Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DOA PENGGALI KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
5. MAHLUK HITAM BERTARING

  TO

41. INT. RUANG TAMU – SORE

PEMAIN ; ARIF

Arif kembali ke ruang tamu. Ia duduk lagi, wajah penuh keringat. Di luar, cahaya sore makin redup. 

Tiba-tiba, televisi tua di sudut ruangan menyala sendiri. Layarnya bersemut hitam putih, memancarkan suara samar—gumaman doa yang sama persis seperti yang kakeknya baca.

Arif menutup telinga, matanya berkaca-kaca.

 

ARIF
(teriak lirih)
Berhenti! Jangan lagi…!

 

Tiba-tiba TV mati dengan sendirinya. Ruangan hening.

Arif kembali menatap HP, lalu berdiri mendekat ke jendela. Dari sela tirai, ia melihat jalan kampung sepi. Tidak ada orang.

 

Namun di ujung jalan, samar-samar terlihat siluet sosok hitam tinggi berdiri diam, menghadap ke arah rumah.

Arif mundur, tubuhnya gemetar.

 

CLOSE UP – HP ARIF

Layar HP menyala sendiri, muncul pesan teks baru:

“Jangan pergi. Mereka tidak suka.”

 

Arif menjatuhkan HP, wajahnya panik. Kamera zoom in pada wajahnya yang pucat, keringat menetes deras.

Suara jangkrik semakin keras, menandakan senja mulai turun.

 

FADE OUT.


42. EXT. JALAN ANTAR KOTA – SIANG

PEMAIN ; IBU, AYAH

Mobil keluarga melaju di jalan raya yang panjang. Matahari terik, tapi langit perlahan terlihat aneh: cahaya terlalu putih, silau menusuk mata, membuat suasana tidak nyaman. 

Di dalam mobil, IBU duduk gelisah, menatap jalanan kosong. Sesekali ia menoleh ke HP-nya, mencoba menelpon Arif lagi—tetap nihil.

 

IBU
(suara pelan, cemas)
Biasanya jalan ini ramai, Yah… kenapa hari ini sepi sekali?
 
AYAH
(melirik ke kaca spion, tegang)
Entahlah. Padahal tadi sebelum berangkat sempat macet di kota.

 

Ayah menambah kecepatan. Mobil terus melaju. Kamera menyorot ke spion dalam mobil: sekilas terlihat bayangan duduk di kursi belakang, tapi ketika kamera kembali ke kursi belakang—kosong.

 CUT TO


43. EXT. HUTAN JALAN KAMPUNG – SORE

PEMAIN ; IBU, AYAH

Mobil masuk ke jalur sempit yang diapit hutan jati. Cahaya matahari menembus sela pepohonan, menciptakan bayangan garis-garis panjang di jalan. 

Ibu memperhatikan pepohonan dari jendela. Sekilas terlihat orang-orang berpakaian putih lusuh berdiri diam di balik batang pohon, menatap mobil lewat. Tapi ketika ia mengucek mata—semuanya hilang.

 

IBU
(berbisik, ketakutan)
Yah… aku rasa… mereka tahu kita akan datang.

 

Ayah menoleh cepat, wajahnya kaku.

 

AYAH
Jangan bicara sembarangan, Bu. Kita ke sini hanya untuk jemput Arif. Itu saja.

 

Tiba-tiba radio mobil yang tadinya mati, hidup sendiri, memutar suara gamelan Jawa yang lambat, disertai suara orang berdoa terbalik.

 

Ayah segera mematikan radio, tapi suara itu masih terdengar beberapa detik meski tombol OFF sudah ditekan.

Kamera menyorot wajah mereka berdua—pucat, saling tatap, sebelum Ayah kembali fokus ke jalan.


CUT TO


44. EXT. GERBANG KAMPUNG – SORE MENJELANG SENJA

Mobil akhirnya sampai di sebuah gerbang desa. Gapura batu berlumut, dengan ukiran aksara Jawa kuno yang sebagian besar sudah pudar.

Angin berhembus kencang, membawa suara lirih seperti orang merintih.

Mobil perlahan masuk melewati gapura itu. Kamera tracking shot mengikuti mobil dari belakang, hingga perlahan bayangan senja menelan cahaya siang.


CUT TO


45. EXT. DEPAN RUMAH KAKEK – SIANG

PEMAIN ; IBU, AYAH

Mobil berhenti di depan rumah kakek. Pintu pagar kayu sudah reyot, terguncang pelan tertiup angin. Burung gagak berterbangan ketika mobil berhenti.

IBU turun lebih dulu, tergesa-gesa. Matanya menyapu halaman. Sepi.

 

IBU
(berteriak)
Arif! Nak, ini Ibu!

 

Tak ada jawaban. Hanya suara dedaunan kering berderak.

Ayah ikut turun, berjalan ke arah pintu rumah yang setengah terbuka. Dengan hati-hati ia mendorongnya. Engsel berderit panjang, menambah suasana mencekam.


CUT TO


46. INT. RUMAH KAKEK – SIANG

PEMAIN ; IBU, AYAH

Ruangan gelap meski siang hari. Tirai tebal menutup sebagian jendela. Aroma anyir tanah basah memenuhi udara. 

Ibu masuk sambil memanggil-manggil.

 

IBU
Arif! Nak, kamu di mana?!

 

Ayah menyalakan senter kecil dari HP, menyusuri ruang tamu. Terlihat bekas lilin yang habis terbakar di lantai, dan tulisan doa terlarang yang samar di dinding.

Ibu menutup mulutnya, hampir menangis.


CUT TO


47. EXT. HALAMAN SAMPING RUMAH – SIANG

PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH

Suara ranting patah. Kamera mengikuti Ayah dan Ibu yang berlari ke belakang rumah. 

Di sana, Arif duduk menyandar di tembok, wajah pucat, mata sayu penuh ketakutan. HP-nya tergeletak di tanah.

Ibu segera berlari memeluknya.

 

IBU
(terisak)
Ya Allah, Arif… kenapa kamu kayak gini, Nak?
 
ARIF
(suara pelan, gemetar)
Bu… Ayah… kalian akhirnya datang…
 
Ayah jongkok, menepuk bahunya.
 
AYAH
Kamu tenang sekarang, kami sudah di sini.

 

Namun kamera menyorot ekspresi Arif: bukannya lega, tapi matanya terbelalak, menatap sesuatu di balik bahu ayahnya.

 

POV ARIF

Di dalam rumah, bayangan hitam tinggi besar berdiri diam di pintu, samar-samar seperti siluet, seolah mengawasi mereka bertiga.

 

Kamera zoom out perlahan, meninggalkan suasana halaman rumah yang mencekam dengan keluarga kecil itu berpelukan, sementara sosok hitam tetap diam memperhatikan.


FADE OUT.


48. INT. RUMAH KAKEK – MALAM (KEMUDIAN)

PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH.

Mereka bertiga berbaring di ruang tamu, alas tikar seadanya. Lampu minyak dibiarkan menyala. Ibu terlelap setengah tidur, sementara Ayah berbaring dengan mata terbuka, masih waspada.

Arif tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit rumah tua, mendengar suara langkah pelan di loteng.

 

Ia duduk perlahan.

 

ARIF
(berbisik pada Ayah)
Yah… dengar itu?

 

Ayah bangkit, mendengarkan. Suara langkah itu semakin jelas—pelan, berat, seperti menyeret kaki.

Tiba-tiba, lampu minyak bergoyang, apinya hampir padam. Bayangan di dinding bergerak liar.

Ibu terbangun, wajahnya pucat.

 

IBU
(suara lirih, takut)
Ya Allah… siapa di atas?

 

CUT TO


49. INT. LOTENG RUMAH KAKEK – MALAM

PEMAIN ; ARIF, IBU, AYAH

Ayah dengan senter di tangan membuka tangga loteng. Arif dan Ibu menunggu di bawah dengan cemas. 

Cahaya senter menyapu loteng kosong, hanya terlihat debu dan kotak tua. Tapi di salah satu sudut, ada bekas lilin terbakar dan tulisan doa terlarang di lantai kayu.

Ayah menelan ludah, wajahnya kaku.


CUT TO

  

50. INT. RUANG TAMU – MALAMPEMAIN ; ARIF, IBU, AYAHTiba-tiba, dari arah pintu rumah terdengar ketukan keras. Tiga kali. 

Semua terdiam. Ayah perlahan menoleh ke pintu.

Ketukan terdengar lagi, kali ini lebih keras, disertai suara gumaman asing seperti doa yang diputar terbalik.

Ibu memeluk Arif erat-erat.

 

IBU
(gemetar)
Jangan dibuka, Yah… jangan…

 

Ayah menatap pintu dengan wajah pucat, keringat menetes.

Kamera zoom in ke pintu kayu yang bergetar halus, seolah ada sesuatu di baliknya yang ingin masuk.


FADE OUT.

 


 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)