Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
8.INT. KORIDOR KANTOR - RUANGAN PUTRA. DAY
Afsari heran karena koridor ruangan Pak Putra sepi. Kursi sekretarisnya pun kosong. Dia ragu untuk menaruh dokumen laporannya di meja sekretaris.
Afsari mengintip ke dalam ruangan Putra dan terlihat Bosnya ada di dalam dengan sosok yang membelakanginya. Mereka terlihat sedang berbicara serius.
Saat kebingungan, ponsel Afsari berbunyi dan dia mengangkatnya.
AFSA
Ya, Yah?
AYAH AFSA (O.S)
Kamu sudah sampai? Apa kamu baik-baik saja?
AFSA
Ya... Aku baik-baik saja.
INTERCUT TO
8.INT. RUMAH AFSA. DAY
Terlihat ayah Afsa yang memegang ponsel. Duduk di sebuah kursi dengan tangan yang menutup matanya untuk menahan tangis.
AYAH AFSA
Maafin, Ayah, Afsa. Ayah... sudah menimbulkan masalah.
INTERCUT WITH AFSA
AFSA
Jangan berkata seperti itu, Ayah. Ini juga gara-gara Afsa...
AYAH AFSA
Nggak, Nak. Ini bukan gara-gara kamu. Ini salah ayah yang meminjam uang ke rentenir.
Afsa meremasnya dokumen yang dipegangnya. Tangan satunya memegang ponsel.
CUT TO
9.INT. RUANG KANTOR. DAY
Tiba-tiba, pintu ruangan Putra terbuka dan Putra keluar dari sana dan menutup kembali pintunya dengan keras. Tubuhnya terhuyung saat melangkah. Dia pun berpegangan ke dinding.
Afsa pun berlari ke arah Putra.
AFSA
(cemas)
Pak... Anda baik-baik saja?
Tak lama, Pak Nanda keluar dari ruangan yang sama.
PAK NANDA
Putra, Ayah belum selesai.
Putra menegakkan tubuhnya, menghadapkan kembali badannya kepada Pak Nanda.
PAK NANDA (CONT'D)
Ayah melakukan semua ini agar kamu tidak terus main-main!
PUTRA
(terlihat lelah)
Apa ayah tidak melihat kerja kerasku selama ini? Apa ayah mengira gedung ini dibangun dengan mudah? Siapa yang membuat perusahaan ini terus berjaya? Siapa Yah? Dan Ayah bilang aku main-main?
PAK NANDA
Maksud ayah, kamu terus bermain-main dengan wanita.
PUTRA
(kening mengerenyit)
Apa?
PAK NANDA
Ayah lihat bahwa kamu terus bergonta-ganti pacar. Kamu tidak pernah siap berkomitmen. Dan itu membuat ayah kuatir.
PUTRA
(senyum sinis)
Kenapa Ayah harus peduli?
PAK NANDA
Bukankah itu caramu untuk menutupi sesuatu? ... agar terlihat normal?
PUTRA
Hah? Jadi, ayah mengira aku tidak normal? (mengelengkan kepala)
PAK NANDA
Kalau kamu menikah... maka kamu akan semakin stabil, Nak.
PUTRA
Tahu apa Ayah tentang pernikahan? Bukankah Ayah juga bercerai dengan Ibu?
PAK NANDA
Justru karena itulah. Ayah tidak mau kamu seperti Ayah.
Putra memalingkan wajahnya.
PAK NANDA (CONT'D)
Buktikan kepada Ayah kalau mampu berkomitmen dengan satu wanita. Buktikan kalau kamu baik-baik saja.
PUTRA
(menoleh dan menatap Pak Nanda)
Aku baik-baik saja.
PAK NANDA
Tolong, Nak. Jangan terus berbohong bahwa kamu baik-baik saja.
Putra mengepalkan tangannya dan menatap Ayahnya penuh kebencian.
PAK NANDA (CONT'D)
Apa kamu mau Ayah kembalikan ke tempat itu?
Terlihat Afsari yang canggung melihat kedua sosok di depannya.
PAK NANDA (CONT'D)
Ingat, kali ini kamu akan kehilangan kekuasaanmu kalau kamu menolak permintaan Ayah.
Afsa berdeham sehingga Pak Nanda dan Putra menoleh kepadanya.
AFSA
Maaf Pak, tapi saya tidak tahan mendengarnya. Tapi menikah tidak lah untuk main-main, Pak. Menikah tidak hanya ingin, tapi harus siap. Jika Pak Putra tidak mau, maka Anda tidak berhak memaksanya.
Dan daripada memaksa Pak Putra menikah. Kenapa Anda tidak mencari tahu alasannya, kenapa Pak Putra tidak mau menikah. Itu yang seharusnya dilakukan seorang ayah.
Afsa berhenti dengan ucapannya, kemudian salah tingkah karena kedua orang di depannya ini sedang menatapnya.
AFSA (CONT'D)
Maaf. Saya Permisi.
Afsa melewati Putra dan Pak Nanda. Dia memukul-mukul kepalanya. Menyesali perbuatannya.
AFSA (V.O)
Duh, Afsa bego banget kamu. Ngapain kamu marahin Bos besar?
Afsa berjalan cepat. Terlihat Putra pun mengikutinya.
PUTRA
Tunggu!
Putra mengejar Afsari yang semakin kencang berjalan.
PUTRA (CONT'D)
(meraih bahu Afsa)
Tunggu!
AFSA
(mematung, kemudian berbalik dengan menutup mata)
Maaf, Pak. Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya punya utang dan harus dilunasi secepatnya. Tolong jangan pecat saya, Pak. Maafkan saya, Pak.
PUTRA
(tersenyum kecil)
Lari kamu kencang juga ya. Saya cuma mau bilang makasih.
AFSA
(kaget)
Hah?
Afsa mendongak dan menemukan Putra melihat ke arahnya.
PUTRA
Apa bisa kita bicara?
CUT TO
10.INT. RESTORAN. DAY
Afsari dan Putra duduk di kursi yang berhadapan. Terdapat minuman di meja di hadapan masing-masing.
PUTRA
Memangnya utang bekas apa sampai kamu nggak mau dipecat?
AFSA
(tersenyum kaku)
Ah... itu...nggak kok, Pak. Oia, Pak... Maafin saya ya udah bicara sembarangan seperti itu kepada Pak Komisaris. Maaf ya, Pak.
PUTRA
(menggelengkan kepala)
Justru aku mau bilang makasih... Setidaknya, ucapanmu mewakili apa yang ingin aku katakan.
AFSA
(tersenyum kaku)
Jadi Bapak memang tidak mau menikah, ya?
PUTRA
Begitulah.
AFSA
Kalau begitu sama dengan saya.
Putra mengangkat alisnya.
AFSA (CONT'D)
Saya juga tidak mau menikah.
PUTRA
Benarkah? Kenapa?
AFSA
(tegang)
Itu...
PUTRA
Apa... keluargamu tahu alasanmu?
AFSA
Ya... Mereka tahu.
PUTRA
Lalu mereka menerimanya?
Afsari mengangguk.
AFSA
Mungkin Bapak juga bisa coba kasih tahu alasannya. Pasti Ayah Bapak akan ngerti.
PUTRA
(tertawa pahit)
Tidak mungkin. Kalau aku bilang alasannya... maka aku pasti akan hancur.
Afsa menatap Putra yang terlihat sedih.
PUTRA(CONT'D)
(berdeham)
Sorry.
Putra mengambil minuman di depannya dan meminumnya.
Terlihat pramusaji yang sibuk mengantarkan pesanan kepada meja di sebelah mereka.
AFSA
Sebenarnya... saya juga takut dengan pernikahan...
PUTRA
Hm?
Putra menyimpan kembali gelas minuman.
AFSA
(menunduk)
Iya... Dan ayahku mengerti saat dia tahu alasannya. Meski, kesedihan yang dipancarkan di wajahnya selalu menggangguku.
Putra memperhatikan Afsari.
AFSA
Eh, maaf Pak. Saya kok jadi curhat.
PUTRA
Kamu beruntung... ayahmu mengerti alasanmu.
AFSA
Apa Ayah Bapak tidak akan mengerti? Seperti Ayahku?
PUTRA
Entahlah. Sepertinya dia akan sulit untuk mengerti.
AFSA
Apakah sesulit itu?
PUTRA
(menghela napas)
Iya. Ayahku... selalu menuntutku untuk sempurna. Bagaimanapun aku harus menikah dan memiliki penerus keluarga ini, kan?
AFSA
Hm...
PUTRA
Tapi... Aku tidak bisa membayangkan harus berbagi ranjangku dengan oranglain.
Afsa berdeham. Dia mengalihkan pandangannya.
PUTRA
Sorry. I mean...
AFSA
Iya, Pak. Aku ngerti.
Putra sedikit canggung.
AFSA
Lalu, apa yang akan Bapak lakukan sekarang?
PUTRA
Entahlah... Sepertinya ini saat terakhir aku menjadi Bos mu. Aku harus menerima kekalahanku.
AFSA
Loh, kenapa?
PUTRA
Sudah fix, kalau aku akan kehilangan semuanya karena pernikahan ini. Karena aku... tidak bisa menikah.
AFSA
Tidak bisa menikah?
PUTRA
Well. Ya. Sulit dijelaskan. Tapi ingat ya... aku normal. Aku hanya tidak ingin menikah.
Kening Afsa berkerut, dia menatap dalam Putra.
PUTRA (CONT'D)
Dan sepertinya, aku harus rela karena semua keberhasilanku selama ini akan sia-sia dan aku akan kalah dengan saudara-saudaraku yang lain.
Putra menundukkan kepalanya.
AFSA (V.O)
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Pak Putra? Apakah begitu sulitnya untuk menikah? Apakah sama yang dirasakannya seperti yang kurasakan?
AFSA
Kakakku pernah berkata, bahwa... tidak ada orang di dunia ini yang harus dikalahkan, karena kompetisi... sebenarnya... hanyalah ilusi.
Putra tertohok. Dia terdiam menatap Afsari.
AFSA (CONT'D)
Saya kira, kehidupan Pak Putra begitu sempurna... sudah tampan, mapan, sukses, punya perusahaan besar, dan keluarga yang hebat.
Putra bersandar di kursinya.
AFSA (CONT'D)
Bahkan, saya lihat, Bapak selalu tersenyum bahagia. Saya tidak mengira, Bapak punya kesulitan seperti ini.
PUTRA
(tertawa hambar)
Ya... Kamu pun harus tahu... di dunia ini, ada orang-orang yang tersenyum karena mereka harus, bukan karena mereka ingin.
Afsari dan Putra saling berpandangan. Dan setelah beberapa lama, mereka menjadi salah tingkah.
PUTRA
(berdeham)
Baiklah... Rasanya menyenangkan bicara denganmu.
AFSA
(tersenyum)
Iya, Pak. Saya harap ada jalan untuk Bapak keluar dari masalah Bapak.
PUTRA
Iya... Semoga... Kamu juga... semoga bisa cepat lunasin utang kamu.
AFSA
(malu dan bicara tanpa melihat Putra)
Oia Pak. Ngomong-ngomong soal utang. Barangkali mungkin Bapak bisa pinjami saya uang untuk bayar utang? Boleh deh dipotong gajinya bertahun-tahun. Jatuh temponya tiga hari lagi, Pak. Kalau nggak dibayar... saya takut...
Afsa berhenti dengan kalimatnya, setelah mendongakkan kepala dan bertemu dengan mata Putra. Dia pun kembali menundukkan kepalanya dan memukul-mukul keningnya.
AFSA (V.O)
Afsa... kamu malu-malu in....sumpah...
PUTRA
Ok. Aku akan bayar utangmu, asalkan...
Afsa mendongak.
PUTRA (CONT'D)
Kamu mau menikah denganku.
Putra meletakkan siku di meja, mencondongkan badannya dan menatap dalam Afsari.
PUTRA
Bagaimana?
AFSA
(kaget)
Hah?
PUTRA
Aku bantu kamu, kamu pun bisa bantu aku. Kita tidak harus tinggal bersama. Kita melakukan ini hanya untuk status.
AFSA
(tertawa kecil)
Bapak bercanda.
PUTRA
Aku serius. Dengar, kamu tidak mau menikah... aku pun begitu. Supaya kita tidak terus dipaksa menikah, maka harus punya status MENIKAH. Benar, kan?
AFSA
Tapi...
PUTRA
Kamu pun tidak hanya akan melunasi utangmu, tapi kamu juga akan menerima sebagian dari kekayaanku. Gimana?
Putra mengamati Afsa dengan tersenyum. Afsa masih dalam kagetnya.
AFSA
Bapak itu sedang apa sih? Meski saya takut menikah. Bukan berarti saya tidak mau menikah. Saya hanya belum siap.
Putra kembali menyandarkan punggungnya. Wajahnya kecewa.
AFSA (CONT'D)
Maaf Pak. Tapi saya tidak mau mempermainkan sebuah pernikahan. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada Bapak. Tapi... sebaiknya Bapak hadapi ketakutan itu, bukan melarikan diri.
Putra melihat Afsari. Dia terdiam.
AFSA (CONT'D)
Di masa lalu... saya pun mengalami kejadian mengerikan. Dan karena itulah saya takut dengan pernikahan. Tapi... saya menerima diriku... memaafkan diriku... sehingga saya bisa melanjutkan hidup. Saya harap... Bapak pun bisa melakukannya.
Putra menatap dalam Afsari. Lama.
AFSA
Maaf, Pak, mungkin saya sudah lancang. Permisi.
Afsa beranjak dan meninggalkan Putra yang masih termenung.
CUT TO