Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Polo Mata
Suka
Favorit
Bagikan
5. Act 2 (Scene 22 - 31)

22. INT. KANTOR RAHMA – PAGI

 

Rahma sedang sibuk menginput beberapa arsip ke komputernya ketika Ratna datang dari luar ruangan menyahut. Saat itu, Rahma masih tampak gelisah seolah pikirannya terbagi antara rumah dan kantor.

 

Hari itu, mereka memakai pakaian dinas khaki.

 

RATNA

Rahma, laporan minggu lalu sudah selesai?

 

RAHMA

Bentar, Kak, saya cek dulu.

 

Rahma lalu mengecek file di komputernya. Dan wajahnya semakin murung saja.

 

RAHMA (cont’d)

Astaga, maaf, Kak, saya lupa.

 

RATNA

Gimana ya, Rahma? Soalnya sudah diminta nih.

 

RAHMA

Aduh, sekali lagi saya minta maaf, Kak. Atau gini, Kak, saya kerjakan sekarang laporannya, insya Allah hari ini bisa selesai.

 

RATNA

Terus arsip yang harus kamu input?

 

RAHMA

Tinggal sedikit lagi kok, Kak.

 

RATNA

Ya sudah, usahakan semua selesai hari ini ya. Kamu tahu sendiri, kan, gimana kalau Pak Kabid marah. Bisa gempa ini kantor.

 

RAHMA

Insya Allah, Kak.

 

RATNA

Oke. Kalau sudah, langsung kirim ke e-mailku ya.

 

RAHMA

(mengangguk)

Siap, Kak.

 

CUT TO

 

23. INT. KANTOR HARUN – PAGI

 

Harun berada dalam ruang rapat yang tidak cukup luas dengan maja besar di tengah-tengah, sebuah spanduk besar bertuliskan PT SEGAR SEJAHTERA sebagai latar, dan sudah ada dua laki-laki dan tiga perempuan yang bersamanya, masing-masing duduk berhadapan dalam ruangan itu.

 

Mereka memakai kemeja, dasi, dan celana slim fit, atau untuk perempuannya mengenakan rok hitam.

 

Harun duduk paling depan menghadap ke semua pekerja di sana.

 

Sebelum Harun sempat bicara, kita lihat seorang laki-laki, Fadli (34 tahun) yang cukup tinggi, sedikit berjanggut, dengan pakaian yang hampir sama dengan lainnya baru saja memasuki ruangan itu. Dia tampak tergesa-gesa.

 

FADLI

Maaf, Pak, saya terlambat, tadi habis duha.

 

HARUN

Tidak apa-apa. Duduk saja. Ini juga baru mulai.

 

Fadli lalu duduk pada barisan laki-laki.

 

HARUN (cont’d)

Langsung saja, asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

SEMUA PEKERJA

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

 

HARUN

Sebagai supervisor kalian, seperti biasa, kita akan review kembali hasil penjualan produk di perusahaan kita. Kita mulai dari Ayu. Bagaimana perkembangannya?

 

AYU

Berdasarkan laporan kemarin, Pak, untuk bulan ini, sudah ada sekitar 72% dari target.

 

HARUN

Masih pakai sistem door to door?

 

AYU

(mengangguk)

Iya, Pak. Saya rasa ini sistem paling efektif untuk memasarkan produk kita dengan masuk ke rumah-rumah, bertemu dengan beragam ibu rumah tangga yang pasti butuh alat masak.

 

HARUN

Bagus. Tingkatkan ya! Ingat, perhatikan semua kondisi orang-orangmu yang akan turun ke rumah-rumah. Sekarang cuaca suka berubah-ubah.

 

AYU

Terima kasih, Pak.

 

HARUN

Kalau Fadli, bagaimana? Masih aktif pengajian?

 

FADLI

Iya, Pak, alhamdulillah.

 

HARUN

Tidak mengganggu pekerjaanmu, kan?

 

FADLI

Alhamdulillah, tidak sama sekali, Pak. Justru, saya juga bisa memasarkan produk kita di sana. Meskipun kebanyakan bapak-bapak, tapi mereka tertarik membelikan produk kita untuk istri mereka.

 

HARUN

Hebat. Itu bisa memperluas market. Jadi sudah berapa persen?

 

FADLI

68%, Pak.

 

CUT TO

 

24. INT. KANTOR HARUN – PAGI (LATER)

 

Harun baru saja keluar dari ruang rapat. Kita bisa lihat tulisan RUANG RAPAT di papan penunjuk ruang yang terlekat di atas pintu.

 

Harun hendak berjalan, tapi tiba-tiba bertemu dengan Narti yang sedang menenteng beberapa berkas. Dia pun menegur dengan cukup dingin dan kaku.

 

HARUN

Narti?!

 

NARTI

Iye, Pak?

 

HARUN

Laporan yang saya minta kemarin kamu kerjakan?

 

NARTI

Sudah, Pak. Bahkan sudah saya kirim ke email Bapak.

 

Harun tersenyum tipis, agak mengangguk, lalu berencana pergi, tapi…

 

NARTI

Rahma, gimana, Pak?

 

Harun menarik napas sebentar, lalu kembali menjawab dengan datar.

 

HARUN

Masih kayak gitu.

 

Harun pun pergi tanpa berbasa-basi lagi.

 

CUT TO

 

25. INT. KANTOR RAHMA – SIANG

 

Rahma baru saja selesai mengerjakan laporannya. Dia lalu memberitahu Ratna yang untungnya berada dalam ruangan yang sama.

 

RAHMA

Kak Ratna, laporannya sudah saya kirim ya.

 

RATNA

Saya cek dulu.

(mengecek)

Oke. Sudah terkirim.

 

Rahma menarik napas lega, tapi masih tampak murung.

 

Ratna yang bingung melihat tampang Rahma lalu menegur.

 

RATNA (cont’d)

Rahma, kamu ada masalah? Soalnya beberapa hari terakhir ini, kerjaanmu tersendat-sendat terus. Kalau ada, lebih baik cerita.

 

Nita (33 tahun), rekan kantornya yang lain di ruangan itu ikut nyeletuk.

 

NITA

(pada Ratna)

Betul tuh, Kak, Rahma juga sering melamun.

 

Rahma tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Senyum yang kecut.

 

RATNA

Rahma, masalah itu kayak racun. Kalau kamu pendam terus, itu bakal jadi penyakit bahkan bikin kamu mati. Makanya, masalah itu dikeluarin, misalnya cerita sama orang. Yahh, setiap racun ada penawarnya, begitu juga dengan masalah, ada solusinya.

 

Rahma mengambil napas dalam-dalam. Sorot matanya lemah.

 

RAHMA

Begini, Kak, sebenarnya sejak beberapa hari kemarin, tiba-tiba saja saya takut lihat suami saya. Saya juga nggak tahu kenapa, Kak. Wajahnya yang saya lihat tiba-tiba saja sudah berubah kayak hantu di film horor.

(pause)

Kakak tahu, kan, saya takut sekali sama gelap, apalagi hantu. Jadi, itu benar-benar bikin saya stres.

 

RATNA

Memangnya suamimu masih suka ngajakin nonton film horor?

 

RAHMA

Begitulah, Kak, sudah jadi hobi. Sebagai istri, saya cuma bisa dukung apa yang dia suka. Tapi kalau sudah kayak gini, ahh entahlah. Saya juga bingung, Kak.

 

NITA

(pada Rahma)

Hmhm, saya kayak pernah dengar kasus yang sama kayak punyamu. Dia juga tiba-tiba takut lihat suaminya padahal sebelumnya baik-baik saja.

 

RATNA

(pada Nita)

Iyakah?

 

NITA

Iye, Kak.

 

Nita melirik ke atas. Pandangannya mengawan-awan, berusaha mencari jawaban di dalam kepalanya, sampai kemudian…

 

NITA (cont’d)

Ah, ingat, sepupuku. Itu sudah lama sekali. Tapi, sekarang sudah normal kembali.

 

RATNA

Itu karena apa ya?

 

NITA

Katanya sih, diguna-guna.

 

RAHMA

(kaget)

Diguna-guna?

 

NITA

Katanya.

 

RAHMA

Terus, gimana bisa sembuh?

 

NITA

Dia berobat ke dukun.

 

RATNA

Tahu dukunnya di mana?

 

NITA

Tunggu, Kak, saya telepon sepupuku dulu. Mudahan dia masih ingat tempat dukun itu.

 

Nita mengambil ponselnya yang diletakkan di meja, lalu menelepon sepupunya.

 

Kita akan lihat Nita menelepon tanpa memperlihatkan si penelepon ataupun memperdengarkan suaranya.

 

NITA (cont’d)

(pada HP)

Halo, Selvi.

(pause)

Saya mau nanya, kamu masih ingat tidak alamat dukun yang pernah kamu datangi itu?

(pause)

Bukan saya, tapi teman. Dia juga punya masalah seperti kamu dulu.

(pause)

Iye.

(pause)

Gimana?

(pause)

Oke. Saya tunggu!

(pause)

Makasih nah.

 

Nita mematikan panggilan itu, lalu lanjut mengecek pesan yang baru saja diterimanya lewat Whatsapp.

 

NITA (cont’d)

(pada Rahma)

Rahma, alamatnya saya kirim ke WA, ya.

 

RAHMA

Iya, Nit. Makasih ya.

 

RATNA

Nah, kamu datang saja ke sana. Berobat.

 

RAHMA

(pada Ratna)

Iya, Kak, nanti coba saya tanya sama suami saya. Saya kan nggak mungkin juga pergi tanpa izin dia.

 

RATNA

Iya, Rahma. Semoga cepat sembuh.

 

RAHMA

Iya, Kak, makasih.

(pada Nita)

Sekali lagi, makasih ya, Nit, sudah mau bantu.

 

CUT TO

 

26. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM

 

Kita lihat Rahma dan Harun duduk bersama saling membelakang di ruang tengah. Mereka mengenakan piyama. Di latar belakang, TV tampak tidak menyala.

 

HARUN

Sayang?!

 

RAHMA

Hmhm

 

HARUN

Saya rindu.

 

Rahma nyengir.

 

RAHMA

Ingat nggak, Sayang?

 

HARUN

Yah?

 

RAHMA

Waktu SMA, kita cuma bicara sekali.

 

HARUN

Yang waktu kekunci di gudang, Sayang?

 

RAHMA

Yap. Dan kamu tahu, nggak, Sayang?

(pause)

Sejak saat itu, saya mulai suka loh sama kamu. Tapi..

 

HARUN

Tapi apa?

 

RAHMA

Saya nggak pernah berani ngajakin ngobrol duluan. Mana saat itu kamu sok misterius lagi.

 

HARUN

(terkekeh)

Semisterius itu, Sayang?

 

RAHMA

Iyalah. Pokoknya kamu dingin sekali dah waktu itu, selain memang udah punya pacar.

(pause)

Dan lucunya... pas waktu kita ketemu lagi setelah bertahun-tahun, malah kamu yang pertama ngenalin.

 

HARUN

(terkekeh)

Iya, Sayang, saya juga ingat.

 

RAHMA

Iya, kan? Saat itu, saya lagi duduk-duduk di halte. Terus kamu muncul, ngeliatin saya lama, saya sempat takut.

 

HARUN

Sempat takut, Sayang?

 

RAHMA

Iya, Sayang, lagian kamu tuh berubah betul dibanding waktu SMA.

 

HARUN

Lebih cakep, kan, Sayang?

 

RAHMA

Dasar...

(pause)

Terus waktu itu, kamu tiba-tiba deketin dan bilang “Kamu yang waktu SMA pernah kekunci di gudang, kan?”

(pause)

Saya mikir lama, kan, ini orang yang mana yah?

(pause)

Kamu bilang lagi, “Ini saya. Yang pernah nyanyi biar kamu tenang.”

 

CUT TO FLASHBACK

 

27. EXT. HALTE BIS – FLASHBACK – SIANG

 

Rahma dan Harun sedang mengobrol di halte. Harun memakai kemeja putih, celana kain hitam, dan dasi garis-garis. Dia membawa beberapa kardus produk alat masak. Sementara itu, Rahma memakai pakaian biasa.

 

RAHMA

Kak Harun?

 

HARUN

Iya. Saya kira kamu lupa.

 

RAHMA

Nggaklah, Kak. Oh iya, saya minta maaf ya, Kak, dulu saya lupa bilang terima kasih.

 

HARUN

Tidak apa-apa lagi. Sekarang, kamu kerja di mana?

 

RAHMA

Baru lulus kuliah, Kak, sekarang lagi urus pendaftaran CPNS. Kakak nggak daftar?

 

HARUN

Tidak, Dek. Kakak lebih senang kerja beginian. Tidak perlu tertekan sama pemerintah.

 

Rahma memicingkan matanya pada produk yang dibawa Harun.

 

RAHMA

Itu apa, Kak?

 

HARUN

Oh, ini produknya perusahaan Kakak, mau lihat?

 

RAHMA

Boleh, Kak.

 

Harun mengambil salah satu produk, lalu menunjukkannya pada Rahma.

 

HARUN

Ini kompor eletrik portabel. Jadi, bisa kamu charge, terus bawa ke mana-mana. Bagus dipakai buat camping atau perjalanan jauh. Siapa tau mau masak sendiri, daripada harus ke warung lagi, kan?!

 

RAHMA

Wihh, keren, kak.

 

HARUN

Bukan cuma itu, harganya juga terjangkau.

 

RAHMA

Ada discount, kak? Atau harga teman, heheh.

 

HARUN

Tenang. Harga spesial dah buat kamu.

 

BACK TO PRESENT

 

28. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM

 

RAHMA

Pokoknya, kamu betul-betul cerewet waktu itu, Sayang. Beda sekali waktu SMA.

 

HARUN

Tuntutan pekerjaan, Sayang, namanya juga sales. Harus kayak gitu. Kalau diam-diam, mana ada yang tertarik beli.

 

RAHMA

Hahaha, betul juga, Sayang... Oh iya, waktu itu kita tukaran nomor hape, kan?

 

HARUN

Iya betul, Sayang… tapi bentar, siapa duluan ya yang minta nomor hape?

 

CUT TO FLASHBACK

 

29. EXT. HALTE BIS – FLASHBACK - SIANG

 

RAHMA

Boleh minta nomor hapenya, Kak?

 

HARUN

Boleh sekali.

 

Rahma menyerahkan HP-nya pada Harun.

 

Harun lalu mengetik nomornya di HP Rahma.

 

RAHMA

Makasih, Kak.

 

HARUN

Misscall ya, biar nanti Kakak bisa tahu nomor kamu.

 

RAHMA

Siap, Kak.

 

HARUN

Nama kamu Rahma, kan?

 

RAHMA

Iya, Kak. Rahma Andriani.

 

HARUN

Oke. Jadi, kalau mau nanya-nanya soal produk Kakak, atau bahkan kalau kamu sudah tertarik beli, hubungi aja nomor itu. Soal harga, tidak perlu khawatir.

 

BACK TO PRESENT

 

30. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM

 

RAHMA

Tapi lucunya pas kita teleponan, kita malah nggak pernah bahas produk. Hahaha. Sampai-sampai kita teleponan hampir tiap malam, lama kelamaan, jadian.

 

HARUN

Lama kelamaan, saya ngajakin kamu nikah.

 

RAHMA

Hahaha, iya, Sayang. Terbaik memang.

 

Mereka sama-sama tertawa, tapi dalam waktu singkat kembali diam dan tenggelam dalam kesedihan mereka.

 

Kita lihat tangan Harun kemudian bergerak ke belakang, berusaha menjangkau tangan Rahma, sampai akhirnya mereka saling menggenggam tangan.

 

RAHMA (cont’d)

Sayang?! Apa kita harus terus begini? Bicara, tapi mata kita tak bertemu.

 

HARUN

Mau gimana lagi, Sayang?! Kamu juga tidak mungkin lihat saya, kan, dengan kondisimu seperti ini.

 

Rahma merenung kembali, kemudian…

 

RAHMA

Sayang?

 

HARUN

Hmhm

 

RAHMA

Apa mungkin ada orang di luar sana yang sedang mencoba memisahkan kita? Yang nggak suka kalau kita bersama.

 

HARUN

Mama.

 

RAHMA

Mama?

 

HARUN

Yah, kamu tahu sendiri, kan, Sayang, dari dulu mama tidak pernah suka sama hubungan kita.

 

RAHMA

Nggak mungkin deh, Sayang, mama bikin saya seperti ini.

 

HARUN

Memangnya kenapa, Sayang?

 

RAHMA

Tadi ada teman kantor yang bilang kalau sepupunya pernah ngalamin hal yang sama kayak kita sekarang. Terus, dia bilang kalau dia diguna-guna.

 

HARUN

Diguna-guna?

 

RAHMA

Iya, Sayang.

(pause)

Atau… gimana kalau kita ke dukun, berobat. Saya sudah punya alamatnya kok.

 

HARUN

Serius mau ke dukun, Sayang?

 

RAHMA

Kalau itu bisa bikin kita normal kembali, kenapa nggak?

 

HARUN

Sayang, saya sudah nonton banyak film horor. Setiap dukun yang ada dalam film itu, tidak pernah ada yang beres, bahkan menyesatkan.

 

RAHMA

Itu, kan, dalam film, Sayang.

 

HARUN

Kayaknya bukan cuma dalam film, Sayang, sudah banyak kok berita-berita tentang dukun sesat. Mungkin bisa sembuh, tapi pasti ada efek sampingnya. Nah, efek samping ini yang pasti bahaya.

 

Rahma mulai kesal. Dia langsung melepaskan tangan Harun.

 

RAHMA

Terus, gimana? Kita mau kayak gini, terus?

 

HARUN

Yang sabar, Sayang, pasti ada cara lain yang bisa kita pakai. Tungguin aja.

 

RAHMA

Sampai kapan?

 

HARUN

Sampai Tuhan ngasih tahu cara yang terbaik buat kita.

 

RAHMA

Tuhan bakal diam saja kalau kita nggak usaha.

 

HARUN

Pokoknya, kita tidak usah ke dukun. Nanti saya cari cara yang lain.

 

RAHMA

Terserah.

 

Tiba-tiba terdengar suara pintu terketuk.

 

HARUN

Itu siapa yang datang malam-malam begini?

 

RAHMA

Pasti Narti.

 

HARUN

Kamu ngajakin Narti ke rumah, Sayang?

 

RAHMA

Saya nggak bisa tidur sendiri. Sudah. Saya mau bukain pintu buat Narti dulu.

 

Rahma berdiri, lalu melangkah pelan. Pandangannya lurus ke depan agar tidak sampai melihat wajah Harun. Masih beberapa langkah, Rahma berhenti, lalu berbicara dengan tegas. Kita tidak lupa pada Harun yang termenung pada latar belakang.

 

RAHMA (cont’d)

Pikirkan lagi rencana ke dukun. Ini juga buat kita.

 

CUT TO

 

31. INT. KAMAR TIDUR – MALAM

 

Rahma dan Narti tidur bersama dalam satu selimut.

 

RAHMA

Thanks ya, Nar, udah mau datang.

 

NARTI

Apa sih yang ndak buat sahabat yang tercinta ini?!

 

RAHMA

Kamu memang selalu yang terbaik, Nar. Gimana kondisinya tante? Sudah sehat?

 

NARTI

Lumayan membaik. Lagian ada adek, jadi tenang.

 

RAHMA

Alhamdulillah.

(pause)

Nar?!

 

NARTI

Apa?

 

RAHMA

Kalau saya berobat ke dukun, menurutmu gimana?

 

NARTI

Suamimu yang ngajakin?

 

RAHMA

Bukan. Justru dia yang nggak mau.

 

NARTI

Kalau suamimu ndak mau, yah ikutin aja.

 

RAHMA

Tapi masa saya harus kayak gini terus sih, Nar?!

 

NARTI

Sabar, Rahma, pasti ada jalan kok.

 

RAHMA

Kamu kayak Harun aja.

 

NARTI

(terkekeh)

Rahma, Tuhan tahu yang terbaik buat kamu. Lagian, kalau suamimu sudah bilang tidak, yah kamu harus ikutin. Bahkan loh ya, kalau mamamu sama suamimu punya pendapat yang berbeda, kamu harus tetap ngikutin suamimu.

 

RAHMA

Kalau itu, saya juga tahu, Nar.

 

NARTI

Ya sudah, tunggu aja apa yang suamimu mau.

 

RAHMA

Nggak seru, ah.

 

Rahma merajuk. Dia langsung membalikkan badan, lalu tidur membelakangi Narti.

 

NARTI

Ih, ngambek.

 

RAHMA

KAGAK!!!

 

NARTI

Ya udah, coba balek.

 

RAHMA

Nggak mau.

 

NARTI

Ya sudah, saya mau pulang saja.

 

Rahma langsung membalikkan badannya, kemudian memeluk Narti kencang.

 

Narti terbahak.

 

CUT TO

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar