Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Polo Mata
Suka
Favorit
Bagikan
2. Act 1 (Scene 4 - 7)

4. INT. RUMAH RAHMA – PAGI

 

(INT. RUANG TENGAH) Sementara Rahma masih terperanjat dengan sosok buruk rupa yang dilihatnya di dalam kamar tidur bersama Harun, kita lihat kembali ruang tengah, ada remot di atas sofa, beberapa CD film horor di rak lemari televisi, dan berakhir dengan closeup sampul CD film horor yang bergambar sesosok hantu laki-laki dengan wajah yang mengerikan di lantai (hampir seperti sosok buruk rupa yang dilihat Rahma?)

 

DISSOLVE TO

 

(INT. KAMAR TIDUR) Rahma masih tampak berdiri dengan tubuh bergetar di sudut kamar. Dia masih menangkupkan wajah dengan kedua telapak tangannya.

 

Harun berusaha mendekat dengan perlahan.

 

HARUN

Sayang, saya Harun. Suamimu. Kamu nggak usah takut.

 

Rahma belum berani membuka tangannya. Dia masih tampak sangat ketakutan.

 

Setelah mendekat, Harun lalu menyentuh tangan Rahma, juga dengan perlahan. Saat itu, Rahma tampak sedikit terkejut dengan sentuhan Harun sehingga dia refleks memundurkan badannya.

 

HARUN (cont’d)

Tenang, Sayang! Saya di sini.

 

Pelan-pelan kemudian Rahma melepaskan tangannya. Dan…

 

POV RAHMA: Lagi-lagi dia melihat sosok buruk rupa itu.

 

Lagi-lagi dia segera menangkupkan wajahnya sambil menjerit ketakutan.

 

RAHMA

PERGI! Saya mohon! Tinggalkan saya!

 

HARUN

(cemas) Kenapa sih, Sayang? Saya Harun. Suamimu. Saya nggak mungkin nyakitin kamu.

 

RAHMA

Iya, Sayang. Saya tahu. Saya bisa dengar suaramu dengan jelas. Tapi…

 

HARUN

Tapi kenapa?

 

RAHMA

Saya nggak tahu, Sayang, tapi tiap kali saya lihat kamu, saya justru lihat sosok yang lain, sosok dengan wajah yang sangat mengerikan.

 

HARUN

Maksud kamu?

 

RAHMA

Entahlah, Sayang. Intinya, wajah yang saya lihat itu benar-benar mengerikan. Persis kayak hantu-hantu yang ada dalam film horor. Dan itu… wajahmu, Sayang.

 

HARUN

Pasti cuma halusinasi, Sayang.

 

RAHMA

Halusinasi gimana? Itu benar-benar real. Saya benar-benar lihat wajah kamu seperti hantu dalam film horor.

 

Harun kebingungan dan semakin cemas.

 

Sementara itu, Rahman kian menggigil ketakutan.

 

RAHMA (cont’d)

Ini pasti karena film horor yang kita nonton tadi malam. Padahal saya sudah bilang, kita tunda saja nontonnya, tapi kamu masih ngotot. Sekarang, gimana saya bisa lihat kamu kalau setiap kali lihat kamu saya merasa takut?

 

Rahma mulai menangis tersengut-sengut.

 

Harun mencoba menyentuhnya kembali, tapi ketika tangannya berhasil menyentuh Rahma, Rahma seketika menjauh.

 

HARUN

Saya minta maaf, Sayang, tapi ini bukan kali pertama kita nonton film horor, juga bukan pertama kali kita nonton berdua, walau sudah lama sekali. Dan dulu, tidak pernah seperti ini.

 

RAHMA

Terus sekarang gimana?

 

Harun diam. Dia benar-benar pusing.

 

RAHMA (cont’d)

Saya takut, Sayang. Saya takut nggak akan pernah lagi bisa lihat kamu.

 

Tangis Rahma meledak.

 

Harun ingin memeluknya, tapi dia tahu Rahma pasti akan menyingkir lagi. Dia pun hanya bisa menatap Rahma dengan gelisah, kemudian berujar pelan dan lembut.

 

HARUN

Sabar, Sayang. Mungkin kita cuma butuh waktu. Setelah kamu benar-benar merasa tenang, pikiranmu sudah stabil, kamu pasti bisa melihatku lagi.

 

Harun berhasil membuat tangis Rahma perlahan mereda.

 

HARUN (cont’d)

Ya sudah, Sayang. Kamu istirahat di rumah saja. Kamu nggak usah ke kantor. Mendingan kamu tenangin diri dulu biar pikiranmu jernih.

 

RAHMA

Nggak, Sayang. Saya akan tetap ke kantor. Saya nggak bisa tinggal di rumah sendirian. Itu akan bikin saya tambah takut.

 

HARUN

Kalau begitu, sekarang lebih baik siap-siap, Sayang. Ini sudah sangat terlambat.

(pause)

Dan semoga kamu bisa melihatku lagi.

 

Harun membalikkan badannya agar Rahma bisa keluar dari kamar tidur itu, agar Rahma tak perlu melihat wajahnya. Ketika Rahma berhasil keluar, Harun hanya bisa menggeleng-geleng khawatir.

 

CUT TO

 

5. EXT. DEPAN KANTOR RAHMA – PAGI

 

Kita lihat Rahma sedang berjalan memasuki kantornya. Di depan kantor itu, terdapat papan bertuliskan DINAS KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN DAERAH.

                                  

DISSOLVE TO

 

6. INT. KANTOR RAHMA – PAGI

 

LOBBY KANTOR

 

Rahma memasuki kantornya. Dia berpakaian training olahraga biru putih sebagai baju dinas hari Jumat, dan sepatu kets warna putih. Dia memakai jilbab berwarna biru (setiap ke kantor, dia memang selalu memakai jilbab?). Riasan wajahnya sederhana bahkan hampir-hampir pucat.

 

Rahma kemudian bergerak ke mesin checklock absen (ada dua mesin checklock: satunya dilekatkan kertas bertuliskan PNS, dan satunya lagi bertuliskan HONORER) yang terpajang di dinding dekat pintu. Rahma menempelkan jempolnya ke mesin checklock absen untuk PNS.

 

RUANG KERJA

 

Rahma lalu berjalan dengan lesu ke ruang kerjanya di sebelah kanan. Sudah ada dua rekan kantornya (semua perempuan) di ruangan itu yang keduanya sibuk dengan urusan masing-masing dengan kertas-kertas bertumpukan dan sebuah komputer di hadapan mereka. Di ruangan itu pula, kita lihat dua lemari besar dengan berbagai arsip dan kertas dalam bundel-bundel.

 

Tatkala Rahma menghampiri meja kerjanya yang juga berisi kertas-kertas bertumpukan dan sebuah komputer, serta sebuah bingkai foto dirinya dan Harun yang sedang berangkulan mesra, Ratna (36 tahun), rekan kerjanya menegur. Dia juga berpakaian sama seperti Rahma.

 

RATNA

Kenapa, Rahma? Kurang enak badan?

 

RAHMA

(memelas) Iya nih, Kak.

 

RATNA

Terus, kenapa masuk kantor? Kamu kan bisa izin.

 

RAHMA

Nggak deh, Kak. Besok kan sudah libur. Biar istirahat besok saja. Lagi pula, saya nggak sakit-sakit amat kok, Kak.

 

Ratna mengangguk paham, lalu kembali sibuk dengan komputernya.

 

Rahma duduk di meja kerjanya. Dia mendesah berat. Ditatapnya kemudian bingkai foto yang berdiri tegak di samping komputernya. Dia meraih foto itu dan wajahnya kian gelisah.

 

Rahma meletakkan kembali foto itu. Dia meraih ponsel dari tas jinjingnya yang berwarna krem.

 

Rahma membuka Whatsapp. Dia mencari nama kontak “My Narti” a.ka Narti. Lalu mengetik, POP UP pesan ke layar: Nanti jam makan siang, kita ketemu di kafe dekat kantorku ya. Saya mau cerita. Dikirim.

 

CUT TO

 

7. INT. KAFE – SIANG

 

Rahma terus mengaduk-aduk mie gorengnya tanpa dimakan sedikit pun. Dia dalam keadaan masih kepikiran dengan kondisinya dan juga mulai jenuh menunggu Narti.

 

Sementara Rahma duduk dengan gelisah, kita lihat Narti dari belakang terburu-buru memasuki kafe, kemudian melirik sebentar ke kiri kanan, lalu akhirnya menghampiri Rahma. Tampaklah kemudian sosok Narti dengan jelas. Dia perempuan cantik dengan rambut sebahu dan riasan wajah standar, memakai kemeja putih berlengan panjang dan rok hitam (gaya anak kantoran?).

 

NARTI

Sorry, Rahma. Tadi ada banyak kerjaan di kantor. Jadi, saya mesti selesain dulu baru bisa keluar.

 

Rahma hanya tersenyum. Senyum yang cukup dipaksakan.

 

NARTI (cont’d)

Kamu kenapa sih? Ndak Harun, ndak kamu. Mukanya pada ditekuk gitu. Cerita sini!

 

RAHMA

(datar)

Duduk aja dulu!

 

Narti kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Rahma.

 

NARTI

Oke. Sekarang, cerita!

 

RAHMA

(mendesah berat) Hari ini lagi berat banget nih, Nar. Semuanya kayak serba aneh begitu. Tadi pagi pas bangun, saya tiba-tiba lihat Harun mukanya sudah berubah jadi hantu. Itu, kan, aneh.

 

NARTI

Maksudnya, berubah hantu gimana?

 

RAHMA

Ya, begitu. Tiap kali saya lihat Harun. Mukanya itu kayak hantu buruk rupa di film-film horor.

 

NARTI

Ini sih kamunya yang parnoan sama film horor. Makanya kebawa gitu.

 

RAHMA

Kalau cuma sekali, lalu normal kembali, yah nggak masalah, Nar. Tapi, ini sampai sekarang, sampai tadi sebelum berangkat kerja, saya masih nggak berani lihat dia.

 

Narti ikut bingung mendengar cerita Rahma, tapi dia tampak masih fokus pada cerita itu.

 

RAHMA (cont’d)

Terus satu lagi, kenapa cuma Harun yang mukanya jadi kayak hantu? (melenguh)

 

NARTI

Mungkin karena kamu nontonnya bareng Harun doang kali ya?!

 

RAHMA

Terus gimana dong, Nar?! Masa saya nggak bisa lihat suami saya lagi? Gimana kita bisa gituan?

 

Narti malah tertawa.

 

RAHMA (cont’d)

Kok ketawa sih, Nar? Sahabatmu ini lagi menderita tau.

 

NARTI

Iya, sorry. Gini, Rahma. Kamu kayak gitu mungkin cuma karena pengaruh film horor yang kamu nonton. Makanya, kamu tenangin diri aja dulu. Berpikir positif. Mikirin yang happy-happy. Habis pikiranmu tenang, kamu pasti bakal lihat suamimu kayak dulu lagi kok. Terus, kalian bisa gituan dah, hahaha.

 

Rahma masih cemberut.

 

NARTI (cont’d)

Yaelah, ini anak. Senyum dikit dong. Senyum itu bakal buat energi positif dalam diri kamu itu nambah. Kayak saya nih, senyum terus.

 

RAHMA

Kamu sih memang dasarnya gila.

 

Rahma akhirnya memberikan senyumnya, meskipun senyum yang tipis.

 

NARTI

Nah, gitu dong! Kan enak diliatin. Biar energi negatif dalam dirimu pada hilang.

(pause)

Eh, kamu ndak pesanin buat saya?

 

RAHMA

Tuh, di depanmu. Chocolate ice dengan tiga biji es.

 

NARTI

Tiga biji esnya mana?

 

RAHMA

Nggak usah sok bego ya, Nar. Kayak baru datang aja. Coba telat lebih lama lagi, bukan cuma tiga biji esnya yang hilang, tapi warna cokelatnya juga.

 

NARTI

(tertawa)

Terus, makanannya? Masa PNS traktir minuman doang.

 

Rahma menyodorkan sepiriring mie gorengnya pada Narti.

 

RAHMA

Nih, makan! Saya lagi nggak nafsu buat makan.

 

NARTI

Rahma, Rahma, yang sabar ya!

 

RAHMA

Oh iya, Harun gimana di kantor?

 

NARTI

Yah gitu, kayak kamu. Mukanya ditekuk terus.

 

RAHMA

Nggak cerita apa-apa?

 

NARTI

Kamu kayak ndak tahu suamimu aja deh. Dia tuh manusia paling tertutup yang pernah saya temui. Mana ada dia mau cerita-cerita begituan.

(pause)

Sudah ah, saya mau makan. Laper.

 

CUT TO

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar