Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
11. INT. RUMAH PAK DARMO – PAGI
PEMAIN : ARIF, PAK DARMO, MBAH SASTRO, WARGA
Arif terbangun di ruang tamu, masih dengan pakaian semalam. Ia tertidur di kursi, kepalanya berat. Napasnya terengah, seakan mimpi buruk belum selesai.
Suara tangisan perempuan terdengar samar dari luar. Arif bangkit, linglung, lalu berjalan menuju kamar kakeknya.
KAMERA POV ARIF: Pintu kamar terbuka lebar. Di dalam, Pak Darmo terbujur kaku di atas dipan, sudah ditutupi kain putih kafan.
Arif terhenti, wajahnya pucat. Tangannya gemetar.
CLOSE UP: Arif mendekat, menyingkap sedikit kain kafan dari wajah kakeknya. Wajah Pak Darmo pucat membiru, matanya terpejam rapat. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Warga desa yang lebih tua, Mbah Sastro (65), masuk perlahan ke kamar. Suaranya berat, penuh wibawa.
Arif terpaku. Air matanya menetes. Tapi dalam hatinya ada keraguan besar. Ia tahu semalam kakeknya masih berbicara padanya.
SOUND DESIGN: Saat warga menyiapkan prosesi pemakaman, samar terdengar gema doa Pak Darmo—suara yang sama seperti malam tadi—muncul sekelebat di telinga Arif.
CLOSE UP WAJAH ARIF: Ia menoleh ke sekeliling, panik, tapi warga tak mendengar apa-apa. Mereka tetap sibuk menyiapkan jenazah.
KAMERA SLOW ZOOM: Mata Arif basah, tubuhnya gemetar. Dalam pikirannya, pertanyaan berulang: Apakah semalam nyata… ataukah doa kakeknya masih mengikatnya bahkan setelah mati?
FADE OUT.
12. EXT. AREA PEMAKAMAN DESA – SIANG
PEMAIN : USTAD DESA, WARGA DESA
Langit mendung, matahari tertutup awan kelabu. Angin bertiup kencang, membuat dedaunan kering beterbangan. Warga desa berjalan beriringan, membawa jenazah Pak Darmo di atas keranda bambu.
KAMERA WIDE: Rombongan melewati jalan tanah becek, suasana khidmat. Suara doa dilantunkan lirih oleh ustaz desa.
CUT TO:
13. EXT. LUBANG KUBUR – SIANG
PEMAIN : ARIF, MBAH SASTRO, WARGA
Liang lahat sudah siap, digali tepat di bawah pohon beringin tua yang menjulang. Akar-akarnya menembus tanah, menjuntai seperti tangan.
Arif berdiri di dekat lubang, wajahnya tegang. Matanya berkaca-kaca melihat tubuh kakeknya diturunkan perlahan ke dalam liang.
CLOSE UP: Saat tanah pertama kali ditaburkan, kamera menyorot wajah Arif—dan samar-samar terdengar gumaman doa Pak Darmo di telinganya.
Arif tersentak. Ia menoleh ke sekeliling. Warga tetap khusyuk berdoa, tak ada yang mendengar suara itu.
KAMERA TRACKING: Seorang warga menutup liang lahat dengan tanah, sekop demi sekop. Setiap tanah jatuh, suara doa samar terdengar semakin keras, hingga berubah menjadi jeritan serak.
SOUND DESIGN: Jeritan itu bercampur dengan bunyi sekop, tapi hanya Arif yang bereaksi.
CLOSE UP: Arif hendak turun ke liang untuk menghentikan, tapi Mbah Sastro memegang bahunya keras.
Arif menatap Mbah Sastro, bingung dan takut. Ucapannya terasa ganjil.
KAMERA LOW ANGLE – DARI DALAM LIANG:
Tanah terus ditimbun, menutupi kamera, hingga gelap total.
CUT TO:
14. EXT. PEMAKAMAN – SESUDAHNYA
PEMAIN : ARIF, WARGA
Warga mulai bubar. Arif masih berdiri mematung di depan kubur. Angin berdesir. Daun beringin jatuh tepat di atas nisan.
SOUND DESIGN: Samar… suara napas berat dari dalam tanah.
CLOSE UP WAJAH ARIF: Ia pucat pasi. Bibirnya bergetar.
FADE OUT
15. INT. RUMAH KAKEK – MALAM
PEMAIN : ARIF, IBU (40-AN), BAPAK (50-AN), PAK DARMO
Hujan deras mengguyur desa. Kilatan petir sesekali menerangi rumah peninggalan keluarga. Arif duduk gemetar di ruang tengah, wajah pucat, matanya kosong menatap lantai.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu depan.
DOR! DOR! DOR!
Arif berlari membuka pintu. Saat pintu terbuka, berdiri sepasang suami-istri dengan wajah tegas namun penuh kekhawatiran — IBU ARIF (40-an) dan AYAH ARIF (50-an). Baju mereka masih basah kuyup oleh hujan, rambut lepek, wajah cemas.
CLOSE UP ekspresi lega Arif, namun bercampur bingung.
CLOSE UP tangan Bapak meremas bahu Arif, kuat, seolah menahan sesuatu.
CUT TO:
Sudut ruangan gelap di belakang mereka, bayangan samar tubuh Kakek terlihat berdiri diam. Hanya siluet, tak bergerak.
Arif menoleh — MATANYA MELEBAR.
Ibu menoleh ke arah yang ditunjuk Arif, tapi ruangan kosong. Hanya bunyi air hujan menetes dari atap.
SILENCE.
Hanya suara hujan. Kamera perlahan ZOOM IN ke wajah Bapak yang mulai tampak aneh: matanya sedikit merah, kulit wajahnya pucat kebiruan.
Arif mundur selangkah, menyadari ada yang tidak beres dengan kedua orang tuanya.
CLOSE UP wajah Ibu — bibirnya tersenyum lembut, tapi matanya kosong, seperti tidak ada jiwa.
CUT TO BLACK.
Suara pintu depan terbanting keras menutup.
16. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TENGAH – MALAM
PEMAIN : ARIF, IBU, BAPAK
Arif mundur, langkahnya goyah. Napasnya memburu.
Cahaya petir menyambar jendela, dan untuk sepersekian detik — bayangan Ibu dan Ayah Arif terlihat tembus cahaya.
CLOSE UP wajah Arif: matanya melebar, tubuhnya gemetar.
Ibu tersenyum samar. Senyumnya terlalu lebar, tidak manusiawi.
Ibu melangkah maju, suara langkahnya bergaung aneh di lantai kayu.
CLOSE UP tangan Ibu menyentuh pipi Arif. Kulit tangannya tampak pucat kehijauan, dengan urat menonjol seperti mayat.
Arif menepis, tubuhnya gemetar.
CLOSE UP wajah Ayah berubah — kulitnya retak, darah hitam menetes dari sudut bibirnya.
Arif panik, berlari ke arah pintu depan.
Namun saat dibuka — ANGIN KENCANG menerpa masuk, pintu langsung menutup sendiri dengan hentakan keras.
Sudut rumah. Siluet Kakek berdiri di pojok ruangan, kali ini jelas.
Mata kosongnya menatap Arif, bibirnya bergumam doa asing, suara rendah, tak dimengerti.
ZOOM IN perlahan ke wajah Arif — ketakutan bercampur putus asa.
Tiba-tiba — lampu gantung di langit-langit bergoyang hebat, satu per satu bohlam pecah. Ruangan gelap, hanya tersisa cahaya petir dari jendela.
Arif terjepit di tengah ruangan.
Ibu dan Ayah mendekat perlahan dari kiri dan kanan.
Sementara Kakek melangkah maju dari depan, suaranya makin keras membaca doa terlarang itu.
CLOSE UP wajah Arif, air matanya jatuh.
CUT TO BLACK.
Terdengar hanya jeritan Arif bercampur dengan suara doa yang kian memekakkan telinga.
17. INT. RUMAH KAKEK – RUANG TENGAH – MALAM
PEMAIN : ARIF, IBU, AYAH, PAK DARMO
Arif menangis tersengal, terjepit antara Ibu, Ayah, dan Kakek.
Tiba-tiba — ia nekat berlari ke arah jendela.
CLOSE UP wajah Arif yang penuh ketakutan, matanya basah.
Dengan teriakan putus asa, ia menerjang kaca jendela.
Kaca pecah berserakan, tubuhnya terhempas keluar.
CUT TO
18. EXT. HALAMAN RUMAH KAKEK – HUJAN DERAS – MALAM
PEMAIN : ARIF
Arif jatuh di tanah basah, tubuhnya luka-luka. Napasnya tersengal.
Ia bangkit dengan sisa tenaga, berlari terseok ke arah jalan tanah desa yang gelap.
Suara doa dari dalam rumah masih terdengar samar, mengikuti.
POV ARIF – jalan sepi, pepohonan bergoyang diterpa angin, bayangan-bayangan hitam seperti mengejar.
Arif berlari, lalu terpeleset di kubangan lumpur.
Saat kepalanya terbentur batu, LAYAR GELAP.
CUT TO FLASHBACK – ASAL MULA DOA TERLARANG
19. INT. SURAU TUA – MALAM (MASA LALU)
PEMAIN : DARMO MUDA, ULAMA TUA
Cahaya lampu minyak redup. Asap dupa memenuhi ruangan.
Kakek Arif muda (30-an) duduk bersila bersama seorang ULAMA TUA (70-an) yang tampak sakit-sakitan.
Ulama tua menggeleng lemah, air matanya menetes.
Darmo muda tersenyum tipis, menyalakan lilin hitam.
Ia mulai melafalkan doa dengan lidah bergetar.
SUARA DOA BERGAUNG — sama persis dengan yang tadi terdengar di rumah Kakek.
CUT TO:
Kuburan terbuka sendiri di luar surau. Dari dalam liang, asap hitam pekat menyembur, suara rintihan arwah menggema.
BACK CUT TO ADEGAN – KEMBALI KE ARIF
20. EXT. JALAN DESA – MALAM
PEMAIN : ARIF
Arif terbangun, wajahnya penuh lumpur, tubuh lemas.
Nafasnya tersengal, matanya masih dihantui suara doa dari masa lalu yang kini bergaung di kepalanya.
CLOSE UP wajah Arif — ia baru sadar:
Kutukan itu bukan hanya milik Kakek.
Ia sendiri yang kini menjadi incaran doa terlarang itu.
SILENCE.
Lalu tiba-tiba dari balik pepohonan, terdengar suara langkah berat mendekat.
Arif menoleh…
CUT TO BLACK.