53---INT. Kedai Shonen Ramen. Siang hari.
Frame menangkap tampak depan Alex memasuki pintu kedai. Kedai tidak terlalu ramai, cenderung sepi, karena itu Alex dengan mudah menentukan arah langkah. Menuju satu meja yang dihuni seorang perempuan berkacamata hitam yang sedang memperhatikan jendela kedai, memperhatikan sekolah di seberang jalan.
Alex
“Hari ini Erin tidak masuk sekolah, Bu.”
Alex berdiri di dekat meja.
Anum
(terperanjat)
“A-apa? Apa maksud kamu?”
Alex
“Bu Anum?”
Alex duduk di hadapan perempuan itu.
Anum
“Kamu salah orang.”
Alex
“Kalau begitu Bu Anum bisa menyangkal kalau Ibu yang menggambar ini.”
Alex mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja seragamnya. Membukanya, dan memperlihatkan gambar pesawat terbang yang tengah terbakar.
Meski berkacamata hitam, mata perempuan itu tampak terbelalak. Sempat ia hendak merebut kertas itu, tapi kalah cepat dari Alex.
Alex melipat lagi gambar itu dan menyimpannya kembali dalam saku. Tanpa ekspresi, Alex menatap perempuan itu.
Anum
“Da-darimana kamu mendapatkan itu?”
Alex
“Erin yang menemukannya. Erin titipkan kepada saya, supaya tidak ditemukan oleh Pak Adrian. Erin bilang, Pak Adrian akan sedih kalau melihat ini.”
Wajah perempuan itu mendadak menekuk sedih.
Anum
(terisak)
“Erin menemukannya? Kamu temannya Erin? Pacarnya?”
Anum merunduk. Alex diam. Tapi…
Frame beralih, tampak samping dari keduanya, agak melebar sehingga bisa tampak tangan Alex di bawah meja meraih ponselnya dari saku celananya. Frame beralih memperlihatkan layar ponsel yang ditekan Alex hingga muncul tampilan group call yang terhubung dengan Erin dan Adrian.
Alex
“Bagaimana, Bu? Bagaimana Ibu bisa tidak ada di dalam pesawat itu? Dari daftar penumpang, Ibu ada di dalam pesawat itu, bukan?”
Anum menengadah dan menarik napas. Menatap Alex sebentar, lalu berpaling ke jendela.
BEAT
Anum
(Agak serak, masih menatap jendela)
“Sori, mungkin ini out of topic, tapi.... Kamu bisa mengerti kalau aku bilang..., aku tidak punya hari ulang tahun?”
Alex hanya mengangkat bahu.
Alex
“Anum anak jin.”
Anum dengan cepat menatap Alex seolah tidak percaya kalau remaja laki-laki di depannya bisa tahu. Anum kemudian berpaling sambil mendesah, lebih terkesan menahan emosi yang meluap tiba-tiba. Sungguh ia merasa tidak percaya kalau Alex bisa tahu.
Anum
(lirih dan gemetar)
“Kamu tahu?”
Alex
(mengangguk)
“Ya. Gambar di bawah meja belajar.”
Anum
“Apa lagi yang kamu tahu?”
Alex
“Saya tahu kalau Bu Anum tidak menikmati pekerjaan Ibu—yah, bukan melukisnya, tapi memamerkannya…, mempublisnya—”
Anum
(memotong Alex)
“Dan membiarkan mereka berkomentar macam-macam seolah lebih tahu dari aku yang melukisnya! Kritik dan saran dengan bahasa indah yang tak lebih dari menggembungkan ego mereka! Menentukan harga pada cinta kasih dalam karyaku di pelelangan!”
Outburst Anum direm seketika dengan menutupkan tangannya ke wajah. Ia lepas kacamata hitamnya, dan mengusap matanya.
Anum
“Sori…. Sejelas itukah di mata kamu?”
Alex diam sebentar.
BEAT
Alex
“Kenapa tidak berhenti saja?”
Anum
“Tidak ada yang memintaku berhenti.”
Alex
“Itu bodoh, Bu! Sebodoh memasang pintu baja dengan kunci kombinasi berikut lukisan sebagai petunjuk kuncinya di depan pintu! Ibu harap Erin dan Pak Adrian memecahkannya? Berharap dimengerti tanpa inisiatif Ibu membuka diri?”
Anum terpana, menatap Alex.
Alex balas menatap dan itu membuat Anum merunduk.
Anum
(agak meringis)
“Kamu tahu? Aku harap yang berkata seperti itu adalah Adrian, atau Erin…. Melihat mereka bangga terhadapku… terhadap pencapaianku…, seolah… seolah aku mengkhianati mereka jika aku minta berhenti.”
Alex
“Dan Ibu pikir, mereka akan melarang Ibu ketika Ibu minta berhenti? Ibu ragukan cinta mereka sama Ibu? Cinta itu buta, Bu! Sulit untuk melihat kecuali dituntun! Mereka pikir Ibu menikmatinya, karenanya mereka membiarkan Ibu. Mereka akan berusaha tread softly terhadap Ibu!”
Anum kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, merunduk agak dalam. Menahan isak tangis.
BEAT
Tak lama kemudian, Anum membuka wajahnya dan menatap Alex. Berusaha untuk tenang.
Anum
“Bagaimana dengan kamu? Kamu mencintai Erin?”
Alex
(mendadak gelagapan)
“A-Itu—aku—eh—a…”
Anum tertawa pelan.
Anum
“Your point exactly! Kamu benar…. cinta itu buta…. Siapa namamu?”
Alex
“Alex.”
Anum
“Wellmet, Alex…. Kamu masih penasaran bagaimana aku bisa tidak ada di pesawat itu?”
Alex mengangguk.
Anum
“Aku sebenarnya sudah berada di dalam pesawat itu. Aku hanya…. Pernah, nggak, kamu merasa mual ketika enggan melakukan sesuatu, tapi kamu berusaha memaksakan diri?”
Alex
“Saya tidak tahu, tapi saya mengerti.”
Anum termenung sesaat, melamun, mengenang.
BEAT
Anum
“Ketika berpisah dengan Erin di bandara, aku memeluknya, berharap kalau dia merengek supaya aku tidak pergi, tapi…. Dia sudah besar sekarang. Oh God! Sungguh aku tidak ingin pergi! Aku merasa muak! Aku tidak ingin ke pameran itu! Aku tidak ingin melukis lagi untuk mereka!”
Anum menarik nafas sebentar.
BEAT
Anum
“Sekarang kamu bisa mengerti, bukan, kenapa aku menggambar pesawat terbakar itu?”
Alex
“Ekspresi kemarahan…. Tapi kenapa disembunyikan? Apa Ibu memang berharap terjadi kecelakaan?”
Anum
“Tentu saja tidak! Aku menyimpannya sebagai pengingat! Jika aku nantinya telah kembali, aku akan melihat gambar itu lagi. Menganalisa apa gambar itu masih sepadan dengan perasaanku jika event itu sudah aku lalui, tapi… takdir bicara lain.”
Alex terdiam. Anum mengatur napas sejenak.
BEAT
Anum
(pelan, lirih)
“Aku sudah masuk pintu pesawat waktu itu, mencari kursiku. Tapi mendadak mualku serasa tidak bisa aku tahan. Aku lari keluar pesawat…. Sempat ada pramugari yang mencegahku, tapi aku bilang dompetku tertinggal di toilet terminal.”
Anum mengatur napas sejenak.
BEAT
Anum
“Ketika aku sudah tertinggal pesawat… jujur, aku benar-benar merasa lega. Kamu tahu itu? Lalu… aku ingin berlama-lama dengan perasaan lega itu, jadinya aku tidak segera pulang…. Aku menginap di hotel, kemudian aku dapat berita pesawat itu mengalami kecelakaan….”
Alex
“Lalu… Bu Anum merasakan… kebebasan?”
Anum terpana dan menatap Alex. Tapi kemudian menangis. Airmatanya deras mengalir.
Anum
“Ya… harus aku akui itu. Menjijikan memang, tapi ada. Ada semacam perasaan bebas. Aku merasakan semacam… hidup baru. Kamu bisa mengerti, kan? Tapi…. Itu juga yang kemudian membuatku merasa kosong…. Kehilangan arah…. Seperti…, Seperti… di tengah samudera, dan di sekelilingmu yang kamu lihat hanya horizon…. Kemudian aku mulai mendapat mimpi buruk… dan seolah terobati—selalu terobati setiap aku melihat Erin…. Setiap pulang sekolah aku melihatnya dari sini…. Aku juga pernah melihat kamu bersamanya…. Tapi kemarin aku lihat Erin sendiri dan tampak sedih, kamu tahu kenapa?”
Alex kebingungan untuk merespon, tapi jikapun bisa, ia tidak akan sempat karena….
CUT TO
Frame beralih ke BIG CLOSE UP ujung pintu kedai Shonen Ramen yang terbuka dengan cepat.
Frame kembali beralih ke Alex dan Anum. Alex berpaling, begitu pula dengan Anum. Mereka melihat Adrian dan Erin masuk dan berdiri di sana menatap dengan raut wajah yang menangkap perasaan tidak percaya. Erin dan Adrian memegang ponsel masing-masing, masih merapat ke telinga.
Arum sempat melirik Alex karena Alex menunjukkan ponselnya yang menyala.
Alex
“Sepertinya mereka mendengar semua percakapan kita.”
Air muka Anum menekuk sedih, haru.
Alex beranjak berdiri. Anum juga ikut berdiri. Keluar dari meja.
Anum
(pelan)
“Erin….”
Erin berlari menghampiri ibunya. Memeluknya.
Erin
(terisak)
“Ma….”
Adrian menghampiri dari belakang. Berurai air mata. Ia berpaling ke Alex dan menjulurkan tangannya.
Alex menjabat tangan itu.
Adrian
“Terima kasih, Al. Aku sungguh berhutang banyak kepadamu.”
Alex hanya mengangkat bahu, namun matanya yang berair tidak bisa membohongi perasaannya yang ikut terharu oleh pertemuan keluarga kecil itu.
Adrian melepas jabatan tangannya ketika Anum meliriknya dan merentangkan tangan. Adrian menghampiri istrinya dan memeluknya bersama Erin.
Alex tersenyum dan mulai melangkah mundur. Slow motion, Alex mulai berpaling dan hendak meninggalkan mereka bertiga. Tapi mendadak….
Erin (VO)
“Al, mau ke mana kamu?!”
Alex berpaling dan melihat Erin menghampiri dan menyambar tangan Alex. Menarik Alex kembali, lalu duduk di meja kedai, menghadap Anum dan Adrian yang juga mulai duduk. Erin tidak melepaskan tangannya dari Alex, duduk bersebelahan
Selain Alex, mereka berurai air mata.
Anum
“Maafkan aku….”
Adrian menggeleng.
Adrian
(agak serak, menahan tangis)
“Aku yang minta maaf. Tidak peka selama ini….”
Erin
(terisak)
“Erin juga….”
Adrian berpaling ke Alex dan menumpuk tangannya di atas tangan Alex dan Erin.
Adrian
“Sekali lagi,terima kasih, Al. Untuk segalanya.”
Alex mengangguk.
Alex
“Tidak, Pak. Seiring dengan waktu juga, Bu Anum akan datang sendiri. Kalau hatinya sudah tenang, Bu Anum akan kembali. Aku hanya… katalis. Itu saja.”
Adrian
“Tapi katalisasi kamu ini memberi kami insight baru bagi kami, Al! Insight berharga yang mustahil datang sendiri.”
Alex mendengus. Bingung antara malu atau bangga.
Alex
“Ya, mesti harganya harus dibayar Bu Anum untuk menyia-nyiakan bakatnya. Bagaimanapun karya-karya Bu Anum memang brilian.”
Adrian tercenung sesaat.
Adrian
(berpaling menatap Anum)
“Tidak juga…. Kamu ingat, kamu pernah membuat ilustrasi buku anak. Aku lihat kamu benar-benar menikmati membuatnya—Tapi, apapun, Sayang, jangan pernah sungkan untuk bilang, ya? Kita partner seumur hidup, ingat?”
Anum menatap suaminya terharu, seolah pada akhirnya merasa benar-benar dimengerti. Ia usap pipi Adrian.
Alex
(dead-pan, tanpa ekspresi)
“Tapi sebelum itu, langkah awalnya, bongkar dulu pintu baja itu, saya pikir. Kalau Bu Anum perlu waktu konsentrasi, atau perlu waktu sendiri atau apapun itu, tinggal bilang saja.”
Erin
“Iya! Ganti sama kain gorden seperti kamar Mama di rumah Nenek!”
Adrian
(tersenyum lebar)
“Bukan! Langkah awalnya, kita makan dulu.”
Adrian beranjak sambil mengangkat tangan untuk memesan ramen.
CUT TO