Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DOA PENGGALI KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
3. TEROR DOA PENGGALI KUBUR

 

21. INT. RUMAH PAK DARMO – MALAM

PEMAIN : ARIF

Arif kembali ke rumah pak Darmo. Rumah sunyi. Lampu minyak di ruang tamu redup, bergoyang ditiup angin. Arif duduk di dipan, tubuhnya masih lelah setelah prosesi pemakaman. Wajahnya kosong, matanya sayu.

Di meja, ada kitab lusuh peninggalan kakeknya. Arif menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangan. Ia mencoba tidur, tapi gelisah.

 

SOUND DESIGN:

Jam dinding berdetak nyaring. Lalu… samar terdengar suara cangkul menghantam tanah. “Duk… duk… duk…”

 

Arif tersentak, bangun. Ia menoleh ke jendela. Gelap gulita di luar. Suara itu semakin jelas, seperti datang dari arah kuburan.

 

ARIF
(berbisik, cemas)
Siapa… yang menggali kubur malam-malam begini?

 

KAMERA HANDHELD: Arif memberanikan diri, menyalakan lampu minyak, lalu berjalan menuju lorong. Lantai kayu berderit di setiap langkahnya.

 

CUT TO


22. INT. LORONG RUMAH – MALAM

PEMAIN : ARIF

Lorong panjang, gelap, hanya diterangi cahaya kuning lampu di tangan Arif. Foto-foto keluarga tua tergantung di dinding, bayangannya bergoyang.

 

Tiba-tiba, salah satu foto jatuh sendiri. Kaca bingkainya retak. Arif mendekat, menunduk. Di foto itu, wajah kakeknya tampak aneh—senyum tipis tapi matanya hitam pekat.

 

Arif mundur panik, napasnya memburu.

 

SOUND DESIGN: Suara doa samar terdengar lagi, makin keras, seakan dari kamar kakek.

 

KAMERA POV ARIF: Pintu kamar kakek yang tadi terkunci, kini terbuka sedikit. Dari dalam keluar cahaya redup dan suara lirih.

 

Arif mendekat perlahan. Tangannya gemetar saat mendorong pintu.

 

CUT TO

23. INT. KAMAR PAK DARMO – MALAM

PEMAIN : ARIF

Kamar gelap. Dipan kosong. Hanya kitab tua terbuka di lantai, halamannya terbolak-balik sendiri meski tak ada angin.

 

CLOSE UP KITAB: Di salah satu halaman, tulisan tangan Pak Darmo dengan tinta hitam:

 

“Doa tak boleh berhenti. Jika terputus, tanah akan memuntahkan isinya.”

 

Tiba-tiba, lampu minyak padam. Gelap total.

SOUND DESIGN: Suara tanah dikeduk semakin dekat. Disusul suara kain kafan diseret di lantai kayu.

 

KAMERA LOW ANGLE: Dari kegelapan, terlihat jejak tanah basah muncul di lantai, bergerak menuju Arif.

Arif menjerit, mundur ke dinding. Nafasnya tersengal.

 

FADE OUT.

 

24. INT. RUMAH PAK DARMO – MALAM (LANJUTAN)

PEMAIN : ARIF

Arif berdiri terpaku di lorong rumah, menatap jejak tanah basah yang baru saja muncul. Nafasnya berat, keringat dingin membasahi wajahnya.

 

SOUND DESIGN: Tiba-tiba terdengar suara kursi kayu bergeser sendiri dari ruang tamu.

 

Arif menoleh, perlahan berjalan mendekat. Lampu minyak di tangannya bergoyang, membuat bayangan menari di dinding.

 

KAMERA POV ARIF: Di ruang tamu, kursi reyot kakeknya kini menghadap langsung ke pintu kamar. Di atasnya, kain kafan kotor tanah tergantung di sandaran kursi, seolah seseorang baru saja duduk di sana.

 

Arif menelan ludah, langkahnya terhenti.

 

ARIF
(gemetar, berbisik)
Kek…?

 

CUT TO WIDE SHOT: Bayangan hitam tinggi menjulang muncul di dinding, meski di kursi tak ada siapa-siapa. Bayangan itu duduk tegak, persis seperti sosok kakeknya.

 

Arif terhuyung mundur. Lampu minyak hampir terjatuh dari tangannya.

 

SOUND DESIGN: Suara doa lirih mendadak berubah jadi gumaman parau.

 

SUARA PAK DARMO (V.O.)
Jangan berhenti… teruskan… doa… atau mereka bangkit…

 

KAMERA CLOSE UP: Kursi kayu berguncang keras, lalu jebret! patah sendiri. Kain kafan jatuh ke lantai.

 

Arif berlari ke belakang, tapi tiba-tiba pintu kamar kakek terbanting keras. Dari dalam, muncul sosok Pak Darmo dalam keadaan mengenaskan: wajah pucat membiru, mata melotot penuh tanah hitam, mulut terus bergerak membaca doa, darah kering di sudut bibir.

 

EFFECT: Tubuhnya tidak berjalan normal, tapi seperti tertarik ke depan dengan hentakan kecil, setiap langkah terdengar “duk… duk… duk…” seperti tanah dikeduk.

 

Arif menjerit, mundur ke dinding.

 

CLOSE UP WAJAH PAK DARMO:

Ia mendekatkan wajahnya ke Arif, mulutnya terus bergetar. Tapi dari bibir yang bergerak itu keluar suara banyak orang, bukan hanya satu.

 

SUARA-SUARA (V.O.)
“Lanjutkan doa… lanjutkan doa… lanjutkan doa…”

 

Arif ketakutan luar biasa, matanya berkaca.

 

ARIF
(teriak, histeris)
Aku tidak tahu doanya! Aku tidak tahu!

 

SOUND DESIGN: Semua suara doa berhenti mendadak. Sunyi.

 

KAMERA SLOW ZOOM: Wajah Pak Darmo tepat di depan Arif, matanya hitam pekat, lalu mulutnya terbuka lebar hingga tak wajar, mengeluarkan tanah basah bercampur cacing jatuh ke lantai.

 


CUT TO BLACK.

Suara jeritan Arif menggema.

 

25. INT. RUMAH KAKEK – PAGI

PEMAIN : ARIF, MBAK SARI (40-AN)

Arif bangun dengan wajah pucat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menatap cermin kecil di kamar, tampak matanya merah, kurang tidur.

 

Dari dapur terdengar suara panci beradu. Mbak Sari (40-an), tetangga yang sering membantu kakeknya, sedang menyiapkan sarapan.

 

MBAK SARI
(selintas, tanpa menoleh)
Mas Arif nggak bisa tidur ya?

 

ARIF
(terkejut)
Lho… kok Mbak tahu?

 

MBAK SARI
(senyum samar, datar)
Semua orang baru di rumah ini… pasti gitu.
(pelan, hampir berbisik)
Apalagi kalau hatinya belum kuat…

 

Arif kebingungan. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Mbak Sari sudah menunduk lagi, mengaduk panci, seolah tak mau membahas.

 

CUT TO

 

26. EXT. DEPAN RUMAH KAKEK – PAGI

PEMAIN : ARIF, TETANGG 1, TETANGGA 2

Arif keluar ke halaman. Beberapa tetangga desa lewat, meliriknya dengan tatapan aneh, penuh bisik-bisik.

 

Tetangga 1
(berbisik ke Tetangga 2)
Itu cucunya Pak Darmo…

 

Tetangga 2
(khawatir)
Kasihan… pasti nggak tahu semua rahasia kakeknya.

 

Arif mendengar samar, wajahnya semakin bingung. Ia mencoba menyapa, tapi para tetangga buru-buru pergi, menghindar.

 

CUT TO


27. EXT. KEBUN BELAKANG – SIANG

PEMAIN : ARIF

Arif berjalan ke kebun belakang rumah. Pohon-pohon jati tua menjulang, suasana lembap dan sepi. Ia menemukan bekas galian tanah yang ditutup seadanya. Seperti kuburan, tapi tidak rapi.

 

Saat Arif jongkok, memperhatikan tanah itu, terdengar suara berbisik lirih dari dalam tanah.

 

SUARA LIRIH
Arif… Arif… pulanglah…

 

Arif terkejut, mundur tersandung akar pohon. Nafasnya memburu. Ia menoleh ke arah lain… sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan.

 

CUT TO

28. EXT. DESA PAK DARMO – SIANG

PEMAIN ; ARIF, IBU TUA

Matahari terik menyinari desa. Angin berhembus pelan, namun suasana terasa aneh—sepi, nyaris tak ada suara ayam atau anak-anak bermain.

 

ARIF berjalan di jalan tanah desa. Matanya meneliti sekeliling. Banyak rumah yang pintunya tertutup rapat, seolah penghuni enggan keluar meski siang hari.

 

Dari kejauhan, tampak seorang IBU TUA duduk di bale bambu. Ia menenun tikar, namun gerakannya sangat lambat, seperti terpaksa. Saat ARIF lewat, sang ibu mendadak berhenti, menatapnya tanpa senyum.

 

ARIF
(berhenti, gugup)
Siang, Bu…

 

IBU TUA itu hanya menggerakkan bibirnya, seperti berbisik sesuatu. ARIF tidak bisa mendengar jelas, tapi ia merasa namanya disebut.


CUT TO –

 

29. EXT.HALAMAN RUMAH PAK DARMO.

ARIF masuk ke halaman rumah yang teduh oleh pohon jati besar. Ia menemukan KYAI MAWARDI sedang duduk membaca kitab di teras.

 

ARIF
(berusaha santai)
Kyai, kenapa desa ini sepi sekali ya? Orang-orang seperti takut keluar rumah.

 

KYAI MAWARDI
(hening sejenak, menutup kitab)
Mereka bukan takut pada siang, Nak… mereka takut pada bayangan malam yang masih menempel di sini.

ARIF mengerutkan dahi, belum mengerti.

 

Tiba-tiba, terdengar suara kentongan dipukul tiga kali dari kejauhan. Suara itu tidak biasa, karena biasanya kentongan dibunyikan malam hari.

 

KYAI MAWARDI berdiri cepat.

 

KYAI SAMSUDIN
(kepada Arif)
Ikut saya. Jangan tertinggal.

 

CUT TO –

 

30. EXT.PEKARANGAN BELAKANG DESA.

PEMAIN ; ARIF, KYAI SAMSUDIN, WARGA

Beberapa warga berkumpul. Di tengah tanah lapang, tampak seekor kambing putih tergeletak mati, tanpa luka, tapi matanya terbuka lebar seolah ketakutan sebelum mati.

Warga berbisik-bisik, wajah mereka pucat. Seorang bapak paruh baya berkata lirih pada KYAI MAWARDI:

 

WARGA
Ini yang ketiga, Kyai… sejak semalam. Semua mati begitu saja.

 

KYAI MAWARDI mengangguk, menatap ke arah ARIF yang ikut menyaksikan.

 

KYAI MAWARDI
(suara rendah, hampir seperti menegur)
Arif… kau harus lebih kuat. Ini baru permulaan.

 

ARIF menelan ludah. Siang yang terang pun terasa seperti dibungkus kabut tipis, dingin, menyesakkan dada.

KAMERA menyorot wajah ARIF yang semakin tegang,

 

CUT TO


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)