Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
22. INT. KANTOR RAHMA – PAGI
Rahma sedang sibuk menginput beberapa arsip ke komputernya ketika Ratna datang dari luar ruangan menyahut. Saat itu, Rahma masih tampak gelisah seolah pikirannya terbagi antara rumah dan kantor.
Hari itu, mereka memakai pakaian dinas khaki.
RATNA
Rahma, laporan minggu lalu sudah selesai?
RAHMA
Bentar, Kak, saya cek dulu.
Rahma lalu mengecek file di komputernya. Dan wajahnya semakin murung saja.
RAHMA (cont’d)
Astaga, maaf, Kak, saya lupa.
RATNA
Gimana ya, Rahma? Soalnya sudah diminta nih.
RAHMA
Aduh, sekali lagi saya minta maaf, Kak. Atau gini, Kak, saya kerjakan sekarang laporannya, insya Allah hari ini bisa selesai.
RATNA
Terus arsip yang harus kamu input?
RAHMA
Tinggal sedikit lagi kok, Kak.
RATNA
Ya sudah, usahakan semua selesai hari ini ya. Kamu tahu sendiri, kan, gimana kalau Pak Kabid marah. Bisa gempa ini kantor.
RAHMA
Insya Allah, Kak.
RATNA
Oke. Kalau sudah, langsung kirim ke e-mailku ya.
RAHMA
(mengangguk)
Siap, Kak.
CUT TO
23. INT. KANTOR HARUN – PAGI
Harun berada dalam ruang rapat yang tidak cukup luas dengan maja besar di tengah-tengah, sebuah spanduk besar bertuliskan PT SEGAR SEJAHTERA sebagai latar, dan sudah ada dua laki-laki dan tiga perempuan yang bersamanya, masing-masing duduk berhadapan dalam ruangan itu.
Mereka memakai kemeja, dasi, dan celana slim fit, atau untuk perempuannya mengenakan rok hitam.
Harun duduk paling depan menghadap ke semua pekerja di sana.
Sebelum Harun sempat bicara, kita lihat seorang laki-laki, Fadli (34 tahun) yang cukup tinggi, sedikit berjanggut, dengan pakaian yang hampir sama dengan lainnya baru saja memasuki ruangan itu. Dia tampak tergesa-gesa.
FADLI
Maaf, Pak, saya terlambat, tadi habis duha.
HARUN
Tidak apa-apa. Duduk saja. Ini juga baru mulai.
Fadli lalu duduk pada barisan laki-laki.
HARUN (cont’d)
Langsung saja, asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
SEMUA PEKERJA
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
HARUN
Sebagai supervisor kalian, seperti biasa, kita akan review kembali hasil penjualan produk di perusahaan kita. Kita mulai dari Ayu. Bagaimana perkembangannya?
AYU
Berdasarkan laporan kemarin, Pak, untuk bulan ini, sudah ada sekitar 72% dari target.
HARUN
Masih pakai sistem door to door?
AYU
(mengangguk)
Iya, Pak. Saya rasa ini sistem paling efektif untuk memasarkan produk kita dengan masuk ke rumah-rumah, bertemu dengan beragam ibu rumah tangga yang pasti butuh alat masak.
HARUN
Bagus. Tingkatkan ya! Ingat, perhatikan semua kondisi orang-orangmu yang akan turun ke rumah-rumah. Sekarang cuaca suka berubah-ubah.
AYU
Terima kasih, Pak.
HARUN
Kalau Fadli, bagaimana? Masih aktif pengajian?
FADLI
Iya, Pak, alhamdulillah.
HARUN
Tidak mengganggu pekerjaanmu, kan?
FADLI
Alhamdulillah, tidak sama sekali, Pak. Justru, saya juga bisa memasarkan produk kita di sana. Meskipun kebanyakan bapak-bapak, tapi mereka tertarik membelikan produk kita untuk istri mereka.
HARUN
Hebat. Itu bisa memperluas market. Jadi sudah berapa persen?
FADLI
68%, Pak.
CUT TO
24. INT. KANTOR HARUN – PAGI (LATER)
Harun baru saja keluar dari ruang rapat. Kita bisa lihat tulisan RUANG RAPAT di papan penunjuk ruang yang terlekat di atas pintu.
Harun hendak berjalan, tapi tiba-tiba bertemu dengan Narti yang sedang menenteng beberapa berkas. Dia pun menegur dengan cukup dingin dan kaku.
HARUN
Narti?!
NARTI
Iye, Pak?
HARUN
Laporan yang saya minta kemarin kamu kerjakan?
NARTI
Sudah, Pak. Bahkan sudah saya kirim ke email Bapak.
Harun tersenyum tipis, agak mengangguk, lalu berencana pergi, tapi…
NARTI
Rahma, gimana, Pak?
Harun menarik napas sebentar, lalu kembali menjawab dengan datar.
HARUN
Masih kayak gitu.
Harun pun pergi tanpa berbasa-basi lagi.
CUT TO
25. INT. KANTOR RAHMA – SIANG
Rahma baru saja selesai mengerjakan laporannya. Dia lalu memberitahu Ratna yang untungnya berada dalam ruangan yang sama.
RAHMA
Kak Ratna, laporannya sudah saya kirim ya.
RATNA
Saya cek dulu.
(mengecek)
Oke. Sudah terkirim.
Rahma menarik napas lega, tapi masih tampak murung.
Ratna yang bingung melihat tampang Rahma lalu menegur.
RATNA (cont’d)
Rahma, kamu ada masalah? Soalnya beberapa hari terakhir ini, kerjaanmu tersendat-sendat terus. Kalau ada, lebih baik cerita.
Nita (33 tahun), rekan kantornya yang lain di ruangan itu ikut nyeletuk.
NITA
(pada Ratna)
Betul tuh, Kak, Rahma juga sering melamun.
Rahma tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Senyum yang kecut.
RATNA
Rahma, masalah itu kayak racun. Kalau kamu pendam terus, itu bakal jadi penyakit bahkan bikin kamu mati. Makanya, masalah itu dikeluarin, misalnya cerita sama orang. Yahh, setiap racun ada penawarnya, begitu juga dengan masalah, ada solusinya.
Rahma mengambil napas dalam-dalam. Sorot matanya lemah.
RAHMA
Begini, Kak, sebenarnya sejak beberapa hari kemarin, tiba-tiba saja saya takut lihat suami saya. Saya juga nggak tahu kenapa, Kak. Wajahnya yang saya lihat tiba-tiba saja sudah berubah kayak hantu di film horor.
(pause)
Kakak tahu, kan, saya takut sekali sama gelap, apalagi hantu. Jadi, itu benar-benar bikin saya stres.
RATNA
Memangnya suamimu masih suka ngajakin nonton film horor?
RAHMA
Begitulah, Kak, sudah jadi hobi. Sebagai istri, saya cuma bisa dukung apa yang dia suka. Tapi kalau sudah kayak gini, ahh entahlah. Saya juga bingung, Kak.
NITA
(pada Rahma)
Hmhm, saya kayak pernah dengar kasus yang sama kayak punyamu. Dia juga tiba-tiba takut lihat suaminya padahal sebelumnya baik-baik saja.
RATNA
(pada Nita)
Iyakah?
NITA
Iye, Kak.
Nita melirik ke atas. Pandangannya mengawan-awan, berusaha mencari jawaban di dalam kepalanya, sampai kemudian…
NITA (cont’d)
Ah, ingat, sepupuku. Itu sudah lama sekali. Tapi, sekarang sudah normal kembali.
RATNA
Itu karena apa ya?
NITA
Katanya sih, diguna-guna.
RAHMA
(kaget)
Diguna-guna?
NITA
Katanya.
RAHMA
Terus, gimana bisa sembuh?
NITA
Dia berobat ke dukun.
RATNA
Tahu dukunnya di mana?
NITA
Tunggu, Kak, saya telepon sepupuku dulu. Mudahan dia masih ingat tempat dukun itu.
Nita mengambil ponselnya yang diletakkan di meja, lalu menelepon sepupunya.
Kita akan lihat Nita menelepon tanpa memperlihatkan si penelepon ataupun memperdengarkan suaranya.
NITA (cont’d)
(pada HP)
Halo, Selvi.
(pause)
Saya mau nanya, kamu masih ingat tidak alamat dukun yang pernah kamu datangi itu?
(pause)
Bukan saya, tapi teman. Dia juga punya masalah seperti kamu dulu.
(pause)
Iye.
(pause)
Gimana?
(pause)
Oke. Saya tunggu!
(pause)
Makasih nah.
Nita mematikan panggilan itu, lalu lanjut mengecek pesan yang baru saja diterimanya lewat Whatsapp.
NITA (cont’d)
(pada Rahma)
Rahma, alamatnya saya kirim ke WA, ya.
RAHMA
Iya, Nit. Makasih ya.
RATNA
Nah, kamu datang saja ke sana. Berobat.
RAHMA
(pada Ratna)
Iya, Kak, nanti coba saya tanya sama suami saya. Saya kan nggak mungkin juga pergi tanpa izin dia.
RATNA
Iya, Rahma. Semoga cepat sembuh.
RAHMA
Iya, Kak, makasih.
(pada Nita)
Sekali lagi, makasih ya, Nit, sudah mau bantu.
CUT TO
26. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM
Kita lihat Rahma dan Harun duduk bersama saling membelakang di ruang tengah. Mereka mengenakan piyama. Di latar belakang, TV tampak tidak menyala.
HARUN
Sayang?!
RAHMA
Hmhm
HARUN
Saya rindu.
Rahma nyengir.
RAHMA
Ingat nggak, Sayang?
HARUN
Yah?
RAHMA
Waktu SMA, kita cuma bicara sekali.
HARUN
Yang waktu kekunci di gudang, Sayang?
RAHMA
Yap. Dan kamu tahu, nggak, Sayang?
(pause)
Sejak saat itu, saya mulai suka loh sama kamu. Tapi..
HARUN
Tapi apa?
RAHMA
Saya nggak pernah berani ngajakin ngobrol duluan. Mana saat itu kamu sok misterius lagi.
HARUN
(terkekeh)
Semisterius itu, Sayang?
RAHMA
Iyalah. Pokoknya kamu dingin sekali dah waktu itu, selain memang udah punya pacar.
(pause)
Dan lucunya... pas waktu kita ketemu lagi setelah bertahun-tahun, malah kamu yang pertama ngenalin.
HARUN
(terkekeh)
Iya, Sayang, saya juga ingat.
RAHMA
Iya, kan? Saat itu, saya lagi duduk-duduk di halte. Terus kamu muncul, ngeliatin saya lama, saya sempat takut.
HARUN
Sempat takut, Sayang?
RAHMA
Iya, Sayang, lagian kamu tuh berubah betul dibanding waktu SMA.
HARUN
Lebih cakep, kan, Sayang?
RAHMA
Dasar...
(pause)
Terus waktu itu, kamu tiba-tiba deketin dan bilang “Kamu yang waktu SMA pernah kekunci di gudang, kan?”
(pause)
Saya mikir lama, kan, ini orang yang mana yah?
(pause)
Kamu bilang lagi, “Ini saya. Yang pernah nyanyi biar kamu tenang.”
CUT TO FLASHBACK
27. EXT. HALTE BIS – FLASHBACK – SIANG
Rahma dan Harun sedang mengobrol di halte. Harun memakai kemeja putih, celana kain hitam, dan dasi garis-garis. Dia membawa beberapa kardus produk alat masak. Sementara itu, Rahma memakai pakaian biasa.
RAHMA
Kak Harun?
HARUN
Iya. Saya kira kamu lupa.
RAHMA
Nggaklah, Kak. Oh iya, saya minta maaf ya, Kak, dulu saya lupa bilang terima kasih.
HARUN
Tidak apa-apa lagi. Sekarang, kamu kerja di mana?
RAHMA
Baru lulus kuliah, Kak, sekarang lagi urus pendaftaran CPNS. Kakak nggak daftar?
HARUN
Tidak, Dek. Kakak lebih senang kerja beginian. Tidak perlu tertekan sama pemerintah.
Rahma memicingkan matanya pada produk yang dibawa Harun.
RAHMA
Itu apa, Kak?
HARUN
Oh, ini produknya perusahaan Kakak, mau lihat?
RAHMA
Boleh, Kak.
Harun mengambil salah satu produk, lalu menunjukkannya pada Rahma.
HARUN
Ini kompor eletrik portabel. Jadi, bisa kamu charge, terus bawa ke mana-mana. Bagus dipakai buat camping atau perjalanan jauh. Siapa tau mau masak sendiri, daripada harus ke warung lagi, kan?!
RAHMA
Wihh, keren, kak.
HARUN
Bukan cuma itu, harganya juga terjangkau.
RAHMA
Ada discount, kak? Atau harga teman, heheh.
HARUN
Tenang. Harga spesial dah buat kamu.
BACK TO PRESENT
28. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM
RAHMA
Pokoknya, kamu betul-betul cerewet waktu itu, Sayang. Beda sekali waktu SMA.
HARUN
Tuntutan pekerjaan, Sayang, namanya juga sales. Harus kayak gitu. Kalau diam-diam, mana ada yang tertarik beli.
RAHMA
Hahaha, betul juga, Sayang... Oh iya, waktu itu kita tukaran nomor hape, kan?
HARUN
Iya betul, Sayang… tapi bentar, siapa duluan ya yang minta nomor hape?
CUT TO FLASHBACK
29. EXT. HALTE BIS – FLASHBACK - SIANG
RAHMA
Boleh minta nomor hapenya, Kak?
HARUN
Boleh sekali.
Rahma menyerahkan HP-nya pada Harun.
Harun lalu mengetik nomornya di HP Rahma.
RAHMA
Makasih, Kak.
HARUN
Misscall ya, biar nanti Kakak bisa tahu nomor kamu.
RAHMA
Siap, Kak.
HARUN
Nama kamu Rahma, kan?
RAHMA
Iya, Kak. Rahma Andriani.
HARUN
Oke. Jadi, kalau mau nanya-nanya soal produk Kakak, atau bahkan kalau kamu sudah tertarik beli, hubungi aja nomor itu. Soal harga, tidak perlu khawatir.
BACK TO PRESENT
30. INT. RUMAH RAHMA – RUANG TENGAH – MALAM
RAHMA
Tapi lucunya pas kita teleponan, kita malah nggak pernah bahas produk. Hahaha. Sampai-sampai kita teleponan hampir tiap malam, lama kelamaan, jadian.
HARUN
Lama kelamaan, saya ngajakin kamu nikah.
RAHMA
Hahaha, iya, Sayang. Terbaik memang.
Mereka sama-sama tertawa, tapi dalam waktu singkat kembali diam dan tenggelam dalam kesedihan mereka.
Kita lihat tangan Harun kemudian bergerak ke belakang, berusaha menjangkau tangan Rahma, sampai akhirnya mereka saling menggenggam tangan.
RAHMA (cont’d)
Sayang?! Apa kita harus terus begini? Bicara, tapi mata kita tak bertemu.
HARUN
Mau gimana lagi, Sayang?! Kamu juga tidak mungkin lihat saya, kan, dengan kondisimu seperti ini.
Rahma merenung kembali, kemudian…
RAHMA
Sayang?
HARUN
Hmhm
RAHMA
Apa mungkin ada orang di luar sana yang sedang mencoba memisahkan kita? Yang nggak suka kalau kita bersama.
HARUN
Mama.
RAHMA
Mama?
HARUN
Yah, kamu tahu sendiri, kan, Sayang, dari dulu mama tidak pernah suka sama hubungan kita.
RAHMA
Nggak mungkin deh, Sayang, mama bikin saya seperti ini.
HARUN
Memangnya kenapa, Sayang?
RAHMA
Tadi ada teman kantor yang bilang kalau sepupunya pernah ngalamin hal yang sama kayak kita sekarang. Terus, dia bilang kalau dia diguna-guna.
HARUN
Diguna-guna?
RAHMA
Iya, Sayang.
(pause)
Atau… gimana kalau kita ke dukun, berobat. Saya sudah punya alamatnya kok.
HARUN
Serius mau ke dukun, Sayang?
RAHMA
Kalau itu bisa bikin kita normal kembali, kenapa nggak?
HARUN
Sayang, saya sudah nonton banyak film horor. Setiap dukun yang ada dalam film itu, tidak pernah ada yang beres, bahkan menyesatkan.
RAHMA
Itu, kan, dalam film, Sayang.
HARUN
Kayaknya bukan cuma dalam film, Sayang, sudah banyak kok berita-berita tentang dukun sesat. Mungkin bisa sembuh, tapi pasti ada efek sampingnya. Nah, efek samping ini yang pasti bahaya.
Rahma mulai kesal. Dia langsung melepaskan tangan Harun.
RAHMA
Terus, gimana? Kita mau kayak gini, terus?
HARUN
Yang sabar, Sayang, pasti ada cara lain yang bisa kita pakai. Tungguin aja.
RAHMA
Sampai kapan?
HARUN
Sampai Tuhan ngasih tahu cara yang terbaik buat kita.
RAHMA
Tuhan bakal diam saja kalau kita nggak usaha.
HARUN
Pokoknya, kita tidak usah ke dukun. Nanti saya cari cara yang lain.
RAHMA
Terserah.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terketuk.
HARUN
Itu siapa yang datang malam-malam begini?
RAHMA
Pasti Narti.
HARUN
Kamu ngajakin Narti ke rumah, Sayang?
RAHMA
Saya nggak bisa tidur sendiri. Sudah. Saya mau bukain pintu buat Narti dulu.
Rahma berdiri, lalu melangkah pelan. Pandangannya lurus ke depan agar tidak sampai melihat wajah Harun. Masih beberapa langkah, Rahma berhenti, lalu berbicara dengan tegas. Kita tidak lupa pada Harun yang termenung pada latar belakang.
RAHMA (cont’d)
Pikirkan lagi rencana ke dukun. Ini juga buat kita.
CUT TO
31. INT. KAMAR TIDUR – MALAM
Rahma dan Narti tidur bersama dalam satu selimut.
RAHMA
Thanks ya, Nar, udah mau datang.
NARTI
Apa sih yang ndak buat sahabat yang tercinta ini?!
RAHMA
Kamu memang selalu yang terbaik, Nar. Gimana kondisinya tante? Sudah sehat?
NARTI
Lumayan membaik. Lagian ada adek, jadi tenang.
RAHMA
Alhamdulillah.
(pause)
Nar?!
NARTI
Apa?
RAHMA
Kalau saya berobat ke dukun, menurutmu gimana?
NARTI
Suamimu yang ngajakin?
RAHMA
Bukan. Justru dia yang nggak mau.
NARTI
Kalau suamimu ndak mau, yah ikutin aja.
RAHMA
Tapi masa saya harus kayak gini terus sih, Nar?!
NARTI
Sabar, Rahma, pasti ada jalan kok.
RAHMA
Kamu kayak Harun aja.
NARTI
(terkekeh)
Rahma, Tuhan tahu yang terbaik buat kamu. Lagian, kalau suamimu sudah bilang tidak, yah kamu harus ikutin. Bahkan loh ya, kalau mamamu sama suamimu punya pendapat yang berbeda, kamu harus tetap ngikutin suamimu.
RAHMA
Kalau itu, saya juga tahu, Nar.
NARTI
Ya sudah, tunggu aja apa yang suamimu mau.
RAHMA
Nggak seru, ah.
Rahma merajuk. Dia langsung membalikkan badan, lalu tidur membelakangi Narti.
NARTI
Ih, ngambek.
RAHMA
KAGAK!!!
NARTI
Ya udah, coba balek.
RAHMA
Nggak mau.
NARTI
Ya sudah, saya mau pulang saja.
Rahma langsung membalikkan badannya, kemudian memeluk Narti kencang.
Narti terbahak.
CUT TO