Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
60. INT. KAMAR RIZKA - MALAM
Rizka masuk ke dalam kamar lebih dahulu, diikuti Ben yang kemudian menutup pintu. Ben memandang sekeliling. Ia lantas menemukan boneka beruang sebesar tangan di meja di samping tempat tidur.
RIZKA
"Bagaimana menurut Kakak?"
Rizka berdiri di sebuah kursi meja belajarnya. Kedua tangannya memegangi lukisan pemberian Ben ke arah dindingdi atas meja belajar. Ben yang sempat melamun, terkaget. Ia beralih ke suara Rizka.
BEN
"Kamu ngapain naik-naik kursi begitu? Sini biar Kakak saja yang letakin."
Ben menghampiri Rizka. Rizka memberikan lukisan itu pada Ben. Ben bergantian naik ke atas kursi di depan meja belajar.
BEN
"Belum ada pakunya?"
Rizka menggeleng.
CUT TO:
61. INT. KAMAR RIZKA - MALAM (CONT'D)
Dari atas kursi, Ben memaku dinding di atas meja belajar. Ia memberikan MARTILNYA pada Rizka yang berada di bawah, dan sebagai gantinya Rizka memberikannya lukisan yang akan digantungkan di sana.
OVER THE SHOULDER: Ben turun dari kursi dan perlahan mundur menjauhi meja belajar mendekat Rizka di belakang untuk memandangi letak lukisan itu. Lalu Ben berkata sambil berpaling pada Rizka.
BEN
"Tadi kamu bilang ada yang mau diomongin."
Keduanya sempat berpandangan sebelum Rizka memalingkan wajahnya perlahan ke depan. Rizka beranjak duduk di tepi tempat tidur dan bersila. Pandangannya menunduk ke bawah.
Ben memandanginya.
RIZKA
"Iya, nih, Kak. Rizka mau bicarain tentang yang tadi pagi di meja makan."
Ben duduk di sebelah Rizka dengan kaki menyentuh lantai, mendengarkan.
RIZKA
"Tapi Kakak jangan marah ya. Jangan mikir macam-macam. Rizka bukannya ingin mengatur Kakak atau bagaimana. Rizka minta maaf jika nantinya kakak berpikir begitu. Menurut Rizka apa enggak sebaiknya Kakak mengalah sama Papa? Rizka pikir, Papa ... Papa sakit, Kak Ben. Bukannya tidak seharusnya kita membebani pikiran Papa sekarang ini? Rizka tahu Papa salah dengan terus-menerus memaksakan keinginannya tanpa mempertimbangkan kemauan orang lain. Tapi coba deh kita lihat sisi positifnya; Papa peduli sama Kak Ben."
BEN
"Kepedulian tidak memaksakan kehendak seolah dia yang paling benar, Rizka. Kepedulian itu musyawarah. Mendengarkan pendapat dan masalah orang lain lalu mencari jalan terbaik. Kepedulian itu tahu kapasitas orang-orang yang dipedulikannya."
RIZKA
"Kalau begitu Papa percaya kapasitas Kakak lebih dari sekadar melukis."
BEN
"Lebih dari sekadar melukis. Kamu sudah kedengaran seperti mereka, Riz. Kak Ben ngerti maksud kamu baik. Kakak pun paham kondisinya seperti apa. Kondisi Papa. Tapi Kakak harus mengalah bagaimana? Kamu ingin Kakak berhenti melukis dan mulai menuruti setiap perkataan Papa? Enggak semua isi kepala orang tentang uang melulu, Rizka. Enggak semua orang ambisinya sama kayak Papa. Sudahlah. Berhenti memikirkan perasaan orang-orang ini yang tidak pernah balik peduli padamu."
RIZKA
"Kenyataannya, orang-orang inilah yang mengajak Rizka masuk ke rumah ini sepuluh tahun yang lalu, Kak. Rizka pikir Rizka bisa melakukan sesuatu untuk keluarga ini. Rizka pikir Rizka punya tujuan. Punya fungsi. Eh, tahunya malah jadi tempelan."
Ben menggeser tempat duduknya. Ia merangkulkan tangannya ke pundak Rizka. Ia menggosok-gosok lengannya.
BEN
"Tentu kamu punya. Setiap orang punya. Setiap orang berarti. Kamu anak sekaligus adik yang baik. Yang terbaik malah. Tapi ingat tidak selamanya hal-hal berjalan seperti yang kita inginkan. Dan, itu bukan berarti kamu tidak melakukan apa-apa. You've tried your best. It's just people has different thought about what the best is sometimes. Kamu lihat kan Kakak juga tidak sampai yang aneh-aneh. Kakak masih tetap kuliah dan belajar. Walaupun ya ... ngulang satu mata pelajaran di kelas Sir Hendra. Tapi maksud Kakak, jangan khawatir. Intinya itu. Semua baik-baik saja. Kakak tahu apa yang harus Kakak lakukan, Riz. Dan, Kakak sangat berterima kasih kamu sudah peduli dengan keluarga ini dan menganggapnya bagian dari kamu. "
RIZKA
"Anak angkat."
BEN
"Apa?"
Rizka beralih memandang kaki Ben.
RIZKA
"Kakak menyebut Rizka anak yang baik. Seharusnya anak angkat yang baik."
Ben memikirkan perkataan Rizka namun tidak mengatakan apa-apa untuk menanggapinya. Rizka membaringkan kepalanya ke pundak Ben. Ben merasa canggung, tetapi tetap mengacak-acak rambut Rizka sembari mendorong kepala adiknya itu bangun dari pundaknya.
BEN
"Sekarang lebih baik kamu kerjakan tugas Sir Hendra jika ada. Kamu tahu kan apa hukuman jika tidak mengerjakan tugas dari Sir itu?"
RIZKA
"Sudah aku selesaikan dua hari lalu, Kak."
Ben memandangi dari tempatnya.
BEN
"Bagus kalau begitu. Semangat belajar, hah? Ya sudah, Kakak mau balik ke kamar."
(Ben berdiri)
"Kamu istirahat, jangan membahas atau memikirkan ini lagi."
Rizka memandang mata Ben sejenak, menatap kaki Ben lagi, lalu mengangguk.
Ben menghampiri pintu dan keluar.
Rizka menerawang ke depan, ke arah kaki meja belajarnya, dari tempatnya duduk. Tak lama pintu kamarnya kembali terbuka.
BEN
"Tugas Sir Hendra-nya yang di modul halaman tujuh puluh tiga bukan?"
Rizka memandangi Ben.
CUT TO: