Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Emong
Suka
Favorit
Bagikan
8. ACT 3 Pt.1

108 INT. RUMAH KELUARGA AHMAD - DAY

Miranty berdiri di ambang pintu kamar Samiah. Murung, mengawasi isi kamar Samiah. Di dalam kamar itu hanya ada tempat tidur tanpa seprai, lemari baju kayu pendek yang pintunya terbuka. Isinya kosong. Jam meja digital pemberiannya masih ada diatasnya. Juga lampu terapi darinya. Miranty mengambil kedua barang itu dan membawanya keluar dari kamar.

ANITA (O.S.)

Ibu nggak mau ribut lagi. Kamu tahu ini sudah bukan saatnya lagi tawar-menawar.

Miranty melangkah keluar rumah. Ke halaman. Mobil Bobby menunggu disana.

109 EXT. HALAMAN RUMAH - DAY

Miranty membuka pintu bagasi. Ia meletakkan jam meja digital dan lampu terapi yang dibawanya ke atas tas besar yang sudah ada di dalam bagasi mobil. Ia menutup pintu bagasi.

ANITA (O.S.)

Besok, Yu Sami harus dipulangkan ke keluarganya. Ibu sudah pesan supir untuk mengantar Yu Sami.

Miranty masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang depan. Di kursi belakang, Samiah duduk tegang. Memandang rumah yang ditinggalinya selama puluhan tahun diluar jendela mobil.

Di kursi kemudi, Bobby memasang sabuk pengaman. Ia menoleh pada Miranty.

BOBBY

Udah?

Miranty mengangguk. Mobil berjalan keluar pagar rumah.

MIRANTY (O.S.)

Aku aja yang anter Yu Sami.

Mobil berjalan.

POV dari dalam mobil. Diluar jendela, pohon-pohon dan rumah-rumah bergerak. Miranty memejamkan mata sebentar. Membukanya kembali. Ia menoleh ke belakang. Samiah terpejam. Kepalanya bersandar ke jendela.

Miranty kembali melihat ke depan. Ke jalan tol yang membentang luas di hadapan mobil.

110 INT. RUMAH KELUARGA AHMAD - NIGHT

Di ruang kerja Anita, Miranty duduk di kursi depan meja kerja Anita.

Secarik kertas bertuliskan nama dan alamat ditaruh diatas meja.

ANITA

Itu alamatnya.

Anita berjalan ke sudut ruangan. Ia duduk di kursi sofa satu dekat jendela. Menyandarkan punggung dan kepalanya di sandaran sofa. Memejamkan matanya.

Miranty mengambil kertas itu. Rahangnya mengeras.

ANITA

Kamu nggak akan sampai melakukan ini buat ibumu sendiri.

Miranty mendongak cepat ke arah ibunya.

MIRANTY

Apa ibu pernah melakukan segala hal yang dilakukan Bibik buat aku?

Wajah Anita menegang.

MIRANTY (CONT'D)

Apa ibu pernah nyiapin sarapan, ngelonin tidur, mandiin, nemanin belajar, nyisirin rambutku, gosokin perut aku kalau malem-malem aku kebangun sakit perut?

Suara Miranty bergetar. Matanya basah. Anita mengalihkan pandangannya ke tangannya diatas meja.

MIRANTY (CONT'D)

Tapi itu semua jawabannya jelas, bu. Yang masih belum terjawab adalah--

(beat)

Apa ibu sebenernya mau punya anak?

Pipi Miranty basah.

Anita tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela.

ANITA

Generasi ibu tidak pernah punya pilihan itu. Untuk berani bicara lantang memilih tidak memiliki anak.

Anita tersenyum getir. Melirik Miranty.

ANITA (CONT'D)

Kalau kamu perempuan, bekerja atau tidak, kamu menikah dan punya anak. Yang subur harus punya anak. Yang tidak bisa punya anak terus dituntut punya anak. Tidak ada pilihan untuk tidak punya anak.

(beat)

Jadi ibu memilih punya anak, dan jadi karakter antagonis bagi anak-anak ibu sendiri.

Anita menatap Miranty. Matanya berkaca-kaca.

ANITA

Dunia tidak mengizinkan ibu untuk tidak jadi ibu.

111 INT. MOBIL BOBBY - DAY

Miranty duduk merosot di kursinya. Memandang lemah ke jalan diluar jendela.

ANITA (O.S.)

Ibu melahirkan anak-anak, tapi ibu tidak pernah punya naluri seorang ibu. Dan karena itu ibu dianggap jahat.

Miranty melirik Bobby, gagah dengan kacamata hitamnya.

MIRANTY

Bob. Menurut kamu ibu tuh jahat, nggak sih?

Bobby tersentak. Menoleh cepat pada kakaknya sebelum segera melihat ke depan. Bobby mengerutkan keningnya.

BOBBY

Ibu--

Bobby tampak berpikir.

BOBBY

Ibu itu--

(beat)

kaku. Sangat nggak afeksionis. Which is aneh untuk perempuan. Tapi mungkin juga salahnya ekspektasi masyarakat yang mengharuskan perempuan itu penyayang, nurturing, dan semacam itu. Kalau laki-laki sifatnya seperti ibu pasti biasa aja. Ya nggak sih?

Miranty memandangi adiknya, ujung sebelah bibirnya terangkat. Miranty melihat ke jalanan di depan. Jari-jarinya memainkan bibirnya sendiri.

BOBBY

Tapi kalau jahat-- jahat tuh bunuh orang, korupsi, gitu nggak, sih? Ibu--ehm--

(beat)

Ibu mulutnya bisa jahat sih. Maaf, bu. (mengangkat sebelah tangannya, seolah ibunya ada disitu.

Miranty mengangguk-angguk sambil mengerutkan bibirnya.

MIRANTY

Ibu punya cara-cara yang jahat dalam menyampaikan niatnya, yang mungkin baik.

(beat)

yang mungkin, sebenarnya, itu sebuah ketidak tahuan. Tidak tahu caranya menyampaikan kebaikan dengan cara yang enak, empuk, lembut, fun--ibu tuh samasekali nggak kenal fun, ya nggak sih, Bob?

Bobby tertawa kecil.

MIRANTY

Ibu tuh--kaya nggak pernah beneran hepi. Bahagia. Beneran senang, gitu. Kapan ibu pernah kelihatan bahagia?

Bobby menoleh pada Miranty dan menggeleng.

Bobby menyalakan lampu sen ke kiri.

BOBBY

Ke rest area dulu ya. Ngopi sama isi bensin dulu.

Miranty mengangguk.

112 INT/EXT. REST AREA, MOBIL - DAY

Bobby memarkir mobilnya. Menarik rem tangan dan mematikan mesin. Miranty membuka pintu mobil.

MIRANTY

Kita ke toilet dulu ya, Bik.

Di restoran, Bobby melahap cepat makanan di hadapannya. Miranty duduk di samping Samiah, di depan Bobby.

MIRANTY

Pelan-pelan, kenapa?

Miranty menyodorkan tisu pada Bobby. Bobby mengambilnya dan mengelap keningnya yang berkeringat dengan tisu.

Samiah berhenti makan. Menyisakan separuh porsi di piringnya.

MIRANTY

Kok nggak diabisin, Bik?

SAMIAH

Bibik mana bisa makan segini banyak?

Miranty menggeser piring Samiah ke depan Bobby.

MIRANTY

Nih, boy, abisin, boy. Biar kuat nyetirnya.

BOBBY

Kenyang!

Bobby duduk merosot, bersandar ke sandaran kursi sambil mengusap-ngusap perutnya.

Hening. Bobby dan Miranty sibuk dengan telepon genggam masing-masing.

SAMIAH

Ibu dulu pernah bahagia--

Miranty menoleh pada Samiah. Bobby masih melihat ke telepon genggamnya.

SAMIAH (CONT'D)

Ibu cuma bahagia waktu sama bapaknya Bobby.

Miranty duduk tegak di kursi mereka masing-masing. Bobbyt melirik ke arah Samiah. Kepalanya masih menunduk ke telepon genggam. Bobby melirik Miranty. Lalu Samiah. Lalu Miranty. Samiah.

BOBBY

Gimana, Bik?

Miranty mengangkat sebelah tangannya ke arah Bobby. Memintanya untuk tenang.

SAMIAH

Ibu dulu bahagia waktu sama bapaknya Bobby. Banyak senyum. Sering ketawa.

Bobby dan Miranty bertatapan.

MIRANTY

Eh--Bapaknya Bobby?

Samiah melihat Miranty dan Bobby bergantian. Tiba-tiba terlihat seperti teringat sesuatu. Samiah beanjak dari kursinya.

SAMIAH

Eh, Bibik mau ke toilet dulu ya.

Samiah berjalan cepat meninggalkan mereka. Miranty dan Bobby bertatapan sambil ternganga. Miranty cepat-cepat berdiri dan menyusul Samiah.

113 INT. MOBIL - DAY

Bobby melirik ke spion dalam. Dia bisa melihat Samiah memandang keluar jendela. Kembali memerhatikan jalan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk stir mobil. Ia melihat spion lagi.

Tiba-tiba Samiah memandang ke spion. Membalas tatapan Bobby.

SAMIAH

Dulu, waktu Wisnu baru lulus SMK, dia minta Bibik pensiun. Pulang kampung. Aku aja yang kerja, katanya. Bibik maunya dia yang nyusul Bibik ke Jakarta. Cari kerja di Jakarta. Kerja kantoran. Eh, dia maunya ngurusin kebon. Sayang kalo tanah warisan embahnya nganggur, ditinggal nggak ada yang ngurus. Katanya gitu.
Bibik bilang, lha Bibik kan masih dibutuhin disini.
Terus aja gitu. Sampe sebelum meninggal--

(beat)

Sampe sebelum meninggal masih aja, minta Bibik pulang.

(beat)

Harusnya Bibik pulang. Kalau Bibik waktu itu nuruti maunya Wisnu, pulang, pulangnya nggak seperti ini.

Miranty dan Bobby saling pandang sesaat.

SAMIAH (CONT'D)

Wisnu dulu ngiranya Bibik itu kerja--dibayar buat jadi ibunya anak orang. Katanya, ibuku dipinjam orang. Bilangnya ke teman-temannya gitu.

(beat)

Kalau dipikir-pikir yang bener juga.

114 INT. MOBIL - DAY

Samiah tertidur. Bobby menengok Miranty.

BOBBY

Mbak.

Miranty menoleh pada Bobby.

MIRANTY

Hm?

BOBBY

Bibik tau nggak sih kita mau nganter dia ke rumah saudaranya itu? Bukan ke rumahnya dia sendiri.

MIRANTY

Nggak.

BOBBY

Hah? Loh. Nggak dikasih tau? Kenapa?

MIRANTY

Kita nggak akan ke rumah saudaranya. Kita mau ke rumahnya Bibik di desa.

BOBBY

What?

MIRANTY

Keluar tolnya sama. Cuma nanti abis keluar tol beda belokan aja.

BOBBY

Trus kenapa nggak bilang dari awal?

Miranty menunduk dan melirik Bobby.

MIRANTY

Eh... aku lupa.

Bobby mengerang. Tawa Miranty pecah.

115 EXT. TOL - DAY

Matahari hampir terbenam. Mobil Bobby meluncur keluar tol.

116 EXT. DESA SAMIAH - NIGHT

Mobil Bobby meluncur di jalan menuju desa. Beberapa meter sekali mereka menjumpai rumah penduduk atau toko atau warung. Tertutup rapat. Lampu jalan semakin jarang ditemui. Miranty fokus pada layar telepon genggamnya, memerhatikan peta di layar.

MIRANTY

Bik, sampe sini udah tau jalannya, belum? Inget nggak, Bik?

SAMIAH

Ini masih terus lagi.

MIRANTY

Bob, pelan, Bob. Eh, berhenti dulu deh. Ini kayanya map-nya ngaco deh.

Mobil Bobby melambat dan berhenti di pinggir jalan. Di depan sebuah rumah joglo dengan halaman depan yang luas. Miranty dan Bobby memerhatikan layar telepon genggam mereka.

BOBBY

Kayanya sih masih terus lagi. Ini belum masuk desanya, kok.

MIRANTY

Iya bener. Ok, let's go.

117 EXT. DESA SAMIAH - NIGHT

Mobil berhenti di tengah jalan sempit. Kanan dan kirinya gelap. Miranty dan Bobby menganjurkan tubuhnya ke depan. Mencoba melihat apa yang ada diluar jendela mobil.

MIRANTY

Jalan ke arah lampu itu aja, Bob.

Bobby menurut. Mobil terus berjalan dan melambat ketika menemukan tiang lampu jalan. Bobby menunjuk sebuah bangunam dengan papan di bagian depannya. Bobby membaca papan itu.

BOBBY

Mbak. Ini Kantor Desanya.

Miranty melihat ke arah yang ditunjuk Bobby.

MIRANTY

Terus? Kan nggak ada orang.

BOBBY

Ya kita nunggu sampe buka.

Miranty memandang Bobby.

BOBBY (CONT'D)

Kita parkir disini aja sampe pagi.

Bobby menguap. Mematikan mesin mobil dan menurunkan sandaran kursinya. Ia membuka sabuk pengaman. Merebahkan diri di sandaran kursi dan langsung memejamkan matanya. Miranty memandangi adiknya.

MIRANTY

Oke deh.

Miranty membuka sabuk pengamannya, menurunkan sandaran kursinya. Ia menoleh dan melihat Samiah tertidur. Miranty bersandar, memejamkan matanya. Ia membuka matanya setelah beberapa detik. Ia memejamkan mata lagi. Gelap.

118 EXT. KANTOR DESA - DAY

Suara ketukan beruntun. Ketukan itu semakin kencang dan cepat. Bobby dan Miranty tersentak bangun. Samiah bergeser ke tengah kursi.

Bobby mengucek-ucek matanya. Menguap. Langit sudah terang. Sekarang mereka bisa melihat jelas bangunan kantor desa. Lahan kosong di sebelahnya. Di samping kanan jalan. Pohon-pohon di sepanjang jalan itu. Dan wajah yang menempel diluar kaca jendela pintu kursi Miranty. Miranty menjauh cepat dari jendela. Wajah seorang laki-laki yang tersenyum lebar. Gigi-giginya yang besar menarik perhatian Miranty. Laki-laki itu melambaikan tangannya. Ia berpindah ke jendela belakang. Melambai pada Samiah.

ORANG ASING

Budhe! Budhe!

Laki-laki itu menunjuk dadanya sendiri.

ORANG ASING

Sutris, Budhe! Sutris!

Ia terus menunjuk dirinya.

SUTRIS

Putrane Pak Marto!

Miranty membuka kaca jendela. Ia menganguk pada Sutris.

MIRANTY

Bik, Bibik kenal?

Miranty menoleh ke belakang. Samiah ternganga dan terpaku melihat Sutris. Bobby membukakan kaca jendela di samping Samiah. Miranty keluar dari mobil.

SUTRIS

Budhe Samiah to itu, Mbak?

MRIANTY

Mas kenal?

SUTRIS

Kenal! Saya masih tetangganya. Eh, bapak saya masih tetangganya.

Samiah keluar dari mobil. Sutris menyalami Samiah.

SUTRIS

(pada Samiah)

Kula Sutris, Budhe. (Saya Sutris, Budhe.)

SAMIAH

Sutris?

SUTRIS

Putrane Pak Marto. Mboten kemutan? (Anaknya Pak Marto. Tidak ingat?)

Samiah memandangi Sutris. Tersenyum segan dan menggeleng pelan. Senyuman Sutris surut. Ia menoleh pada Miranty.

SUTRIS

Sudah lama banget nggak ketemu. (tertawa kecil)

BOBBY

Mas Sutris tinggal dekat sini?

SUTRIS

Oh, rumah saya agak jauh dari sini. Dekat rumahnya Budhe Sami. Tapi saya kerja disini.

Sutris menunjuk Kantor Desa. Miranty, Bobby dan Samiah sama-sama menoleh ke bangunan Kantor Desa. Bobby segera menoleh kembali pada Sutris.

BOBBY

Mas, maaf banget nih, Mas. Saya boleh numpang ke toiletnya, nggak?

SUTRIS

(Sambil berjalan ke pagar)

Oh, silahkan, Mas!

Sutris membuka gembok pagar. Sambil memasukkan motornya dan membuka pintu kantor, Sutris terus bicara.

SUTRIS

Saya tadi baru mau buka kantor. Trus saya lihat mobil ini di depan. Trus, kok ada orangnya. (tertawa) Terus saya intip. Maaf ya Mas. Maaf ya Mbak. Saya agak was-was kok ada mobil di depan sini. Nggak pernah lihat mobilnya.

Mereka masuk ke ruangan kantor desa.

SUTRIS

Toiletnya sebelah sana, Mas. (menunjuk ke lorong)

BOBBY

Makasih, Mas.

Bobby segera berjalan ke arah yang ditunjuk Sutris.

MIRANTY

(pada Samiah) Kita juga yuk, Bik. (pada Sutris) Permisi ya Mas, ya.

SUTRIS

Monggo, monggo.

119 INT. KANTOR DESA - DAY

Empat gelas berisi teh panas tersaji di meja tamu kantor desa. Tiga gelas diantaranya hampir habis. Samiah, Miranty, Bobby dan Sutris duduk di kursi yang mengelilingi meja itu. Beberapa pegawai kantor desa lainnya udah terlihat disana.

Sutris menatap Samiah.

MIRANTY (O.S.)

(lirih) Udah hampir setahun seperti ini. Jangankan mas, sama yang setiap hari ketemu aja kadang nggak inget.

Sutris mengangguk-angguk. Berbisik pada Miranty.

SUTRIS

Saya dulu kecilnya sering main sama Mas Wisnu. Almarhum putranya Budhe Sami. Iya, saya sering main layangan dekat rumahnya Mas Wisnu. Eh rumah embahnya dulu.

SAMIAH

Ngomongo sing banter! Aku pikun, ora budheg! (Bicara yang keras! Aku pikun, tidak budek)

Bobby menahan tawanya.

SUTRIS

(tertawa kecil)

Ngapunten, Budhe. (maaf, Budhe).

SUTRIS

Nanti saya antar aja, Mas, Mbak. Soalnya agak rumit kalau diancer-anceri. Kalau pakai Google Maps juga nanti pusing sendiri. (tertawa).

BOBBY

Makasih banyak, Mas.

Sutris tersenyum dan mengangguk. Sutris menoleh ke belakang sesaat.

SUTRIS

Sebentar, saya izin dulu ya.

Miranty dan Bobby mengangguk. Sutris beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke ruang berisi meja-meja kantor. Ia berbicara pada salah satu pegawai.

120 EXT. DESA SAMIAH - DAY

Sutris mengendarai motornya, beberapa meter di depan mobil Bobby. Miranty membuka kaca jendelanya. Tersenyum memandangi pemandangan diluar sambil setengah memejamkan mata. Kanan kiri jalan adalah sawah-sawah. Masih hijau terang padi-padinya. Di kejauhan siluet biru dan keabuan gunung-gunung membatasi horizon. Di pinggir sawah ditumbuhi pohon-pohon kelapa tinggi. Miranty menyandarkan kepalanya di ambang jendela.

Bobby melirik Miranty.

BOBBY

Akhirnya liburan, ya?

Miranty tergelak.

Motor Sutris melambat, memberi tanda pada mereka untuk melambat juga, dan menunjuk ke sebua rumah sederhana. Di depan rumah itu ada beberapa motor. Sutris menghentikan motornya, memarkirnya di pinggir dan turun dari motor.

Bobby menghentikan mobilnya. Menurut petunjuk Sutris dan mencari spot yang layak untuk parkir.

Sutris berdiri menunggu di depan rumah itu. Rumah itu tidak ada pagar. Dinding semen kombinasi kayunya pas berada di pinggir jalan tanah. Terdengar suara-suara orang dari dalamnya.

Bobby, Miranty dan Samiah turun dari mobil.

MIRANTY

Ini rumahnya Bik Sami, Mas?

Sutris menggeleng cepat. Tersenyum lebar.

SUTRIS

Bukan. (Ia mengusap-usap perutnya) Isi perut dulu.

121 INT. WARUNG MAKAN - DAY

Sutris tertawa renyah sambil memasuki pintu kecil rumah itu Bobby, Miranty dan Samiah mengikuti Sutris. Setelah melewati pintu, mereka tiba di ruangan yang hanya mendapat cahaya dari pintu luar. Terlihat sekilas lemari kayu tua menghimpit di dinding. Sebuah sepeda dan motor tersimpat di ruangan itu. Sutris melintasi sebuah lorong yang diterang lampu kuning redup di langit-langitnya. Mereka bertiga terus mengikuti Sutris. Sutris berbelok di sudut.

Setelah berbelok, mereka melihat pintu keluar. Sutris melewati pintu itu.

Mereka tiba di ruangan yang lebih besar dan terang. Dindingnya anyaman bambu dan kayu. Sebuah tungku api menyala. Diatasnya, kuali besar berisi sayur menggelegak. Seorang wanita berpakaian sederhana dan rambut digelung kecil duduk di bangku bambu panjang dan lebar, hampir sebesar dipan, di dekat tungku, mengupasi bawang merah. Di atas kursi bambu terlihat wadah-wadah penuh dengan bumbu dan bahan masakan.

Panci-panci besar berisi makanan berderet di lantai. Di sisi dinding lain, orang-orang makan di kursi tanpa meja.

Bobby menelan ludah memerhatikan makanan di panci-panci besar.

Sutris menyapa ibu yang duduk sambil mengupas bawang. Ibu itu mendongak. Memandang Sutris, mengamati satu per satu rombongan tamu yang baru datang. Pandangannya berhenti saat melihat Samiah.

Cut to:

Sutris, Samiah, Miranty dan Bobby duduk di kursi kecil diatas lantai. Masing-masing memegang piring berisi nasi dan lauk. Bobby melahap makanan di piringnya dengan cepat.

Sutris makan sambil mengobrol dengan ibu yang tadi mengupas bawang, LASTRI. Bu Lastri duduk di dekan Samiah. Ia menepuk-nepuk lutut Samiah sambil berbicara dengannya. Mereka bicara dalam bahasa jawa yang tidak dipahami Miranty dan Bobby.

Miranty menatap Sutris.

Sutris menangkap maksud Miranty.

SUTRIS

Bu Lastri ini dulu teman mainnya Budhe Sami, Mbak. (suaranya lebih lirih) Ini Budhe sepertinya ingat sama Bu Lastri.

Lastri mengatakan sesuatu dalam bahasa jawa pada Sutris. Sutris tertawa, lalu bicara pada Miranty.

SUTRIS

Sering main di kali, cari ikan, katanya, Mbak.

Miranty tersenyum.

Lastri mengatakan sesuatu pada Sutris. Kali ini kalimatya lebih panjang. Kemudian Lastri memanggil seseorang dari belakang dapur. Seorang wanita muda muncul membawa lap di tangannya. Mengusap-usapkan tangannya ke lap itu. Ia berjalan sedikit membungkuk dan berhenti beberapa langkah di depan Lastri.

Sutris mengeluarkan telepon genggamnya. Lastri mengatakan sesuatu pada perempuan muda itu. Si perempuan kembali ke dalam dan muncul lagi membawa telepon genggamnya. Ia menyebutkan sederet nomor pada Sutris. Sutris tampak mencatat nomor itu ke telepon genggamnya.

Sutris menoleh pada Miranty dan Bobby.

SUTRIS

Mas, Mbak, ini ada nomor teleponnya tetangganya Budhe. Rumahnya paling dekat dengan Budhe. Namanya Pak Joko. Pak Joko ini dulu waktu Mas Wisnu masih ada, diajak Mas Wisnu mengelola kebunnya Mas Wisnu--

Lastri memotong kalimat Sutris. Sutris menyimak dan mengangguk-angguk.

SUTRIS

Ooh... Katanya Bu Lastri, sampai sekarang masih mengurus kebunnya Mas Wisnu, Mas. Jadi dulu ceritanya Mas Wisnu ngajak siapa aja yang mau ikut nggarap kebun itu. Diantaranya Pak Joko sama istrinya, Bu Asih. Mereka yang ikut kerja dapat upah sama bagi hasil penjualan panen. Sampai sekarang juga masih berjalan. Tapi katanya tinggal Pak Joko sama Bu Asih aja yang mengurus.

Lastri kembali memotong omongan Sutris.

SUTRIS

Katanya terakhir kemari, waktu Mas Wisnu meninggal, Budhe Sami menitipkan kebun sama rumah juga ke mereka berdua. Jadi sampai sekarang rumah keluarga Budhe juga diurus sama mereka.

MIRANTY

Mereka tinggal di rumah Bik Sami?

SUTRIS

Nggak, Mbak. Mereka ada rumah sendiri. Sebentar saya telpon dulu Pak Joko-nya ya.

Sutris berdiri dari bangkunya. Berjalan memutar sambil bicara di telepon dengan bahasa Jawa.

Di samping Miranty, Lastri dan Samiah kembali mengobrol dalam bahasa Jawa.

Sutris kembali ke bangkunya.

SUTRIS

Ini kebetulan Pak Joko lagi di kebun, Mas. Mbak. Sekarang mau panggil Bu Asih untuk bersihkan rumahnya Budhe.
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar