Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DOA PENGGALI KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
2. KEMATIAN KEK DARMO

 

11. INT. RUMAH PAK DARMO – PAGI

PEMAIN : ARIF, PAK DARMO, MBAH SASTRO, WARGA

Arif terbangun di ruang tamu, masih dengan pakaian semalam. Ia tertidur di kursi, kepalanya berat. Napasnya terengah, seakan mimpi buruk belum selesai.

 

Suara tangisan perempuan terdengar samar dari luar. Arif bangkit, linglung, lalu berjalan menuju kamar kakeknya.

 

KAMERA POV ARIF: Pintu kamar terbuka lebar. Di dalam, Pak Darmo terbujur kaku di atas dipan, sudah ditutupi kain putih kafan.

 

Arif terhenti, wajahnya pucat. Tangannya gemetar.

 

ARIF
(berbisik, terpatah)
Kakek… Tidak mungkin… semalam… aku lihat dia…

 

CLOSE UP: Arif mendekat, menyingkap sedikit kain kafan dari wajah kakeknya. Wajah Pak Darmo pucat membiru, matanya terpejam rapat. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

 

Warga desa yang lebih tua, Mbah Sastro (65), masuk perlahan ke kamar. Suaranya berat, penuh wibawa.

 

MBAH SASTRO
(pelan)
Sudah waktunya, Nak. Kakekmu pergi semalam, saat engkau tidur. Innalillahi…

 

Arif terpaku. Air matanya menetes. Tapi dalam hatinya ada keraguan besar. Ia tahu semalam kakeknya masih berbicara padanya.

 

SOUND DESIGN: Saat warga menyiapkan prosesi pemakaman, samar terdengar gema doa Pak Darmo—suara yang sama seperti malam tadi—muncul sekelebat di telinga Arif.

 

CLOSE UP WAJAH ARIF: Ia menoleh ke sekeliling, panik, tapi warga tak mendengar apa-apa. Mereka tetap sibuk menyiapkan jenazah.

 

KAMERA SLOW ZOOM: Mata Arif basah, tubuhnya gemetar. Dalam pikirannya, pertanyaan berulang: Apakah semalam nyata… ataukah doa kakeknya masih mengikatnya bahkan setelah mati?

 

FADE OUT.


12. EXT. AREA PEMAKAMAN DESA – SIANG

PEMAIN : USTAD DESA, WARGA DESA

Langit mendung, matahari tertutup awan kelabu. Angin bertiup kencang, membuat dedaunan kering beterbangan. Warga desa berjalan beriringan, membawa jenazah Pak Darmo di atas keranda bambu.

 

KAMERA WIDE: Rombongan melewati jalan tanah becek, suasana khidmat. Suara doa dilantunkan lirih oleh ustaz desa.

 


CUT TO:


 

13. EXT. LUBANG KUBUR – SIANG

PEMAIN : ARIF, MBAH SASTRO, WARGA

Liang lahat sudah siap, digali tepat di bawah pohon beringin tua yang menjulang. Akar-akarnya menembus tanah, menjuntai seperti tangan.

 

Arif berdiri di dekat lubang, wajahnya tegang. Matanya berkaca-kaca melihat tubuh kakeknya diturunkan perlahan ke dalam liang.

 

CLOSE UP: Saat tanah pertama kali ditaburkan, kamera menyorot wajah Arif—dan samar-samar terdengar gumaman doa Pak Darmo di telinganya.

 

SUARA DOA (V.O.)
…jangan berhenti… teruskan… mereka menunggu…

 

Arif tersentak. Ia menoleh ke sekeliling. Warga tetap khusyuk berdoa, tak ada yang mendengar suara itu.

 

KAMERA TRACKING: Seorang warga menutup liang lahat dengan tanah, sekop demi sekop. Setiap tanah jatuh, suara doa samar terdengar semakin keras, hingga berubah menjadi jeritan serak.

 

SOUND DESIGN: Jeritan itu bercampur dengan bunyi sekop, tapi hanya Arif yang bereaksi.

 

ARIF
(berbisik, panik)
Tidak… aku dengar dia… Kakek masih…

 

CLOSE UP: Arif hendak turun ke liang untuk menghentikan, tapi Mbah Sastro memegang bahunya keras.

 

MBAH SASTRO
(menatap tajam)
Biarkan, Nak. Jangan pernah ganggu doa terakhir penggali kubur.

 

Arif menatap Mbah Sastro, bingung dan takut. Ucapannya terasa ganjil.

 

KAMERA LOW ANGLE – DARI DALAM LIANG:

Tanah terus ditimbun, menutupi kamera, hingga gelap total.

 


CUT TO:


 

14. EXT. PEMAKAMAN – SESUDAHNYA

PEMAIN : ARIF, WARGA

Warga mulai bubar. Arif masih berdiri mematung di depan kubur. Angin berdesir. Daun beringin jatuh tepat di atas nisan.

 

SOUND DESIGN: Samar… suara napas berat dari dalam tanah.

CLOSE UP WAJAH ARIF: Ia pucat pasi. Bibirnya bergetar.

 

FADE OUT

 

15. INT. RUMAH KAKEK – MALAM

PEMAIN : ARIF, IBU (40-AN), BAPAK (50-AN), PAK DARMO

Hujan deras mengguyur desa. Kilatan petir sesekali menerangi rumah peninggalan keluarga. Arif duduk gemetar di ruang tengah, wajah pucat, matanya kosong menatap lantai.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu depan.

 

DOR! DOR! DOR!

 

ARIF (tersentak, berbisik pelan)
(gemetar)
S… Siapa?

 

IBU
Ini ibu, Rif

 

ARIF
I… Ibu? Ayah?

 

Arif berlari membuka pintu. Saat pintu terbuka, berdiri sepasang suami-istri dengan wajah tegas namun penuh kekhawatiran — IBU ARIF (40-an) dan AYAH ARIF (50-an). Baju mereka masih basah kuyup oleh hujan, rambut lepek, wajah cemas.

 

CLOSE UP ekspresi lega Arif, namun bercampur bingung.

 

IBU
(memeluk Arif erat)
Nak… akhirnya kita bisa datang. Kamu nggak apa-apa?

 

ARIF
(terisak, memeluk ibunya)
Bu… aku takut… aku nggak mau tinggal di sini lagi. Kakek… dia…

 

AYAH (memotong, dengan nada keras)
(menatap ke dalam rumah, lalu menutup pintu perlahan)
Sudah. Jangan sebut-sebut soal Kakekmu lagi.

 

CLOSE UP tangan Bapak meremas bahu Arif, kuat, seolah menahan sesuatu.

 

IBU
(menatap suaminya, cemas)
Tapi, Yah… Arif memang harus cerita. Dia kelihatan ketakutan sekali.

 

CUT TO:

Sudut ruangan gelap di belakang mereka, bayangan samar tubuh Kakek terlihat berdiri diam. Hanya siluet, tak bergerak.

Arif menoleh — MATANYA MELEBAR.

 

ARIF
(menunjuk, panik)
Itu, Bu! Itu Kakek!

 

Ibu menoleh ke arah yang ditunjuk Arif, tapi ruangan kosong. Hanya bunyi air hujan menetes dari atap.

 

IBU
(berusaha menenangkan)
Arif, sudah, jangan mengigau lagi. Kakekmu sudah…

 

AYAH (dengan nada dingin, menatap tajam ke Arif):
…sudah selesai urusannya. Yang perlu kau lakukan sekarang… adalah meneruskan.

 

SILENCE.

Hanya suara hujan. Kamera perlahan ZOOM IN ke wajah Bapak yang mulai tampak aneh: matanya sedikit merah, kulit wajahnya pucat kebiruan.

 

Arif mundur selangkah, menyadari ada yang tidak beres dengan kedua orang tuanya.

 

CLOSE UP wajah Ibu — bibirnya tersenyum lembut, tapi matanya kosong, seperti tidak ada jiwa.

 

ARIF
(berbisik, gemetar)
B… bukan… bukan kalian…

 


CUT TO BLACK.


Suara pintu depan terbanting keras menutup.

 

16. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TENGAH – MALAM

PEMAIN : ARIF, IBU, BAPAK

Arif mundur, langkahnya goyah. Napasnya memburu.

Cahaya petir menyambar jendela, dan untuk sepersekian detik — bayangan Ibu dan Ayah Arif terlihat tembus cahaya.

CLOSE UP wajah Arif: matanya melebar, tubuhnya gemetar.

 

ARIF
(berbisik ketakutan)
K… kalian… bukan Ibu sama Ayahku…

 

Ibu tersenyum samar. Senyumnya terlalu lebar, tidak manusiawi.


Ibu melangkah maju, suara langkahnya bergaung aneh di lantai kayu.

 

IBU (SUARA GEMETAR, BERGAUNG)
(membelai wajah Arif)
Nak… apa bedanya? Kami tetap orang tuamu. Kami datang… untuk menjemputmu.

 

CLOSE UP tangan Ibu menyentuh pipi Arif. Kulit tangannya tampak pucat kehijauan, dengan urat menonjol seperti mayat.

Arif menepis, tubuhnya gemetar.

 

ARIF
(menjerit pelan)
Jangan sentuh aku!

 

BAPAK (SUARA DALAM, BERGAUNG):
(menatap tajam, mata memerah)
Kau tidak bisa lari, Arif. Kau darah keturunannya. Kau harus meneruskan doa itu.

 

CLOSE UP wajah Ayah berubah — kulitnya retak, darah hitam menetes dari sudut bibirnya.

 

Arif panik, berlari ke arah pintu depan.

Namun saat dibuka — ANGIN KENCANG menerpa masuk, pintu langsung menutup sendiri dengan hentakan keras.

Sudut rumah. Siluet Kakek berdiri di pojok ruangan, kali ini jelas.


Mata kosongnya menatap Arif, bibirnya bergumam doa asing, suara rendah, tak dimengerti.

 

ZOOM IN perlahan ke wajah Arif — ketakutan bercampur putus asa.

 

ARIF
(menangis, berteriak histeris)
Aku nggak mau! Aku nggak mau jadi pengganti!

 

Tiba-tiba — lampu gantung di langit-langit bergoyang hebat, satu per satu bohlam pecah. Ruangan gelap, hanya tersisa cahaya petir dari jendela.

 

SUARA SERENTAK (IBU, AYAH, DAN KAKEK, BERGAUNG):
(bersamaan, menyeramkan)
DOA… HARUS DITERUSKAN.

 

Arif terjepit di tengah ruangan.

Ibu dan Ayah mendekat perlahan dari kiri dan kanan.

Sementara Kakek melangkah maju dari depan, suaranya makin keras membaca doa terlarang itu.

 

CLOSE UP wajah Arif, air matanya jatuh.

 

CUT TO BLACK.


Terdengar hanya jeritan Arif bercampur dengan suara doa yang kian memekakkan telinga.

 

 

17. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TENGAH – MALAM

PEMAIN : ARIF, IBU, AYAH, PAK DARMO

Arif menangis tersengal, terjepit antara Ibu, Ayah, dan Kakek.


Tiba-tiba — ia nekat berlari ke arah jendela.

 

CLOSE UP wajah Arif yang penuh ketakutan, matanya basah.

Dengan teriakan putus asa, ia menerjang kaca jendela.

Kaca pecah berserakan, tubuhnya terhempas keluar.

 

CUT TO


18. EXT. HALAMAN RUMAH KAKEK – HUJAN DERAS – MALAM

PEMAIN : ARIF

Arif jatuh di tanah basah, tubuhnya luka-luka. Napasnya tersengal.


Ia bangkit dengan sisa tenaga, berlari terseok ke arah jalan tanah desa yang gelap.

 

Suara doa dari dalam rumah masih terdengar samar, mengikuti.

POV ARIF – jalan sepi, pepohonan bergoyang diterpa angin, bayangan-bayangan hitam seperti mengejar.

 

Arif berlari, lalu terpeleset di kubangan lumpur.

Saat kepalanya terbentur batu, LAYAR GELAP.

 

CUT TO FLASHBACK – ASAL MULA DOA TERLARANG

 

19. INT. SURAU TUA – MALAM (MASA LALU)

PEMAIN : DARMO MUDA, ULAMA TUA

Cahaya lampu minyak redup. Asap dupa memenuhi ruangan.

Kakek Arif muda (30-an) duduk bersila bersama seorang ULAMA TUA (70-an) yang tampak sakit-sakitan.

 

ULAMA TUA
(suara serak, bergetar)
Ingat, Nak… doa ini bukan untuk manusia biasa.
Ini doa pengikat roh. Bukan dari Kitab Suci… tapi dari sisi gelap yang tak boleh disentuh.

 

DARMO MUDA
(ambisius, mata berkilat)
Kalau bisa membuatku menguasai kubur… mengikat arwah, aku mau. Aku harus tahu.

 

Ulama tua menggeleng lemah, air matanya menetes.

 

ULAMA TUA
Kalau kau teruskan, keturunanmu akan menanggung.
Doa ini… akan menuntut penerus. Darahmu sendiri.

 

Darmo muda tersenyum tipis, menyalakan lilin hitam.

Ia mulai melafalkan doa dengan lidah bergetar.

 

SUARA DOA BERGAUNG — sama persis dengan yang tadi terdengar di rumah Kakek.

 

CUT TO:

Kuburan terbuka sendiri di luar surau. Dari dalam liang, asap hitam pekat menyembur, suara rintihan arwah menggema.

 BACK CUT TO ADEGAN – KEMBALI KE ARIF

20. EXT. JALAN DESA – MALAM

PEMAIN : ARIF

Arif terbangun, wajahnya penuh lumpur, tubuh lemas.

Nafasnya tersengal, matanya masih dihantui suara doa dari masa lalu yang kini bergaung di kepalanya.

 

CLOSE UP wajah Arif — ia baru sadar:

Kutukan itu bukan hanya milik Kakek.

Ia sendiri yang kini menjadi incaran doa terlarang itu.

 

SILENCE.

Lalu tiba-tiba dari balik pepohonan, terdengar suara langkah berat mendekat.

 

Arif menoleh…

 


CUT TO BLACK.


 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)