Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
PENJAGA KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
3. SIKSA KUBUR
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

 

21. INT. RUMAH PAK BOKIR – MALAM

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Lampu redup. Hujan rintik-rintik di luar. Bagas terbaring di atas tikar lusuh, tubuhnya lemah, wajah pucat penuh tanah yang belum sepenuhnya bersih. Nafasnya terengah-engah.

Pak Bokir duduk di sampingnya, menatap dengan cemas.

Segelas air putih diletakkan di dekat Bagas.

Bagas tersadar perlahan. Matanya melotot ketakutan. Ia langsung menggenggam tangan Pak Bokir.

BAGAS (gemetar, suara parau):
Pak... aku... aku lihat... neraka kubur...
Pak Bokir menatap tajam.
PAK BOKIR
Tenangkan dirimu, Gas. Ceritakan apa yang kau lihat.

Bagas mulai menangis. Air matanya bercampur dengan sisa tanah di pipi.

BAGAS (terisak):
Gelap, Pak... gelap sekali. Aku lihat mayat-mayat menjerit... ada yang kepalanya dihantam batu, ada yang dimakan ulat sebesar ular... semuanya disiksa... suara tangisan, jeritan... tiada henti...”

Bagas terdiam sejenak, tubuhnya gemetar.

Lalu ia menatap Pak Bokir dengan ketakutan yang lebih dalam.

BAGAS
Aku juga... aku sendiri, Pak... ditanya, siapa Tuhanku... siapa Nabiku... tapi lidahku kaku. Aku tak bisa jawab...”


Pak Bokir menutup mata, hatinya perih mendengar itu.


BAGAS (terus bergetar):
Lalu... mayat yang kemarin aku sumpahi, Pak... dia datang. Wajahnya busuk, matanya kosong. Dia bilang aku harus menemaninya... selamanya...


Pak Bokir tercekat, wajahnya tegang.

Tiba-tiba lampu teplok bergetar, nyala apinya mengecil. Angin dingin berhembus masuk ke dalam rumah meski semua pintu tertutup.

Bagas menatap ke sudut ruangan, matanya membelalak.


BAGAS (menjerit):
Pak! Dia ada di sana! Dia ikut aku...! Mayat itu... dia ikut...!!


Kamera menyorot ke sudut ruangan yang gelap—

Sekilas terlihat bayangan hitam dengan wajah hancur berdiri diam, matanya putih kosong menatap Bagas.

Pak Bokir cepat-cepat meraih tasbih, merapal doa keras-keras. Bagas hanya bisa menangis, tubuhnya gemetar, sementara suara desis gaib memenuhi ruangan.


CUT TO BLACK.

22. INT. RUMAH PAK BOKIR – MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Angin dingin makin kencang. Tirai robek berkibar, padahal semua jendela tertutup rapat. Lampu padam mendadak, menyisakan gelap pekat.

Pak Bokir terus merapal doa, suaranya bergetar tapi mantap. Tasbih di tangannya berderak cepat.

Bagas menjerit histeris, tubuhnya menggeliat di tikar seakan menahan sesuatu yang masuk ke dalam dirinya.


BAGAS (berteriak):
Pak! Tolong! Jangan biarkan dia masuk!!!


Tiba-tiba tubuh Bagas terhentak keras ke belakang. Matanya melotot putih, mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suara parau yang bukan miliknya.


SUARA ARWAH (dari tubuh Bagas):
Kau sumpahi aku... sekarang kau jadi milikku...!


Tubuh Bagas bangkit mendadak, padahal ia seharusnya lemah. Gerakannya kaku seperti boneka. Kain kafan yang masih menempel di tubuhnya berkibar sendiri.

Pak Bokir mencoba menahan, tapi Bagas mendorongnya dengan kekuatan luar biasa hingga ia terhempas ke dinding.


PAK BOKIR (menahan sakit, masih berdoa):
Ya Allah... lindungi anak ini dari gangguan makhluk-Mu...


Bagas berjalan terhuyung, matanya putih kosong. Dari mulutnya keluar tanah basah bercampur darah.

Tiba-tiba ia menoleh ke arah Pak Bokir, wajahnya setengah berubah jadi wajah mayat yang ia sumpahi. Suara jerit dan tawa bersatu.


BAGAS (dua suara bercampur):
Aku... lapar... aku haus... darah...!!!


Bagas lalu meraih gelas di meja dan menghancurkannya dengan tangan kosong. Pecahan kaca menancap di telapak tangannya, tapi ia tidak merasakan sakit. Darah menetes, ia malah menjilatnya.

Pak Bokir berdiri, wajahnya pucat. Ia segera mengambil kitab kecil di rak tua, membuka lembarannya, lalu merapal doa lebih keras.

Bagas menjerit panjang, tubuhnya melayang beberapa sentimeter di atas lantai. Tikar beterbangan, piring pecah sendiri, pintu rumah bergetar keras.

CLOSE UP – wajah Bagas.

Separuh wajahnya berubah jadi rusak dan busuk seperti mayat yang ia sumpahi.

SUARA GAIB menggema, keras dan menakutkan.


SUARA ARWAH
Dia milikku... tak ada yang bisa menyelamatkannya...!


Bagas menjerit panjang, lalu tubuhnya terhempas ke lantai dengan keras. Seluruh ruangan bergetar, lalu hening.

Bagas kini terdiam...

Tapi matanya tetap putih kosong. Senyum mengerikan terukir di bibirnya.

Pak Bokir menatap ngeri, menyadari... Bagas sudah kerasukan sepenuhnya.


FADE OUT.


23. INT. RUMAH PAK BOKIR – MALAM

PEMAIN ; BAGAS

Bagas duduk bersila di lantai, tubuhnya kaku, mata putih kosong. Senyum menyeramkan menempel di wajahnya. Suara desisan gaib keluar dari mulutnya, bercampur tawa lirih yang tak manusiawi.

Pak Bokir menyiapkan mangkuk air putih, segenggam garam, dan kitab kecil di hadapannya. Tangannya bergetar, tapi wajahnya tetap mantap.


PAK BOKIR (berdoa lirih):
Dengan nama-Mu ya Allah... jauhkan hamba dari gangguan jin dan setan...


Ia mencelupkan jari ke air putih, lalu memercikkan ke arah Bagas.

Tubuh Bagas langsung terhentak keras, matanya melotot merah darah. Ia meraung dengan suara ganda: suaranya sendiri dan suara arwah mayat.


BAGAS/ARWAH
Berhenti! Kau tak akan bisa merebutnya dariku!


Pak Bokir tetap membaca doa keras-keras. Tasbih di tangannya bergerak cepat, sementara ia memercikkan garam ke sekeliling Bagas, membuat semacam lingkaran.

BUNYI – benda-benda di rumah berjatuhan. Piring pecah, lemari bergetar, pintu menutup keras sendiri.

Bagas mendadak melayang, tubuhnya berputar di atas lingkaran garam. Dari mulutnya keluar cacing tanah dan belatung yang bergelimpangan ke lantai.

Pak Bokir mendorong dirinya untuk lebih keras membaca doa, suaranya parau tapi tegas.


PAK BOKIR
Kau bukan milik tubuh ini! Kembalilah ke tempatmu, makhluk terkutuk!


Bagas menjerit, suaranya menggelegar hingga kaca jendela pecah. Wajahnya berganti-ganti antara wajahnya sendiri dan wajah mayat busuk yang ia sumpahi.

Tiba-tiba, Bagas meraih lehernya sendiri, seakan hendak mencekik dirinya.


ARWAH (melalui tubuh Bagas, teriak):
Kalau aku pergi... dia ikut mati!!


Pak Bokir tercekat, lalu menutup mata, meneteskan air mata. Ia terus membaca doa dengan segenap tenaga, menekankan setiap kata, meski tubuhnya sendiri mulai diguncang oleh kekuatan gaib.

Tubuh Bagas lalu bergetar hebat. Mulutnya mengeluarkan asap hitam pekat yang berputar-putar di udara, menjerit dengan suara panjang yang menusuk telinga.

Asap itu berusaha menempel kembali pada tubuh Bagas, tapi lingkaran garam membakar setiap kali ia mendekat. Suara jerit arwah semakin melemah...


ARWAH (melemah, bergema):
Aku... tidak... selesai...!!


Asap hitam akhirnya meledak jadi kepulan kecil dan menghilang.

Bagas jatuh ke lantai, tubuhnya lunglai, napasnya tersengal-sengal. Ia menangis seperti anak kecil, wajahnya penuh ketakutan.

Pak Bokir jatuh terduduk, keringat membanjir di wajahnya. Ia menatap Bagas dengan campuran lega dan cemas.


PAK BOKIR (lirih):
Gas... kau selamat. Tapi ingat... dia belum benar-benar pergi...


FADE OUT.


24. EXT. MASJID TUA DESA – SUBUH

PEMAIN ; BAGAS, PAK BOKIR

Langit masih gelap, azan subuh berkumandang lirih dari toa masjid. Embun basah menempel di dedaunan.

Bagas berjalan tertatih bersama Pak Bokir. Wajahnya pucat, mata bengkak bekas menangis, tubuhnya masih gemetar, tapi ada tekad di langkahnya.

Mereka masuk ke masjid yang sepi. Di dalam, hanya ada lampu minyak kecil menyala samar.

Bagas langsung tersungkur sujud, menangis keras. Suaranya pecah, menggema di ruang kosong.


BAGAS (isak lirih):
Ya Allah... aku salah... aku sombong... aku menyumpahi orang mati... aku lalai dari-Mu... aku mohon ampun...


Air mata bercucuran membasahi sajadah. Tubuhnya gemetar hebat, seolah masih ada bayangan siksaan kubur yang menghantui benaknya.

Pak Bokir berdiri tak jauh di belakang, menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, anak itu benar-benar hancur hatinya.

Bagas terus berdoa, berulang-ulang, sampai suaranya serak.


BAGAS
Aku janji... aku akan hidup benar... aku akan doakan mereka yang sudah tiada... jangan biarkan aku kembali ke kegelapan itu, ya Allah...


MONTAGE – PERJALANAN TOBAT BAGAS:

·        Bagas setiap malam berdoa di makam orang yang dulu ia sumpahi, membawa bunga dan air doa.

·        Ia membantu Pak Bokir merawat makam-makam, membersihkan nisan tua yang ditinggalkan.

·        Bagas mulai ikut salat berjamaah di masjid, wajahnya selalu menunduk penuh penyesalan.

·        Dalam mimpinya, ia melihat sekilas cahaya terang, menggantikan jeritan-jeritan yang dulu menghantui.


CUT TO


25. EXT. MAKAM – SIANG

PEMAIN ; BAGAS

Bagas duduk sendirian di bawah pohon kamboja. Ia menatap ke arah makam dengan wajah yang tenang tapi tetap sedih.

 

BAGAS (berbisik):
Aku tidak akan berhenti berdoa untukmu. Semoga Allah ampuni aku... dan ampuni kau juga.

 

Tiba-tiba angin sepoi berhembus pelan, bunga kamboja jatuh tepat di pangkuannya. Suasana terasa hening dan damai.

Pak Bokir yang mengawasi dari kejauhan tersenyum tipis, lalu menunduk berdoa.


FADE OUT.


26. EXT. MAKAM DESA – SENJA

PEMAIN : BAGAS

Langit jingga, suara adzan magrib mulai terdengar. Bagas berjalan perlahan meninggalkan makam setelah berdoa. Wajahnya lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan trauma mendalam.

Ia berhenti sejenak, menatap ke belakang—ke arah gundukan makam yang dulu ia sumpahi.


BAGAS (lirih):
Aku tak akan ulangi kebodohanku lagi... semoga kau damai di sana...


Angin sore berhembus, dedaunan bergoyang pelan. Dari jauh, terdengar suara suara samar seperti desisan... lalu hilang.

Bagas menghela nafas panjang, lalu melangkah pergi bersama Pak Bokir.

KAMERA PELAN-PERLAHAN ZOOM IN ke makam.

Di balik nisan, sekilas terlihat bayangan hitam berdiri diam, menatap ke arah Bagas yang menjauh... lalu lenyap tertelan gelap.


CUT TO BLACK.


TEXT ON SCREEN:

“Setiap kata adalah doa... hati-hati dengan lisanmu, karena bisa jadi itu sumpah yang kembali pada dirimu.”


FADE OUT.


27. INT. KAMAR BAGAS – SIANG

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Kamar kecil, tirai tipis melambai tertiup angin. Cahaya matahari masuk samar, menimpa wajah BAGAS yang terbaring gelisah di ranjang. Matanya masih sembab dan lingkar hitam tebal, bekas semalam dikejar sosok mayat.

 

Suara pintu berderit. IBU BAGAS, berkerudung lusuh, wajahnya lelah namun tetap lembut, masuk dengan langkah hati-hati. Ia membawa nampan berisi segelas air putih dan sepotong roti.

 

Kamera: close-up pada wajah Ibu, matanya sembab, seolah menyembunyikan kabar berat.

 

Ia duduk di pinggir ranjang, mengusap kening Bagas dengan tangan yang dingin. Bagas membuka mata perlahan.

 

BAGAS
(lemah, berusaha tersenyum)
Ibu… maaf tadi nggak makan… aku masih nggak enak badan.

 

Ibu menggeleng, senyum tipisnya bergetar. Ia menaruh nampan di meja kecil, lalu menunduk, kedua tangannya saling meremas.

 

 IBU
(suara parau, menahan tangis)
Gas… ada yang harus Ibu bilang. Jangan kaget ya, Nak…

 

Bagas langsung duduk, wajahnya tegang.

 

BAGAS
(cepat, khawatir)
Ada apa, Bu? Ada apa?

 

Ibu menatap putranya lama, lalu air matanya jatuh. Ia memegang tangan Bagas erat, seolah takut anaknya akan runtuh saat mendengar.

 

IBU
(terisak, lirih)
Bapakmu, Gas… Bapak sakit keras. Tadi pagi dia jatuh pingsan di sawah. Warga udah nolongin… sekarang dia nggak bisa bangun lagi.

 

Kamera: medium close-up pada wajah Bagas yang seketika pucat, mulutnya terbuka tanpa suara.

 

BAGAS
(berbisik, gemetar)
Bapak… sakit? Kenapa Ibu nggak bilang dari tadi?

 

Ibu menunduk, air matanya jatuh di punggung tangan Bagas.

 

IBU
Ibu nggak mau bikin kamu tambah berat. Kamu sendiri udah kelihatan nggak tenang… Tapi sekarang… sepertinya waktunya kamu harus lihat Bapak.

 

Kamera: slow push in pada wajah Bagas — matanya berkaca-kaca, napasnya memburu. Terasa benturan antara trauma semalam dengan kenyataan pahit siang ini.

 

Bagas bangkit berdiri, masih lemas, tapi matanya penuh panik. Ia meraih kaos di gantungan, lalu menatap Ibu.

 

BAGAS
(tegas, meski bergetar)
Ayo, Bu. Aku harus ketemu Bapak. Sekarang.

 

Kamera: wide shot — Bagas berdiri di sisi ranjang, Ibu berdiri di sampingnya. Cahaya matahari dari jendela jatuh ke wajah mereka, memperlihatkan kesedihan bercampur ketegangan.

 

Suara samar dari luar: gonggongan anjing, lalu desir angin yang membawa bisikan aneh, seolah kematian ikut menunggu di balik kabar buruk itu.


CUT TO BLACK.


28. INT. RUMAH BAGAS – SIANG MENJELANG SORE

PEMAIN ; BAGAS, IBU BAGAS

Suasana rumah sederhana itu terasa lebih dingin dari biasanya. Dinding papan berderit pelan diterpa angin. Suara ayam dan anak-anak bermain di luar sayup-sayup, tapi di dalam rumah, udara sunyi menekan.

 

BAGAS berjalan tergesa namun kaku melewati lorong rumah. Keringat menetes dari pelipisnya meski udara tak panas. Ia terus menggenggam jemari IBU yang menuntunnya menuju kamar paling ujung.

 

Kamera: tracking shot dari belakang, mengikuti langkah mereka yang berat, lorong sempit semakin menekan frame.

 

Sesampainya di depan pintu kamar, Ibu berhenti. Ia menatap Bagas dengan mata basah, lalu mengangguk pelan.

 

IBU
(berbisik, hampir tak terdengar)
Bapakmu ada di dalam. Badannya masih panas, tapi… napasnya lemah sekali.

 

Bagas menelan ludah, tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Kamera: close-up pada gagang pintu yang bergetar di genggaman Bagas.

 

Perlahan ia dorong pintu. Engsel berdecit panjang, menciptakan gema yang menusuk.


CUT TO

 

29. INT. KAMAR BAPAK – CONTINUOUS

PEMAIN ; BAGAS, BAPAK (60-AN), IBU

Cahaya matahari sore masuk lewat celah jendela, mengenai tubuh BAPAK yang terbaring di ranjang kayu. Wajahnya pucat, keringat membanjiri dahi. Matanya setengah terbuka, menatap langit-langit kosong.

 

Suara napasnya tersengal, berat, seperti ada sesuatu yang menahan dari dalam.

 

Kamera: medium close-up pada wajah Bapak — sesekali matanya bergetar, bibirnya bergerak, seolah ingin bicara namun tertahan.

 

Bagas mendekat dengan langkah ragu. Kakinya menimbulkan suara kayu berderit yang anehnya terasa terlalu keras di keheningan.

 

BAGAS
(berbisik, lirih)
Pak… aku Bagas… ini aku, Pak.


Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Bapaknya yang dingin. Tangan itu terasa lebih berat dari tubuh biasa, seakan ada beban tak kasat mata yang menekannya.

 

Bapak tiba-tiba tersentak, matanya menoleh ke arah Bagas. Pandangannya tajam, penuh penderitaan — bukan sekadar sakit, tapi seperti dikejar sesuatu.

 

BAPAK
(suara serak, terputus-putus)
Gas… jangan… jangan biarin mereka… ambil aku…

 

Kamera: close-up pada wajah Bagas yang terkejut, matanya membesar, tubuhnya merinding.

 

BAGAS
Siapa, Pak? Siapa yang mau ambil Bapak?

 

Bapak meraih tangan Bagas lebih erat, kuku-kukunya mencengkeram kulit Bagas hingga nyeri. Dari jendela, angin berhembus kencang, membuat tirai berkibar liar.

 

Suara samar muncul: bisikan dari luar kamar, seperti suara tanah digali, bercampur suara jeritan jauh.

 

Ibu berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat, ketakutan tapi tak berani mendekat.

 

Kamera: wide shot — Bagas di tepi ranjang, Bapak menggeliat dengan napas putus-putus, tirai berkibar, bayangan di dinding bergerak seperti ada sosok lain yang mengintai.

 

BAPAK
(teriak, parau)
Mereka… mayat-mayat itu… mereka belum selesai!

 

Bagas membeku, tangannya gemetar, wajahnya pucat pasi.


CUT TO BLACK.


30. INT. RUMAH BAGAS – MALAM

PEMAIN; BAGAS, BAPAK BAGAS

Lampu minyak redup. Hujan deras di luar membuat suara rumah kayu berderak-derak.

 

Bagas masuk ke rumah dan duduk di samping BAPAK nya yang terbaring lemah di dipan tua. Nafas sang BAPAK sudah tersengal, tubuhnya kurus, matanya kosong.

 

CLOSE UP: tangan BAPAK menggenggam pergelangan Bagas, erat, penuh rasa wasiat.

 

BAPAK
(suara parau, hampir berbisik)
Gas… jangan ulangi… kesalahan… Bokir… jangan…
(suaranya terputus, matanya terbelalak)

 

Bagas menunduk, menahan tangis. Namun tiba-tiba tubuh BAPAKnya kejang keras. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suara lenguhan mirip erangan jenazah di kubur.

 

SFX: suara lirih doa terbalik terdengar dari dada BAPAK.

Bagas panik, mengguncang tubuh BAPAKnya.

 

BAGAS
Bapak! Bapaaaak!!

 

BAPAKnya menghembuskan nafas terakhir, tapi wajahnya menegang, matanya tetap terbuka, menatap Bagas dengan ekspresi ngeri.

 


CUT TO


 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)