Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
31. EXT. RUMAH PAK DARMO – SORE
PEMAIN ; ARIF
Matahari mulai condong ke barat. Langit berubah jingga pucat. Suara jangkrik dan burung gagak terdengar samar. Desa tetap sepi.
ARIF duduk di beranda rumah Pak Darmo. Ia menulis sesuatu di buku catatannya, berusaha menyalin kejadian aneh yang baru dialaminya.
Dari balik kaca jendela, terlihat bayangan samar seseorang berdiri di dalam rumah, padahal ARIF yakin rumah itu kosong.
ARIF menoleh. Bayangan itu hilang.
CUT TO –
32. EXT. PEMAKAMAN DESA – SORE
PEMAIN ; ARIF, ANAK KECIL, WARGA
Beberapa warga menyiapkan obor di sekitar pemakaman. Mereka bergerak diam, nyaris tanpa suara. Arif memperhatikan dari kejauhan.
Seorang anak kecil tiba-tiba berlari mendekat Arif, wajahnya pucat, lalu berbisik tergesa:
Sebelum Arif sempat bertanya, anak itu ditarik ibunya dengan kasar dan dibawa pergi.
CUT TO –
33. EXT. HALAMAN RUMAH PAK DARMO – SENJA
PEMAIN ; ARIF, KYAI SAMSUDIN
KYAI MAWARDI menyalakan dupa di teras, wajahnya tegang. Asap dupa berputar aneh, tidak naik lurus, melainkan berputar spiral.
Kyai Mawardi menatapnya lama, lalu hanya berkata singkat:
CUT TO –
34. EXT. DESA – MALAM MULAI TURUN
PEMAIN ; ARIF
Langit gelap, hanya bulan separuh menggantung. Angin berhembus kencang, membuat pohon-pohon berderik. Rumah-rumah menutup pintu rapat, suara doa terdengar samar dari dalam.
Di kejauhan, gong kecil dipukul pelan, bunyinya seperti tanda.
ARIF, yang berdiri di depan rumah, merasakan hawa dingin merambat di kulitnya. Ia melihat ke arah pemakaman—dari balik pepohonan tampak kilatan cahaya obor dan samar-samar suara orang membaca doa.
Namun doa itu terdengar ganjil, seperti campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa kuno.
CLOSE UP – wajah Arif yang diliputi ketegangan, napasnya memburu.
DISSOLVE TO –
layar menjadi gelap, hanya suara doa yang terdengar semakin keras.
35. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM
PEMAIN ; ARIF, PAK DARMO, KYAI SAMSUDIN
Pemakaman tua itu diterangi cahaya obor yang redup, menimbulkan bayangan panjang di antara nisan. Angin dingin berhembus menusuk tulang, membawa bau tanah basah bercampur dupa.
Warga duduk melingkar, wajah mereka tegang. Di tengah lingkaran, KYAI SAMSUDIN berdiri dengan jubah hitam, memegang kitab tua. ARIF berada di sisi lingkaran, tubuhnya kaku, tatapannya gelisah.
Suara doa bergema, bercampur antara ayat suci dan mantra Jawa kuno. Semakin lama, ritmenya berubah seperti nyanyian yang menyeramkan.
Tiba-tiba tanah salah satu makam bergetar. Tanah itu merekah perlahan, seperti ada sesuatu yang hendak keluar.
KYAI SAMSUDIN tetap membaca mantra dengan suara keras, tidak menoleh.
Dari celah tanah muncul asap hitam pekat yang menggulung ke atas, membentuk sosok samar—tinggi, berwajah kabur, matanya merah menyala. Suara rintihan dan tangisan bercampur dalam asap itu.
Warga mulai menangis dan sebagian berteriak lirih, namun tidak ada yang berani lari.
Sosok asap itu mengitari lingkaran, menghampiri Arif. Nafas Arif tercekat. Sosok itu berbisik di telinganya:
ARIF menutup telinga, namun suara itu makin keras. Tiba-tiba obor satu per satu padam, menyisakan kegelapan nyaris total.
CLOSE UP – wajah Arif yang kini pucat pasi, matanya basah ketakutan.
Dalam gelap, warga mulai membaca doa semakin keras. Kyai Mawardi memukul tanah dengan tongkatnya tiga kali.
Tanah berguncang makin keras. Batu nisan bergetar, beberapa bahkan roboh. Dari balik pepohonan, terdengar jeritan panjang—suara yang bukan berasal dari manusia.
Arif tiba-tiba melihat jelas di hadapannya: Pak Darmo, namun dalam wujud tubuh membusuk, berdiri di samping nisan, menatapnya dengan senyum mengerikan.
ARIF mundur, tubuh gemetar. Tangannya hampir menyentuh tanah retak yang bercahaya merah.
Tiba-tiba KYAI MAWARDI menarik Arif dengan keras, menjauhkannya dari lingkaran.
FLASH! Cahaya putih menyambar dari dupa dan kitab yang dibaca Kyai Samsudin. Asap hitam itu menjerit melengking, lalu terurai perlahan, kembali masuk ke tanah.
Suasana hening. Hanya terdengar napas warga yang terengah-engah.
Arif terduduk lemas di tanah, menatap ke arah nisan Pak Darmo yang kini retak. Senyum arwah kakeknya masih terbayang jelas di benaknya.
FADE OUT.
36. EXT. HALAMAN RUMAH KAKEK – SIANG
PEMAIN : ARIF
Matahari terik menyinari kampung. Udara panas, tapi terasa ganjil. Angin bertiup pelan membawa bau tanah basah meski tidak hujan. Burung gagak hinggap di pohon mangga depan rumah, mengeluarkan suara parau.
ARIF, wajah pucat penuh ketakutan, duduk di tangga depan rumah kakek sambil menggenggam HP. Tangannya gemetar. Ia mencoba menekan nomor ibunya.
HP berdering. Beberapa detik kemudian, IBU mengangkat dari seberang. Suaranya terdengar hangat, tapi ada sedikit gangguan suara di sambungan telepon, seperti gemerisik aneh.
Tiba-tiba, suara angin kencang bertiup. Daun kering berputar di halaman. HP Arif terdengar noise statis, seperti ada bisikan samar dari kejauhan.
Arif menunduk, keringat bercucuran meski siang hari. Matanya nanar, seolah ada bayangan hitam bergerak di balik jendela rumah kakek.
Suara HP kembali terganggu. Terdengar gumaman samar, seperti doa asing bercampur suara rintihan. Arif tertegun, menatap HP dengan wajah pucat.
Tiba-tiba sambungan terputus. Layar HP Arif kembali ke mode normal, tapi signal bar penuh—tanpa alasan jelas.
Arif menjatuhkan HP dari tangannya. Nafasnya memburu. Ia memandang ke arah rumah kakek yang pintunya sedikit terbuka, seolah mengundang.
Kamera perlahan zoom in ke wajah Arif yang diliputi ketakutan, kemudian
CUT TO BLACK
dengan suara burung gagak melengking panjang.
37. INT. RUMAH ORANG TUA ARIF – KOTA – SIANG
PEMAIN : IBU, AYAH
Ruang tamu modern sederhana. Matahari menyorot masuk lewat jendela besar, menerangi sofa dan meja dengan majalah berserakan. TV menyala dengan volume rendah menyiarkan acara siang, tapi tidak ada yang memperhatikan.
IBU masih menggenggam ponsel erat-erat. Wajahnya pucat, gelisah. Ia menoleh ke arah dapur, di mana AYAH sedang buru-buru merapikan tas selempang dan botol minum.
Ayah berhenti sejenak, menatap istrinya dengan sorot serius.
Ayah menarik napas panjang, lalu berjalan ke kamar, mengambil jaket.
CUT TO
38. INT. KAMAR ORANG TUA – KOTA – SIANG
PEMAIN ; IBU, AYAH
Ayah membuka lemari, mengeluarkan sebuah tas ransel lama. Ia mulai memasukkan pakaian seadanya. Ibu berdiri di ambang pintu, masih memegangi ponsel.
Di layar HP, panggilan terakhir dengan Arif masih tertera: "TERPUTUS". Signal penuh, tapi ketika Ibu mencoba menelpon kembali, terdengar bunyi nada sambung bercampur bisikan lirih—seperti suara orang mengaji terbalik.
Ibu menutup mulutnya, shock.
Ayah berhenti memasukkan barang. Wajahnya mulai berubah pucat, tapi ia mencoba tetap kuat.
CUT TO
39. INT. RUMAH KAKEK – SIANG MENJELANG SORE
PEMAIN ; ARIF
Rumah tua peninggalan kakek terasa pengap. Jendela tertutup rapat, tirai kusam bergoyang pelan. Cahaya matahari masuk tipis, menciptakan bayangan panjang di lantai.
ARIF duduk di lantai ruang tamu, HP masih digenggam erat. Sesekali ia melirik layar, berharap ada notifikasi dari ibunya. Nafasnya berat, tubuh gemetar.
Ia mencoba menenangkan diri, membuka buku catatan tua milik kakek yang tergeletak di meja. Halaman penuh tulisan Arab gundul dan aksara Jawa kuno. Beberapa kalimat sudah ia kenali dari doa terlarang yang didengar malam sebelumnya.
Mendadak, dari dapur terdengar bunyi sendok jatuh. Arif terperanjat. Ia berdiri perlahan, menoleh dengan wajah pucat.
CUT TO
40. INT. DAPUR RUMAH KAKEK – SIANG REDUP
PEMAIN ; ARIF
Arif melangkah masuk, dapurnya kosong. Hanya piring kotor di rak. Ia menunduk, melihat sendok tergeletak di lantai.
Arif menunduk hendak mengambilnya. Saat tangannya menyentuh sendok—suara napas berat terdengar tepat di belakangnya.
Arif menoleh cepat. Kosong.
CUT TO