Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EXT. TEPI SUNGAI - SIANG HARI
Muhtar berdiri di pinggir sungai, airnya jernih sampai ia bisa melihat segala benda yang ada di dasar sungai itu. Muhtar melihat ke sekitarnya, ia dapati pepohonan rindang yang menaunginya. Di hulu sungai, terlihat air terjun yang lumayan tinggi. Sesekali ia juga mendengar kicauan burung mewarnai gemericik air terjun yang tidak terlalu bising.
Kemudian pandangannya dilemparkan ke seberang sungai. Lama ia amati sebatang mawar yang tumbuh diantara batu kali itu. Sebatang mawar dengan daun lebat dan satu mawar merah yang mekar di pucuknya. Muhtar mencoba menjangkau mawar itu. kini ia bisa merasakan dinginnya air sungai dan kerikil-kerikil kecil yang menyentuh telapak kakinya. Saat ia hampir mencapai tepi sungai, ia terhenti. Begeming, hanya berdiri dan mematung. Ia melihat ke atas air terjun, ia melihat seseorang dengan tongkat di tangannya.
DISSOLVE TO:
INT. ASRAMA PUTRA - DI DALAM KAMAR MUHTAR – MALAM HARI
Suasana pesantren sunyi di malam hari. Di sudut ruangan tampak Muhtar sedang membaca dan mempelajari beberapa kitab. Teman-teman sekamarnya sedang tidur pulas. Kemudian ia melihat sebuah diagram yang ia tempel di dinding dekat mejanya. Di sana terdapat diagram 'ilmu' yang mencabang menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama. Sembari memijat-mijat keningnya dengan pena yang dipegangnya, kembali membuka-buka bukunya.
MUHTAR
Hadeh, kaya gini butuh waktu berhari-hari!
(mengambil nafas panjang dan menggaruk kepalanya)
Ia berdiri kemudian mencoret cabang ilmu umum. Lalu ia mencoret bagan ilmu agama dan turunannya. Ia membuat garis panjang baru sebanyak tiga buah. Ia tulis di sana wajib ‘ain (individu), wajib kifayah (umum), garis terakhir ia beri keterangan tidak boleh dipelajari. Salah satu temannya, Rahmad, terbangun. Melihat ke arah Muhtar lalu berdiri ke lemarinya.
RAHMAD
(menghadap lemarinya)
Sudah, tidur kang!
Muhtar tidak merespon pertanyaan dari Rahmad. Muhtar masih sibuk dengan diagram yang ia kerjakan. Kemudian kembali ke kursinya.
RAHMAD
(mengarahkan pandangan ke muhtar)
Jangan terlalu dalam, tenggelam nanti kau. Itu biar mujtahid yang mikir, kang.
MUHTAR
Ya sama saja, Mad.
RAHMAD
Hadeh, “ya sama saja mad.” Jawabannya itu terus!
Rahmad berjalan ke luar kamar sambil menenteng peci dan kitab saku yang biasa dipakai para santri untuk hafalan.
MUHTAR
Eh, Mad. Sekalian, khususon ila muhtar! (tertawa)
RAHMAD
(berdiri di pintu)
Setiap malam kau masuk doaku, kang. (pause)
Ya... Adikmu juga sih, hehe.
(cengengesan)
Muhtar melempar pena di tangannya ke arah Rahmmad. Ia segera keluar untuk menghindar dari pena yang dilempar Muhtar.
MUHTAR
Eh...! Sudah sana! Keterusan.
DISSOLVE TO:
EXT. JALAN MENUJU KELAS – SIANG HARI
Muhtar dan Fajar sedang berjalan menuju kelas bersama santri-santri lainnya. Seperti biasa, sarung dan peci menjadi seragam mereka semua. Setiap masing-masing santri membawa kitab di tangan mereka.
MUHTAR
Tadi malam, aku tidur lebih cepat dari biasanya, Jar.
FAJAR
Terus, terlewat satu malam?
MUHTAR
Ya hampir.
FAJAR
Ya... Jadi intinya gak terlewat gitu kan?
MUHTAR
Gini, tadi malam aku ngimpi. Rasaku langsung campur aduk.
FAJAR
Campur aduk? Sebentar. Mimpi ketemu bidadari? Oh, ketemu ning Salma?
(wajahnya mulai cengengesan)
Ah! Mimpi...
MUHTAR
Bukan! Bukan itu. Pikiranmu arahnya ke situ terus!
FAJAR
(cengengesan)
Mimpi itu, ya cuma mimpi Tar. Ya biasa saja lah.
MUHTAR
Buyutnya ning salma.
(suara datar)
FAJAR
Ya... Mbah Kyai Idrus! (Pause)
Tunggu! kau?
MUHTAR
Yap, makanya rasaku campur aduk. Takut iya, senang, (pause)
Ya begitulah!
FAJAR
Tunggu! Kau mimpi dinikahkan dengan Ning...
MUHTAR
(menyela Fajar)
Ya tuhan! Jar, nggak ada kaitannya dengan ning Salma!
Muhtar berjalan lebih cepat dari fajar. Sebaliknya fajar lebih pelan, seolah ia sedang berpikir.
FAJAR
(berpikir)
Oke... Hem, berarti kesempatan masih ada.
CUT TO:
INT. KOPERASI - DI MEJA KASIR – SORE HARI
Umam sedang sibuk memeriksa stok barang yang ad di koperasi. Menulis beberapa catatan dan membuat pembukuan. Agak pelan terdengar suara wanita memangginya dari meja kasir. Perempuan bernama Naila (22) berdiri di depan meja kasir meja kasir.
NAILA
Kang, ngapunten, kang!
Umam menoleh lalu segera menuju meja kasir sambil merapikan pecinya yang sedikit miring.
UMAM
(berjalan) Ya, mbak, pripun?
NAILA
Saya didawuhi Bu Nyai untuk ambil beberapa barang di koperasi. Pesanannya beliau.
UMAM
Oh, injih mbak. Sebentar.
Umam kemudian memilah beberapa barang yang sudah ia siapkan menjadi beberapa kantung plastik besar yang ditaruh di bawah meja kasir. Ia mengambil salah satu dari barang-barang itu.
UMAM
Ini barang-barangnya. Sebentar saya masukkan catatan dulu ya mbak.
(membuat pembukuan)
Beras lima kilo, teh lima kotak, gula...
(masih menulis)
Begini mbak, ini untuk catatan siapa saja yang ngambilin barangnya Bu Nyai, namanya mbaknya siapa?
NAILA
Oh, iya kang. Naila Roya.
UMAM
Naila Roya. (pause)
Ini barangnya, kalau ada yang kurang nanti njenengan ambil lagi ya.
NAILA
Terima kasih.
Di luar koperasi tampak Muhtar sedang berjalan akan memasuki koperasi. Muhtar dan Naila berpapasan. Untuk beberapa saat Muhtar dan Naila saling berpandangan, namun segera Naila menundukkan pandangan. Muhtar masuk ke koperasi. Umam sedang memandangi naila yang berjalan menjauh. Muhtar berdiri di depan meja kasir.
MUHTAR
Yang itu berat, mam.
UMAM
Hadeh, ciptaan tuhan memang luar biasa.
Muhtar sedikit tertawa, kemudian memandang Naila yang berjalan menjauh.
MUHTAR
Hadeh... Dapat namanya?
UMAM
Ya jelas! Kang Umam, selalu ada jalan.
(cengengesan)
MUHTAR
Terus, siapa namanya?
UMAM
(bernyanyi) namanya indah sekali seindah paras wajahnya dan lembut tutur katanya...
MUHTAR
Ah! Sebentar, sebentar. Amelinda!
UMAM
Itukan judul lagunya.
MUHTAR
Bukan? (pause)
Linda? Amel, Amelia?
UMAM
Bukan! Gak ada kaitannya dengan judul lagu.
(pause)Makannya jangan dipotong!
MUHTAR
Ya tinggal bilang namanya!
UMAM
Naila!
MUHTAR
Oh... Naila.
UMAM
Yap!
(bernyanyi) indah sekali. Oh Naila, oh Naila, namanya.
MUHTAR
(menggeleng) Hadeh... Kopi satu bungkus! Yang besar. Sekalian, gulanya.
UMAM
Ya, sebentar! (mengambil kopi dan gula)
Dua belas ribu.
MUHTAR
Ini sekalian, cicilan yang kemarin. (membayar)
UMAM
Sip!
CUT TO:
EXT. ASRAMA PUTRA - TERAS KAMAR SANTRI – SORE HARI
Muhtar sedang melamun. Ditangannya memegang buku saku berisi nadhom alfiyah. Kemudian mellihat buku saku tersebut, sambil mulutnya komat-kamit, lalu memejamkan mata sambil terus komat-kamit menghafal. Tiba-tiba mulutnya berhenti bergerak, ia membuka mata dan melihat lembar buku tersebut. Lalu merasa kesal. Ia menghela nafas panjang. Terlihat kesal, ia letakkan buku saku tersebut di pangkuannya. Ia kembali terdiam.
DISSOLVE TO:
INT. DI DALAM KELAS – SIANG HARI
Para santri sedang melakukan lalaran (membaca nadhom bersama-sama) hafalan nahwu. Kemudian Pak Abror memberikan tanda bahwa sudah cukup, dan pelajaran bisa dimulai.
PAK ABROR
Al kalamu huwa lafdzun murokkabun al mufidu bil wadh’i. Kalam adalah lafadz yang tersusun yang bermakna dan disengaja. Jadi ada paling tidak tiga kriteria, ada lafalnya, kemudian ada arti atau maksudnya, dan kemudian disengaja. Baru bisa dibilang kalam. Sebenarnya ini pengertian dasar yang semua dari kalian sudah tahu, karena selalu dibahas di setiap kelas.
(pause - melihat ke semua santri)
Kang jalil, pernah dengar suara-suara?
JALIL
Banyak Pak. Suaranya njenengan. (sedikit cengengesan)
PAK ABROR
Ya, kemudian?
JALIL
Suara ayam, tadi pagi berkokok. (pause)
Ah, suaranya fajar! Nadanya sangat konsisten, apalagi kalau tengah malam.
(tertawa)
PAK ABROR
(tertawa kecil)
Baik-baik! Nah, suara merupakan komponen paling dasar, sebelum ada kalam. Kemudian dari suara-suara yang disebutkan tadi, yang bisa dikategorikan ke dalam kalam hanya satu. (pause)
Suara saya, yang sekarang ini. Karena dia bermakna, tersusun, dan disengaja. Kalau suara igauan, tidak bisa digolongkan ke dalam kalam. Mungkin saja tersusun, memiliki makna, tapi tidak dimaksudkan untuk dikatakan.
JALIL
Pak! Saya menyusun sebuah kata-kata, sudah jelas bermakna. Kemudian saya bermaksud mengatakannya, tapi lewat suara hati. (ia tertawa sendiri)
Kelas hening, tidak ada reaksi apapun dari santri lain. Beberapa dari mereka justru terlihat kesal karena sudah terlalu siang untuk melucu. Fajar yang duduk di samping muhtar memberi respon.
FAJAR
(menyindir) Ha...ha... Ha... Lucu!
PAK ABROR
(tertawa tipis)
saya yakin njenengan sudah tau jawabannya, itu masuk ke dalam kalam atau tidak. (pause)
Kalau soal suara hati tadi, mungkin kita akan temukan jawaban lebih jauh di nadhom-nadhom yang akan kita pelajari di waktu mendatang. Baiklah, kita sudahkan dan jangan lupa, pertemuan selanjutnya setoran hafalan bab kalam.
Seluruh santri keluar dari kelas. Muhtar masih duduk di kursinya, memikirkan sesuatu.
Ia masih memikirkan mimpinya, kadang juga ia teringat dengan Naila, yang padahal baru sekali berpapasan di koperasi.
JALIL
(berdiri) Jar, ngopi! Warung pojok.
FAJAR
Ada duit?
JALIL
Halah... Aman! Ayo Tar, sekalian!
FAJAR
Tar. Woi, Tar! Ngopi, warung pojok!
(berdiri dan menyusul Jalil yang sudah di luar)
Muhtar terperanjat kemudian membereskan barang-barangnya lalu berjalan ke luar kelas.
CUT TO:
.EXT. TERAS KELAS - SIANG HARI
Muhtar keluar kelas, Jalil dan Fajar sedang duduk menunggunya.
MUHTAR
Gak ada duit?
FAJAR
(berdiri dari bangku) Ada bosnya, tenang!
CUT TO:
INT. WARUNG POJOK – MEJA DEKAT JENDELA - SIANG HARI
Muhtar, Jalil dan Fajar duduk saling berhadapan. Dengan secangkir kopi yang berada di hadapan masing-masing mereka, kecuali Jali. Ia merasa kurang kalau hanya secangkir, Jadi ia selalu memesan kopi dengan ukuran gelas besar. Suasana warung pojok cukup lumayan ramai tapi tidak sesak. Hanya lebih ramai dari malam hari. Jalil mengamati Muhtar yang dari tadi diam saja, tampak sedang memikirkan sesuatu. Dahinya mengeryit.
JALIL
Tar, gak usah serius-serius terus lah! Yang tenang.
FAJAR
(ke jalil dengan suara pelan) Kenapa, ada masalah?
Jalil hanya mengangkat ke dua bahu dan alisnya. Kemudian kembali ke segelas kopinya yang sudah berkurang seperempat dari gelasnya.
FAJAR
Lah, Gimana sih!
JALIL
Tar! (pause)
Tar, Muhtar! Woi.. Mikir apa kau?
MUHTAR
Beberapa hari lalu aku mimpi.
JALIL
Ya, oke...
FAJAR
Buyutnya Ning Salma.
JALIL
(kaget dan hampir tersedak) Mbah Kyai Idrus?
FAJAR
La siapa lagi? Kyai Jalil?
JALIL
Lah! Masih hidup aku Jar.
Seketika semuanya terdiam. Hanya terdengar suara denting dari cangkir yang diadu dengan sendok oleh Muhtar. Jalil mencoba mengubah keheningan dengan menjatuhkan peci hitamnya di atas meja dan mengangkat kaki kanannya ke tempat duduknya.
JALIL
Ya berarti kita-kita ini Jar, masih berada di jalan yang aman. Hehe
(cengengesan)
MUHTAR
Lah?
Jalil mengubah posisi duduknya dan mengambil posisi dan kembali mengenakan peci yang ia tanggalkan seolah-olah ia akan memberikan wejangan yang serius.
JALIL
Gini tar! Kita berdua, (pause)
ya santri satu pondok ini lah. Berapa orang yang pernah mimpi ketemu beliau? (pause)
Bisa dihitung pakai jari. Gak semua orang!
MUHTAR
Tapi kalau di temui di mimpi itu bisa teguran juga, Lil!
FAJAR
Ya tinggal dilihat mimpinya seperti apa to ya.
(sambill menuangkan kopi ke lepek)
MUHTAR
Yang jadi masalah juga, tidak keseluruhan aku bisa ingat mimpi itu.
JALIL
Sebagiannya saja! Seingatnya. (pause)
Ya mending begini saja! Kau sowan dulu ke beliau lah!
(Mengambil kopi yang telah dituangkan Fajar ke lepek lalu menyeruputnya)
MUHTAR
Ya ini masih nunggu.
FAJAR
(Ke Jalil)
Satu gelas masih juga kurang?!
JALIL
Keburu dingin, Jar. Nanti jadi kurang sedap. Mubazir!
FAJAR
Tujuannya memang biar dingin, Lil!
JALIL
Ya pesan es kopi kalau mau yang dingin!
FAJAR
Lah! Bukan dingin...
JALIL
(menyela Fajar)
Ya tinggal tuang lagi, gitu pun repot!
Muhtar hanya mengamati tingkah kedua temannya yang sedang bertikai. Ia hanya memindahkan pandangannya seirama dengan giliran berdialog dari tiap mereka, sembari menahan tawa.
DISSOLVE TO: