Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DOA PENGGALI KUBUR
Suka
Favorit
Bagikan
1. KAKEK DARMO

FADE OUT FADE INI

 

01. EXT. PEMAKAMAN DESA – MALAM

PEMAIN ; PENGGALI KUBUR / PAK DARMO (60-AN)

Langit hitam pekat. Bulan separuh diselimuti awan tipis. Angin berdesir pelan, membawa suara suara kodok bersahut-sahutan dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan.

 

KAMERA MELUNCUR perlahan melewati batu nisan berlumut. Lilin-lilin kecil terbakar redup di samping gundukan tanah basah. Embun malam menempel di daun ilalang yang tinggi.

Suara cangkul menghantam tanah memecah keheningan.

Dug! Dug! Dug!

 CUT TO:


SEORANG PENGGALI KUBUR TUA (60-an), tubuh kurus, wajah keriput, sorot mata kosong. Ia menggali kubur seorang diri. Lampu petromak kecil tergantung di dahan, berayun-ayun, membuat bayangannya tampak seperti sosok raksasa menari di dinding tanah.

 

Peluh bercampur tanah di wajahnya. Nafasnya berat.

 

SFX: Krik-krik... angin bertiup lebih kencang.

 

KAMERA CLOSE UP pada mulut si Penggali Kubur. Ia mulai berbisik...

 

PENGGALI KUBUR
(dengan suara serak, lirih, seperti membaca mantra)
Bismillahirrahmanirrahim... Ashhadu alla ilaha illallah...

 

Tapi... lafalnya melenceng. Ada kata-kata asing yang terselip, menyerupai doa tapi terasa ganjil dan menyeramkan.

 

SFX: Suara tanah bergeser... lirih seperti bisikan banyak orang...

 

ANGLE LOW dari dalam lubang kubur — tanah yang digali tampak gelap, lembab, dan dalam. Dari dalam seolah ada sesuatu yang bernafas.

 

PENGGALI KUBUR
(terus membaca, semakin aneh, suaranya bergetar)
...wa syahidu anna... laisa... nur... fi zhulumat...

 

SFX: Tiba-tiba suara keras — "BRUKK!"

Cangkulnya mengenai sesuatu keras di dalam tanah. Bukan batu.

 

KAMERA CLOSE UP: potongan kain kafan kotor, penuh darah kering, menyembul dari tanah.

 

Wajah si Penggali Kubur pucat. Matanya melebar.

 

CUT TO:

 

KAMERA SLOW ZOOM IN pada kain kafan itu. Dari lipatan kain, keluar jari tangan hitam membusuk perlahan, seolah mendorong tanah.

 

PENGGALI KUBUR
(berbisik, ketakutan namun terhipnotis)
Ampuni aku... aku hanya menjalankan tugas...

 

SFX: Bisikan-bisikan makin ramai, bergema di sekeliling kuburan, seperti banyak orang berdoa terbalik.

Lampu petromak tiba-tiba PADAM. Gelap total.

 

HENING.

Lalu... dari kegelapan, sepasang mata merah menyala muncul di dalam lubang.

 

CUT TO BLACK

TITLE CARD:


DOA PENGGALI KUBUR

(dengan font retak, darah menetes pelan)

 

SFX: Teriakan histeris bercampur suara tanah longsor.

FADE OUT.


 TEXT ON SCREEN:

"DOA PENGGALI KUBUR"

 

02. INT. KAMAR KOS – PAGI

PEMAIN : ARIF (25)

KAMERA PAN SLOW melewati dinding kamar kos kecil yang penuh poster musik indie, buku arsitektur, dan laptop yang masih menyala dari semalam. Suara lalu lintas kota samar terdengar di luar jendela.

 

KAMERA WIDE SHOT — menyorot ARIF, pemuda sederhana, tubuh tinggi agak kurus, wajah teduh tapi sorot matanya menyimpan kegelisahan.

 

Di ranjang, ARIF, masih tertidur telungkup. Alarm ponsel berbunyi kencang. Ia menggerutu, meraba-raba meja kecil untuk mematikannya.

 

ARIF
(setengah sadar)
Aduh… lima menit lagi deh…

 

CLOSE UP wajah Arif. Matanya masih sayu, jelas tipe anak muda yang sering begadang.

 

CUT TO:

Arif buru-buru bersiap. Ia mengenakan jaket lusuh, ransel sederhana, lalu menyambar helm. Saat keluar dari kamar kos, suasana kontras terasa—hiruk pikuk kota, suara klakson, pedagang sarapan di pinggir jalan.

 

CUT TO

 

03. EXT. JALAN KOTA – PAGI

PEMAIN : ARIF

Arif naik motor bebek tuanya, melaju di antara padatnya kendaraan. KAMERA DRONE menyorot dari atas, memperlihatkan kontras dunia kota yang ramai—jauh dari atmosfer sunyi pemakaman di adegan pembuka.

 

MONTAGE SINGKAT:

·        Arif di kampus, bercanda dengan teman-temannya.

·        Ia presentasi desain arsitektur dengan penuh semangat.

·        Nongkrong di warung kopi, tertawa lepas.

Dari luar, hidup Arif terlihat normal dan penuh rencana. Tapi sesekali, ia termenung menatap layar ponsel: sebuah pesan singkat dari ibunya.

 

SMS IBU (ON SCREEN TEXT)
“Nak, kakekmu sakit. Lihatlah kakekmu sebelum terlambat. Nanti ibu menyusul bersama ayah.”

 

CLOSE UP ekspresi Arif. Senyumnya hilang. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.

 

SOUND DESIGN: Suara kota perlahan meredup. Digantikan oleh gema samar suara doa Pak Darmo dari adegan pertama.

Arif menoleh ke sekeliling, seolah mendengar bisikan yang tak dimengerti. Tapi teman-temannya tetap asyik bercanda, tak mendengar apa-apa.

 

MATCH CUT TO:


04. EXT. TERMINAL BUS – SIANG

PEMAIN : ARIF

Arif berdiri dengan ransel di punggung, menatap bus tua yang akan membawanya kembali ke desa. Wajahnya bimbang, tapi ia tahu tak bisa menunda.

 

KAMERA TRACKING BACK menjauh perlahan, memperlihatkan tubuh Arif yang kecil di tengah terminal yang ramai.

FADE OUT.

 

05. EXT. JALAN PEDESAAN – SORE 

PEMAIN : ARIF

Bus berderit pelan di jalan berkelok, melewati sawah yang luas. Langit jingga memudar keabu-abuan, pertanda malam segera turun.

 

KAMERA POV DARI JENDELA BUS:

Arif menatap keluar jendela. Pemandangan kota yang ramai sudah berganti jadi hutan bambu gelap dan pemakaman kecil di pinggir jalan. Semakin masuk desa, semakin sunyi.

 

SOUND DESIGN: Suara mesin bus makin samar, tergantikan dengan suara kodok, serangga malam, dan desir angin yang dingin.

CUT TO:

 

06. EXT. HALTE DESA – SENJA

PEMAIN : ARIF

Bus berhenti di depan halte dengan lampu neon berkedip. Arif turun, membawa ransel. Tak ada satu pun penumpang lain. Bus melaju pergi, meninggalkan debu.

 

KAMERA WIDE: Arif berdiri sendirian di bawah lampu temaram. Desa tampak sepi. Rumah-rumah kayu tertutup rapat. Hanya ada suara anjing menggonggong jauh di kejauhan.

 

Arif menyalakan ponsel, tak ada sinyal. Ia menarik napas panjang, lalu mulai berjalan kaki menuju rumah kakeknya.

 

MONTAGE:

·Jalan setapak desa penuh dedaunan kering.

·Pohon beringin tua menjulang, rantingnya berayun menutupi cahaya bulan.

·Sejenak, Arif merasa ada bayangan seseorang berjalan di belakangnya. Ia menoleh—tak ada siapa-siapa.

 

CUT TO

 

07. EXT. RUMAH PAK DARMO – MALAM

PEMAIN : ARIF

Rumah kayu besar peninggalan kakeknya tampak tua dan lapuk, berdiri di pinggir desa dekat area pemakaman. Beberapa papan kayu berderit diterpa angin. Lampu minyak menggantung di serambi, redup dan goyah.

 

Arif berhenti di depan pagar bambu, menatap rumah itu lama. Raut wajahnya bimbang, antara rindu dan takut.

 

KAMERA CLOSE UP: Tangannya gemetar saat membuka pintu pagar. Bunyi engsel berdecit panjang, menusuk telinga.

 

CUT TO


08. INT. RUMAH PAK DARMO – MALAM

PEMAIN : ARIF

Arif masuk. Ruangan utama gelap, hanya diterangi cahaya minyak. Bau tanah basah bercampur kayu lapuk menyambutnya. Foto-foto keluarga tua tergantung di dinding, tatapannya seolah mengikuti langkah Arif.

 

ARIF
(berbisik, menahan napas)
Assalamualaikum…

 

Tak ada jawaban. Hanya suara detak jam dinding tua yang sangat keras.

 

KAMERA TRACKING: Arif melangkah melewati ruang tamu. Lantai kayu berderit setiap ia injak. Di ujung lorong, terlihat pintu kamar kakeknya setengah terbuka.

 

SOUND DESIGN: Dari dalam kamar samar terdengar suara doa… mirip suara Pak Darmo.

 

Arif tertegun. Ia tahu kakeknya seharusnya sakit parah. Perlahan ia mendekat, tangan hendak mendorong pintu.

 

CLOSE UP: Pintu bergerak pelan… suara doa makin jelas.

 

CUT TO BLACK.

 

09. INT. KAMAR PAK DARMO – MALAM

PEMAIN ; ARIF, PAK DARMO

Pintu kamar berderit perlahan saat Arif mendorongnya. Cahaya lampu minyak berkelip-kelip, membuat bayangan panjang menari di dinding.

 

KAMERA POV ARIF:

Di dalam kamar, terlihat sosok Pak Darmo duduk di lantai, menghadap kiblat. Tubuhnya membungkuk, mulutnya komat-kamit membaca doa. Kitab lusuh tergeletak di hadapannya.

 

Arif menahan napas. Matanya berkaca-kaca melihat kakeknya yang kurus dan renta.

 

ARIF
(pelan, tercekat)
Kek… ini aku, Arif…

 

CLOSE UP: Pak Darmo berhenti membaca doa. Tubuhnya kaku. Kepalanya menoleh perlahan ke arah Arif.

 

SUSPENSE: Gerakan kepala terlalu pelan, seakan sendi lehernya berkarat.

 

Ketika wajahnya terlihat jelas—kulit Pak Darmo pucat, urat-urat menonjol, matanya terbuka lebar tapi kosong, seperti tak lagi hidup. Bibirnya masih bergetar menggumam doa tanpa suara.

 

KAMERA HANDHELD: Arif melangkah maju dengan ragu. Ia menyentuh bahu kakeknya. Tubuh itu dingin dan keras, tak seperti orang sakit, tapi seperti mayat.

 

ARIF
Kek? Astaghfirullah…

 

Tiba-tiba, tangan Pak Darmo mencengkeram pergelangan Arif dengan kekuatan mengejutkan.

 

SOUND DESIGN: Suara bacaan doa mendadak terdengar jelas di ruangan, tapi bukan dari mulut Pak Darmo. Seakan keluar dari dinding, lantai, dan udara.

 

CLOSE UP WAJAH PAK DARMO: Dari matanya menetes air hitam pekat, mirip tanah basah. Bibirnya bergetar, lalu terdengar suara serak:

 

PAK DARMO
(berbisik lirih)
Jangan berhenti… teruskan… kalau tidak… mereka akan kembali…

 

Arif panik, mencoba melepaskan cengkeraman. Tangan kakeknya terasa kaku seperti tulang kering.

Tiba-tiba lampu minyak padam seketika.

 

CUT TO BLACK.

Hanya tersisa suara napas Arif yang memburu, bercampur gema doa yang melayang di kegelapan.

 

10. EXT. HALAMAN RUMAH PAK DARMO – PAGI

Matahari pagi menembus kabut tipis. Ayam berkokok. Udara dingin bercampur bau tanah basah.

 

KAMERA WIDE: Beberapa warga desa sudah berkumpul di depan rumah Pak Darmo. Wajah mereka muram, sebagian mengenakan kain hitam.

 

CUT TO:


 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)