Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
TO
41. INT. RUANG TAMU – SORE
PEMAIN ; ARIF
Arif kembali ke ruang tamu. Ia duduk lagi, wajah penuh keringat. Di luar, cahaya sore makin redup.
Tiba-tiba, televisi tua di sudut ruangan menyala sendiri. Layarnya bersemut hitam putih, memancarkan suara samar—gumaman doa yang sama persis seperti yang kakeknya baca.
Arif menutup telinga, matanya berkaca-kaca.
Tiba-tiba TV mati dengan sendirinya. Ruangan hening.
Arif kembali menatap HP, lalu berdiri mendekat ke jendela. Dari sela tirai, ia melihat jalan kampung sepi. Tidak ada orang.
Namun di ujung jalan, samar-samar terlihat siluet sosok hitam tinggi berdiri diam, menghadap ke arah rumah.
Arif mundur, tubuhnya gemetar.
CLOSE UP – HP ARIF
Layar HP menyala sendiri, muncul pesan teks baru:
“Jangan pergi. Mereka tidak suka.”
Arif menjatuhkan HP, wajahnya panik. Kamera zoom in pada wajahnya yang pucat, keringat menetes deras.
Suara jangkrik semakin keras, menandakan senja mulai turun.
FADE OUT.
42. EXT. JALAN ANTAR KOTA – SIANG
PEMAIN ; IBU, AYAH
Mobil keluarga melaju di jalan raya yang panjang. Matahari terik, tapi langit perlahan terlihat aneh: cahaya terlalu putih, silau menusuk mata, membuat suasana tidak nyaman.
Di dalam mobil, IBU duduk gelisah, menatap jalanan kosong. Sesekali ia menoleh ke HP-nya, mencoba menelpon Arif lagi—tetap nihil.
Ayah menambah kecepatan. Mobil terus melaju. Kamera menyorot ke spion dalam mobil: sekilas terlihat bayangan duduk di kursi belakang, tapi ketika kamera kembali ke kursi belakang—kosong.
CUT TO
43. EXT. HUTAN JALAN KAMPUNG – SORE
PEMAIN ; IBU, AYAH
Mobil masuk ke jalur sempit yang diapit hutan jati. Cahaya matahari menembus sela pepohonan, menciptakan bayangan garis-garis panjang di jalan.
Ibu memperhatikan pepohonan dari jendela. Sekilas terlihat orang-orang berpakaian putih lusuh berdiri diam di balik batang pohon, menatap mobil lewat. Tapi ketika ia mengucek mata—semuanya hilang.
Ayah menoleh cepat, wajahnya kaku.
Tiba-tiba radio mobil yang tadinya mati, hidup sendiri, memutar suara gamelan Jawa yang lambat, disertai suara orang berdoa terbalik.
Ayah segera mematikan radio, tapi suara itu masih terdengar beberapa detik meski tombol OFF sudah ditekan.
Kamera menyorot wajah mereka berdua—pucat, saling tatap, sebelum Ayah kembali fokus ke jalan.
CUT TO
44. EXT. GERBANG KAMPUNG – SORE MENJELANG SENJA
Mobil akhirnya sampai di sebuah gerbang desa. Gapura batu berlumut, dengan ukiran aksara Jawa kuno yang sebagian besar sudah pudar.
Angin berhembus kencang, membawa suara lirih seperti orang merintih.
Mobil perlahan masuk melewati gapura itu. Kamera tracking shot mengikuti mobil dari belakang, hingga perlahan bayangan senja menelan cahaya siang.
CUT TO
45. EXT. DEPAN RUMAH KAKEK – SIANG
PEMAIN ; IBU, AYAH
Mobil berhenti di depan rumah kakek. Pintu pagar kayu sudah reyot, terguncang pelan tertiup angin. Burung gagak berterbangan ketika mobil berhenti.
IBU turun lebih dulu, tergesa-gesa. Matanya menyapu halaman. Sepi.
Tak ada jawaban. Hanya suara dedaunan kering berderak.
Ayah ikut turun, berjalan ke arah pintu rumah yang setengah terbuka. Dengan hati-hati ia mendorongnya. Engsel berderit panjang, menambah suasana mencekam.
CUT TO
46. INT. RUMAH KAKEK – SIANG
PEMAIN ; IBU, AYAH
Ruangan gelap meski siang hari. Tirai tebal menutup sebagian jendela. Aroma anyir tanah basah memenuhi udara.
Ibu masuk sambil memanggil-manggil.
Ayah menyalakan senter kecil dari HP, menyusuri ruang tamu. Terlihat bekas lilin yang habis terbakar di lantai, dan tulisan doa terlarang yang samar di dinding.
Ibu menutup mulutnya, hampir menangis.
CUT TO
47. EXT. HALAMAN SAMPING RUMAH – SIANG
PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH
Suara ranting patah. Kamera mengikuti Ayah dan Ibu yang berlari ke belakang rumah.
Di sana, Arif duduk menyandar di tembok, wajah pucat, mata sayu penuh ketakutan. HP-nya tergeletak di tanah.
Ibu segera berlari memeluknya.
Namun kamera menyorot ekspresi Arif: bukannya lega, tapi matanya terbelalak, menatap sesuatu di balik bahu ayahnya.
POV ARIF
Di dalam rumah, bayangan hitam tinggi besar berdiri diam di pintu, samar-samar seperti siluet, seolah mengawasi mereka bertiga.
Kamera zoom out perlahan, meninggalkan suasana halaman rumah yang mencekam dengan keluarga kecil itu berpelukan, sementara sosok hitam tetap diam memperhatikan.
FADE OUT.
48. INT. RUMAH KAKEK – MALAM (KEMUDIAN)
PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH.
Mereka bertiga berbaring di ruang tamu, alas tikar seadanya. Lampu minyak dibiarkan menyala. Ibu terlelap setengah tidur, sementara Ayah berbaring dengan mata terbuka, masih waspada.
Arif tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit rumah tua, mendengar suara langkah pelan di loteng.
Ia duduk perlahan.
Ayah bangkit, mendengarkan. Suara langkah itu semakin jelas—pelan, berat, seperti menyeret kaki.
Tiba-tiba, lampu minyak bergoyang, apinya hampir padam. Bayangan di dinding bergerak liar.
Ibu terbangun, wajahnya pucat.
CUT TO
49. INT. LOTENG RUMAH KAKEK – MALAM
PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH
Ayah dengan senter di tangan membuka tangga loteng. Arif dan Ibu menunggu di bawah dengan cemas.
Cahaya senter menyapu loteng kosong, hanya terlihat debu dan kotak tua. Tapi di salah satu sudut, ada bekas lilin terbakar dan tulisan doa terlarang di lantai kayu.
Ayah menelan ludah, wajahnya kaku.
CUT TO
50. INT. RUANG TAMU – MALAMPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAHTiba-tiba, dari arah pintu rumah terdengar ketukan keras. Tiga kali.
Semua terdiam. Ayah perlahan menoleh ke pintu.
Ketukan terdengar lagi, kali ini lebih keras, disertai suara gumaman asing seperti doa yang diputar terbalik.
Ibu memeluk Arif erat-erat.
Ayah menatap pintu dengan wajah pucat, keringat menetes.
Kamera zoom in ke pintu kayu yang bergetar halus, seolah ada sesuatu di baliknya yang ingin masuk.
FADE OUT.