Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
32. INT. RUMAH RAHMA – PAGI
KAMAR
Harun sedang mengenakan dasi di kamar ketika pintu rumah terketuk. Harun langsung buru-buru mengenakan dasinya, lalu bergegas keluar hendak membuka pintu.
RUANG TAMU
Harun tampak sedikit terkejut ketika pintu terbuka dan sudah ada Fatma yang berdiri di sana.
Sementara itu, sorot mata Fatma dingin.
FATMA
Asalamualaikum.
HARUN
Waalaikumsalam. Masuk, Ma.
Fatma berdeham kemudian masuk mengikuti Harun.
Di ruang tamu, Fatma tampak melihat-lihat ke seluruh ruangan itu, ruangan tamu dengan desain minimalis tapi terlihat modern, beberapa sofa yang cukup besar berwarna emas, sebuah guci dan palem bambu di sudut ruangan, sebuah bingkai yang menunjukkan foto Rahma dan Harun yang tersenyum bahagia di dinding, lalu bertanya.
FATMA
Mana Rahma?
HARUN
Berangkat lebih awal, Ma.
FATMA
Oh.
Fatma lalu duduk di sofa tamu, diikuti Harun.
Mereka terdiam cukup lama karena Harun tampak bingung harus memulai obrolan setelah situasi di antara mereka cukup canggung, sementara Fatma juga hanya terus melihat-lihat kondisi rumah.
Sampai akhirnya, Fatma angkat bicara.
FATMA
Harun.
HARUN
Iya, Ma?
FATMA
Sudah lama Mama tidak berkunjung ke sini. Dan Mama akui, kamu cukup berhasil menghidupi istrimu. Tapi...
Harun melebarkan kelopak matanya.
FATMA (cont’d)
Berumah tangga bukan cuma bisa kasih nafkah. Ada hal yang harus kamu lengkapi.
Harun menundukkan wajahnya. Mendengar dengan cukup waswas.
FATMA (cont’d)
Kamu paham itu, kan, Harun?
Harun mengangkat wajahnya perlahan. Dia jelas sekali merasa bersalah.
FATMA (cont’d)
Tujuh tahun lebih bukan waktu yang singkat. Apa kamu sadar kalau kamu sudah menyiksa istrimu selama itu?
(pause)
Pernah tidak kamu bertanya apa istrimu bahagia selama kalian nikah?
Harun bungkam. Pikirannya berkecamuk.
FATMA (cont’d)
Mama tidak akan lagi menuntut kalian pisah. Mama sudah tua. Kalian sudah dewasa. Kalian tentu tahu hal yang terbaik untuk kalian.
Harun sekali lagi diam saja.
FATMA (cont’d)
Mama cuma berharap, paling tidak biarkan istrimu tinggal sama Mama selama kondisinya sedang tidak baik, sampai kamu bisa membuktikan kalau kalian memang layak bersama.
Fatma berdiri. Harun diam di tempatnya.
FATMA (cont’d)
Mama cuma minta itu. Asalamualaikum.
HARUN
(dengan sangat pelan)
Waalaikumsalam
Fatma lalu pergi dan keluar.
Harun masih duduk di sofa tamu, tampak gelisah dan serba salah.
CUT TO
33. INT. KAFE – SIANG
Rahma dan Narti tampak duduk bersama di kafe. Sudah ada beberapa makanan dan minuman di meja mereka. Sambil menyantap makan siang, mereka mengobrol.
Rahma mengenakan pakaian dinas khaki, dan Narti mengenaikan kemeja putih dan rok hitam.
RAHMA
Ke rumah lagi ya nanti malam.
NARTI
Malam ini… kayaknya susah.
RAHMA
Kenapa? Tante sakit lagi?
NARTI
Adek ada kemah di sekolah. Sebenarnya sudah saya minta ndak usah ikut, tapi ngotot. Katanya sih wajib.
RAHMA
Terus, gimana dong sama saya?
NARTI
Kamu kan punya suami, Rahma.
RAHMA
Punya sih punya, tapi nggak tidur bersama. Gimana mau bareng kalau liat wajahnya saja nggak ada bedanya sama mimpi buruk?!
NARTI
Hahaha. Bisa aja.
RAHMA
Betulan tahu.
(pause)
Sudahlah, malam ini tidurku nggak akan nyenyak lagi.
NARTI
Jangan ngomong gitu kali!
Rahma mendesah kecewa.
NARTI (cont’d)
Lama tidur sendiri bakal bikin kamu biasa. Ingat! Bisa karena terbiasa.
RAHMA
Ngomong sih gampang.
NARTI
Yaelah, kalau dikasih tahu. Makan aja gih, makananmu masih banyak tuh. Jangan sampai mati kelaparan lagi.
RAHMA
Tega betul ya?! Oke. Kali ini, semua kamu yang bayar.
NARTI
Loh, kok gitu? Apa gunanya PNS kalau malah saya yang bayar?!
RAHMA
Biarin. Lagian kamu makannya juga yang paling banyak.
NARTI
Rahma, ayo, dong, dompetku lagi tipis nih.
RAHMA
Nggak mau tahu! Bentar. Saya pesan lagi. Mumpung ditraktir.
Rahma lalu mengangkat tangan kanannya, mencoba memanggil pelayan kafe.
NARTI
(kesal)
RAHMA! Ndak lucu.
Rahma terus menggoda Narti, lalu tertawa-tawa.
NARTI (cont’d)
Ya sudah, saya minta maaf.
RAHMA
Nggak ikhlas.
NARTI
Rahma yang paling cantik, saya minta maaf ya.
Rahma ketawa puas. Mereka kemudian menyantap makanan dengan lahap, lalu tiba-tiba Rahma kembali menyahut.
RAHMA
Nar.
NARTI
Iya?!
RAHMA
Mungkin nggak sih ada orang yang nggak suka hubungan saya dengan Harun?
NARTI
Maksudnya?
RAHMA
Yahh, dia ingin kami pisah, terus ngirim guna-guna biar saya takut lihat mukanya Harun.
NARTI
Dari mana sih tiba-tiba kepikiran begitu?
RAHMA
Soalnya ada rekan kantorku yang sepupunya punya masalah yang sama. Dan penyebabnya, yah gitu, diguna-guna. Makanya, itu yang bikin saya ingin ke dukun.
NARTI
Gimana dengan suamimu? Masih ndak mau?
RAHMA
Begitulah. Dia itu kalau sudah bilang iya, iya, nggak, nggak.
NARTI
Ya sudah. Ikuti aja apa yang suamimu bilang. Dia kan kepala rumah tangga.
RAHMA
Iya sih, tapi...
NARTI
Rahma, kamu harus percaya sama suamimu. Dia juga pasti lagi usaha biar kamu bisa lihat dia lagi. Jangan sampai malah ini yang bikin kalian pisah, terlalu banyak berdebat. Dan barangkali, hubungan kalian lagi diuji sama Tuhan.
RAHMA
Apa Tuhan nggak capek ngasih kami ujian?
Narti mendengus sambil menggeleng-geleng.
NARTI
Eh, bentar, makanan ini kamu yang bayar, kan?
RAHMA
Iyaaa.
Rahma menarik napas berat, kemudian lanjut menyantap makanannya.
CUT TO
34. INT. RUMAH RAHMA – MALAM
DAPUR
Rahma menatap dua piring makanan di atas meja dapur yang baru saja dihidangkannya. Dia menatapnya dengan tatapan yang masygul. Lantas, dia berbalik dan memunggung, lalu berteriak.
RAHMA
Sayang, makanannya sudah jadi.
Sesaat kemudian, kita lihat Harun muncul. Dia meraih sepiring makanan itu, lalu diam sebentar. Dia menatap punggung Rahma dengan gelisah, menarik-buang napas berkali-kali, kemudian berbalik dan pergi.
RUANG TENGAH
Harun berjalan menuju ruang tengah sambil membawa piring makanan itu. Dia lalu duduk di sofa dengan duduk menghadap ke kiri.
Sesaat kemudian, Rahma muncul sambil membawa piring makanannya juga. Kemudian, dia duduk dekat Harun di sofa dengan duduk menghadap ke kanan.
Kita lihat mereka menyantap makanan masing-masing, pelan, sunyi.
Harun lalu mengambil napas dalam sebelum kemudian berkata liris.
HARUN
Sayang…
RAHMA
Iya?!
HARUN
Kamu bahagia tidak sih selama kita nikah?
RAHMA
Kenapa tiba-tiba nanya gitu?
HARUN
Cuma mau tahu.
Rahma menarik napas kuat-kuat. Matanya sedikit berkaca.
RAHMA
Saya nggak mungkin masih sama kamu kalau saya nggak bahagia. Tujuh tahun loh, lebih bahkan. Ngapain saya buang-buang waktu buat hidup sama orang yang nggak bikin saya bahagia?!
Kita lihat kembali mereka menyantap makanan mereka dengan cukup pelan sebelum Harun kembali berucap.
HARUN
Tadi Mama ke rumah.
RAHMA
Tadi pagi?
HARUN
Iya. Pas kamu sudah berangkat.
RAHMA
Mama bilang apa?
HARUN
Mama mau kamu pulang ke rumahnya.
Rahma yang sementara mengunyah makanannya tiba-tiba diam. Dia cukup terkejut dan bingung.
HARUN (cont’d)
Gimana, Sayang? Kamu mau?
RAHMA
Kamu gimana? Mau kalau saya pergi?
HARUN
Kalau itu bikin kamu tenang, yah… silakan.
Rahma menarik napas panjang, tanpa sadar air matanya mulai menetes.
RAHMA
Sayang, kalau saya ke sana, Mama pasti bakal terus-terusan nyuruh saya pisah sama kamu. Memangnya kamu mau kita pisah?
Harun diam. Dia bingung.
RAHMA (cont’d)
Pikirin lagi rencana kita ke dukun, Sayang. Apa salahnya mencoba? Kita pastiin apa sih yang terjadi sama kita daripada kita diam terus kayak gini.
Harun masih diam. Dia benar-benar bingung.
Rahma lalu berdiri sambil mengangkat piringnya. Masih banyak sisa makanan di piring itu. Dia tidak kuasa menahan emosinya.
RAHMA (cont’d)
Ya sudah, kalau memang mau pisah, saya akan pulang.
Rahma tersedu-sedu.
Akhirnya, Harun bersuara setelah lama berpikir sehingga Rahma yang hendak melanjutkan langkahnya lalu berhenti.
HARUN
Oke, Sayang, kita ke dukun.
CUT TO