Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
FADE-IN
FADE-OUT
41. INT. RUMAH DANNY. DEPAN RUMAH. MALAM.
Cast. Danny. Susan. Enni. Eka. Elisa.
Susan merapikan rambut dan wajahnya melalui kaca spion, lalu turun dari mobil. Dia menyentuh bel yang ada di tembok pagar rumah, menanti. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan terlihat Danny. Dia terkejut melihat Susan datang malam-malam.
DANNY
Susan?
Susan tersenyum lebar melihat Danny. Pria itu bergegas turun dari teras untuk membuka pintu pagar.
SUSAN
Hai, Dan…
Danny membuka gembok, membuka pintu pagar lebar-lebar. Tapi sebelum Susan melangkah masuk, sebuah suara menghentikannya. Enni berdiri di ambang pintu dengan wajah masam.
ENNI
Mau apa kamu malam-malam kemari?
Wajah Susan memucat melihat reaksi Enni.
SUSAN
Selamat malam, Tante… eum…
ENNI
Kamu tidak diterima di sini! Pulang saja! Jangan pernah ke sini lagi!
DANNY
Ma! Tolong, jangan seperti itu…
ENNI
Kenapa? Ini rumah Mama. Mama punya hak menerima atau menolak tamu yang datang!
Tiba-tiba Eka dan Elisa sudah berdiri di belakang Enni. Susan terkejut melihat Elisa.
SUSAN
Danny…
Eka merasa tidak enak melihat istrinya memarahi Susan, dia berusaha menenangkan dengan menarik tangan Enni, mengajaknya ke dalam.
EKA
Biar jadi urusan anak-anak… Yuk, masuk…
Sebelum Enni dan Eka masuk ke dalam, Susan mendahului.
SUSAN
Tante, Om, maaf jika sudah mengganggu… Saya permisi…
Tanpa menunggu lagi Susan berbalik dan bergegas menuju ke mobil, lalu masuk. Danny berusaha meraih tangan Susan namun ditepis. Ketika Susan masuk ke mobil, Danny berusaha mengetuk jendela namun Susan tidak peduli. Dia menyalakan mesin mobil dan berlalu, meninggalkan Danny.
Ada sebutir air yang turun dari sudut mata Susan.
FADE-IN
FADE-OUT
42. INT. RUMAH DANNY. KAMAR DANNY. MALAM.
Cast. Danny
Danny gelisah, mondar-mandir di kamar, mencoba menelepon Susan tapi tidak dijawab.
FADE-IN
FADE-OUT
43. INT. RUMAH SUSAN. KAMAR SUSAN. MALAM.
Cast. Susan
Susan baru saja tiba di rumah dan langsung naik ke kamarnya. Menengok ponselnya dan mendapati missed called dari Danny. Lalu ponselnya berdering lagi, dilihatnya nama Danny di layar. Susan melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan masuk ke kamar mandi.
CUT TO:
44. INT. KANTOR DANNY. PAGI
Cast. Danny
Di meja kantornya, Danny masih gelisah. Dia mencoba menghubungi ponsel Susan, tapi masih tidak dijawab. Pria itu memutuskan untuk mengirim pesan WhatsAppa.
DANNY
(mengetik) San… kamu baik-baik saja? Kita bicara, ya? Kapan kamu ada waktu? I miss you…
Tiba-tiba ponsel di tangannya berdering, membuat Danny terkejut. Dia menatap sederet nomor yang belum dikenalinya di layar. Dia menekan tombol telepon untuk menjawab.
DANNY
Halo… Dengan Danny Suhendra.
Danny mendengarkan, sesaat kemudian keningnya berkerut.
DANNY
Saya sudah membayar cicilan down payment dua kali… (mendengarkan)… eum… waktu itu ke rekening dari Marco. (mendengarkan)… Jumlahnya?... eum… (mendengarkan)… Iya, sesuai agreement letter… (mendengarkan) … Oke, saya akan ke sana nanti siang… (mendengarkan sejenak lalu menutup ponsel)
Danny duduk di kursi kerjanya dengan raut wajah cemas, termenung sejenak, lalu menatap layar ponselnya lagi. Dicarinya satu nomor dan ditekannya. Dia menunggu selama beberapa saat, tidak ada jawaban. Lalu dia mencari nomor lain, menunggu sebentar dan diangkat.
DANNY
Halo, Alina? Ini Danny… (mendengarkan sebentar)… eum… sori, aku barusan ditelepon dari kantor Marco. Mereka menanyakan status pembayaran… (mendengarkan)… Aku nggak bisa kontak Marco. Aku telepon tapi ponselnya mati. Apa Marco keluar kota? Katanya, di kantor juga tidak ada yang bisa kontak dia… (mendengarkan)… Oh, oke… Aku tunggu ya, Al… Thanks.
Danny menutup ponselnya dan menghela napas. Mencoba menelepon Susan, tapi masih tidak ada jawaban, tidak ada balasan di WhatsApp. Akhirnya Danny meletakkan ponselnya di meja dan kembali menatap laptop.
CUT TO:
45. INT. RUMAH DANNY. RUANG TENGAH.
Cast. Danny. Eka. Enni
Eka, Enni, dan Danny duduk di sofa. Televisi sedang menayangkan film. Danny tampak gelisah, dan kegelisahannya ini tertangkap mata sang ayah.
EKA
Ada sesuatu, Dan?
Danny yang sedang melamun terkejut mendengar pertanyaan itu.
EKA
Semuanya baik-baik saja? Sudah bicara dengan Susan?
DANNY
Belum, Pa. Aku masih belum bisa bicara dengan Susan. Dia nggak mau jawab teleponku… (menarik napas berat)
EKA
Diselesaikan baik-baik, ya? Kalau Papa sih semua terserah kamu dan Susan.
ENNI
(dengan suara ketus)
Nggak bisa terserah Danny dan Susan! Aku yang memutuskan nggak akan pernah menerima Susan sebagai menantu! Ingat itu ya, Dan… Mama nggak mau lihat Susan lagi.
EKA
Jangan begitu… Kasihan anak-anak… Utang Kusnadi itu kan bukan urusan mereka. Biar mereka punya kehidupan sendiri.
ENNI
Pokoknya nggak bisa! Kalau Danny nekat mau kawin lari, ya terserah… Pokoknya aku hanya merestui Danny dengan Elisa, atau perempuan lain juga oke… Pokoknya, bukan Susan!
Eka dan Danny sama-sama menarik napas berat. Kelihatannya Enni tak bisa dibantah, jadi keduanya memilih bungkam.
Mendadak ponsel di tangan Danny berbunyi. Cepat Danny melihat layar dan melihat nama Alina.
DANNY
Ya, Al… Ini Danny. Gimana, sudah ketemu Marco? (mendengarkan sebentar)… Cerai? … (mendengarkan) Ya… Oke…
Danny menutup ponsel dan meletakkannya di atas meja. Sementara kedua orang tuanya memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
ENNI
Siapa yang telepon? Kok Mama dengar ada kata-kata cerai?
DANNY
Itu tadi Alina, teman Susan juga… eum… suaminya, Marco, menghilang… Sudah beberapa hari nggak bisa dihubungi.
ENNI
Terus, apa hubungannya sama kamu? Kenapa tadi ada kata-kata cerai?
DANNY
Alina sedang mengajukan gugatan cerai ke Marco. Mungkin karena gugatan itu, Marco pergi dari apartemen, entah ke mana… Masalahnya… eum…
ENNI
Masalahnya apa? (menatap Danny dengan kening berkerut, dan curiga)… Ada hubungan sama kamu? Kamu… eh, bukan orang ketiga di antara mereka, kan?
EKA
Maksudmu, Danny selingkuhannya Alina? (menatap putranya dengan mata terbelalak)
DANNY
Bukan begitu, Pa… Masalahnya… eum… Aku beli rumah di perusahaan properti punya Marco… Tadi siang aku dihubungi kantornya, ditanya tentang berapa kali aku sudah bayar uang muka, berapa jumlah total yang sudah aku setor… Karena… eum… uang itu dibawa Marco juga.
Mata Enni dan mata Eka sama-sama membelalak, menatap Danny dengan cemas.
ENNI
Maksudmu… uang muka yang sudah kamu setor, hilang? Begitu?
DANNY
Ya, mudah-mudahan sih nggak, Ma… Ini Alina lagi nyari juga Marco ada di mana. Soalnya, bukan Cuma aku yang beli rumah, kan. Ada banyak pembeli yang sudah setor down payment juga. Tapi, nggak tahu kenapa semuanya nggak tercatat di pembukuan perusahaan.
Wajah Enni dan Eka memucat seketika. Bayangan kehilangan uang dalam jumlah besar sungguh menakutkan bagi mereka yang bekerja keras untuk mendapatkannya.
ENNI
Jadi… gimana?
EKA
Solusinya apa?
DANNY
(menggeleng)
Belum tahu, Ma, Pa. Ya, kita nunggu kabar aja dari kantor. Semoga sih, Marco balik dan nggak ada apa-apa.
Enni, Eka, dan Danny diam dengan raut wajah muram.
CUT TO:
46. INT. KANTOR KUSNADI. LOBI. SIANG.
Cast. Enni. Extrass
Seorang satpam membuka pintu begitu terlihat sosok Eni berdiri di depan pintu masuk. Dengan tenang Enni memasuki lobi kantor Kusnadi, membalas salam dari satpam dengan anggukan kepala, dan matanya langsung tertuju pada meja resepsionis.
Enni berjalan mendekat, dan salah seorang gadis di meja resepsionis berdiri menyambutnya dengan senyuman.
EXTRA
Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa kami bantu?
ENNI
Saya mau ketemu Pak Kusnadi Halim.
EXTRA
Sudah ada janji?
ENNI
Belum. Bilang saja nama saya Enni. Dia pasti tahu.
EXTRA
Baik. Sebentar ya, Bu. (lalu mengangkat telepon dan bicara dengan sekretaris Kusnadi) … Mbak, ada Ibu Enni mau ketemu Bapak… (mendengarkan) Belum… (mendengarkan, lalu beralih pada Enni)… Maaf, Bu Enni, dari perusahaan apa?
ENNI
Saya ketemu untuk urusan pribadi. Tolong bilang saja ini penting.
EXTRA
Mbak, Bu Enni pesan ini urusan pribadi. Coba Mbak tanyakan langsung ke Bapak… (mendengarkan beberapa saat, lalu berpaling kembali ke arah Enni sembari meletakkan gagang telepon). Mari Bu Enni, saya antar ke atas.
Gadis itu berputar melewati mejanya, lalu mempersilakan Enni mengikutinya ke arah lift.
CUT TO:
47. INT. KANTOR KUSNADI. SIANG.
Cast. Enni. Kusnadi. Susan. Miran. Extrass
Kusnadi langsung berdiri dari kursi kantornya ketika melihat Enni memasuki ruangannya. Ketika gadis yang mengantar Enni hendak menutup pintu, tangan Enni menahannya.
ENNI
Jangan ditutup.
Gadis itu menatap Kusnadi dengan bingung, lalu ketika dilihatnya sang bos mengangguk, dia mengerti dan berjalan meinggalkan ruangan.
KUSNADI
Apa kabar, En? Sendirian? Mana Eka?
ENNI
Ya, aku sendirian.
KUSNADI
Silakan duduk… (sambil melambaikan tangan ke arah sofa yang ada di sudut ruangan kantornya yang tidak terlalu besar itu)… Mau minum apa?
ENNI
Nggak perlu. Aku di sini saja.
KUSNADI
(tertegun sejenak dengan nada ketus dari suara Enni, tapi sejenak kemudian dia berusaha tersenyum) Oke, terserah saja… Apa yang bisa aku bantu?
ENNI
Ada. Dan itu kewajibanmu!
KUSNADI
(tertegun lagi sekaligus terlihat bingung)
Oh, oke… Apa itu?
ENNI
Aku minta kau mengembalikan uang yang kau pinjam dari Eka!
KUSNADI
(kaget sejenak, tapi berusaha menutupinya dengan senyuman) Oh… Itu… baik, akan aku usahakan… Aku hitung dulu, ya?
Kusnadi kembali ke mejanya, meraih kalkulator dan tampak menekan-nekan sembarang angka yang pasti tidak terlihat oleh Enni. Sementara Enni masih berdiri di dekat pintu dengan tangan bersedekap.
Di luar ruangan kantor Kusnadi yang separuhnya berdinding kaca, terlihat meja-meja dengan kubikel setinggi dada. Di meja-meja itu karyawan Kusnadi duduk dan sedang bekerja. Tapi beberapa di antaranya mencuri-curi pandanga ke arah ruangan Kusnadi dengan rasa ingin tahu.
ENNI
Hitung dengan nilai sekarang, tambahkan bunganya.
KUSNADI
Bunga?
ENNI
Iya, bunga! Bunga utang! Bukan bunga mawar, apalagi bunga bangkai!
Kusnadi menunduk dan menekan-nekan tombol kalkulatornya kembali. Sementara itu suara Enni yang cukup keras mulai menarik perhatian karyawan yang mejanya berdekatan dengan ruangan Kusnadi.
KUSNADI
(sambil memandang kalkulator di atas mejanya, lalu berpaling ke arah Enni)
En… eum… setelah aku hitung-hitung, utangku sekarang jadi satu miliar, ya? Itu aku sudah tambahkan bunga sesuai bunga deposito saat ini.
ENNI
(berangsur wajahnya memerah karena marah)
Apa??? Kau pikir aku pengemis?
Nada suara Enni yang keras sontak menarik perhatian seluruh karyawan yang ada di ruangan itu. Semua kepala berpaling ke arah ruangan Kusnadi, bahkan ada yang berdiri dari kursinya.
ENNI
Kau pikir bisa menipu aku lagi? Dasar penjahat! Sekali penjahat, selamanya penjahat!
Wajah Kusnadi pucat pasi mendengar makian Enni. Kini maksud Enni supaya pintu di ruangannya tetap terbuka menjadi jelas. Wanita itu bermaksud mempermalukannya di depan karyawannya.
KUSNADI
En… tolonglah sabar… Aku akan hitung lagi…
ENNI
(mendengkus sinis)
Satu miliar mana cukup membayar seluruh utangmu selama 30 tahun ini! Kau pikir, semua hal yang aku lalui karena kau kabur dengan uang warisan itu pantas kau bayar satu miliar? Yang benar saja!
Wajah Kusnadi semakin pucat, tergopoh-gopoh dia mendekat ke arah Enni, bermaksud untuk menenangkannya. Namun baru dua langkah berjalan, dia berhenti ketika melihat sosok di dekat Enni. Sementara Enni masih berbicara.
ENNI
Dengan uang yang kau bawa kabur itu, kau berhasil membangun perusahaan sebesar ini! Kau hidup enak di perumahan elite, menyekolahkan anakmu di sekolahan elite! Sementara aku dan Eka mati-matian bertahan hidup! Kau pikir dirimu pengusaha sukses? Ya! Kau sukses merampok kehidupan orang lain! Kau sukses di atas penderitaan orang lain! Kau ini manusia atau bukan?!
KUSNADI
En… tenanglah…
ENNI
Dan kau tahu, gara-gara permintaanmu konyolmu, surat perjanjian pra-nikah sialan itu, anakku kehilangan uang muka pembelian rumah! Kau juga harus menggantinya!
Mata Kusnadi menatap Enni dengan bingung, lalu menatap dua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat Enni. Miran dan Susan mendengar semua perkataan Enni dengan wajah pucat pasi.
SUSAN
Papa! Apa itu benar?
KUSNADI
(menelan ludah, panik, mengelap keringat di dahinya, tidak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan putrinya)
En… tolonglah tenang…
Enni yang terkejut melihat kehadiran Susan dan Miran tersenyum sinis melihat mereka.
ENNI
Susan, sekarang kamu tahu kenapa Tante tidak suka kamu menikahi Danny…
MIRAN
Kus… Apa itu benar? Kau… kabur… dengan uang Bu Enni? Kau…
KUSNADI
Miran… Susan… Nanti Papa jelaskan, ya?
ENNI
Aku rasa mereka sudah cukup mendengar semuanya. Aku tunggu itikad baikmu!
Tanpa menunggu jawaban dari Kusnadi, Enni melangkah keluar dengan kepala tegak dan wajah yang menyiratkan kepuasan. Bbirnya tersenyum tipis.
Seisi kantor dicekam keheningan yang panjang, hanya terdengar ketukan sepatu Enni di atas lantai.