah.
Pak Bokir berbisik, nyaris tak terdengar:
BEAT.
Bagas menatapnya kaku, napas memburu.
CAMERA SLOW ZOOM OUT memperlihatkan Bagas dan Pak Bokir berdiri di tepi pemakaman, dikelilingi nisan yang diam membisu, seolah ikut mendengarkan percakapan mereka.
FADE OUT.