Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tiba-tiba, pintu rumah berderit pelan. Gagang pintu bergerak sendiri, lalu daun pintu terbuka perlahan.
Angin dingin menyapu masuk, membuat lampu minyak berkedip-kedip. Tirai jendela berayun, bayangan bergerak liar di dinding.
POV ARIF
Dari celah pintu yang terbuka, terlihat halaman gelap. Samar-samar, ada siluet beberapa orang berdiri berjajar di luar—mereka memakai kain kafan lusuh, wajah tak terlihat jelas.
Arif memeluk ibunya erat. Ayah berdiri di depan mereka, mencoba melindungi dengan tubuhnya, meski wajahnya pucat.
CUT TO
52. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TAMU – MALAMPEMAIN ; ARIF, PAK DARMO, IBU, AYAHAngin bertiup lebih kencang. Tirai hampir tercabut dari gantungannya. Pintu terbuka lebar, menampakkan halaman rumah kosong.Namun… satu per satu, bayangan gelap masuk ke dalam rumah. Bukan tubuh nyata, hanya siluet hitam seperti kabut tebal, melangkah dengan suara kaki menyeret.
Lampu minyak padam. Gelap.
CLOSE UP – WAJAH ARIF
Matanya membelalak. Dalam gelap, ia melihat dengan jelas sosok kakeknya berdiri di ambang pintu, tubuh pucat, matanya kosong. Bibirnya bergerak membaca doa yang sama.
Arif berteriak keras, sementara Ibu menutup telinga dan menangis histeris. Ayah mencoba berteriak membaca doa penolak bala, tapi suaranya kalah dengan gumaman doa terlarang yang memenuhi ruangan.
WIDE SHOT – RUANG TAMU GELAP
Bayangan-bayangan itu mengepung keluarga kecil tersebut. Suara doa terlarang semakin keras, bergema di seluruh rumah.
Kamera zoom out perlahan dari luar jendela, menampilkan rumah kakek yang kini dikelilingi aura hitam pekat, seolah rumah itu sendiri bernapas.
FADE OUT.
53. INT. RUMAH KAKEK – MALAM
PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH, SOSOK
Hening. Hanya suara jangkrik dari luar rumah. Ayah, Ibu, dan Arif masih terdiam, menatap pintu kamar kakek yang terbuka sendiri. Dari dalam, angin dingin bertiup membawa bau tanah basah.
Tiba-tiba, lampu rumah berkelip-kelip. Suara bisikan lirih terdengar, samar, seperti doa yang tidak selesai dibacakan.
Arif menatap pintu kamar kakeknya. Di dalam, bayangan hitam mulai berputar, membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran itu, tampak kursi kosong—kursi tempat Pak Darmo biasa duduk saat membaca doa terlarang.
Arif mendengar suara berat dan dalam, seperti suara kakeknya.
Arif mulai bergetar.
FLASH KILAT—sekejap terlihat kuburan-kuburan baru di halaman belakang rumah, tanahnya bergelombang seperti sedang bernafas.
Tiba-tiba, jendela rumah terbuka sendiri. Angin masuk deras. Dari luar terdengar suara tangisan dan tawa bersahut-sahutan.
Lampu rumah mati. Gelap gulita.
Hanya cahaya bulan yang masuk dari jendela. Dalam kegelapan, terlihat puluhan bayangan samar manusia berdiri di sekitar mereka. Sosok-sosok itu seperti para mayat yang dikubur kakeknya, dengan wajah rusak, mata kosong, dan tubuh penuh tanah.
Mereka berjalan mendekat.
Arif terdorong mundur, jatuh ke lantai. Sosok-sosok itu berbisik serentak, menyebut nama Arif.
Arif menangis, berteriak putus asa.
Bayangan kakeknya muncul di tengah ruangan, duduk di kursi kosong. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia tersenyum tipis ke arah Arif.
Semua sosok mendekat, membentuk lingkaran mengurung Arif, Ayah, dan Ibu. Rumah bergetar, seperti ikut terhisap ke dalam ritual.
Arif menutup wajahnya, berteriak sekencang-kencangnya.
CUT TO
54. INT. RUMAH KAKEK – MALAM
PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH, PAK DARMO
Lingkaran arwah semakin rapat. Arif, Ayah, dan Ibu terjepit di tengah ruangan. Suara bisikan berubah menjadi gumaman doa yang kacau, sebagian seperti mantra, sebagian seperti teriakan kesakitan.
CLOSE UP – WAJAH ARIF
Keringat bercucuran, matanya berair. Ia berusaha tetap sadar.
TIBA-TIBA—lantai rumah bergetar, retak kecil muncul di bawah kaki Arif. Dari celah itu keluar tangan-tangan pucat yang mencoba meraih kakinya.
Ayah menarik Arif dengan paksa.
Ibu menjerit histeris ketika melihat di dinding rumah, foto-foto keluarga lama mulai jatuh satu per satu. Dari balik pigura pecah, tampak wajah-wajah asing—para jenazah yang pernah dikubur Pak Darmo—tertawa kaku, seolah hidup kembali.
Arif menoleh ke arah pintu kamar kakek. Dari dalam, kursi kosong itu kini sudah diduduki oleh sosok arwah Pak Darmo, tubuhnya berlumuran tanah, matanya hitam penuh lubang.
Arif bergetar.
SEKETIKA—semua lilin kecil yang ada di altar rumah kakek menyala sendiri, membentuk lingkaran api kecil. Sosok-sosok arwah tadi mulai masuk ke dalam api itu, satu per satu, tubuh mereka terpanggang tapi tetap tersenyum, sambil memanggil nama Arif.
Ayah mencoba membaca doa dengan suara keras, tapi lidahnya tiba-tiba kelu. Suara doanya jadi patah-patah, seolah ada yang menekan tenggorokannya.
IBU langsung memeluk Arif.
Arif menutup mata, tapi tiba-tiba suara kakeknya muncul tepat di telinganya, lebih jelas dari sebelumnya.
CUT TO – VISI CEPAT (FLASH VISION)
Ibu Arif ditarik oleh sosok hitam ke dalam tanah, tubuhnya tenggelam sambil menjerit.
KEMBALI KE RUANGAN
Arif langsung membuka mata, terengah-engah. Ia menatap ibunya yang masih ada di pelukannya.
TIBA-TIBA—dari luar rumah terdengar suara keranda kayu diseret di tanah, makin lama makin dekat. Suara itu membuat dinding rumah bergetar.
Ibu menutup telinga, Ayah memandang dengan mata membelalak.
Arif menoleh ke arah kursi kakek. Sosok Pak Darmo kini berdiri, tangannya terulur ke arah Arif.
CUT TO
CLOSE UP – ARIF
Matanya basah, tubuhnya gemetar, tapi ada kemarahan yang mulai muncul di wajahnya.
Tiba-tiba, lantai di bawah Ibu Arif retak. Tanah hitam bergerak seperti pusaran. Tangan-tangan pucat berusaha menariknya ke dalam.
Ayah berusaha menarik Ibu, tapi tangannya ikut terjerat.
CUT TO – VISI CEPAT
Arif melihat kilasan: kakeknya muda, duduk di pemakaman, membaca doa yang sama. Di sekelilingnya, jenazah-jenazah baru seolah terbangun, lalu kembali diam. Dari kejauhan, ada sosok bayangan besar yang memberi “restu”.
KEMBALI KE RUANG TAMU
Arwah Pak Darmo berjalan mendekat. Dari tubuhnya keluar uap tanah kuburan. Wajahnya kini makin hancur, separuh tengkorak.
Arif terperangah.
CLOSE UP – LIDAH ARIF
Tiba-tiba terasa perih, seperti terbakar. Mulutnya bergerak sendiri, hampir mengucapkan doa terlarang itu.
INTENS – RUANGAN BERGONCANG
Lampu pecah. Lilin-lilin meledak satu per satu. Bayangan arwah kini menjerit, suaranya bersatu, memanggil nama Arif.
Ibu menangis histeris. Ayah terjatuh, menekan dadanya, sesak napas.
CLOSE UP – WAJAH ARIF
Air mata bercucuran. Ia menatap ke kursi kakek. Kursi itu kini kosong. Sosok kakek tiba-tiba muncul tepat di belakangnya, berbisik keras ke telinganya.
WIDE SHOT – RUANGAN
Begitu Arif mengucapkannya, semua arwah berhenti bergerak. Suara doa mendadak hilang. Sunyi.
Api di lingkaran meredup. Tangan-tangan yang menyeret Ibu dan Ayah perlahan masuk kembali ke tanah.
Namun, sosok Pak Darmo tersenyum lebar. Matanya menyala merah.
CUT TO
Ibu menjerit, Ayah mencoba bangkit, tapi tak bisa menahan.
CLOSE UP – MULUT ARIF
Darah menetes dari bibirnya saat ia terpaksa mengucapkan bait pertama doa.
CUT TO
Kamera perlahan zoom out, menampilkan suasana kampung yang sunyi. Anjing-anjing menggonggong serempak.
CUT TO BLACK.
58. EXT. RUMAH KAKEK – PAGI HARIPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAHMatahari pagi menerobos kabut tipis. Suasana tampak tenang. Burung-burung berkicau, seolah tak pernah ada teror semalam.
CLOSE UP – WAJAH ARIF
Ia duduk di teras rumah, tatapannya kosong, wajahnya pucat. Ibu duduk di sampingnya, menangis pelan sambil menggenggam tangannya. Ayah terlihat linglung, seakan setengah jiwanya tertinggal di malam sebelumnya.
Arif hanya menoleh perlahan, tersenyum samar. Senyum yang aneh, tidak sepenuhnya milik dirinya.
CUT TO
Beberapa penduduk desa berdiri di kejauhan, berbisik-bisik dengan wajah tegang.
WIDE SHOT – TENGAH PEMAKAMAN
Arif berdiri di depan sebuah liang lahat baru yang masih terbuka. Ia mengenakan baju hitam lusuh peninggalan kakeknya, sambil memegang kitab tua yang berdebu.
Ibu dan Ayah berdiri agak jauh, wajah mereka pucat, tak sanggup mendekat.
CLOSE UP – MULUT ARIF
Arif mulai membaca doa terlarang itu dengan suara datar. Suaranya dalam, menggema, seolah bukan miliknya sendiri.
Tanah di sekitar kuburan bergetar. Batu nisan berderit. Udara semakin dingin.
CUT TO
60. EXT. PEMAKAMAN – MOMEN HORORPEMAIN ; ARIF, SOSOK MAYATDari dalam kuburan yang terbuka, asap hitam perlahan keluar. Sosok-sosok kafan bergerak di antara nisan, bangkit perlahan, lalu berhenti menunduk ke arah Arif—seperti memberi hormat.
CLOSE UP – ARIF
Matanya kini hitam pekat, wajahnya datar tanpa ekspresi.
CUT TO