103 INT. RUANG INAP – RUMAH SAKIT – SIANG
Manjari melangkah masuk.
Di pembaringan nampak Nenek Dadali dalam posisi duduk bertumpu bantal di punggungnya.
NENEK DADALI
Manjari...
MANJARI
Iya, Ibu...
Manjari memeluk Nenek Dadali.
NENEK DADALI
Maafkan Ibu...
MANJARI
(Menggeleng)
Gak, Bu... Ibu gak salah apa-apa...
NENEK DADALI
Ibu sudah gak berlaku adil padamu selama ini... Ibu terlalu membandingkanmu dengan Adikmu... Ibu bahkan sangat marah, saat kamu memprotes itu...
MANJARI
(Menggeleng kuat—kuat)
Aku yang seharusnya tak pernah memprotes itu. Tak seharusnya aku marah dibandingkan dengan Andaru... Ia memang adik yang terbaik...
Matarri muncul di pintu. Ia hanya berdiri diam mendengar tangisan Ayah dan Neneknya.
NENEK DADALI
Seharusnya... Ibu menutup buku tentang adikmu sejak kecelakaan itu...
MANJARI
Sudah, Bu, sudah... Gak ada yang perlu terlalu disesali... Aku juga yang salah... Aku... sengaja mencari-cari alasan untuk tak hadir di pemakamannya... Aku picik sekali saat itu... Itulah kenapa aku selalu merasa bersalah setelahnya, dan selalu takut bertemu Ibu... Maafkan aku , Bu, maafkan aku...
Tangan Nenek Dadali memeluk kepala Manjari yang tertunduk.
NENEK DADALI
Kau tak sepenuhnya bersalah...
Seharusnya bila semua kisah itu sudah dapat Ibu tutup jauh sebelum itu, tak pernah ada kejadian seperti ini.
(Melirik pada Matarri)
Mungkin... Ibu bisa dengan lapang hati menerima kedatanganmu dan Matarri...
Tapi mungkin... semua sudah terlambat.
MANJARI
Tak ada yang terlambat, Bu...
Manjari menangis tergugu.
Nenek Dadali seperti memaksa senyumnya.
NENEK DADALI
Manjari Anakku... Kita sudah terlalu lama saling meninggalkan... Jangan ada lagi yang kamu tinggalkan di belakang...
Manjari tak menjawab, ia masih menangis.
SLOW MOTION
Sampai kemudian kepala Nenek Dadali terkulai lemah dalam pelukannya.
MANJARI (V.O.)
Ibuuu... Ibuuu...
Matarri melangkah mendekat, pintu sudah terbuka kembali, Nenek Wanda, dan lainnya melangkah ke dalam.
Mereka semua hanya bisa melihat Manjari yang menangis sambil memeluk Nenek Dadali dengan erat
LAGU
So how do I say goodbye/ To someone who’s been with me for my whole damn life/ You gave me my name and the colour of your eyes/ I see your face when I look at mine/ So how do I, how do I, how do I say goodbye? (Dean Lewis - How Do I Say Goodbye)
DISSOLVE
104 EXT. DESA – SIANG
FADE IN
Hujan deras mengguyur desa.
START OF MONTAGE
1. Sawah-sawah diguyur hujan
2. Jalanan-jalanan di guyur hujan.
3. Berderet nisan diguyur hujan.
4. Nisan Nenek Dadali yang masih menggunung tanah basah, dan dipenuhi bunga-bunga yang tak henti diguyur air hujan.
END OF MONTAGE
LAGU
I used to count the stars in the sky/ Now I count the ones in your eyes/ I used to think that my paradise/ Was somewhere waiting on the other side...
But you/ Take me higher than I’ve been/ Laying hands on my skin/ It’s true/ Nothing compares to you...
So tell me why/ What good is life/ If we’re all just waiting to dance in the sky/ I’m already there/ Here in your eyes/ We climb the gates every time that you lie down next to me/ I rest in peace/ They say it’s better, but how could that be/ If everyone had a love like us/ They wouldn’t call that place above/ Heaven... (Calum Scott - Heaven)
DISSOLVE TO
105 EXT. TERAS RUMAH NENEK DADALI – SIANG
Seluruh desa masih diguyur hujan deras.
Manjari duduk bersebelahan dengan Matarri di teras, memandang hujan di kejauhan.
MATARRI
Apa kita akan kembali ke Jakarta?
Manjari menoleh.
MANJARI
Kamu betah di sini?
Matarri terdiam sebelum akhirnya mengangguk.
MATARRI
Apa Ayah... tak pernah berpikir untuk menulis tentang diriku?
MANJARI
Kamu ini...
(Tersenyum)
Bukannya Ayah sering mempersembahkan buku-buku Ayah buatmu?
MATARRI
Maksudku menulis tentang diriku... Bukan di buku... Juga bukan di laptop Ayah...
Manjari terdiam tak mengerti.
MATARRI
Aku ingin sekali Ayah menulis diriku... dengan latar tempat yang menyenangkan, seperti mungkin di desa ini... bersama Nenek Dadali... Nenek Wanda... Om Padra, Upis, Momoa... Atau siapa pun di desa ini... Tentu... ada Ayah juga di situ...
Manjari terdiam.
MATARRI
Apa itu sulit buat Ayah? Apa Ayah masih ingin meraih semua yang belum Ayah raih selama ini?
Manjari terdiam tak menyangka Matarri akan bertanya seperti itu. Sejenak ia hanya bisa menatap Matarri, tanpa bisa berkata apa-apa.
Manjari terdiam.
INSERT
MANJARI (O.S.)
Setidaknya setelah dari Belanda nanti dan bukuku rilis di Singapura, aku yakin pintu untukku akan terbuka sangat lebar...
Manjari mencoba tersenyum.
MANJARI
Sayang... sebenarnya ada yang Ayah tak ucapkan padamu...
Matarri menunggu.
Manjari menatap Matarri.
MANJARI (O.S.)
Sayang apa kamu tahu apa yang akan Ayah bawa pulang dari Belanda nanti?
MATARRI
Ya, Ayah?
MANJARI
Gak... Gak ada apa-apa...
Manjari menunduk, ia tak sanggup berkata apa-apa lagi.
CUT
106 EXT. JALANAN DI DEPAN RUMAH NENEK DADALI – SIANG
Masih hujan, Nenek Wanda berhenti di tengah-tengah jalanan yang basah.
Nenek Wanda seperti mendengar suara-suara. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan....
MANJARI (O.S.)
Sayang apa kamu tahu apa yang akan Ayah bawa pulang dari Belanda nanti? Ada uang... 150 juta... Dan sudah Ayah niatkan sejak lama, lama sekali, uang itu untuk operasi kedua matamu... Agar kamu bisa melihat dunia ini...
Lalu dari celah pohon-pohon, Nenek Wanda melihat Manjari dan Matarri sedang duduk berdua di teras rumah Nenek Dadali.
Keduanya hanya diam memandangi hujan.
CUT
107 INT. KAMAR - RUMAH NENEK DADALI – PAGI
Manjari menyalakan laptopnya.
MANJARI (V.O.)
Sudah beberapa hari, setelah Ibu pergi... Dan aku masih berpikir tentang ucapan-ucapan Matarri, juga ucapan Ibu sebelum pergi...
Manjari menatap layar laptopnya.
MANJARI (V.O.)
Rumah sepi... Matarri mungkin sedang bermain di luar... Tapi aku hanya ingin melanjutkan menulis tentangnya hari ini, seperti yang ia minta hari itu...
Manjari mulai mengetik.
CUT
108 INT. RUMAH NENEK DADALI – SIANG - FLASHBACK
Nenek Wanda duduk di depan Manjari.
Lalu ia mengeluarkan kotak dari tasnya, dan menyodorkannya pada Manjari.
MANJARI
Apa ini?
NENEK WANDA
Itu uang untuk operasi Matarri...
Manjari kaget. Ia melihat isi kotak itu yang dipenuhi lembaran uang 100 ribuan.
MANJARI
Seratus lima puluh juta? Bagaimana Nenek Wanda bisa tahu? Ini... ini terlalu banyak... Aku tak bisa menerimanya...
NENEK WANDA
Kamu tahu sudah berapa lama Umardi, anakku yang juga kawanmu itu tak pulang ke sini? Ia pergi hampir 10 tahun yang lalu bersama istri dan anak-anaknya. Dan tak pernah sekali pun ia kembali singgah ke sini.
Mungkin... ia baru akan datang setelah aku benar-benar tiada nanti. Dan sealam ini, ia terus mengirimiku uang, tapi di umurku yang sudah seperti ini, untuk apa uang sebanyak itu? Apalagi untuk hidup di desa seperti ini? Kau lihat kan, aku sudah memiliki apa pun, hanya cucu-cucu lucu yang meramaikan hari-hariku saja... Dan Matarri kupikir dapat menggantikan kehadirannya. Jadi terimalah. Aku ingin ia bisa melihat kembali... Bisa berlarian seperti kawan-kawan lainnya, dan tertawa-tawa di sepanjang hari. Ya, ia akan melakukannya untuk kita semua di sini...
Manjari hanya bisa terdiam.
CUT
109 INT. KAMAR RUMAH NENEK DADALI – SIANG
Manjari masih terus mengetik.
MANJARI (V.O.)
Kupikir aku memang tak punya alasan untuk kembali ke Jakarta. Semuanya sudah ada di sini...
Manjari menerawang.
POV
Matarri berlari kecil bersama Upis dan Momoa ke halaman rumah Momoa. Di situ Nenek Wanda, nenek Asih, Kakek Udin, sudah menunggunya.
Mereka tertawa bahagia.
LAGU
Through the window/ I see you waiting/ You are smiling/ 'Cause I'm coming/ Your eyes are a story/ An ocean of memories/ Pictures of faces and places/ And all of the things/ That make us feel like we have it all...
All of the times/ That make us realize/ We have it all/ We have it all...
Life is beautiful/ Life is beautiful... (The Afters - Life Is Beautiful)
DISSOLVE TO
LAYAR HITAM
CREDIT TITLE CONTINUE
T A M A T