Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Ruang Rahasia Ibu
Suka
Favorit
Bagikan
5. 19-22

19---EXT. Jalanan. Senja menuju maghrib.


ESTABLISH. Lalu lintas kota di senja hari. Matahari hampir tenggelam. Jalanan ramai, cenderung macet.

 

20---INT. Dalam mobil Adrian. Senja.

Tampak depan dari Adrian yang menyetir dan Erin duduk di samping ayahnya. Sementara Alex duduk di belakang. Erin juga membawa-bawa kotak kayu buatan ibunya, seolah tidak mau berpisah dengannya. Kotak kayu itu ada di pangkuan Erin.

Frame beralih lebih dekat, membingkai Alex di antara Erin dan Adrian. Alex sempat melirik tangan Erin yang bertumpuk di atas kotak kayu buatan ibunya.


Alex
“Ibumu sepertinya orang yang serba bisa, Rin.”
Adrian
“Jenius, meski agak eksentrik.”
Erin
“Aneh.”
Alex
“Aneh?”


SHOT diambil dari POV Alex.

Erin berpaling dan menunjuk ke Alex tegas.


Erin
 “Jangan salah sangka! Aku sayang Mama!"


Erin kembali berpaling dari Alex, kembali menghadap ke depan, tapi dia belum selesai berkata-kata.

Erin
"Tapi aku bisa lihat sosok ibu yang lain, dan aku tidak bisa menyamakan Mama dengan mereka. Mama lebih… istimewa.”


CLOSE UP Alex mengangkat alisnya. Frame bergeser sedikit dari wajah Alex, memberi ruang untuk teks mengambang.


TEXT FADE IN
“Lebih…
Istimewa…”
TEXT FADE OUT

 

Frame beralih, tampak samping, Erin berpaling ke jendela samping, matanya menerawang, mengenang.


Erin
“Entah kenapa aku merasa Mama… seperti menjaga jarak."


Frame beralih kembali tampak depan mereka bertiga, dan Erin dengan cepat berpaling ke belakang, ke arah Alex.

Erin
"Jangan salah sangka, ya! Aku dan Mama sangat dekat melebihi apapun yang bisa kamu bayangkan! Tapi… tetap saja ada jarak yang terpasang yang… sulit aku jelaskan.”


Alex sempat melirik Adrian dan Adrian memasang wajah yang hampir sama dengan Erin. Menerawang, mengenang. Yang tentunya mempresentasikan luka batin mereka yang masih belum sembuh.


Erin
“Bahkan… aku merasa Mama masih hidup.”
Adrian
(lirih, sedih)
“Sudah, Rin, jangan membahas itu.”
Erin
“Tapi tetap saja, Pa! Mereka belum menemukan jasad Mama!”
Adrian
“Ya, Papa tahu. Papa hanya… tidak ingin memasang harapan terlalu tinggi…. Menyakitkan rasanya kalau kita menyimpan harapan terlalu besar namun ternyata tidak menjadi nyata…. Yang kita bisa lakukan hanya berdoa untuk Mama.”

Mereka terdiam. Frame terfokus pada Alex yang juga ikut termenung.


Adrian
“Alex, kamu lapar? Sepertinya keberhasilan kamu membantu kami perlu dirayakan. Kamu setuju, kan, Rin?”
Erin
(mengangguk, mendadak antusias)
“Ya! Setuju!”
Alex
“Ta-tapi—”
Erin
“Jangan menolak, Al!”
Alex
(menghela nafas)
“Boleh aku sholat Maghrib dulu?”
Adrian
“Ya, tentu. Aku juga.”


Adrian memutar kemudi.

CUT TO

 

21--- INT. Mesjid. Sholat Maghrib.

MONTAGE

Tampak dari atas, barisan orang-orang yang tengah sujud.

Lalu, tampak samping barisan orang yang bangkit dari sujud lalu duduk, frame bergeser.

Lalu, close up, Alex yang sedang berpaling ke kanan seraya mengucapkan salam, mengikuti Imam.


Alex
“Assalamualaikum…”

 

22---INT/EXT. Teras mesjid. Jemaah tengah bubar.

Alex dan Adrian duduk di teras Mesjid sambil mengenakan sepatu. Suasana cukup ramai oleh jemaah.


Adrian
“Aku benci mengakuinya, Al. Tapi, ini pertama kalinya aku sholat lagi setelah hampir delapan tahun.”

Alex mengerenyit dan menatap Adrian heran. Mereka telah memakai sepatu masing-masing.

Adrian menerawang, mengenang, namun tersenyum meski terkesan sedih.


Adrian
“Kamu yakin Tuhan itu ada, Al?”
Alex
(mengangguk)
“Tapi, saya tidak bisa membuktikannya, Pak. Kalau saya ditanya mana buktinya, saya cuma bisa bilang kalau itu pilihan paling aman…. Seperti misalnya, Pak Adrian berinvestasi, tentunya memilih investasi yang minim resiko, ya, kan? Kalau mau pilih apa Tuhan itu ada atau tidak, tentunya paling aman memilih Tuhan itu ada. Jika pun ternyata tidak ada, yah, saya rasa saya bisa menanggung resikonya. Tapi kalau saya memilih Tuhan itu tidak ada dan ternyata ada, saya nggak bisa membayangkan resiko yang mesti saya tanggung.”

Senyum Adrian melebar berujung dengusan tawa.


Adrian
“Kamu benar-benar anak dari ayahmu, Al.”


Adrian menepuk pundak Alex dan berdiri.

DISSOLVE TO



Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar