Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DOA PENGGALI KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
6. DARAH WARISAN KAKEK
51. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TAMU – MALAMPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAHKetukan terakhir berhenti. Sunyi. Hanya suara napas berat dari Arif, Ibu, dan Ayah. 

Tiba-tiba, pintu rumah berderit pelan. Gagang pintu bergerak sendiri, lalu daun pintu terbuka perlahan.

Angin dingin menyapu masuk, membuat lampu minyak berkedip-kedip. Tirai jendela berayun, bayangan bergerak liar di dinding.

 

POV ARIF

Dari celah pintu yang terbuka, terlihat halaman gelap. Samar-samar, ada siluet beberapa orang berdiri berjajar di luar—mereka memakai kain kafan lusuh, wajah tak terlihat jelas.

 

IBU
(menangis, ketakutan)
Ya Allah… astaghfirullah…

 

Arif memeluk ibunya erat. Ayah berdiri di depan mereka, mencoba melindungi dengan tubuhnya, meski wajahnya pucat.


CUT TO

52. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TAMU – MALAMPEMAIN ; ARIF, PAK DARMO, IBU, AYAHAngin bertiup lebih kencang. Tirai hampir tercabut dari gantungannya. Pintu terbuka lebar, menampakkan halaman rumah kosong.

Namun… satu per satu, bayangan gelap masuk ke dalam rumah. Bukan tubuh nyata, hanya siluet hitam seperti kabut tebal, melangkah dengan suara kaki menyeret.

Lampu minyak padam. Gelap.

 

CLOSE UP – WAJAH ARIF

Matanya membelalak. Dalam gelap, ia melihat dengan jelas sosok kakeknya berdiri di ambang pintu, tubuh pucat, matanya kosong. Bibirnya bergerak membaca doa yang sama.

 

KAKEK
(suaranya berat, menggema)
Doa ini… harus diteruskan…

 

Arif berteriak keras, sementara Ibu menutup telinga dan menangis histeris. Ayah mencoba berteriak membaca doa penolak bala, tapi suaranya kalah dengan gumaman doa terlarang yang memenuhi ruangan.

 

WIDE SHOT – RUANG TAMU GELAP

Bayangan-bayangan itu mengepung keluarga kecil tersebut. Suara doa terlarang semakin keras, bergema di seluruh rumah.

Kamera zoom out perlahan dari luar jendela, menampilkan rumah kakek yang kini dikelilingi aura hitam pekat, seolah rumah itu sendiri bernapas.

 


FADE OUT.

53. INT. RUMAH KAKEK – MALAM

PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH, SOSOK

Hening. Hanya suara jangkrik dari luar rumah. Ayah, Ibu, dan Arif masih terdiam, menatap pintu kamar kakek yang terbuka sendiri. Dari dalam, angin dingin bertiup membawa bau tanah basah.

 

Tiba-tiba, lampu rumah berkelip-kelip. Suara bisikan lirih terdengar, samar, seperti doa yang tidak selesai dibacakan.

 

IBU
(pelan, ketakutan)
Arif… ayo kita keluar dari rumah ini.
 
AYAH
(tegang, menahan takut)
Sstt… jangan banyak bicara.

 

Arif menatap pintu kamar kakeknya. Di dalam, bayangan hitam mulai berputar, membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran itu, tampak kursi kosong—kursi tempat Pak Darmo biasa duduk saat membaca doa terlarang.

 

Arif mendengar suara berat dan dalam, seperti suara kakeknya.

 

SUARA KAKEK (VO)
"Arif… darahmu… warisanmu… hanya kau yang bisa melanjutkan…"

 

Arif mulai bergetar.

 

FLASH KILAT—sekejap terlihat kuburan-kuburan baru di halaman belakang rumah, tanahnya bergelombang seperti sedang bernafas.

 

IBU
(teriak panik)
Arif jangan dengarkan! Itu bukan suara kakekmu!
Arif menutup telinga, tapi suara itu makin keras.
 
SUARA KAKEK (VO)
"Jika kau menolak, roh-roh yang terkubur akan datang menjemput…"

 

Tiba-tiba, jendela rumah terbuka sendiri. Angin masuk deras. Dari luar terdengar suara tangisan dan tawa bersahut-sahutan.

 

AYAH
(berusaha berdoa, suara gemetar)
A’udzu billahi minasy-syaithaanir rajiim…

 

Lampu rumah mati. Gelap gulita.

Hanya cahaya bulan yang masuk dari jendela. Dalam kegelapan, terlihat puluhan bayangan samar manusia berdiri di sekitar mereka. Sosok-sosok itu seperti para mayat yang dikubur kakeknya, dengan wajah rusak, mata kosong, dan tubuh penuh tanah.

 

Mereka berjalan mendekat.

Arif terdorong mundur, jatuh ke lantai. Sosok-sosok itu berbisik serentak, menyebut nama Arif.

 

SOSOK-SOSOK
(suara bergema)
Arif… Arif… gantikan kakekmu…

 

Arif menangis, berteriak putus asa.

 

ARIF
(teriak, histeris)
Aku nggak mau! Aku nggak mau jadi penerus kakekku!

 

Bayangan kakeknya muncul di tengah ruangan, duduk di kursi kosong. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia tersenyum tipis ke arah Arif.

 

PAK DARMO (ARWAH)
“Pilih, Arif. Jadi penerus… atau kau akan jadi bagian dari doa terlarang itu…”

 

Semua sosok mendekat, membentuk lingkaran mengurung Arif, Ayah, dan Ibu. Rumah bergetar, seperti ikut terhisap ke dalam ritual.

 

Arif menutup wajahnya, berteriak sekencang-kencangnya.


CUT TO

54. INT. RUMAH KAKEK – MALAM

PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH, PAK DARMO

Lingkaran arwah semakin rapat. Arif, Ayah, dan Ibu terjepit di tengah ruangan. Suara bisikan berubah menjadi gumaman doa yang kacau, sebagian seperti mantra, sebagian seperti teriakan kesakitan.

 

CLOSE UP – WAJAH ARIF

Keringat bercucuran, matanya berair. Ia berusaha tetap sadar.

 

TIBA-TIBA—lantai rumah bergetar, retak kecil muncul di bawah kaki Arif. Dari celah itu keluar tangan-tangan pucat yang mencoba meraih kakinya.

 

ARIF
(berteriak)
Aaaahh! Lepasin aku!

 

Ayah menarik Arif dengan paksa.

 

AYAH
Tahan, Rif! Jangan sampai ditarik!

 

Ibu menjerit histeris ketika melihat di dinding rumah, foto-foto keluarga lama mulai jatuh satu per satu. Dari balik pigura pecah, tampak wajah-wajah asing—para jenazah yang pernah dikubur Pak Darmo—tertawa kaku, seolah hidup kembali.

 

IBU
(tersungkur, ketakutan)
Ya Allah… itu… itu bukan keluarga kita!

 

Arif menoleh ke arah pintu kamar kakek. Dari dalam, kursi kosong itu kini sudah diduduki oleh sosok arwah Pak Darmo, tubuhnya berlumuran tanah, matanya hitam penuh lubang.

 

ARWAH PAK DARMO
(senyum menyeringai)
Doa itu… tidak bisa berhenti, Arif. Kalau kau menolak… mereka akan menelanmu.

 

Arif bergetar.

 

SEKETIKA—semua lilin kecil yang ada di altar rumah kakek menyala sendiri, membentuk lingkaran api kecil. Sosok-sosok arwah tadi mulai masuk ke dalam api itu, satu per satu, tubuh mereka terpanggang tapi tetap tersenyum, sambil memanggil nama Arif.

 

SOSOK-SOSOK
(bergema)
Arif… Arif… ikut bersama kami…

 

Ayah mencoba membaca doa dengan suara keras, tapi lidahnya tiba-tiba kelu. Suara doanya jadi patah-patah, seolah ada yang menekan tenggorokannya.

 

AYAH
(tercekik)
Aaa…uu…dzuu…

 

IBU langsung memeluk Arif.

 

IBU
(putus asa, menangis)
Arif jangan lihat! Jangan dengarkan mereka!

 

Arif menutup mata, tapi tiba-tiba suara kakeknya muncul tepat di telinganya, lebih jelas dari sebelumnya.

 

ARWAH PAK DARMO
(suara membisik, dalam)
Kalau kau menolak, ibumu yang pertama akan jadi korban.

 

CUT TO – VISI CEPAT (FLASH VISION)

Ibu Arif ditarik oleh sosok hitam ke dalam tanah, tubuhnya tenggelam sambil menjerit.

 

KEMBALI KE RUANGAN

Arif langsung membuka mata, terengah-engah. Ia menatap ibunya yang masih ada di pelukannya.

 

ARIF
(tangis ketakutan)
Jangan! Jangan ambil Ibu!

 

TIBA-TIBA—dari luar rumah terdengar suara keranda kayu diseret di tanah, makin lama makin dekat. Suara itu membuat dinding rumah bergetar.

 

Ibu menutup telinga, Ayah memandang dengan mata membelalak.

 

AYAH
(berbisik panik)
Arif… ini sudah bukan mainan. Kau harus… kau harus pilih sesuatu!

 

Arif menoleh ke arah kursi kakek. Sosok Pak Darmo kini berdiri, tangannya terulur ke arah Arif.

 

ARWAH PAK DARMO
Pilihlah… darahmu akan jadi pintu terakhir. Kalau tidak… semua akan mati bersamamu.

 


CUT TO


55. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TAMU – MALAMPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH, PAK DARMOLingkaran api makin membesar. Bayangan arwah makin rapat. Suara doa terlarang kini terdengar jelas, menggema dari segala arah. 

CLOSE UP – ARIF

Matanya basah, tubuhnya gemetar, tapi ada kemarahan yang mulai muncul di wajahnya.

 

ARWAH PAK DARMO
(berteriak, penuh gema)
Arif! Pilih jalanmu! Teruskan doa ini… atau lihat keluargamu ditelan tanah!

 

Tiba-tiba, lantai di bawah Ibu Arif retak. Tanah hitam bergerak seperti pusaran. Tangan-tangan pucat berusaha menariknya ke dalam.

 

IBU
(berteriak histeris)
Arif… tolong ibu!

 

Ayah berusaha menarik Ibu, tapi tangannya ikut terjerat.

 

ARIF
(tangis putus asa, berteriak)
Berhenti! Jangan ambil mereka!

 

CUT TO – VISI CEPAT

Arif melihat kilasan: kakeknya muda, duduk di pemakaman, membaca doa yang sama. Di sekelilingnya, jenazah-jenazah baru seolah terbangun, lalu kembali diam. Dari kejauhan, ada sosok bayangan besar yang memberi “restu”.

 

KEMBALI KE RUANG TAMU

Arwah Pak Darmo berjalan mendekat. Dari tubuhnya keluar uap tanah kuburan. Wajahnya kini makin hancur, separuh tengkorak.

 

ARWAH PAK DARMO
(kepala menunduk, suara berat)
Kalau kau tidak melanjutkan, kutukan ini akan menelanmu. Satu-satunya cara adalah dengan darahmu… dan lidahmu.

 

Arif terperangah.

 

CLOSE UP – LIDAH ARIF

Tiba-tiba terasa perih, seperti terbakar. Mulutnya bergerak sendiri, hampir mengucapkan doa terlarang itu.

 

INTENS – RUANGAN BERGONCANG

Lampu pecah. Lilin-lilin meledak satu per satu. Bayangan arwah kini menjerit, suaranya bersatu, memanggil nama Arif.

 

SOSOK-SOSOK ARWAH
(bergema, saling tumpang tindih)
Arif… Arif… Arif…

 

Ibu menangis histeris. Ayah terjatuh, menekan dadanya, sesak napas.

 

CLOSE UP – WAJAH ARIF

Air mata bercucuran. Ia menatap ke kursi kakek. Kursi itu kini kosong. Sosok kakek tiba-tiba muncul tepat di belakangnya, berbisik keras ke telinganya.

 

ARWAH PAK DARMO
Pilih, Arif! Kau… atau keluargamu!
 
ARIF
(dengan suara gemetar, setengah menjerit)
Kalau memang harus ada yang jadi penerus… ambil aku! Jangan sentuh mereka!

 

WIDE SHOT – RUANGAN

Begitu Arif mengucapkannya, semua arwah berhenti bergerak. Suara doa mendadak hilang. Sunyi.

Api di lingkaran meredup. Tangan-tangan yang menyeret Ibu dan Ayah perlahan masuk kembali ke tanah.

Namun, sosok Pak Darmo tersenyum lebar. Matanya menyala merah.

 

ARWAH PAK DARMO
(berbisik puas)
Akhirnya… ada penerus.

 

CUT TO


56. INT. RUMAH KAKEK – MALAM – KAMERA GERAK MENDEKATPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAHArif berlutut, tubuhnya lunglai. Tapi dari mulutnya, tanpa bisa ia kendalikan, mulai keluar gumaman doa terlarang itu.

Ibu menjerit, Ayah mencoba bangkit, tapi tak bisa menahan.

 

CLOSE UP – MULUT ARIF

Darah menetes dari bibirnya saat ia terpaksa mengucapkan bait pertama doa.


CUT TO


57. EXT. RUMAH KAKEK – MALAMDari luar, rumah terlihat diselimuti kabut pekat. Suara doa terlarang menggema keluar, seolah rumah itu sendiri ikut melantunkan. 

Kamera perlahan zoom out, menampilkan suasana kampung yang sunyi. Anjing-anjing menggonggong serempak.


CUT TO BLACK.

 

58. EXT. RUMAH KAKEK – PAGI HARIPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAHMatahari pagi menerobos kabut tipis. Suasana tampak tenang. Burung-burung berkicau, seolah tak pernah ada teror semalam. 

CLOSE UP – WAJAH ARIF

Ia duduk di teras rumah, tatapannya kosong, wajahnya pucat. Ibu duduk di sampingnya, menangis pelan sambil menggenggam tangannya. Ayah terlihat linglung, seakan setengah jiwanya tertinggal di malam sebelumnya.

 

IBU
(suara serak, lembut)
Arif… ayo kita pulang ke kota. Kita tinggalkan rumah ini… semuanya.

 

Arif hanya menoleh perlahan, tersenyum samar. Senyum yang aneh, tidak sepenuhnya milik dirinya.

 

CUT TO


59. EXT. PEMAKAMAN DESA – SORE HARIPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH, WARGA, PENDUDUK 1, PENDUDUK 2Langit mendung, angin berhembus dingin. Pemakaman sunyi, hanya suara daun kering yang bergesekan.

Beberapa penduduk desa berdiri di kejauhan, berbisik-bisik dengan wajah tegang.

 

PENDUDUK 1
(berbisik)
Itu… cucunya Darmo, kan?
 
PENDUDUK 2
(serius, takut)
Iya. Sejak semalam… dialah yang akan meneruskan.

 

WIDE SHOT – TENGAH PEMAKAMAN

Arif berdiri di depan sebuah liang lahat baru yang masih terbuka. Ia mengenakan baju hitam lusuh peninggalan kakeknya, sambil memegang kitab tua yang berdebu.

 

Ibu dan Ayah berdiri agak jauh, wajah mereka pucat, tak sanggup mendekat.

 

CLOSE UP – MULUT ARIF

Arif mulai membaca doa terlarang itu dengan suara datar. Suaranya dalam, menggema, seolah bukan miliknya sendiri.

Tanah di sekitar kuburan bergetar. Batu nisan berderit. Udara semakin dingin.

CUT TO

 

60. EXT. PEMAKAMAN – MOMEN HORORPEMAIN ; ARIF, SOSOK MAYATDari dalam kuburan yang terbuka, asap hitam perlahan keluar. Sosok-sosok kafan bergerak di antara nisan, bangkit perlahan, lalu berhenti menunduk ke arah Arif—seperti memberi hormat. 

CLOSE UP – ARIF

Matanya kini hitam pekat, wajahnya datar tanpa ekspresi.

 

CUT TO


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)